"Mas, minum obatnya dulu." Rara mengangsurkan segelas air mineral dan dua buah obat yang berbeda bentuk dan warnanya pada Evan. Malam itu, saat keduanya baru saja selesai makan berdua."Harus di minum, Dik? Kan aku udah sembuh." tanya Evan dengan muka memelas, dari kecil dia memang paling tidak suka bila harus di suruh meminum obat, dan memilih di suntik saja.Rara tak memperdulikan masam muka Evan, terus saja tangannya menyodorkan obat dan segelas air mineral.Tangannya bergerak mengambil obat di tangan istrinya, dan menelan dua obat itu langsung sekaligus, kemudian menegak habis air mineral yang sudah Rara sediakan."Makasih!" ujarnya sambil meletakkan gelas yang sudah kosong ke atas meja makan, kemudian melangkah meninggalkan Rara yang sedang memberesi meja makan, naik ke lantai atas.Dengan menggunakan bantal yang di susun tinggi di atas sofa panjang. Evan istirahat sambil menonton tv.Hingga Rara datang dan memilih duduk dengan meselonjorkan kakinya di sofa panjang yang lainnya,
Evan tertegun tak percaya, tentu saja hatinya sangat bahagia. Ucapan Rara yang baru saja ia dengar, tak pernah sebelumnya ia bayangkan sekali pun dalam mimpi. Namun ... terdengar nyata malam ini."Mas ... Kamu tidur ya?" tanya Rara, tangannya yang di genggam Evan, ia tarik paksa hingga tubuh Evan pun akhirnya berbalik menghadap ke arah istrinya, dengan mata terpejam.Melihat Evan yang tertidur karena matanya yang terpejam. Rara melapaskan genggaman tangannya dan membalikkan badannya memunggungi Evan.Entah kenapa air matanya tiba tiba menetes, kecewa, tak menyangka kalau dirinya bisa secepat itu mendapatkan tolakan dari Evan karena menginginkannya.Evan membuka matanya, saat ada gerakan dari tubuh Rara yang tak lagi menempel di tangannya, ia melihat pundak yang bergerak, membuat Evan tersadar kalau istrinya kini sedang menangis karena ucapannya."Maaf!" Evan yang merasa bersalah, karena telah membuat istrinya menangis, berbisik di telinga Rara.Kemudian mendekat badannya ke badan ist
Ratu memandangi lelaki separuh baya yang masih tertidur di atas ranjang yang di sisipi beberapa selang dan kabel yang menjadikan penghubung antara badannya dan mesin mesin, dan mengambil nafas panjang saat ingat bagaimana kehidupan pak Dimas.Sejak awal perusahaan berdiri, mbak Ratu sudah setia mendampingi pak Dimas sebagai sekretaris, itu sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu, saat dia belum menikah, bahkan baru lulus SMA.Sambil menunggu pak Dimas terbangun dengan sendirinya, Ratu memilih duduk di samping ranjang, tangannya mengambil sebuah buku tebal berukuran sedang yang ternyata sebuah Alquran dan terjemahannya, dari dalam tasnya."Ratu ...."Mbak Ratu yang sudah membuka mulutnya, spontan mengalihkan pandangannya ke arah suara yang memanggilnya tadi."Bapak sudah bangun? Apa ada yang ingin saya bantu untuk bapak?" tanya mbak Ratu. Seketika itu juga meletakkan kembali Al Qur'an ke dalam tasnya. Dan berdiri bersiap siap menerima perintah dari pak Dimas."Tidak ...." jawab pak Di
"Assalamualaikum ...." Rara masuk ke dalam rumah dari arah jalan garasi yang tembus ke arah dapur."Wa Alaikum salam, kok sudah pulang, Mbak?" jawab Mak yang hanya duduk di kursi di depan dapur sambil menonton tv yang memang di sediakan di sana."Iya, Mak. Gimana mas Evan, sudah minum obat, belum?""Sudah, Mbak. Tadi habis makan sudah saya sediakan obatnya tepat di samping piring makannya,""Yakin di minum, nggak?""Yakinlah, Mbak. Kan Mak sendiri yang lihat waktu obatnya di masukkan ke dalam mulut oleh mas Evan.""Oo ...." Mulut Rara membentuk huruf o hingga kelihatan bulat."Aku naik ke atas dulu ya, Mak. Mau lihat mas Evan dulu.""Mbak ... Saya mau pulang, sekalian ijin nanti sore saya ada undangan nikah tetangga sebelah rumah, boleh ijin nggak?""Nanti sore?""Iya .... Tapi semuanya sudah saya siapkan seperti biasa kok, Mbak.""Iya, nggak papa. Nanti kalau pas keluar pulang, jangan lupa di kunci pintunya ya, Mak.""Iya, Mbak. Makasih.""Iya!" Rara melanjutkan langkahnya naik ke
Rara terpaksa membuka mulutnya dengan mata melotot, membuat Evan yang melihatnya tambah gemas. "Kenapa nggak milih pakai mulut aja sih, Dik. Bikin tangan kotor aja." Evan menggerutu Namun bibirnya melebarkan senyum.Dengan jengah, dan memutar bola matanya, Rara memalingkan wajahnya dari arah Evan saat mendengar apa yang suaminya katakan.Kemudian Rara mengulurkan tangan mengambil piringnya yang kini ada di depan Evan. Tak ingin disuapin lagi oleh suaminya.Tapi secepat itu pula Evan menggenggam tangan Rara yang terulur tadi dengan tangannya kirinya yang bebas. "Aku bercanda, aku suka menyuapimu, walaupun yang sakit aku," goda Evan sambil menaik turunkan alisnya ke arah Rara."Kaaan, pasti belakangnya yang nggak enak," sungut Rara lagi, dengan muka cemberut."Hahahaha, gurau kok Sayang," ujar Evan yang lagi lagi mengulurkan tangannya yang berisi nasi lengkap ke arah mulut Rara."Habis makan, ikut aku yuk, ke rumah sakit, jenguk Pak Dimas. sekalian ambil flashdisk di mbak Ratu.""Mmm
"Tapi akibat ajaran gesrekku, Evan sukses lo," seru mbak Ratu hingga membuat Evan langsung melotot ke arah mbak Ratu.Namun bukannya terdiam, mbak Ratu malah semakin bersemangat untuk menggoda Evan yang di sambut dengan tawa oleh semua orang. Tak terkecuali Rara, yang sudah paham dengan sifat asli dari Ratu.Hingga akhirnya Irul masuk ke dalam kamar dengan kedua tangannya membawa dua kresek besar. Yang satu tampak terlihat berisi aneka buah buahan. Sedangkan kresek yang satunya tampak rapi berjejer ke atas box kotak dari karton.Irul menjadi penyelamat bagi Evan, karena setelah itu tak ada lagi godaan mbak Ratu kepadanya. Semua fokus teralih ke barang yang di bawa oleh Irul."Ini, Mas!" Irul meletakkan semua yang di bawanya di ranjang tempat mbak Ratu dan suaminya sedang duduk.Kemudian mendekati Evan yang sudah berdiri dari duduknya, untuk menyerahkan kembali kunci kontak mobil. Yang kemudian Evan berikan lagi pada Rara."Makasih, Rul!" ujar Evan sambil tersenyum."Saya juga makasi
"Bolehlah, tapi sebaiknya nanti saja saat aku sudah keluar dari rumah sakit." ujar pak Dimas seperti tanpa tenaga. Kemudian memalingkan Evan dan yang lainnya hanya bisa mereka- reka apa yang membuat pak Dimas tampak kembali tak bersemangat, tidak seperti yang beliau tunjukkan saat Evan dan Rara baru saja tiba. Hanya Ratu yang bisa memahami perumahan wajah bosnya.Terdengar suara adzan Maghrib di kejauhan memutuskan pembicaraan mereka. Semua terdiam mendengarkan suara adzan dan ini di jadikan suatu kesempatan oleh pak Dimas untuk memejamkan matanya.Rara mencolek lengan Evan. Memberikan isyarat melalui gerakan kepala dan mata pada suaminya agar segera pamit, pulang.Paham dengan yang di maui oleh Rara, Evan berdiri dari duduknya dan melangkah mendekati mbak Ratu setelah sebelumnya menganggukkan kepalanya berulang kali ke arah istrinya. "Mbak, flashdisk hasil dari Malaysia kemarin, di bawa nggak?" tanya Evan, yang menggerakkan kakinya untuk lebih mendekat ke arah mbak Ratu dan sua
"Sudah bangun?" tanya Evan saat terdengar suara pintu di buka, dan dirinya merasa tahu siapa orang yang membukanya walau tanpa harus menolehkan kepala."Mmm ...."Rara mendekat dan langsung duduk berdesakan di belakang Evan, dengan tangan melingkari dada suaminya, terpaksalah Evan yang mengalah menggeser duduknya maju sedikit."Kau kerja hari ini?" tanya Evan, dengan mata masih fokus ke arah laptop."Ya, sekarang tanggal di mana para pegawai ku mendapat gaji mereka, aku dan Nilla harus bertemu hari ini untuk menyelesaikan masalah keuangan. Kamu?"Apa mau aku antar?" Bukannya menjawab apa yang Rara tanyakan Evan malah menawarkan dirinya untuk mengantar."Tak perlu, niatmu itu mencurigakan?!" ujar Rara, yang menciumi leher belakang Evan gemas berulang kali. "Apa maksudmu?" tanya Evan dengan suara tinggi, dengan pandangan mata menatap lurus ke depan. "Kau mau nganterin aku apa mau ketemu dengan mantan, hah?" tanya Rara dengan tangan menarik telinga Evan pelan."Aku tersanjung, akhir