"Niti, ada apa?" Tanya sang demang kepada si remaja.
"Begini tuan demang, saya disuruh Nyi Aluh untuk meminta tuan demang menemui beliau di rumah Mbah Kunti."
Ada apa gerangan di rumah Mbah Kunti, pikir sang demang. Tanpa basa basi lagi dia segera bergegas menuju ke rumah Mbah Kunti, diikuti oleh si remaja dan Ki Nambi.
Sampai disana, Demang Yasa merasa ada yang aneh dan ganjil. Dari kejauhan tampak rumah Mbah Kunti agak sedikit rusak di bagian depan, dinding rumah yang terbuat dari bambu hancur. Semakin mendekat, terlihat lima mayat berpakaian hitam tergeletak di depan rumah.
Kondisi mereka sangat aneh, mata mereka terbelalak dengan pupil mata yang memutih, bekas darah kering menempel dari sela mata.
Entah apa yang sudah terjadi, sang demang pun segera menuju ke dalam rumah. Sesaat di depan rumah dia mendengar suara tangis bayi, membuatnya jadi menduga duga. Di dalam, dia segera disambut oleh beberapa wanita paruh baya yang sibuk kesana kemari. Tangis bayi semakin terdengar kencang.
Sesaat dia masuk ke dalam bilik, dia menemukan istrinya sedang menggendong seorang bayi yang baru saja dilahirkan. Ki Nambi yang ikut masuk ke dalam hanya bisa terbelalak melihat pemandangan itu.
"Istriku, apakah ini bayi yang dilahirkan oleh Rantini?"
"Iya suamiku, bayi ini baru saja dilahirkan tadi." Jawab Nyi Aluh.
"Sayang, ibunya tidak selamat saat melahirkan. Rantini meninggal beberapa saat setelah melahirkan." Lanjutnya.
"Lalu sekarang dimana jasad Rantini?"
"Para simbok tadi sudah memindahkannya ke ruang belakang."
Demang Yasa menghela nafas, dia merasa kasihan dengan wanita itu.
"Lalu, mayat mayat yang ada di luar itu? Dan apa yang membuat dinding rumah Mbah Kunti ini hancur?" Demang Yasa lantas memuntahkan pertanyaan yang mengganjal pikirannya.
"Ceritanya panjang suamiku." Sambil menyerahkan bayi itu ke salah satu wanita paruh baya, Nyi Aluh menceritakan panjang lebar kejadian semalam.
Malam itu lima perampok berpakaian serba hitam masuk ke dalam rumah Mbah Kunti. Mereka disini mencari keberadaan Rantini dan berhasil menemukan rumah Mbah Kunti karena merupakan satu satunya rumah yang di halamannya terdapat dua orang penjaga. Mereka pun berhasil melukai para penjaga hingga pingsan.
Melihat para perampok berhasil masuk ke dalam rumah, para wanita termasuk Nyi Aluh merasa kaget. Para perampok itu segera berteriak dan menanyakan keberadaan Rantini, namun para wanita hanya bisa menangis dan ketakutan. Para perampok lantas masuk ke dalam bilik dimana Rantini berada. Disana wanita muda itu menjerit ketakutan melihat mereka, kelihatan bahwa trauma masih sangat membekas di hatinya.
Diseretnya wanita itu keluar bilik, disana para wanita sudah sangat ketakutan dan hanya bisa menunduk dan menangis. Para perampok kemudian menanyai Rantini dan para wanita tentang keberadaan gulungan kitab, namun tidak membuahkan hasil. Rantini yang sudah menyerahkan gulungan itu kepada Demang Yasa hanya bisa menangis. Begitu pula para wanita paruh baya disana, mereka sama sekali tidak tahu tentang gulungan kitab yang dimaksud.
Salah satu perampok mulai tidak sabar, dia hendak membunuh Rantini yang terus menjerit. Saat golok mulai diayunkan, tiba tiba saja sekelebat bayangan masuk ke dalam rumah. Dengan kecepatan tinggi, sosok itu menahan laju golok dengan sebuah tongkat bambu.
Para wanita yang berada disana seakan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Sesosok kakek tua berhasil menyelamatkan Rantini dari kematian. Kakek itu adalah Mbah Bogel, seorang kakek tua yang dikenal warga tidak waras, dan sehari hari dia hanya duduk melamun di depan rumah warga.
Sesaat Mbah Bogel menahan serangan salah satu perampok, tiba tiba saja dia mengeluarkan sebuah kekuatan tenaga dalam yang dahsyat. Dia mengeluarkan cahaya hijau dari jemarinya. Dan tanpa disadari oleh para wanita disana, sesaat setelah cahaya hijau itu padam, para perampok sudah terkapar diluar rumah. Dinding bambu rumah Mbah Kunti juga hancur.
Mbah Bogel lantas mengusap perut Rantini, dengan senyum yang menenangkan. Lalu para wanita yang berada di pojok ruangan hanya bisa diam saat lelaki tua itu menghilang keluar rumah.
Beberapa saat kemudian, keanehan semakin terjadi. Rantini yang sudah menjadi tenang tiba tiba mengeluh kesakitan. Barulah diketahui kalau dia akan segera melahirkan.
Demang Yasa yang mendengar cerita dari istrinya merasa hendak tidak percaya. Namun fakta dan saksi membuktikan bahwa keanehan itu memang benar terjadi. Dia pun lantas mengambil bayi yang sudah tenang itu. Ditatapnya mata sang bayi, dengan senyum tipis dia menggendong bayi itu.
Sepuluh tahun telah berlalu sejak penyerangan di pusat Kademangan Janti, warga desa pun sudah hampir melupakan kejadian itu. Jasad para warga dan prajurit yang tewas dalam pertempuran sudah lama dikuburkan. Setiap tahun para warga mengenang para korban yang gugur dengan membawa sesajen ke makam mereka.Sementara itu Mbah Bogel yang misterius menghilang begitu saja tanpa jejak. Kakek tua itu sama sekali tidak diketahui keberadaannya. Warga desa yang mencarinya kemana mana sama sekali tidak pernah menjumpai sosok tersebut. Namun satu hal yang pasti, beberapa hari setelah Mbah Bogel menghilang, para warga yang dahulu sering memberinya makan dihebohkan dengan ditemukannya sekantong perhiasan dan kepeng emas di rumah mereka masing masing.Kini, berkat penemuan itu, para warga secara bersuka rela memberikan sebagian harta itu kepada Demang Yasa. Jumlah yang diberikan warga jauh melebihi jumlah emas dan perhiasan yang dicuri oleh para perampok. Hal itu tentu tidak disia siaka
Diujung, di dekat jendela, seorang lelaki misterius duduk menghadap makanannya. Lelaki itu mengenakan jubah agak kecokelatan, dan rambutnya sangat panjang menjuntai menutup punggung. Rambut bagian depannya menutupi hampir seluruh mukanya, hanya tampak dua bola mata tajam dan bibir tipis dari sela rambut. Sebuah caping dan pedang besar tergeletak di samping makanannya.Wajah lelaki itu menunduk, seolah tidak peduli dengan sekitarnya. Walau begitu, rupanya dia sedari tadi menguping pembicaraan beberapa orang tadi. Beberapa kali dia mencuri pandang kearah meja yang ramai dengan orang orang.Lelaki misterius ini berpikir dalam hati, siapakah Jalada yang dimaksud orang orang ini. Dari mendengar pembicaraan tersebut, muncul berbagai pertanyaan di benaknya. Salah satu yang dipikirkannya adalah tentang Jalada yang tampaknya lebih kuat dari para demang.Setahu dia, para demang biasanya memiliki ilmu tenaga dalam mumpuni, dan sudah berada lebih dari tahap keempat. Apakah
Janu, si anak kecil yang dilatih oleh Demang Yasa, tak lain tak bukan adalah bayi dari Rantini. Setelah ibunya meninggal saat melahirkan, bayi Janu diambil oleh Mbah Kunti untuk dibesarkan. Satu tahun kemudian Mbah Kunti meninggal karena usia. Sejak saat itu dia dirawat oleh keluarga sang demang dan Mbok Yah.Disini walaupun Janu dirawat oleh sang demang, namun dia tetap tinggal di rumah Mbah Kunti. Sesekali Mbok Yah dan Nyi Aluh bergantian ke rumah Mbah Kunti untuk merawat Janu.Janu pun juga sudah menyadari kalau kedua orang tuanya sudah meninggal dunia. Dia sudah diberitahu tentang cerita sepuluh tahun yang lalu. Dia juga tahu tentang Mbah Kunti, para perampok Tanduk Api, dan Mbah Bogel yang misterius. Sesekali dia pun pergi ke makam ibunya untuk sekedar membersihkannya.Janu bisa bertahan hidup selama ini berkat pertolongan sang demang. Oleh karena itu dia mencoba untuk ikut bekerja di rumah sang demang. Terutama sejak kematian Mbok Yah lima tahun lalu dan N
Awan tebal menyelimuti mentari pagi saat Janu keluar dari rumah Mbah Kunti. Dengan berbekal parang, sebuah kain, dan seutas tali dari rotan, dia siap berangkat ke hutan. Seperti biasa, setiap pagi dia mencari kayu bakar, buah buahan, rempah, dan tanaman obat di hutan.Di depan rumah, dia sudah ditunggu oleh salah satu kawannya untuk pergi ke hutan bersama. Anak itu bertubuh pendek, dan berusia sekitar delapan tahun. Dengan raut muka yang berseri seri dan pipi yang bulat penuh, membuatnya terlihat menggemaskan."Kak Janu, hari ini kita mau cari kayu dimana?" Tanya anak itu malu malu."Kemarin kita sudah ke Sungai Jambon, sekarang kita coba ke timur, ke Bukit Siloyo. Disana kan banyak pohon mangga tumbuh, siapa tahu sudah ada yang berbuah." Saran Janu.Belum lima langkah mereka berjalan, Janu berhenti sejenak. Sambil menatap anak itu, Janu bertanya, "Tunggu sebentar Wulung! Tarok, Basma, dan yang lain kok tidak kelihatan? Kemana mereka?""Eh, anu kak, emm
"Demang Yasa, mari kita buktikan siapa yang lebih kuat diantara kita." Ucap Jalada dengan angkuh."Sombong sekali! Sepuluh tahun lalu kau tidak bisa mengalahkanku. Sekarang pun anjing macam kau ini masih tidak pantas menjadi tandinganku!" Ujar sang demang dengan nada emosi.Senyum sinis tergambar di bibir Jalada, dia menoleh kepada kawanannya, "Anak buahku, lihat orang tua ini! Lihat bagaimana nanti dia mati! Tapi sebelumnya, aku ingin dia melihat bagaimana Janti yang dicintainya ini hancur, hahaha..."Mendengar tawa Jalada, amarah sang demang semakin memuncak. Tanpa kata, dia melompat menyerang Jalada yang masih berada diatas kudanya. Dengan gerakan cepat, sang demang hendak memukul kepala Jalada, namun dengan mudahnya lelaki itu menghindari serangannya. Jalada menghindar sambil melompat turun dari kudanya.Para penunggang kuda yang lain segera mundur untuk memberi tambahan ruang gerak bagi keduanya. Mereka tampak tenang menonton sang pemimpin bertarung deng
Janu sedang bersantai saat Wulung berkata kalau desa sedang dalam masalah. Dia pun menoleh ke arah desa. Tampak asap tebal mengepul dari arah desa.'Ada yang tidak beres.' Batinnya."Wulung, sepertinya ada kebakaran besar di desa. Ayo kita segera kembali!" Ajaknya sambil mengemas barang barangnya.Seusai mengemas perlengkapan dan kayu bakar, mereka segera berlari menuruni bukit ke arah desa. Sepanjang jalan, pikiran mereka berkecamuk, khawatir dengan kondisi desa.Tidak peduli dengan duri dan kerikil tajam, mereka terus saja berlari. Rasanya mereka ingin segera sampai ke desa. Mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi disana, kenapa ada kebakaran, dan apa penyebabnya.Sampai di penghujung desa, mereka melihat api sudah membubung tinggi di sekitarnya. Sontak mereka pun melepas kayu bakar yang digendongnya, lalu memanjat melewati pagar desa, masuk ke dalam desa.Sampai ke dalam desa mereka melihat rumah rumah warga tersambar api. Beberapa rumah mere
Di depan gerbang desa, para perampok tengah menyiksa sang demang. Mereka mengikatnya di sebatang pohon, lalu memukulinya beramai ramai. Sementara itu, Jalada duduk santai diatas sebongkah batu, sambil menyaksikan sang demang dipukuli anak buahnya.Di pinggir gerbang desa, empat orang duduk terikat dijaga oleh dua orang perampok. Wajah mereka babak belur, dan tubuhnya terluka cukup parah. Mereka adalah Ki Nambi, Dawis, dan dua orang prajurit Janti yang tersisa."Demang Yasa! Lihat sekarang desamu ini. Hancur lebur!" Cerca Jalada."Kakak, kenapa kita berlama lama disini? Bunuh saja mereka langsung, ambil hartanya, selesai." Cerocos Kijan."Nikmati saja dulu, toh dia sudah tidak bisa berbuat banyak." Balas Andaka."Tahu apa kau!" Ujar Kijan sinis. Dia kesal karena setiap gadis desa yang hendak dipermainkannya langsung dibunuh oleh Andaka."Tunggu saja, Lodra dan anak buahnya juga masih mengejar warga yang berhasil kabur. Kupita pun juga masih ada di
Ucapan Ki Nambi sangat keras terdengar, menggema sebelum kematiannya. Mungkin karena itu surga memberikan jawabannya.Sesaat dua perampok hendak menyeret Darwis ke tengah lapangan eksekusi. Dari balik gerbang, muncul sesosok hitam melompat. Dengan gerakan di udara yang cepat dan tangkas, sosok itu menendang dada kedua perampok. Keduanya yang tidak siap dengan serangan itu pun jatuh terpental.Jalada dan semua anak buahnya terkejut, seketika mereka membeku. Sang penyerang langsung mengeluarkan sebuah pedang besar dari balik punggungnya. Diayunkannya pedang itu ke arah para perampok yang berada di dekat Janu dan Wulung. Beberapa orang tidak sempat bereaksi, mereka terkena tebasan pedang besar itu."Kurang ajar! Tangkap anjing itu kemari!" Teriak Jalada marah.Dia memicingkan mata ke arah Nyai Kupita yang berada di sebelahnya. Dia mempertanyakan kenapa masih ada manusia yang bisa lolos dari wanita itu. Sang nyai yang dilirik tajam pun merasa canggung.
Para pendekar sakti mandraguna bertempur dengan si raksasa Kurupa. Mereka melakukan pertempuran dengan berbagai serangan yang luar biasa kuat dan dalam jangkauan yang luas. Beberapa hari mereka bertempur, menyebabkan wilayah itu menjadi hancur. Badai angin, gempa bumi, gunung meletus, bahkan sungai pun meluap menyebabkan banjir bandang ke segala penjuru. Tanah di hutan Trangil sudah tidak berbentuk, rusak dan gersang, tidak ada tanda kehidupan di atasnya.Selama lima hari bertempur, Kurupa mulai terdesak. Dia yang hanya seorang diri akhirnya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pendekar yang bersatu. Kurupa kemudian melarikan diri dengan menghilang dibalik udara hampa. Para pendekar tidak mampu melacak keberadaannya, aura dan jejaknya semua hilang seketika."Aaarrgghh! Kurang ajar si Kurupa itu! Kita tidak boleh membiarkannya lolos begitu saja, kuta harus mencarinya sampai ketemu!" Ki Ekadanta marah mengetahui Kurupa hilang di depan mata."Kalian semua tidak us
"Hei, babi dari Pinus Angin! Hadapi aku kalau kau sanggup!" Tantang si wanita penghadang."Huh! Nyi Kupita, suamimu sudah mati di tangan kami! Kini saatnya giliranmu ikut suamimu ke alam kematian!""Heh! Kejar aku kalau kau sanggup!"Nyi Kupita bergerak bagai angin, dia berlalu menghindari keramaian, diikuti oleh Suli yang mengejarnya. Mereka berdua bergerak menembus kobaran api, menuju ke suatu tempat yang lain.Di sebuah bukit sang wanita berhenti, punggungnya membelakangi Suli."Kena kau sekarang! Beraninya kau mengacaukan rencanaku yang sudah aku buat selama bertahun tahun." Ucap wanita itu.Suli berhenti, dia waspada. Apa maksud dari ucapan Nyi Kupita itu."Apa kau tahu siapa aku?" Tanya Nyi Kupita. Suaranya perlahan mulai berubah agak berat."Apa kau tahu? Ha?!""Aku adalah Gendri Kupita! Penguasa gunung dan lembah! Kau tak akan sanggup melawanku! Hahaha..." Wanita itu berteriak dan tertawa terbahak bahak. Dia kemu
Beberapa waktu para panglima Mataram dan pendekar dari berbagai perguruan melanjutkan pembicaraan. Mereka membahas teknis pergerakan mereka. Suli dan para murid Perguruan Pinus Angin bergerak dari arah barat. Mereka mengepung ke timur dan langsung menuju ke sumber ritual berlangsung.Selesai pembahasan, mereka pun segera bertindak. Selesai persiapan, Suli menuju ke bagian barat hutan Trangil, lantas bersembunyi di balik pepohonan.Tidak lama, sebuah asap hitam membubung tinggi dari berbagai arah. Api menggelora tinggi melebihi pohon, membakar sisi sisi hutan. Api itu menjalar dari satu pohon ke pohon yang lain, menutup bagian luar hutan, terus merasuk semakin jauh ke dalam.Para prajurit dan pendekar yang bersembunyi di luar hutan juga mulai merangsek masuk dari celah kobaran api. Mereka bergerak sesuai rencana, menutup seluruh pergerakan para penganut ilmu hitam.Melihat api yang berkobar sangat besar dari segala arah, para penganut ilmu hitam tetap tena
Beberapa hari setelah penyerangan ke sarang perampok Tanduk Api, Janu dan kawan kawan berpisah dengan Suli. Mereka kembali ke Perguruan Pinus Angin, sementara Suli masih melanjutkan tugasnya. Sebelumnya, para tawanan sudah dikembalikan ke desa masing masing oleh para prajurit Lasem."Kalau kalian mendapat tugas semacam ini lagi, butuh dua kali lagi agar nilainya bisa ditukar dengan ramuan mantra ilusi. Aku jamin ramuan itu akan sangat berguna bagi kalian." Saran Suli saat mereka hendak balik ke perguruan."Ramuan mantra ilusi? Apa itu kak?" Tanya Malya penasaran."Itu adalah semacam ramuan mujarab untuk melancarkan kemampuan berpikir kita. Ramuan itu sangat penting apabila kalian menginginkan sebuah pencerahan. Tapi ingat! Ramuan itu hanya boleh diminum sekali saja.""Hmm, baik kak! Sekarang kami balik dulu, selamat tinggal kak Suli! Sampia jumpa nanti di perguruan."Tujuh orang lelaki dan dua perempuan berjalan kembali menuju ke perguruan. Mereka
"Kak Suli! Semua kawanan perampok sudah kami tumbangkan. Jalada, Andaka, dan Kijan sudah tewas semua, sisa Nyi Kupita yang berhasil melarikan diri ke hutan." Lapor Wulung."Coba kalian periksa sekali lagi, siapa tahu masih ada yang bersembunyi di dalam pondok tau di pinggir bukit.""Baik kak!"Wulung lantas mengajak beberapa murid lain untuk berkeliling. Sementara itu Malya berdiri terpaku menatap Janu yang tengah bermeditasi menyembuhkan diri."Kak, apa dia baik baik saja?" Tanya Malya kepada Suli."Dia baik baik saja, serangan tadi hanya melukai bagian dalam sedikit saja, tidak berpengaruh besar. Dengan ramuan buatanku ini, semua luka dalam akan sembuh seketika, bahkan mungkin bisa memicu peningkatan kekebalan tubuh menjadi lebih baik lagi." Jawab Suli santai."Ramuan macam apa itu kak?" Gumam Malya."Hehehe, kau tidak perlu tahu. Ini rahasia!" Suli tersenyum tipis."Aish! Dasar kakak gendut!" Umpat Malya sedikit kecewa. Dia
Jalada menyerang dengan membabi buta, tidak sadar bahwa senjatanya rusak parah melawan pisau Dwitungga Baruna. Sampai akhirnya goloknya patah, barulah dia mampu dibekuk oleh Janu. Dengan mengorbankan dada kanannya, Janu berhasil menghujamkan pisaunya ke perut Jalada. Ditambah dengan luka yang cukup lebar di leher, membuat lelaki itu pun terjatuh kehilangan nyawa.Para pengikut Jalada kaget melihat pimpinan mereka tewas di tangan Janu. Mereka serasa tidak percaya melihat junjungannya yang selama ini dianggap paling kuat dan brutal bisa sampai meregang nyawa dikalahkan oleh Janu.Kijan, Andaka, dan para wakil perampok yang lain pun juga ikut kaget. Keringat dingin mengucur deras, kini tidak ada lagi yang mampu menahan serangan para murid Perguruan Pinus Angin. Beberapa langsung berlari melarikan diri, sebagian besar masih terdiam di tempat.Melihat Jalada tewas, Nyi Kupita langsung ambil langkah seribu. Dia pergi begitu saja dari hadapan Suli yang tadi sempat mela
Janu dan Wulung juga telah selesai dengan pondok terakhir di wilayahnya. Mereka mendengar keributan di sudut bukit, mereka pun lantas segera menghampirinya.Di satu titik, mereka melihat dari kejauhan beberapa murid tengah bertahan dari serangan para perampok. Di sisi lain, mereka juga melihat lawannya, Jalada, dengan amarahnya menyerang membabi buta.Malya pun terlihat tengah menghadapi Andaka yang sedang mengamuk seperti banteng kesetanan. Sementara itu Rangin yang sedari tadi sudah memisahkan diri tengah mengahadapi lima perampok sekaligus. Nyi Kupita yang hendak membantu Jalada juga tengah ditahan oleh Suli."Wulung, aku akan menghadapi Jalada! Kau urus anak buahnya." Tegas Janu."Tapi kak..." Ujar Wulung sedikit emosi. Dia juga ingin menghadapi Jalada.Janu menatap Wulung, matanya memancarkan keinginan yang sangat kuat. Beberapa saat Wulung mendesah. Dia pun mengangguk."Baik lah kak. Hati hati!" Ucap Wulung pelan. Dia kemudian berlari
"Kita bagi kelompok dalam empat penjuru! Aku ke utara, sisanya kalian bagi saja sendiri, siapa yang akan mengikutiku." Tegas Suli.Para murid pun langsung membagi menjadi empat kelompok, masing masing mengepung dari empat sudut bukit. Janu, Rangin, dan Wulung bergerak ke sisi timur. Sedangkan Malya, bersama murid murid yang lain mengepung dari arah selatan.Disini belum ada yang menyadari pergerakan para murid Perguruan Pinus Angin. Mereka melakukan penyergapan dengan sangat senyap dan tanpa suara, aura mereka pun bahkan dihilangkan. Dengan gesit mereka berjalan mengendap endap dari semak ke semak, pohon ke pohon.Setelah merasa cukup dekat dengan target, mereka langsung menghabisi para penjaga itu dengan senyap. Di luar, para penjaga yang berada di setiap sudut dihabisi tanpa sisa. Tidak ada suara apapun terdengar selain kematian.Para murid berhasil menyusup ke dalam menerobos pagar bambu. Mereka pun bergerak menuju ke pondok pondok yang tersebar disana
Melihat pemimpinnya kalah, para kera yang lain berhamburan ke segala arah. Bagai tubuh tak berkepala, kera kera itu seakan kembali ke sifatnya yang biasa, yang biasanya takut apabila melihat manusia. Dengan tewasnya Lutung Kasyapa, selesai pula tugas Janu dan kawan kawan di Masin. Para prajurit dan murid Perguruan Pinus Angin bisa bernafas lega, kewaspadaan mereka mengendor melihat para kera bergelantungan kabur dari lokasi itu. Para murid perguruan, termasuk Rakawan, terlihat kelelahan setelah bertempur dengan hebat dengan sang siluman. Murid murid dan prajurit yang terluka langsung diberikan pertolongan oleh para prajurit yang sehat. Dua minggu berlalu sejak penyerangan ke hutan Segorokayu, Janu dan ketiga rekannya kini sudah tiba di Lasem. Mereka tidak mau berlama lama di Masin, karena masih ada tugas yang harus dikerjakan di Lasem. Mereka harus membasmi komplotan perampok Tanduk Api yang bertahun tahun meresahkan warga. Di pusat kadipaten, mereka