Daniel membawakan segelas coklat hangat untuk Arman.
Mereka duduk santai di kursi malas, di dekat kolam renang rumah Daniel."Langitnya cerah sekali malam ini. Banyak bintang yang terlihat jelas. Cahayanya juga sangat cantik," puji Arman sambil menengadahkan kepalanya ke atas."Iya, benar. Malam yang indah. Tapi rasanya sangat aneh,""Aneh kenapa?" tanya Arman heran sembari menoleh ke kakaknya."Ya, aneh saja. Dua orang pria menikmati langit yang indah hanya berdua. Seharusnya suasana seperti ini bisa jadi romantis kalau aku duduk bersama Tamara. Tapi denganmu, rasanya menggelikan," canda Daniel dengan ekspresi wajah yang jijik.Arman meninju lengan kakaknya seraya berdecak kesal."Aduuh, sakit tahu," Daniel mengelus-elus lengannya."Makanya jangan bercanda,"Lalu keduanya tertawa bersama."Man, kamu ingat saat kita masih kecil, waktu Nenek masih ada. Nenek sering mengajak kita duduk di balkonManda melangkah masuk ke ruang makan, di mana kedua mertuanya, Sarah dan ibunya sedang sarapan.Seketika pandangan sinis Mama Andien, Sarah dan ibunya tertuju padanya.Hal itu membuat Manda jadi canggung dan ragu untuk duduk bersama mereka."Manda, ayo kemarilah," sambut Papa Hendra."Iya, Pa," sahut pelan Manda.Baru saja akan berjalan, tiba-tiba Arman muncul dan berdiri di sampingnya."Pagi," sapa Arman pada kedua orangtuanya."Pagi, Sayang. Ayo, kita sarapan bersama," sambut hangat Mama Andien."Duduk sini, Man," Sarah menepuk kursi di sebelahnya.Arman sempat melirik ke Manda sebentar. Kemudian dia tersenyum padanya."Aku gak salah lihat, kan? Mas Arman ... tersenyum padaku?" batin Manda, tertegun dengan apa yang dilihatnya.Alih-alih duduk di sebelah Sarah, Arman lebih memilih kursi di samping Mamanya.Melihat Manda yang hendak duduk di samping Arman, Sarah bergegas mengh
"Arman dan Manda ... kami gak akan bercerai. Arman sudah memaafkan Manda dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya,"Mama Andien, Sarah dan ibunya terperanjat dengan keputusan Arman.Mendengar hal itu, Manda juga tercengang. Matanya berkaca-kaca terharu. Dadanya terasa lebih lapang."Apa?!!" seru Sarah beranjak diri."Kamu ... memaafkan perempuan ini?! Aku gak salah dengar, kan? Perempuan desa ini sudah mengkhianatimu dan kamu gak menghukumnya?!" ucap Sarah marah dengan menuding ke arah Manda."Arman, pikirkan kembali keputusanmu! Perempuan ini jelas-jelas sudah mencoreng nama baik keluarga kita! Melukai harga dirimu sebagai suami! Apa kamu lupa itu?!" protes Mama Andien."Maaf, Ma. Ini keputusan akhir Arman. Arman harap Mama mengerti," pinta sopan Arman."Keputusanmu ini salah! Mama gak mau menerimanya!!""Ma, Mama gak boleh memaksa Arman mengubah keputusannya. Kita harus menghargainya," bela Pap
"Bu Clarkson, tolong jangan pergi. Kita bisa bicarakan ini baik-baik," bujuk Mama Andien pada besannya."Gak ada lagi yang perlu dibicarakan. Penghinaan ini sudah cukup saya terima. Saya gak bisa membiarkan Sarah terus-menerus disakiti hatinya!" ucap marah ibu Sarah sambil mengepak baju ke dalam koper."Kami ini keluarga terhormat, Bu Andien. Putra Anda sudah merendahkan putri kami dan lebih memilih perempuan lain yang derajatnya di bawah kami. Apa istimewanya perempuan itu?! Dibandingkan Sarah, dia gak ada apa-apanya. Tapi Arman malah menyingkirkan Sarah!""Bu Clarkson, saya mohon, Bu. Saya juga gak terima dengan sikap Arman. Saya juga gak sudi memiliki menantu seperti Manda. Tolong, Anda tenanglah. Saya akan coba membujuk Arman sekali lagi," pinta Mama Andien."Sudah berakhir, Bu! Saya sudah sakit hati pada Arman! Saya gak mau lagi menganggapnya sebagai menantu saya!" tolak tegas ibu Sarah."Sarah, bersiap-siaplah. Kita akan pergi dari
Tet ... tet ... Daniel membunyikan klakson mobilnya, ketika melihat Arman dan Papanya hendak masuk ke dalam rumah.Setelah memarkirkan mobilnya, Daniel sekeluarga turun dari dalam mobil, lalu menghampiri mereka berdua."Opaa," sapa anak-anak Daniel berlari memeluk Papa Hendra.Papa Hendra menyambut gembira kedatangan cucu-cucunya.Daniel dan Tamara juga menyapa Papa Hendra dan Arman."Papa darimana?" tanya Daniel."Keluar sebentar sama Arman tadi," jawab Papa Hendra."Mama di rumah, Pa?" tanya Tamara."Iya, Mama di rumah. Ayo, masuklah,"Papa Hendra, Tamara, dan anak-anak berjalan lebih dulu di depan. Sementara Daniel sengaja memperlambat jalannya bersama Arman."Hei, Man. Jadi bagaimana? Katanya hari ini kamu mau memberitahuku soal keputusanmu," tanya Daniel dengan suara pelan."Jadi Kakak sengaja ke sini karena mau tahu itu aja?" ujar Arman."Bukan karena itu aja. Aku juga k
Kesadaran Manda perlahan mulai kembali. Dia membuka matanya pelan-pelan. Penglihatannya yang buram sedikit demi sedikit mulai jelas."Di mana ini?" batinnya.Manda memandang heran ke atas langit-langit ruangan yang terasa asing baginya.Saat ini dia terbaring di tempat yang tidak dikenalnya.Kepalanya masih terasa pusing dan badannya juga lemas."Perutku," gumamnya ketika merasakan nyeri. Perlahan Manda menggerakkan tangannya untuk menyentuh bagian perutnya yang nyeri."Jangan dipegang,"Arman menahan tangan istrinya supaya tidak bergerak.Manda menoleh pelan ke arah Arman, yang sedang duduk di kursi, di dekat ranjangnya."Mas," panggilnya dengan suara lirih."Lukanya belum kering. Jangan dipegang dulu," ucap lembut Arman."Ini ... di mana, Mas?""Di rumah sakit,""Kenapa?""Kamu gak ingat? Kamu terluka. Mas membawamu kemari untuk diobati,"Manda yan
Dua orang petugas polisi wanita membawa Sarah ke sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu, Arman sedang berdiri menunggunya.Melihat Arman datang untuknya, wajah murung Sarah berubah menjadi ceria."Arman," Sarah berlari memeluknya."Bisa tinggalkan kami berdua, Bu?" pinta sopan Arman pada kedua petugas polwan itu."Silakan, Pak," mereka memberi kesempatan Arman untuk bicara dengan Sarah."Sayang, aku yakin kamu pasti akan datang. Kamu gak mungkin tega meninggalkanku di sini," ucap Sarah dengan tersenyum lega.Arman melepas paksa pelukan Sarah."Kenapa aku gak tega? Justru aku datang ke sini untuk memastikanmu gak bisa bebas dari hukuman!" tegas Arman dengan nada dingin."Arman ...?" Sarah menatap mata suaminya dengan kecewa."Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi setelah apa yang kamu perbuat pada Manda?! Jangan mimpi!" Arman mencengkram erat kedua tangan Sarah."Arman ... sakit," rintih Sarah.
Tiga hari kemudian ...."Arman," panggil seseorang saat Arman baru saja keluar dari mobilnya.Arman menoleh ke sumber suara itu. Ternyata itu suara Bram. Dia menunggu Arman di parkiran rumah sakit."Ngapain ke sini?" tanya Arman dengan nada dingin."Aku gak mau mencari masalah. Hanya ingin bicara padamu saja," sahut Bram dengan tenang."Ada apa? Mau minta ijin menjenguk Manda?" ujar Arman dengan sinis."Aku datang bukan ingin bertemu Manda. Walaupun sebenarnya ingin, tapi pasti gak kamu ijinkan,""Katakan saja apa maumu? Aku gak punya banyak waktu," desak Arman dengan kesal."Sifat pemarahmu masih belum hilang, ya. Padahal sudah kubilang, aku gak mau cari masalah,"Arman diam sejenak. Dia coba meredakan emosinya."Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Arman dengan sikap lebih tenang."Aku mau minta maaf," ucap tulus Bram.Arman terdiam mendengar ucapan Bram."Aku minta
POV MANDAAku dirawat di rumah sakit selama seminggu. Dan selama di sana, banyak orang yang datang menjengukku. Keluarga, teman-teman, dan beberapa orang yang mengenal keluarga kami. Mereka datang silih berganti.Tetapi yang paling setia menemaniku adalah Mas Arman. Setiap hari dia selalu datang ke rumah sakit untukku, bahkan setiap malam dia selalu menjagaku.Ada perasaan bersalah yang tersirat dari wajahnya setiap kali Mas Arman melihat luka di perutku. Walaupun aku sering menghiburnya, tapi beban itu belum juga hilang dari raut wajahnya.Bebannya semakin bertambah saat Bapak dan Ibu datang melihatku. Ibu marah besar waktu itu. Ibu menyalahkan Mas Arman atas apa yang terjadi padaku.Mas Arman hanya bisa diam menerima semua amarah Ibu. Aku merasa kasihan padanya. Bapak dan aku berusaha untuk menenangkan Ibu, tapi usaha kami sia-sia. Bahkan permintaan maaf dari Mas Arman belum bisa menyurutkan kemarahan Ibu.Alhamdulillah dengan