BRUAGH!
Amanda melempar tasnya ke atas meja dan duduk di bangkunya sambil memasang wajah cemberut. Cewek cantik itu terlihat sangat kesal hari ini. Natasha yang sudah datang duluan, keheran-heranan melihat sahabatnya yang datang ke sekolah seperti tanpa semangat itu. Namun Natasha pun tahu, tiap kali Amanda seperti itu pasti sudah terjadi sesuatu gara-gara ulah si kembar. Dan Natasha penasaran, apa yang terjadi hari ini? "Kenapa lo, Man?" tanya Natasha. "Muka lo sepet banget pagi ini?" Tubuh Amanda yang seolah-olah sudah tidak kuat menahan kepalanya itu akhirnya menjatuhkan kepalanya di atas meja. Amanda seperti tak punya tenaga apa-apa hari ini mengingat tadi pagi dia sudah mengerahkan semua tenaga yang dia punya untuk kejar-kejaran ala Tom & Jerry dengan si kembar. Bayangkan saja, hari ini Amanda mendapatkan banyak 'hadiah' spesial dari kakak kembarnya yang super jahil. Dimulai dari sengaja diam-diam memasang sepuluh jam beker di kamarnya yang membuat Amanda terjatuh dari tempat tidur karena kaget, mematikan aliran listrik saat Amanda sedang mandi, menyembunyikan baju seragamnya, sampai sengaja menjalankan mobil dan meninggalkan Amanda---membuat sang adik tersayang harus berlari mengejar mereka. "Hari ini jauh lebih parah dari sebelumnya," jawab Amanda dengan lemas tanpa tenaga. "Si kembar yang freak itu lagi kumat-kumatnya pagi ini, dan gue satu-satunya sasaran kejailannya di rumah." Natasha bukannya prihatin, justru dia tersenyum saja. "Ya nggak apa-apa kali, Man. Lumayan juga kan bisa buat hiburan lo di pagi hari." Sedikit kesal dengan ucapan sahabatnya, tetap tidak membuat tenaga Amanda muncul lagi. Dia tetap malas mengangkat kepalanya. "Kalo gini terus, gue yakin gue bisa cepet tua sebelum waktunya." "Yeeee ... lebay lo." "Hello eperibodeeeeehhh ...." Terdengar suara lantang dari seorang cowok bertubuh cungkring bahkan hampir nggak bisa dibedakan sama ikan teri kurang gizi itu memasuki ruang kelas, memecah keheningan sambil melambai-lambaikan tangan bak Miss Universe gagal. Dialah Benny. Suara Benny yang bikin kuping rusak itu berhasil membuat Amanda mengangkat kepalanya dan melihat tampang tuh cowok yang pagi ini ceria banget, berbanding terbalik dengan Amanda. "Hai, Sayang," sapa Benny semesra mungkin pada Natasha, kemudian mengedip-ngedipkan matanya penuh arti. "Hai, Ben," balas Natasha. Senyuman Benny pun lenyap. "Kok gitu sih, balesnya?" "Kenapa?" Natasha bingung. "Tadi aja aku bilang 'Sayang', kok kamu Ban Ben aja, sih? Yang mesra dong, Sayang!" "Nggak usah lebay deh, lo." Benny pun nyengir-nyengir aja. "Eh, pagi Amanda. Muka lo jelek banget pagi ini?" Amanda cuma melirik kesal ke arah Benny. Untuk sesaat Amanda pun penasaran, apa bener kalau tampangnya pagi ini seburuk itu? "Eh, Man. Lo pindah ke belakang, dong. Hari ini gue kepengen duduk sama cewek gue, nih." "Lo ngusir gue dari bangku gue sendiri?" Amanda mulai galak. "Gue bukannya ngusir lo," Benny meralat, "gue minta tolong sama lo. Ya, Man? Biarin gue duduk di sini sama cewek gue. Gue lagi kepengen mesra-mesraan nih, sama Natasha. Kepengen nyium Natasha." "HEH!" Natasha yang keberatan langsung berteriak seketika. Benny menampar mulutnya sendiri. "Sorry, salah ngomong. Maksud gue, kepengen nyium bau parfum Natasha." Sebenarnya Amanda malas untuk mengikuti permintaan Benny, tapi begitu melihat Natasha yang sepertinya juga sedang ingin duduk bersama pacarnya hari ini, sebagai sahabat yang baik, Amanda pun terpaksa mengalah. Mengalah demi kebahagiaan sahabat kan tidak ada salahnya sama sekali. "Ya udah, gue duduk di belakang." Amanda mengambil tasnya dan pindah ke bangku di belakang sebelah kanan. Bangku Benny. Benny terlihat seneng banget dan langsung menduduki bangku Amanda, lalu ngobrol-ngobrol sama Natasha. Tidak lama kemudian bel masuk berbunyi dan beberapa menit kemudian, guru mata pelajaran pertama pun memasuki kelas mereka. Pak Geral, guru mata pelajaran Biologi sekaligus wali kelas 12 IPA 2. Kedatangan Pak Geral yang selalu tepat waktu ini merupakan hal biasa untuk semua siswa, tapi yang membuatnya tidak biasa adalah seseorang yang sekarang mengekor di belakangnya. Seorang cowok yang wajahnya masih asing untuk semuanya. Siapa dia? Anak baru? Dan dalam sekejap, anak baru itu sudah menjadi pusat perhatian seluruh siswa di kelas itu. "Selamat pagi, anak-anak," sapa Pak Geral sambil meletakkan tumpukan buku yang dia bawa ke mejanya. Pagi, Paaaaakkkk!" sahut semuanya serentak. "Saya membawakan kabar baik untuk kalian semua. Karena hari ini kalian kedatangan teman baru. Ini dia." Pak Geral menoleh ke arah cowok itu dan tersenyum bahagia. "Ayo, perkenalkan diri kamu di depan semua teman-teman kamu dan ceritakan sedikit tentang kamu." Cowok itu sekarang menatap seluruh isi kelas sudah bisa dengan kelas melihat wajah cowok itu bukan lagi dari samping tapi dari arah depan langsung. Para cewek pun langsung terpesona dengan kegantengan cowok itu, sementara para cowok merasa bakalan ada saingan baru di kelas. Cowok itu memang ganteng, tapi dia kelihatannya sangat judes. Terlihat jelas dari wajahnya yang tanpa ekspresi maupun senyuman itu. Semuanya terlihat datar. Amanda bertopang dagu melihat cowok itu. Sama sekali tidak terpesona seperti teman-teman ceweknya yang lain. "Nama saya Alvan," ujar cowok itu singkat. "Nama panjang kamu?" tanya Pak Geral. "Kenzie Alvan Ganendra." 'Ken? Kenzie?' Amanda merasa sepertinya dia pernah mendengar nama itu sebelumnya. Tapi lupa dimana. Hal yang paling dibenci Amanda adalah lupa. Tapi sesaat kemudian Amanda pun berpikir mungkin bukan hal yang penting untuk diingat. Pak Geral masih menunggu Alvan menceritakan sesuatu tentang dirinya, tapi ternyata Alvan diam saja. Dia sudah selesai memperkenalkan dirinya. "Sudah selesai?" tanya Pak Geral tidak yakin plus heran. "Sudah." "Oh, baiklah, Kenzie---" "Alvan aja Pak," ralatnya. "Iya, Alvan. Silahkan kamu duduk di bangku kosong itu. Ah, ya. Itu di sebelah Amanda kosong, kan?" Jantung Amanda mendadak berdebar saat Pak Geral menunjuk bangku kosong di sebelahnya. Dia juga menyempatkan dirinya untuk celingukan mengamati seluruh kelas, dan bangku kosong yang dimaksud Pak Geral cuma ada di sebelahnya. Yang lainnya penuh. Berarti Amanda harus duduk dengan cowok itu? "Silahkan," ujar Pak Geral lagi. Alvan mengangguk ringan lalu berjalan menuju ke bangku Amanda. Amanda langsung menggeser tempat duduknya ke ujung kursi saat cowok itu mulai duduk di sebelahnya. Berusaha menjauhkan dirinya sejauh mungkin dari cowok itu membuat Amanda hampir jatuh dari kursi panjang yang sekarang didudukinya. "Baiklah kalau begitu, anak-anak. Kita mulai pelajarannya sekarang, ya. Buka buku pelajaran kalian halaman 20." kata Pak Geral memulai pelajarannya. "Dan buat Alvan ... karena kamu belum punya bukunya, kamu bisa memakai buku Amanda. Amanda, kamu harus berbagi buku kamu dengan Alvan, ya?" Amanda cuma melirik sinis ke arah Alvan, cowok dingin yang sekarang duduk di sebelahnya. Cowok itu terlihat tidak peduli dengan apa yang dikatakan Pak Geral, bahkan Amanda yakin meskipun dia tidak mau berbagi buku dengannya, dia juga tidak akan peduli. Tapi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Amanda merasa harus menjelaskan sesuatu dan itu terpaksa membuatnya menggeser tempat duduknya mendekat ke arah Alvan. Tapi dia kaget karena tiba-tiba sebuah penggaris ukuran 30 cm teracung tepat di depan matanya, hampir saja penggaris itu mencolok kedua matanya. "Jangan deket-deket," ujar Alvan dingin tanpa menoleh ke arah Amanda. Amanda kembali menggeser sedikit tempat duduknya, seenggaknya jarak aman yang pas dan Alvan bisa mendengar suaranya dalam volume kecil. "Gue cuma mau ngelurusin sesuatu aja sama lo. Sebenernya ini bukan bangku gue. Jadi kita nggak bakalan sebangku selamanya. Cuma selama jam pelajaran ini aja. Jadi ntar setelah istirahat, gue bakal pindah ke depan. Tenang aja, kita nggak bakal sebangku lagi, kok." Alvan menoleh ke arah Amanda dengan tampangnya yang ... ya ampun! Menyebalkan. "Apa gue nanya?" "Enggak." "Terus? Penting gitu buat gue?" ujar Alvan ketus. "Kalo pelajaran lagi berlangsung itu harusnya lo diem. Niat buat belajar apa enggak, sih?" lalu kembali menatap lurus ke depan. Pak Geral sedang sibuk menjelaskan materi pelajaran mereka hari ini. Sebisa mungkin Amanda menahan dirinya untuk tidak menonjok wajah cowok itu. Dia yakin, kalau si kembar yang berbuat menyebalkan seperti itu Amanda pasti akan melayangkan pukulan minimal bisa membuat wajah datar itu babak belur. Amanda pun pelan-pelan kembali menggeser tempat duduknya ke ujung kursi seperti semula.Jam istirahat Amanda meminta Benny kembali ke tempat duduknya, tapi Benny menolak dengan alasan ternyata duduk sebangku dengan pacar sendiri itu menyenangkan. Dan Benny tidak pernah mau pindah. Membuat Amanda kesal."Ben, lo gimana, sih? Tempat lo itu kan di belakang, ngapain lo mau dudukin bangku gue? Ngaak. Gue nggak mau. Pokoknya lo harus pindah ke belakang. Gue nggak mau duduk sama cowok freak itu." Amanda membicarakan Alvan tidak peduli walaupun cowok itu masih duduk di bangkunya. 'Sebodo amat!' Pikir Amanda.Alvan juga tampaknya nggak peduli. Dia memilih untuk bangkit dan pergi keluar kelas, melewati Amanda dengan sikap cueknya.Amanda melirik sinis ke arah perginya Alvan, kemudian kembali beralih ke Benny menyelesaikan masalahnya."Nggak mau." Benny bersikeras. "Gue udah ngerasa cocok duduk di bangku ini, Man. Udah sayang dan lengket banget sama bangku ini. Tahu gini, kenapa nggak dari dulu aja gue duduk di sini dan lo duduk di belakang." "Banyak omong lo. Cepet sana pindah k
"Hai, kenalin, kenalin." Benny mengulurkan tangannya di atas meja untuk siap bersalaman dengan teman baru."Nama gue Subenny Arianto Budiman, biasa dipanggil dengan nama 'Benny' aja."Tapi Alvan sama sekali tidak peduli dengan tangan Benny yang terulur ke arahnya. Dia melihat sekilas ke arah Benny yang tersenyum, tapi kemudian kembali melanjutkan makannya.Senyuman Benny sedikit lenyap, tapi dia tetap berusaha tersenyum lebih lebar lagi ketika dia mulai mengingat sesuatu. Dia tarik kembali tangannya yang terulur."Oh, oke. Nggak apa-apa. Tapi lo tahu nggak, kalo gue hari ini kayak ngalamin semacam déjà vu dalam hidup gue. Setahun yang lalu gue juga ngalamin hal ini. Kenalan sama temen baru yang akhirnya jadi sahabat baik gue."Alvan tetep tak peduli."Ah, iya. Kenalin, ini Natasha pacar gue. Hehehehe ...." Benny dengan bangga memperkenalkan Natasha.Alvan mengangkat kepalanya dan menatap Natasha tanpa ekspresi. Tetap dengan tatapan datarnya.Natasha berusaha tersenyum semanis mungkin
Amanda menyapa pak satpam yang kebingungan karena hari ini Amanda datangnya pagi sekali. Suasana sekolah masih sepi, cuma ada beberapa anak saja yang sudah datang. Dan Benny? Amanda yakin cowok belum datang. Benny itu selain terkenal bawel dia juga terkenal sebagai tukang ngaret. Natasha aja hampir puluhan kali mau mutusin dia gara-gara telat datang ke tempat janjian. "Tumben Neng, datengnya pagi banget?" tanya pak satpam. Amanda nyengir saja menAlvanpinya. "Iya dong, Pak. Saya ini kan murid teladan di sekolah ini. Tadi aja saya naik bus masih sepi, belum pada bangun semua orang. Hehehehe .... " Pak satpam ikut tertawa mendengarnya. "Selamat belajar ya, Neng." "Makasih, Pak." Amanda tidak mau terlalu lama menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan pak satpam. Sekarang dia harus cepat berlari menuju kelasnya untuk menduduki bangku kesayangannya. Langkahnya pun berhenti di depan kelas 12 IPA 2. Tapi saat dia akan membuka pintu kelas, pintunya tidak bisa dibuka. Masih terkunci? Ti
Sore ini Amanda mendatangi sebuah makam di pemakaman umum. Sebuah batu nisan bertuliskan Hafiz Revaldy Ardiansyah dia pandangi sejak kedatangannya ke tempat itu. Dia berjongkok lumayan lama sejak meletakkan sebuah buket bunga mawar di atas makam itu. Suasana perkuburan yang sangat sepi serta angin semilir membuat suasana sedikit mistis. Namun tidak membuat Amanda untuk segera pergi meninggalkan tempat tersebut. Sudah lama dia tak datang berkunjung ke makam itu dan dia ingin sedikit lebih lama berada di sana. Tersirat ada sebuah kesedihan di wajahnya, tapi sebisa mungkin dia menutupinya dengan sebuah senyuman. Amanda tahu, orang yang dikunjunginya tidak pernah senang melihatnya bersedih atau pun menangis. “Maaf udah lama nggak jenguk kamu,” ujar Amanda pada makam itu. “Aku kangen banget sama kamu, Al. Nggak kerasa ini udah satu tahun sejak hari itu. Dan aku masih tetap tepatin janji aku, kok.” Semilir angin menggerak-gerakkan surai panjang Amanda yang tergerai. Amanda merasakan u
Siang ini, Bagas---salah satu kakak kembar Amanda menelepon bahwa dia tidak bisa menjemput sang adik ke sekolah karena mereka ada pelajaran tambahan. Bukan semacam kursus atau semacamnya, tapi merupakan hukuman untuk mereka karena ketahuan lagi ngejahilin teman sekelas sampai pingsan. Benar-benar keusilan tingkat tinggi mereka. Karena tidak ada jemputan, Amanda terpaksa naik bus kota yang penuh sesak dengan anak-anak SMA juga sama sepertinya. Untuk beberapa saat Amanda pun heran, apa dari ratusan bahkan ribuan anak sekolah di Jakarta ini semuanya naik bus kalau pulang sekolah? Kenapa bus selalu penuh begini? Dan kenapa juga pemerintah tidak menambah jasa angkutan bus umum saja? Berdesak-desakan dengan orang-orang di dalam bus membuat Amanda merasa sesak dan juga panas. Apalagi bukan sekali atau dua kali kakinya keinjek sama orang lain. Maklumlah, kalau suasana bus yang penuh sesak itu pasti semua orang tersiksa di dalamnya. Amanda adalah salah satu penumpang yang tidak beruntung
Setelah ulangan selesai, Bu Wanda menyuruh siswa yang duduk di barisan paling depan untuk mengumpulkan kertas ulangan teman-temannya lalu mengumpulkannya ke meja guru. Tepat setelah semua kertas ulangan terkumpul di meja Bu Wanda, bel tanda istirahat pun berbunyi. Bu Wanda berpamitan dan berjalan keluar kelas. Semua siswa langsung lemas seketika, mereka tidak berniat keluar kelas untuk sekedar makan siang untuk isi perut. Mengistirahatkan otak mereka dengan tidur sebentar jauh lebih baik daripada berdesak-desakan di kantin untuk memesan makanan. Toh mereka tidak akan mati hanya karena tidak makan siang sehari saja. Tapi mereka akan mati kalau otak mereka terus bekerja tanpa istirahat. Dan mereka pun memilih pilihan kedua untuk tidur sebentar di kelas sampai jam istirahat habis. Amanda menyangga kepalanya yang rasanya mau pecah. Dia pasrah saja apa yang akan terjadi dengan ulangan kimia nya hari ini. Semua soal terlihat blank di otaknya, dan semuanya hanya dia kerjakan secara asal
Semenjak kehadiran Alvan di sekolah, membuat Amanda menjadi malas untuk berangkat ke sekolah. Mengingat hal-hal buruk apa dan ejekan-ejekan apa lagi yang bakal diterimanya dari cowok itu, bahkan untuk bangun pagi pun sekarang Amanda malas. Lebih baik dia seharian di rumah daripada harus melihat wajah judes tuh cowok. Tapi Amanda tahu semua itu tidak mungkin dia lakukan, karena Laras---sang mama pasti akan marah-marah dan mengancam akan memasukkan Amanda ke asrama. Jelas Amanda tidak mau dan terpaksa memilih untuk tetap berangkat ke sekolah meskipun harus bertemu lagi dengan Alvan. Satu bangku pula. Natasha sih enak, dia satu bangku sama pacar sendiri. Sementara Amanda? Dia harus duduk sebangku sama teroris yang kabur dari tahanan gara-gara mempunyai kelainan mental. Baru kali ini juga Amanda merasa kalau Natasha dan Benny benar-benar berbahagia di atas penderitaannya. Salah satu alasan Amanda malas ke sekolah hari ini adalah, karena Bu Wanda akan membagikan hasil ulangan K
Mata besar Bu Lily yang galak itu langsung menatap langsung ke arah Amanda, membuat Amanda kebingungan. “Amanda, apa yang kamu lakukan? Benar kamu nggak fokus sama pelajaran saya?” “Hah? Enggak kok, Bu. Saya mendengarkan dengan sungguh-sungguh, kok. Dia aja yang ngasal, Bu.” Amanda berusaha menutupi kegugupannya dengan tersenyum semanis mungkin, biarpun dia tahu hasil senyumannya tidak bisa benar-benar manis dalam keadaan genting seperti ini. Bu Lily pun mengetes Amanda dengan memberinya pertanyaan sebagai bukti Amanda mendengarkan pelajarannya atau tidak. Dan jelas saja Amanda tidak bisa menjawab pertanyaan Bu Lily, orang sejak tadi dia memikirkan hal lain yang tidak ada hubungannya sama pelajaran. Bu Lily langsung marah dan menyuruh Amanda untuk membuat kliping tentang kebudayaan dengan bahasa Inggris minimal 20 halaman yang harus dia kumpulkan minggu depan. Hukuman akan ditambah kalau Amanda tidak mengerjakan tugas itu. Pada saat Amanda melirik Alvan, dilihatnya cowok
"Semua orang pernah mengalami rasa sakit saat kehilangan seseorang yang kita sayangi. Tapi terus-terusan menyimpan rasa sakit itu di hati, cuma bakal bikin kita terus-terusan terpuruk dalam kesedihan. Lo harus belajar buat bisa menerima semua itu meskipun tahu itu sulit.” “...” “Lo juga pasti bisa.” Amanda memegang bahu Alvan. “Yang harus lo lakuin cuma satu kok, Van. Lo harus coba buat buka hati lo untuk menerima Mama tiri lo dan juga Arga. Kalo hal itu udah bisa lo lakuin, gue yakin hal berikutnya pun lo juga pasti bisa ngelakuinnya.” “...” “Terima mereka semua yang sayang sama lo. Bikin hati lo jangan pernah menolak kasih sayang mereka semua. Dan yang paling penting lo harus bisa coba buat memaafkan diri sendiri. Selama lo belum bisa memaafkan diri lo sendiri, lo nggak bakalan bisa memaafkan orang lain.” Alvan masih diam dan membiarkan Amanda memberikan nasihat padanya. Baru kali ini Alvan menerima nasihat semacam itu dari orang lain, karena biasanya tidak ada orang
Alvan tidak menjawab pertanyaan si kembar, dia cuma menatap mereka berdua dengan wajah tidak berdosanya seolah-olah memang tidak mau menjawab pertanyaan seperti itu. Dia sudah kembali ke sifat dinginnya dengan mengabaikan pertanyaan si kembar lalu menikmati teh hangatnya untuk menghangatkan tubuhnya. Melihat sikap cuek Alvan, si kembar pun tidak kehabisan ide dan langsung bisa menafsirkan sendiri apa jawaban yang seharusnya diberikan Alvan pada mereka. Sudah diputuskan setelah keduanya saling beradu pandang sebentar, bahwa Alvan dan Amanda memang punya hubungan yang tidak biasa. “Oke, kalo emang lo nggak mau jawab,” ujar Bagas. “Gue sebagai kakaknya berhak tahu siapa-siapa aja cowok yang udah deketin dia. Gue harus tahu bibit, bebet, dan bobotnya tuh cowok, pantes apa enggak buat pacaran sama adik gue.” “Betul itu.” Bagus mengacungkan jempol tepat di depan Alvan. “Lo harus tahu dulu apa syarat-syarat yang harus dipenuhi cowok yang bakal jadi pacarnya Amanda.” “Pertama...” Ba
Cowok itu berdiri mematung di depan pintu gerbang rumah Amanda dengan hati yang hancur. Dia tidak bisa melupakan apa yang dia dengar di rumah tadi tentang kebenaran yang baru saja dia ketahui. Alvan masih belum sanggup untuk bertatap muka dengan papanya lagi karena itu cuma akan memunculkan kemarahannya saja. Alvan memutuskan untuk tidak pulang malam ini. Dan tempat yang bisa dikunjungi Alvan hanyalah rumah Amanda. Bahkan di sini pun Alvan tidak bisa melakukan apa pun meskipun cuma sekedar memanggil Amanda untuk menemuinya. Dia tetap berdiri di bawah hujan dan kilatan petir. Membiarkan tubuhnya basah kuyub diterjang hujan dan nggak peduli apakah nanti petir-petir menakutkan itu akan menyambar tubuhnya atau tidak. “Itu beneran Alvan.” Amanda sekarang benar-benar yakin dan percaya kalau orang yang dilihatnya itu adalah Alvan yang dia kenal. Amanda berlari menuju lemari di sudut ruangan dan mengambil sebuah payung berwarna kuning dari sana, lalu dengan kilat tanpa menutup pintu l
“Kamu sudah pulang?” “MAMA!” Arga berlari ke arah mamanya dan memeluknya. “Arga, kamu sudah pulang Sayang?” tanya mamanya sambil tersenyum. “Udah dong, Ma. Tadi Arga seneng banget, Ma. Arga main seharian sama Kak Alvan dan Kak Amanda.” Nayla tahu Arga begitu bahagia. Tapi melihat situasi sekarang, dia tahu tidak baik kalau Arga ada di sana melihat hal buruk yang mungkin akan terjadi antara Andra dan Alvan. “RORO! RORO!” Bi Roro datang tergopoh-gopoh dari belakang. “Iya, Nyonya.” “Kamu ajak Arga ke kamar, ya? Mandiin dia. Nanti soal makan malamnya biar saya yang suapin.” Bi Roro mengangguk. “Baik, Nyonya. Arga, ayo kita mandi.” Arga pun pergi ke belakang dengan Bi Roro. Dengan langkah berat, Andra berusaha mendekati Alvan untuk memastikan apa Alvan mendengar semuanya atau tidak. Kalau pun Alvan mendengar, apa saja yang didengarnya dan tugas Andra adalah memberikan penjelasan agar Alvan mau mengerti meskipun dia tahu itu akan sangat sulit. “Van .... “ Andra berusaha menyentuh
Setelah naik bianglala, masih banyak wahana-wahana permainan yang mereka naiki. Amanda memaksa Alvan karena Arga yang memintanya. Amanda juga menyuruh Alvan yang bayar semuanya. Tentu saja Alvan ngomel – ngomel lagi karena merasa sudah dipalak habis-habisan hari ini. Tapi semuanya masih belum selesai, mereka pun membeli es krim dan makan es krim bertiga. “Senyum!” Amanda siap memotret Alvan dan Arga. Arga tersenyum manis ke arah kamera, sedangkan Alvan tetap dengan wajah juteknya dan tidak mau melihat ke kamera. Pada saat itu Arga melihat beberapa badut sedang bernyanyi dan bergoyang dengan banyak anak kecil sambil membagikan banyak balon. Arga ingin ke sana dan Amanda memaksa Alvan untuk ikut dengan mereka. Sudah bisa dipastikan kalau Alvan pasti menolak mentah-mentah bermain dengan banyak anak kecil seperti itu, tapi Amanda memaksanya dan menariknya berlari ke arah badut. Arga gembira sekali mendapat balon dari badut. Amanda tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan satu detik pun
Amanda kaget, ternyata mereka sudah sampai ke kelas dan Amanda tidak sadar karena terlalu serius menasihati cowok itu. Dia langsung ikutan berbelok dan masuk ke dalam kelas. Tanpa paksaan apa pun, kali ini Amanda duduk dengan Alvan. “Terserah gue ya, gue mau duduk di mana.” Kali ini Amanda tidak mau ambil pusing berdebat mengenai bangku. Masalah itu sudah basi dan sekarang bagi Amanda dia mau duduk dengan siapa aja nggak masalah. “Pokoknya lo harus mau ngelakuinnya.” “Ngelakuin apa?” Alvan kesal dan jadi nggak mood untuk membuka bukunya karena cerocosan Amanda. “Gue nggak mau ngelakuin apa pun yang lo suruh. Emangnya lo siapa ngatur-ngatur gue harus gimana?” “Gue Amanda. Gue guru lo.” Alvan tertawa sinis mendengar hal konyol itu. “Guru? Guru apaan? Sejak kapan cewek berotak ayam macam lo ini bisa jadi guru gue? Nggak usah ngimpi deh, lo.” Amanda memukul Alvan dengan bukunya. “Gue ini bukan otak ayam.” “Kenapa lo mukul?” Alvan mulai sewot. “Emang lo ini suka banget
Amanda heran. Dia sempat berpikir kalau dia sedang mimpi saat mengatakan hal itu. “Kenapa gue harus marah?” Amanda speechless. “Apa aja yang udah berhasil lo pelajari dari Aldy selain kebahagiaan?” Tidak pernah dia duga sebelumnya kalau ternyata Alvan menerima ucapannya yang dia kira mimpi tadi. Alvan tidak marah dan justru tertarik dengan kata-kata Amanda tentang hal yang dia pelajari dari Aldy? Apa benar cowok ini serius ingin tahu? “Kenapa diem?” “Hah? Oh ... eh .... “ Amanda jadi salah tingkah dan tetap bingung. Tapi meskipun bingung dia senang Alvan ternyata tidak seburuk yang dia pikir. “Untuk mendapatkan kebahagiaan itu mudah, kok. Tiap orang pasti bisa melakukannya. Karena itu lo harus berubah sekarang. Dan hal pertama yang harus lo lakuin untuk mendapatkan kebahagiaan itu adalah memaafkan diri sendiri.” Memaafkan diri sendiri? Itu memang hal yang selama ini belum bisa Alvan lakukan? Karenanya dia masih belum bisa memaafkan kesalah papanya di masa lalu karena d
“Bukan gue yang suka sama pantai. Tapi orang lain.” Jawaban Amanda sukses membuat Alvan menatap cewek itu dan melupakan keindahan ombak yang dari tadi dia perhatikan. “Aldy?” Amanda mengangguk. Alvan tiba-tiba berhenti berjalan dan menarik tangan Amanda, mengajaknya duduk di atas pasir halus pantai yang sejak tadi mereka injak-injak untuk dirasakan kehalusannya. Dengan terpaksa Amanda menurut dan duduk di samping cowok itu sambil menekuk lutut dan menatap lautan lepas. Ombak masih terus datang. Suaranya yang menggelegar dan umumnya membuat orang lain yang mendengarnya merasa ngeri, tapi tidak untuk Amanda dan Alvan. Ombak itu indah dan hanya bisa mereka temui kalau mereka sedang berada di pantai saja. “Lo lagi ada masalah, ya?” Amanda sudah sejak tadi menahan dirinya untuk nggak bertanya hal ini, tapi dia sudah tidak tahan lagi. Daripada dia terus terbawa masa lalu yang mengingatkannya pada Aldy, Amanda merasa lebih baik mengobrol dengan Alvan. “Kalo pun iya gue ngga
“Duh, siapa sih nih, yang nimpukin gue pake beginian?” Amanda mengomel-ngomel sendiri sambil memegang kaleng kosong yang sudah penyok itu. “Nggak lihat ada orang lagi jalan, apa?” Mata Alvan melebar melihat Amanda berada sekitar lima puluh meter di depannya. Hebat juga tendangannya, bisa menendang kaleng sampai sejauh itu. Tapi buru-buru Alvan melupakan tentang kehebatan tendangannya itu, karena dia yakin pasti akan ada kejadian sebentar lagi. Dia tadi pergi dari rumah dengan tujuan untuk menghindari pertengkaran dengan papanya, tapi sekarang dia malah mendapat masalah baru. Bertemu dengan Amanda saat ini sudah bisa dipastikan akan memicu masalah baru. Pertengkaran yang tidak bisa dielakkan lagi. Untuk mencegah semua itu terjadi, Alvan cepat-cepat memutar tubuhnya dan berjalan menjauhi Amanda. Berharap cewek itu tidak tahu kalau dia yang menendang kaleng ke arahnya. Toh Alvan juga tidak sengaja melakukannya. Dengan tegang, dia melangkahkan kakinya panjang-panjang meninggalkan Am