Gerobak kuda terus melaju kencang menuruni bukit hingga bertemu dengan sebuah jalan setapak. Jalan itu adalah salah satu jalur utama yang mengarah ke wilayah dalam Kademangan Janti. Disana terdapat pusat pemukiman warga dan pusat pemerintahan Kademangan Janti, sebuah kademangan yang dipimpin okeh seorang demang yang sangat adil bernama Demang Yasa.
Didalam sebuah rumah yang tampak paling besar di Kademangan Janti, tiga orang lelaki tergeletak di atas sebuah tikar bambu. Tubuh mereka penuh luka, baik itu luka tusukan, sayatan, maupun lebam. Dua orang dari mereka sudah tak bernyawa lagi, sementara satunya sudah berada di ujung nafas.
Di sekeliling tiga orang itu, beberapa orang lainnya menunjukkan ekspresi yang berbeda beda. Ada yang menerawang, serius, marah, sedih, cemberut, ada pula yang kelihatan bingung. Walau begitu, orang orang itu memiliki satu pertanyaan yang sama di benak mereka, mengapa gerombolan perampok Tanduk Api berani melakukan aksi penjarahan sampai ke Kademangan Janti.
Seorang lelaki paruh baya yang masih tampak gagah dengan kumis tipis duduk serius di depan ketiga lelaki yabg terbaring itu. Tangannya bersedekap, kepalanya tertunduk, dan raut wajahnya tegang. Tampak sekali bahwa lelaki itu sedang berpikir keras.
Di belakangnya, berdiri seorang wanita paruh baya berwajah lembut, berusaha membuatnya rileks dengan memijit pundaknya. Sementara itu beberapa orang di sekelilingnya diam seribu bahasa, mereka tidak berani mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran mereka sebelum sang lelaki tersebut berbicara.
Seorang lelaki muda tidak sabaran hendak berbicara sebelum tiba tiba disenggol oleh lelaki tua di sebelahnya. Mata rekannya itu berkedip mengisyaratkan untuk diam dahulu. Beberapa orang lainnya tidak berani membuka mulut, bahkan bernafas pun mereka atur sepelan mungkin agar tak terdengar.
Ketegangan dan keheningan itu pecah saat lelaki yang terbaring di tikar bambu bersusah payah mencoba bersuara.
"Tu-tuan demang, sekali lagi saya minta tolong..." Kalimatnya terbata bata, "Selamat-kanlah desa... kami."
Lelaki itu kemudian menghembuskan nafas terakhirnya setelah bersusah payah berucap. Di sebelahnya sang demang tertunduk dan mengangguk. Sebuah rasa yang amat sakit menghujam dadanya, sebutir air mata mengalir.
"Selama nyawa Demang Yasa ini masih menancap di dada, aku akan menghentikan kejahatan yang telah melukai Kademangan Janti! Itu janjiku." Sambil berucap, sang lelaki paruh baya menatap jasad yang sudah terbujur kaku dihadapannya.
Tampak dari siratan mata sang demang menunjukan tekad yang bulat dan amarah yang tak terbendung. Tangannya mengepal kencang, tak sadar kukunya menancap menembus kukit. Darah segar menyembul dari kulit yang terkoyak.
"Sesepuh sekalian, kalian sudah mendengar sendiri informasi tadi. Kalian juga telah melihat bagaimana tiga buah nyawa terbuang dihadapan kalian. Belum lagi entah berapa nyawa yang kita masih belum tahu. Para gerombolan perampok Tanduk Api yang selama ini terkenal di wilayah Kademangan Gunung Rahastra kini sudah berani menyerang hingga ke Janti. Sekarang saya akan meminta bagaimana pendapat para sesepuh dan mantri sekalian." Ucap Demang Yasa sambil menatap masing masing orang di dalam ruangan.
Lelaki muda yang sedari tadi sudah ingin bicara segera membuka mulut, "Tuan demang, apa yang dilakukan gerombolan Tanduk Api sudah sangat melebihi batas. Di wilayah Gunung Rahastra sendiri kabarnya banyak dukuh dan desa yang bahkan sampai diungsikan karena banyak warga yang tewas. Kalau gerombolan ini sudah berani melakukan kekacauan disini, maka saya takut wilayah Janti ini nantinya akan semakin banyak terjadi pertumpahan darah."
"Oleh sebab itu, saya Joko Seno, siap apabila diutus untuk membasmi gerombolan tersebut." Lanjutnya.
"Jangan gegabah dulu anak muda, sebentar. Tuan demang, maaf kalau saya lancang. Apa tidak lebih baik kalau kita pikirkan dahulu rencana yang lebih matang dan cari informasi lebih dalam tentang seberapa kuat gerombolan ini." Ujar salah satu sesepuh desa.
Seorang lelaki bertubuh kekar menyela, "Apa yang disampaikan Ki Nambi barusan ada benarnya juga, kita tidak boleh gegabah. Namun situasi disini sudah temasuk gawat, dua desa di perbatasan Janti sudah menjadi korban. Sampai kapan lagi kita harus menunggu? Apa harus ada korban jiwa lagi sebelum kita sadar kalau ini sudah melebihi batas?!"
"Darwis, jangan gegabah. Ingat! Demang Dhanacitra dari Gunung Rahastra saja kewalahan mencari dan melawan gerombolan itu! Apalagi disini kita tidak punya banyak informasi tentang kekuatan mereka. Yang kita tau hanya nama dan ciri ciri para pentolan mereka, namun kita buta akan kekuatan mereka."
"Maaf Ki Nambi, saya rasa kekuatan kita tidak kalah hebat dari mereka. Seberapa besar kekuatan sebuah gerombolan perampok dibanding kita yang pernah belajar ilmu tenaga dalam." Sahut Joko Seno kembali.
Ki Nambi ingin kembali berkomentar saat seorang warga tiba tiba berlari masuk ke dalam ruangan. Wajahnya sedikit panik, dan nafasnya tersengal. Dia segera menghadap sang demang.
Seorang warga desa masuk ke dalam ruangan tempat dimana para sesepuh berkumpul. Dengan wajah panik dan nafas tersengal dia menghadap sang demang."Tuan Demang, di gerbang desa! Gerbang desa!" Tangannya menunjuk nunjuk ke arah luar, nafasnya masih sedikit tersengal.Raut muka Demang Yasa mengkerut, ada apa gerangan di gerbang desa."Kenapa dengan gerbang desa?" Ujarnya."Di gerbang desa tuan. Ada sebuah gerobak kuda, isinya seorang wanita hamil lagi pingsan! Pakaiannya penuh bercak darah dan ada luka di tubuhnya."Demang Yasa sedikit mengernyit, "Sekarang dimana wanita itu?""Wanita itu sudah dibawa sama beberapa warga ke rumah Mbah Kunti." Jawabnya."Antarkan aku kesana sekarang! Ki Jogoboyo, tolong urus pemakaman ketiga mayat disini. Para sesepuh dan yang lainnya, ikut aku ke rumah Mbah Kunti. Pembicaraan ini aku tunda sampai kita disana!" Perintah Demang Yasa sambil beranjak keluar ruangan.Para sesepuh dan pejabat kademangan mengikuti
Mbok Yah keluar dari rumah dan membisikkan sesuatu ke telinga Demang Yasa. Dengan tenang lalu sang demang beranjak dari sana."Ki Nambi, Ki Tarso, Darwis, ikut aku masuk ke dalam. Sisanya tetap disini, kita bahas lagi setelah ini." Perintah sang demang kepada para pengikutnya.Keempat lelaki segera masuk ke dalam rumah, mengikuti sang wanita paruh baya.Di dalam bilik, wanita hamil itu tengah menangis tersedu sedu. Matanya sayu, dan tubuhnya sedikit menggigil. Tangannya tak henti menghapus air mata yang terus keluar.Kondisi wanita itu sudah mulai membaik dari sebelumnya. Tubuhnya penuh dengan balutan kain, sepertinya luka di tubuhnya sudah diobati, tercium dari bau ramuan tanaman obat yang sangat khas. Dia sudah diberi pakaian ganti yang lebih bersih.Mbok Yah melirik kearah sang demang, kemudian mengangguk. Seakan diberi kode, sang demang perlahan mendekati wanita muda itu. Di lantas duduk bersila dihadapan sang wanita."Nak, saya Demang Yasa, p
Sambil menghela nafas, kini Demang Yasa mulai menemukan titik terang dari semua informasi yang dia dapat. Dia kini dapat menyimpulkan kenapa dan bagaimana para perampok Tanduk Api yang biasanya menyerang wilayah Gunung Rahastra bisa berada di wilayah Janti.Penyerangan yang selama ini dilakukan oleh para perampok itu tak lain tujuannya adalah untuk menemukan gulungan kitab itu. Karena mereka tidak tahu siapa yang mengambil gulungan tersebut, maka mereka mencurigai suami dari Rantini yang berpapasan di hutan. Disitulah awal mula mereka menyerang semua desa di dekat hutan."Nak Rantini, sekarang ananda sudah aman disini. Beristirahatlah dengan tenang, pulihkan tenaga dan pikiran. Istri demang, Nyi Aluh, sebentar lagi kemari untuk menemani ananda. Mbok Yah dan Mbah Kunti juga selalu disini untuk menemani ananda.""Terima kasih tuan demang." Rantini kini sudah mulai tenang.Setelah memberikan perintah dan pesan kepada Mbok Yah dan Mbah Kunti, Demang Yasa dan Darw
Demang Yasa mencoba untuk menahan amarah, dia tampak tenang."Ada apa dengan sikap kalian ini? Datang kemari dengan senjata penuh darah di tangan. Siapa yang tahu sudah berapa banyak yang kalian sakiti. Aku tidak tahu apa yang kalian maksud, dan aku harap kalian segera pergi dari sini! Kalian tidak diterima di sini!" Tegas sang demang."Hahaha... Tuan demang tidak usah mengalihkan pembicaraan. Saya harap tuan segera menjawab pertanyaan saya.""Kau berani mengancamku?""Cuih... Andaka, tak usah basa basi lagi. Langsung saja kita hajar mereka! Semakin cepat kita mendapat gulungan itu, semakin cepat pula kita pulang ke markas. Aku sudah tidak sabar ingin mencicipi para gadis yang sudah kita tangkap." Sela lelaki kelabu dibelakang sang lelaki gemuk.Mendengar hal itu wajah Demang Yasa kian memerah menahan amarah. Dalam hatinya semakin dingin, dia ingin segera menghajar para perampok itu. Namun disisi lain, kesadarannya terus mengingat para warga desa yang l
Sesaat Andaka dan anak buahnya mulai mundur, dari arah pepohonan muncul beberapa orang misterius yang segera datang mengepung pasukan Janti. Seorang lelaki kekar dengan bekas luka di pelipis mata berjalan ke arah Demang Yasa. Dia tertawa, dan tawanya sangat berat mengerikan."Kakak! Kau datang juga akhirnya. Sekarang si tua bangka ini bisa kita habisi bersama." Cicit Andaka."Hahaha... Memalukan sekali kau Andaka, hanya melawan satu orang tua saja sudah kewalahan. Sekarang menyingkirlah! Biar aku yang menghadapinya.""Baik kak." Andaka segera menyingkir, wajahnya memerah."Muncul juga sang kepala ular. Namamu Jalada kan? Sekarang rasakan seranganku ini!" Teriak Demang Yasa.Tanpa pikir panjang Demang Yasa langsung menyerang Jalada, sang pemimpin perampok Tanduk Api. Pedangnya mengarah tepat ke perut Jalada, siap menyobek kulit dan dagingnya.Dengan segenap tenaga Jalada berusaha menghindari serangan itu. Lantas dikeluarkannya sebuah golok dari sar
Di sudut pusat kademangan, enam orang misterius berlari dari luar. Di belakang mereka dua jasad sudah terbujur kaku bersimbah darah.Beberapa saat mereka berlari, salah satu dari mereka memberi kode, lantas mereka berpencar. Satu orang yang memberi kode memisahkan diri berlari ke suatu arah. Sisanya lima orang menuju ke sebuah rumah yang terdapat dua penjaga di halamannya.Satu orang yang memisahkan diri berlari ke sebuah rumah joglo paling besar. Di pendopo rumah tersebut ada empat orang yang tengah berjaga. Berbeda dengan sudut sudut terluar pusat kademangan, rumah tersebut tidak ada penerangan yang cukup. Hanya ada dua obor di depan pintu rumah dalam dan obor obor yang dibawa para penjaga.Sesaat satu sosok tersebut berlari kearah keempatnya. Tanpa kata dia mengeluarkan sebuah cambuk yang langsung diayunkan kearah salah satu penjaga.Para penjaga yang mengira satu sosok tersebut adalah warga Janti pun merasa kaget. Mereka terlambat menghindar. Serangan
Sang wanita berhasil keluar gerbang desa, dia sama sekali tidak memikirkan nasib kelima rekan yang ditinggalkannya. Dia pun melihat Demang Yasa dan Jalada masih bertarung sengit di luar gerbang desa, dia lantas menghampirinya.Cukup dekat wanita itu berada, dia melakukan beberapa sentakan tangan. Dua buah pisau melayang kearah Demang Yasa.Sang demang yang tidak melihat kedatangan si wanita merasa ada yang tidak beres, intuisinya mengatakan kalau dia sedang berada dalam bahaya. Dengan reflek yang cukup cepat sang demang melompat mundur beberapa langkah.Benar saja, dua buah pisau melayang tepat melewati tempat Demang Yasa berdiri sebelumnya. Pisau itu terus melaju sampai akhirnya menancap di pohon.Sejenak setelah melancarkan serangannya, si wanita berlari mendekati Jalada. Dia memperlihatkan sebuah bungkusan besar kepada Jalada, mulutnya tersenyum lebar. Jalada yang melihat bungkusan itu pun lantas tertawa keras. Dihampirinya wanita itu dan dipeluknya.
"Niti, ada apa?" Tanya sang demang kepada si remaja."Begini tuan demang, saya disuruh Nyi Aluh untuk meminta tuan demang menemui beliau di rumah Mbah Kunti."Ada apa gerangan di rumah Mbah Kunti, pikir sang demang. Tanpa basa basi lagi dia segera bergegas menuju ke rumah Mbah Kunti, diikuti oleh si remaja dan Ki Nambi.Sampai disana, Demang Yasa merasa ada yang aneh dan ganjil. Dari kejauhan tampak rumah Mbah Kunti agak sedikit rusak di bagian depan, dinding rumah yang terbuat dari bambu hancur. Semakin mendekat, terlihat lima mayat berpakaian hitam tergeletak di depan rumah.Kondisi mereka sangat aneh, mata mereka terbelalak dengan pupil mata yang memutih, bekas darah kering menempel dari sela mata.Entah apa yang sudah terjadi, sang demang pun segera menuju ke dalam rumah. Sesaat di depan rumah dia mendengar suara tangis bayi, membuatnya jadi menduga duga. Di dalam, dia segera disambut oleh beberapa wanita paruh baya yang sibuk kesana kema