Diujung, di dekat jendela, seorang lelaki misterius duduk menghadap makanannya. Lelaki itu mengenakan jubah agak kecokelatan, dan rambutnya sangat panjang menjuntai menutup punggung. Rambut bagian depannya menutupi hampir seluruh mukanya, hanya tampak dua bola mata tajam dan bibir tipis dari sela rambut. Sebuah caping dan pedang besar tergeletak di samping makanannya.
Wajah lelaki itu menunduk, seolah tidak peduli dengan sekitarnya. Walau begitu, rupanya dia sedari tadi menguping pembicaraan beberapa orang tadi. Beberapa kali dia mencuri pandang kearah meja yang ramai dengan orang orang.
Lelaki misterius ini berpikir dalam hati, siapakah Jalada yang dimaksud orang orang ini. Dari mendengar pembicaraan tersebut, muncul berbagai pertanyaan di benaknya. Salah satu yang dipikirkannya adalah tentang Jalada yang tampaknya lebih kuat dari para demang.
Setahu dia, para demang biasanya memiliki ilmu tenaga dalam mumpuni, dan sudah berada lebih dari tahap keempat. Apakah Jalada lebih kuat dari itu, ataukah ada sesuatu yang masih belum diketahui dari sini. Yang jadi pikirannya adalah apakah Jalada adalah salah satu murid dari sebuah perguruan tenaga dalam.
Disini perguruan tenaga dalam tidak begitu dikenal oleh masyarakat luas. Tempat ini sangat misterius, dimana hanya orang orang tertentu saja berada disana. Orang orang tersebut adalah mereka yang memiliki kesaktian yang tinggi dan beragam. Ada yang menguasai ilmu terbang, menghilang, serta jurus jurus lain yang mematikan.
Tidak sembarang orang bisa masuk kedalam perguruan tenaga dalam. Hanya orang orang dengan bakat dan keyakinan tinggi saja yang mampu masuk kesana. Bahkan keluarga kerajaan dan para pejabat pun juga susah untuk masuk kesana. Ujian masuknya berat, bahkan terkadang nyawa pun dipertaruhkan.
Sementara si lelaki misterius sibuk bertanya tanya, di tempat lain, disebuah halaman dekat pendopo, seorang anak bertubuh kurus sedang berlatih seorang diri. Anak itu memiliki sorot mata tajam, dengan rambut panjang terikat rapi, dan sebuah pedang kayu di tangan.
Dengan kuda kuda yang kuat, dia mengayunkan pedangnya ke sebatang pohon pisang. Entah sudah kali ke berapa dia mengayunkan pedangnya teraebut. Namun disini terlihat kalau batang pisang yang ditebasnya sudah agak koyak. Peluh mengucur deras di kening anak tersebut.
Di dekatnya, seorang lelaki tua sedang duduk di kursi kayu sambil menikmati buah yang terhidang di depannya. Dia menikmati buah tersebut sambil mengamati ke arah si anak yang sedang berlatih. Terkadang pula dia memberikan arahan kepada anak tersebut.
"Janu! Kuda kudamu sudah agak kendor, kencangkan lagi!" Teriaknya.
"Baik kakek!" Jawab si anak sambil membenarkan kuda kudanya.
"Kakek demang, kemarin kan aku sudah membawa kayu lima ikat, tadi bahkan sampai enam ikat, aku juga pagi tadi sudah memijit punggung kakek, tolonglah kek, kasih gerakan lain yang baru." Bujuk sang anak kecil.
"Hmm... Baiklah! Sekarang istirahat sebentar, habis itu akan kakek perlihatkan beberapa gerakan awal jurus pedang kabut."
"Baik kakek!" Ujar si anak girang. Anak itu mengakhiri kuda kudanya dan berlari menghampiri sang kakek.
Disana mereka bercanda gurau dan saling mengobrol. Terlihat keakraban antara kakek dan cucunya itu. Tak berselang lama, si kakek kemudian mempertunjukkan beberapa gerakan yang cukup lincah untuk orang tua seusianya.
Selesai sang kakek memperagakannya, kini giliran si anak kecil untuk menirukannya. Beberapa kali si anak melakukan kesalahan, hingga akhirnya dia mampu untuk benar benar menirukan.
Perlahan tapi pasti anak tersebut memeragakan jurus pedang kabut yang diajarkan si kakek. Tubuhnya meliuk liuk bagai angin, terkadang gerakannya cepat dan agresif, terkadang pula sangat pelan namun pasti. Gerakan gerakan mematikan dilancarkannya dengan sangat lincah, seolah dia sedang menari. Dari gerakan pertama hingga akhir mampu dilakukannya tanpa cacat.
Sang kakek yang tak lain adalah Demang Yasa mengamati setiap gerakan dengan cermat. Sambil mengelus elus janggut yang kini sudah tumbuh memanjang, dia mengangguk angguk bangga, senyum tipis menggantung di bibirnya. Dia tampak senang melihat perkembangan kemampuan si anak. Terlihat bakat dan kemampuan bertarung dari si anak.
Dari sini dia pun sedikit menerawang ke masa lalu. Masa dimana dia membesarkan si anak hingga sebesar ini. Masa dimana istrinya masih hidup dan ikut merawat si anak kecil itu. Disini rasa haru, sedih, dan bangga menyelimuti hatinya.
Janu, si anak kecil yang dilatih oleh Demang Yasa, tak lain tak bukan adalah bayi dari Rantini. Setelah ibunya meninggal saat melahirkan, bayi Janu diambil oleh Mbah Kunti untuk dibesarkan. Satu tahun kemudian Mbah Kunti meninggal karena usia. Sejak saat itu dia dirawat oleh keluarga sang demang dan Mbok Yah.Disini walaupun Janu dirawat oleh sang demang, namun dia tetap tinggal di rumah Mbah Kunti. Sesekali Mbok Yah dan Nyi Aluh bergantian ke rumah Mbah Kunti untuk merawat Janu.Janu pun juga sudah menyadari kalau kedua orang tuanya sudah meninggal dunia. Dia sudah diberitahu tentang cerita sepuluh tahun yang lalu. Dia juga tahu tentang Mbah Kunti, para perampok Tanduk Api, dan Mbah Bogel yang misterius. Sesekali dia pun pergi ke makam ibunya untuk sekedar membersihkannya.Janu bisa bertahan hidup selama ini berkat pertolongan sang demang. Oleh karena itu dia mencoba untuk ikut bekerja di rumah sang demang. Terutama sejak kematian Mbok Yah lima tahun lalu dan N
Awan tebal menyelimuti mentari pagi saat Janu keluar dari rumah Mbah Kunti. Dengan berbekal parang, sebuah kain, dan seutas tali dari rotan, dia siap berangkat ke hutan. Seperti biasa, setiap pagi dia mencari kayu bakar, buah buahan, rempah, dan tanaman obat di hutan.Di depan rumah, dia sudah ditunggu oleh salah satu kawannya untuk pergi ke hutan bersama. Anak itu bertubuh pendek, dan berusia sekitar delapan tahun. Dengan raut muka yang berseri seri dan pipi yang bulat penuh, membuatnya terlihat menggemaskan."Kak Janu, hari ini kita mau cari kayu dimana?" Tanya anak itu malu malu."Kemarin kita sudah ke Sungai Jambon, sekarang kita coba ke timur, ke Bukit Siloyo. Disana kan banyak pohon mangga tumbuh, siapa tahu sudah ada yang berbuah." Saran Janu.Belum lima langkah mereka berjalan, Janu berhenti sejenak. Sambil menatap anak itu, Janu bertanya, "Tunggu sebentar Wulung! Tarok, Basma, dan yang lain kok tidak kelihatan? Kemana mereka?""Eh, anu kak, emm
"Demang Yasa, mari kita buktikan siapa yang lebih kuat diantara kita." Ucap Jalada dengan angkuh."Sombong sekali! Sepuluh tahun lalu kau tidak bisa mengalahkanku. Sekarang pun anjing macam kau ini masih tidak pantas menjadi tandinganku!" Ujar sang demang dengan nada emosi.Senyum sinis tergambar di bibir Jalada, dia menoleh kepada kawanannya, "Anak buahku, lihat orang tua ini! Lihat bagaimana nanti dia mati! Tapi sebelumnya, aku ingin dia melihat bagaimana Janti yang dicintainya ini hancur, hahaha..."Mendengar tawa Jalada, amarah sang demang semakin memuncak. Tanpa kata, dia melompat menyerang Jalada yang masih berada diatas kudanya. Dengan gerakan cepat, sang demang hendak memukul kepala Jalada, namun dengan mudahnya lelaki itu menghindari serangannya. Jalada menghindar sambil melompat turun dari kudanya.Para penunggang kuda yang lain segera mundur untuk memberi tambahan ruang gerak bagi keduanya. Mereka tampak tenang menonton sang pemimpin bertarung deng
Janu sedang bersantai saat Wulung berkata kalau desa sedang dalam masalah. Dia pun menoleh ke arah desa. Tampak asap tebal mengepul dari arah desa.'Ada yang tidak beres.' Batinnya."Wulung, sepertinya ada kebakaran besar di desa. Ayo kita segera kembali!" Ajaknya sambil mengemas barang barangnya.Seusai mengemas perlengkapan dan kayu bakar, mereka segera berlari menuruni bukit ke arah desa. Sepanjang jalan, pikiran mereka berkecamuk, khawatir dengan kondisi desa.Tidak peduli dengan duri dan kerikil tajam, mereka terus saja berlari. Rasanya mereka ingin segera sampai ke desa. Mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi disana, kenapa ada kebakaran, dan apa penyebabnya.Sampai di penghujung desa, mereka melihat api sudah membubung tinggi di sekitarnya. Sontak mereka pun melepas kayu bakar yang digendongnya, lalu memanjat melewati pagar desa, masuk ke dalam desa.Sampai ke dalam desa mereka melihat rumah rumah warga tersambar api. Beberapa rumah mere
Di depan gerbang desa, para perampok tengah menyiksa sang demang. Mereka mengikatnya di sebatang pohon, lalu memukulinya beramai ramai. Sementara itu, Jalada duduk santai diatas sebongkah batu, sambil menyaksikan sang demang dipukuli anak buahnya.Di pinggir gerbang desa, empat orang duduk terikat dijaga oleh dua orang perampok. Wajah mereka babak belur, dan tubuhnya terluka cukup parah. Mereka adalah Ki Nambi, Dawis, dan dua orang prajurit Janti yang tersisa."Demang Yasa! Lihat sekarang desamu ini. Hancur lebur!" Cerca Jalada."Kakak, kenapa kita berlama lama disini? Bunuh saja mereka langsung, ambil hartanya, selesai." Cerocos Kijan."Nikmati saja dulu, toh dia sudah tidak bisa berbuat banyak." Balas Andaka."Tahu apa kau!" Ujar Kijan sinis. Dia kesal karena setiap gadis desa yang hendak dipermainkannya langsung dibunuh oleh Andaka."Tunggu saja, Lodra dan anak buahnya juga masih mengejar warga yang berhasil kabur. Kupita pun juga masih ada di
Ucapan Ki Nambi sangat keras terdengar, menggema sebelum kematiannya. Mungkin karena itu surga memberikan jawabannya.Sesaat dua perampok hendak menyeret Darwis ke tengah lapangan eksekusi. Dari balik gerbang, muncul sesosok hitam melompat. Dengan gerakan di udara yang cepat dan tangkas, sosok itu menendang dada kedua perampok. Keduanya yang tidak siap dengan serangan itu pun jatuh terpental.Jalada dan semua anak buahnya terkejut, seketika mereka membeku. Sang penyerang langsung mengeluarkan sebuah pedang besar dari balik punggungnya. Diayunkannya pedang itu ke arah para perampok yang berada di dekat Janu dan Wulung. Beberapa orang tidak sempat bereaksi, mereka terkena tebasan pedang besar itu."Kurang ajar! Tangkap anjing itu kemari!" Teriak Jalada marah.Dia memicingkan mata ke arah Nyai Kupita yang berada di sebelahnya. Dia mempertanyakan kenapa masih ada manusia yang bisa lolos dari wanita itu. Sang nyai yang dilirik tajam pun merasa canggung.
"Terima kasih tuan, sudah menyelamatkan kami." Ucap Darwis sesampainya mereka di tempat aman. Lelaki itu hanya tersenyum sambil menurunkan Janu dari kudanya."Maaf tuan kalau lancang, kalau boleh tahu, siapa nama tuan?" Tanya Darwis penasaran."Kau tidak perlu tahu siapa namaku. Yang pasti, aku tertarik dengan kedua anak ini." Tegas sang lelaki misterius.Ucapan sang lelaki itu datar, namun ada sedikit keangkuhan dibalik kata katanya itu. Disini Darwis sedikit kecewa dengan jawaban si lelaki misterius, namun begitu, dia masih memasang senyum yang agak dipaksakan. Janu yang sudah berhenti menangis juga diam saja. Dia tidak mau ikut campur urusan orang dewasa."Emm... Kalau boleh tahu, kenapa tuan tertarik dengan kedua anak ini?" Tanya Darwis kembali. Ditariknya Janu dari samping si lelaki misterius, berusaha untuk menjaga kedua anak tersebut.Melihat Darwis tampak gusar, sang lelaki mendesah. Dia kembali berkata, "Sepertinya kau tidak rela kalau ked
Desa Kemuning adalah sebuah dusun kecil di tengah hutan yang jumlah warganya tidak sampai seratus orang. Warganya sangat miskin, bahkan mereka tidak memiliki satu pun lahan persawahan untuk ditanami. Mereka hanya mengandalkan perburuan dan mencari hasil hutan saja. Rumah juga tidak ada satu pun yang terbuat dari tanah liat ataupun batu. Semuanya tersusun dari kayu atau bambu yang dibuat sedemikian rupa sehingga bisa didiami.Siang hari saat rombongan itu tiba, keadaan Desa Kemuning sangatlah berbeda. Banyak warga yang tumpah ruah berlalu lalang di luar rumah. Mereka tidak sedang mengadakan sebuah acara, namun disana semua tampak sibuk menerima para pengungsi. Ada yang sibuk mengobati luka, ada yang memasak untuk para pengungsi, ada pula yang menggeletakkan diri dimanapun mereka berada. Semua orang membaur dan saling menolong.Namun begitu, walaupun disana semua orang membaur, akan tetapi para pengungsi dapat dibedakan dengan warga asli. Pakaian kotor dan sobek, rambut