Beranda / Pendekar / Janu: Tahap Awal / CP 17. Pagi Kelabu

Share

CP 17. Pagi Kelabu

Awan tebal menyelimuti mentari pagi saat Janu keluar dari rumah Mbah Kunti. Dengan berbekal parang, sebuah kain, dan seutas tali dari rotan, dia siap berangkat ke hutan. Seperti biasa, setiap pagi dia mencari kayu bakar, buah buahan, rempah, dan tanaman obat di hutan.

Di depan rumah, dia sudah ditunggu oleh salah satu kawannya untuk pergi ke hutan bersama. Anak itu bertubuh pendek, dan berusia sekitar delapan tahun. Dengan raut muka yang berseri seri dan pipi yang bulat penuh, membuatnya terlihat menggemaskan.

"Kak Janu, hari ini kita mau cari kayu dimana?" Tanya anak itu malu malu.

"Kemarin kita sudah ke Sungai Jambon, sekarang kita coba ke timur, ke Bukit Siloyo. Disana kan banyak pohon mangga tumbuh, siapa tahu sudah ada yang berbuah." Saran Janu.

Belum lima langkah mereka berjalan, Janu berhenti sejenak. Sambil menatap anak itu, Janu bertanya, "Tunggu sebentar Wulung! Tarok, Basma, dan yang lain kok tidak kelihatan? Kemana mereka?"

"Eh, anu kak, emm... Mereka katanya mau membantu bapaknya di sawah." Jawab Wulung pelan.

"Huft, ya sudah. Kita berdua saja yang cari kayu bakar. Nanti siang kalau mereka sudah selesai pekerjaannya, gantian nanti aku suruh masak."

"Emm." Wulung mengangguk pelan. Sambil berjalan, dia mengikuti Janu dibelakangnya.

Wulung adalah salah satu anak yang juga ikut bekerja di rumah Demang Yasa. Anak itu sangat penurut dan sedikit pemalu. Dia juga seorang yatim piatu sama seperti Janu. Kedua orang tuanya meninggal setahun yang lalu diserang binatang buas saat berdagang ke wilayah Masin. Karena hal itulah Wulung yang ditinggal sendiri menjadi sangat akrab dengan Janu.

Di tempat lain, Demang Yasa tengah berdiri diam di depan gerbang desa. Di sebelahnya, Ki Nambi yang sudah sangat tua tengah berjalan mondar mandir dengan wajah tidak sabaran. Sedari gelap hingga cahaya mentari menembus mendung, mereka sudah ada di tempat itu.

Lama mereka menunggu sesuatu, akhirnya muncul dua orang penunggang kuda datang dari arah wilayah Gunung Rahastra. Melihat sang demang sudah menunggu di depan gerbang, mereka pun berhenti dan turun dari kudanya.

"Lapor tuan demang! Kami baru saja kembali dari Kademangan Gunung Rahastra. Semalam kami mendapat informasi kalau kemarin sore Demang Purwakanta sudah bertarung dan kalah dari Jalada."

"Terus?"

"Dari cerita warga yang melarikan diri, sesaat setelah Demang Purwakanta kalah, para prajurit yang hendak membalas dendam mulai menyerang. Namun disini Jalada dan kawanannya dengan mudah mengalahkan mereka semua. Sebagian besar dari para prajurit pun tewas. Dari sini kekacauan terjadi, dan banyak warga yang melarikan diri." Lapor sang penunggang kuda.

'Hmm, kekuatan Jalada semakin meningkat. Apa mungkin karena gulungan kitab itu ya?' Batin Demang Yasa.

"Bagaimana dengan warga yang melarikan diri? Apa kalian telah menyuruh mereka untuk berlindung kemari?" Tanya Ki Nambi.

"Semalaman kami telah mengarahkan warga yang selamat untuk bersembunyi di pedesaan sekitar wilayah Janti."

Belum sempat keempatnya selesai membicarakan informasi yang didapat, terdengar suara derap kuda menggema dari ujung jalan. Terlihat serombongan penunggang kuda menuju ke arah mereka. Kali ini jumlah rombongan itu cukup besar.

"Demang Yasa! Hahaha... Kebetulan sekali kau sudah ada disini. Ayo kita bertarung!" Teriak seorang lelaki kekar penunggang kuda. Sambil berteriak dia mengerahkan semua penunggang kuda lainnya untuk mempercepat laju kudanya.

"Kalian berdua! Cepat masuk ke dalam desa. Peringatkan seluruh warga untuk lari dari sini! Perintahkan pula semua prajurit untuk segera datang kemari!" Perintah Demang Yasa kepada dua orang mata matanya.

"Ki Nambi, tolong lindungi warga desa untuk melarikan diri. Biar yang disini jadi urusanku."

Tanpa kata, ketiga bawahannya itu segera masuk ke dalam desa. Tak lama kemudian terdengar suara kentongan tanda bahaya menggema.

Setelah memerintahkan ketiga bawahannya, sang demang membalikkan badan menghadap para perampok. Dengan gagah berani, dia seorang diri menghadapi mereka. Tatapannya tajam, seakan hendak menghadapi mangsa, namun dengan cepat pula dibalas oleh Jalada dengan tatapan sinis. Sesaat mereka berhadapan, beberapa anak buah Jalada mengitari keduanya, membentuk sebuah arena pertarungan. Sisanya, terus memacu kuda mereka masuk ke dalam desa.

"Demang Yasa, mari kita buktikan siapa sekarang yang lebih kuat diantara kita."


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status