"Tapi akibat ajaran gesrekku, Evan sukses lo," seru mbak Ratu hingga membuat Evan langsung melotot ke arah mbak Ratu.Namun bukannya terdiam, mbak Ratu malah semakin bersemangat untuk menggoda Evan yang di sambut dengan tawa oleh semua orang. Tak terkecuali Rara, yang sudah paham dengan sifat asli dari Ratu.Hingga akhirnya Irul masuk ke dalam kamar dengan kedua tangannya membawa dua kresek besar. Yang satu tampak terlihat berisi aneka buah buahan. Sedangkan kresek yang satunya tampak rapi berjejer ke atas box kotak dari karton.Irul menjadi penyelamat bagi Evan, karena setelah itu tak ada lagi godaan mbak Ratu kepadanya. Semua fokus teralih ke barang yang di bawa oleh Irul."Ini, Mas!" Irul meletakkan semua yang di bawanya di ranjang tempat mbak Ratu dan suaminya sedang duduk.Kemudian mendekati Evan yang sudah berdiri dari duduknya, untuk menyerahkan kembali kunci kontak mobil. Yang kemudian Evan berikan lagi pada Rara."Makasih, Rul!" ujar Evan sambil tersenyum."Saya juga makasi
"Bolehlah, tapi sebaiknya nanti saja saat aku sudah keluar dari rumah sakit." ujar pak Dimas seperti tanpa tenaga. Kemudian memalingkan Evan dan yang lainnya hanya bisa mereka- reka apa yang membuat pak Dimas tampak kembali tak bersemangat, tidak seperti yang beliau tunjukkan saat Evan dan Rara baru saja tiba. Hanya Ratu yang bisa memahami perumahan wajah bosnya.Terdengar suara adzan Maghrib di kejauhan memutuskan pembicaraan mereka. Semua terdiam mendengarkan suara adzan dan ini di jadikan suatu kesempatan oleh pak Dimas untuk memejamkan matanya.Rara mencolek lengan Evan. Memberikan isyarat melalui gerakan kepala dan mata pada suaminya agar segera pamit, pulang.Paham dengan yang di maui oleh Rara, Evan berdiri dari duduknya dan melangkah mendekati mbak Ratu setelah sebelumnya menganggukkan kepalanya berulang kali ke arah istrinya. "Mbak, flashdisk hasil dari Malaysia kemarin, di bawa nggak?" tanya Evan, yang menggerakkan kakinya untuk lebih mendekat ke arah mbak Ratu dan sua
"Sudah bangun?" tanya Evan saat terdengar suara pintu di buka, dan dirinya merasa tahu siapa orang yang membukanya walau tanpa harus menolehkan kepala."Mmm ...."Rara mendekat dan langsung duduk berdesakan di belakang Evan, dengan tangan melingkari dada suaminya, terpaksalah Evan yang mengalah menggeser duduknya maju sedikit."Kau kerja hari ini?" tanya Evan, dengan mata masih fokus ke arah laptop."Ya, sekarang tanggal di mana para pegawai ku mendapat gaji mereka, aku dan Nilla harus bertemu hari ini untuk menyelesaikan masalah keuangan. Kamu?"Apa mau aku antar?" Bukannya menjawab apa yang Rara tanyakan Evan malah menawarkan dirinya untuk mengantar."Tak perlu, niatmu itu mencurigakan?!" ujar Rara, yang menciumi leher belakang Evan gemas berulang kali. "Apa maksudmu?" tanya Evan dengan suara tinggi, dengan pandangan mata menatap lurus ke depan. "Kau mau nganterin aku apa mau ketemu dengan mantan, hah?" tanya Rara dengan tangan menarik telinga Evan pelan."Aku tersanjung, akhir
Dengan langkah gontai, Rara masuk ke dalam tempat makan miliknya bersama Nilla, dengan di buntuti Fatim dari belakang.Namun Fatim berhenti di pantry untuk mengambil dan sekaligus membawakan minuman untuk dirinya sendiri dan untuk Rara.Sementara Fatim masih di bawah, Rara langsung naik tangga menuju ke ruangan kerjanya. "Ra ... apa kita bisa langsung ke Bank, sekarang? Kita bicarakan segala sesuatunya di dalam mobil nanti, mumpung masih pagi," ajak Nilla yang baru saja keluar dari ruangannya dan langsung mendapatkan Rara dengan tangan masih berada di handle pintu, akan membuka ruangannya."Ok!" jawab Rara, dengan tangan hanya membuka ruangan Namun tidak masuk ke dalamnya, kemudian dirinya melangkah beriringan bersama Nilla kembali turun ke bawah."Tim, kamu selesaikan apa yang aku katakan tadi di mobil ya, sementara, selama aku pergi sama Nilla." titah Rara saat dirinya bertemu Fatim di depan pantry."Baik, Mbak." jawab Fatim dengan tas yang berada di pundaknya, serta ke dua tan
"Sudah datang, Dik?" tanya Evan yang sedang duduk di depan TV, sambil memangku laptop di pahanya. Saat merasa ada seseorang yang tiba tiba sudah mencium pipi Evan dari belakang."Iya ...." jawab Rara yang kemudian melangkah di samping Evan, setelah tadi mencium pipi dan kening lelaki tampan itu."Tadi kata Mak, Mas belum makan apa pun ya, kenapa? Mau aku buatin sesuatu?" tanya Rara yang sudah duduk di samping kaki Evan yang sedang di selonjorkan, sambil mencium punggung tangan suaminya itu."Tidak usah, aku sendiri bingung dengan perubahan yang terjadi, setiap melihat nasi, teh dan roti. Perutku mual nggak tahan mencium aromanya." jawab Evan dengan wajah lemas tak bertenaga. Tangannya berhenti bergerak walau pun masih berada di atas keyboard laptop"Kamu sakit ya, mas? Pusing nggak? Bosan makan di rumah kali ya? Kamu mau makan di luar nggak?" Rara memberikan solusi karena tidak tega melihat suaminya yang lemas karena kelaparan."Ah masak iya cuman karena bosan makan di rumah bisa mu
"Habis ini kita jalan jalan dulu yuk, mumpung udaranya tidak begitu panas." ajak Evan yang sudah kekenyangan menghabiskan dua mangkok mie ayam.Sengaja ia mengajak Rara jalan jalan, suasana yang tidak begitu panas, dan mumpung ada kesempatan. Karena mereka berdua sangat jarang sekali menikmati hari berdua saja karena kesibukan pekerjaan mereka masing masing."Apa kamu mau kita bungkus lagi mie ayamnya untuk di bawa pulang, siapa tahu buat kamu makan nanti malam," usul Rara yang hanya bisa tersenyum melihat betapa buasnya Evan, tadi! Saat Evan menghabiskan dua mangkok mie. Bukannya menjawab pertanyaan Evan."Tidak usah, aku sudah kenyang banget ini. Eh ... Kamu kan belum makan? Pesan lagi, sana! Biar aku tungguin sampai kamu selesai makan." jawab Evan dengan tangan mengelus perutnya yang masih tampak rata walau pun sudah di masuki mie ayam."Lihat kamu tadi makan aku sudah ikut kenyang kok, Mas." sahut Rara."Kamu aneh, cuman lihat orang makan aja bisa kenyang, hahahaha!"Evan menatap
"Bagaimana, Van. Kamu sudah menyelesaikan laporan yang aku pinta kemarin?" tanya mbak Rini, pagi itu, saat terlihat olehnya wajah Evan yang baru saja masuk ke dalam ruangan.Evan tak segera menjawab pertanyaan mbak Rini. Dia letakkan dulu tas di atas meja kerja kemudian mengeluarkan flasdisknya. Dan meneruskan langkah menghampiri meja mbak Rini."Ini Mbak, tolong di periksa dulu, cari aja laporan Malaysia." Evan memberikan flashdisk yang tadi ia keluarkan dari tasnya ke tangan mbak Rini, yang masih duduk di belakang meja kerjanya, tengah menatapnya sambil tersenyum."Assalamualaikum." Suara mbak Ratu dari pintu membuat Evan dan mbak Rini spontan menoleh ke arah munculnya suara."Wah, kebetulan mbak Ratu mampir, aku mau mengembalikan sesuatu." Evan yang teringat dengan flashdisk kepunyaan mbak Ratu yang dipinjamnya saat di rumah sakit, kemarin.Evan bergegas kembali ke meja dan merogoh ke dalam tasnya."Ini, Mbak. Makasih ya flashdisk." Evan menyodorkan flashdisk ke arah mbak Ratu.
"Bagaimana?" Mbak Rini bertanya dengan tatapan lekat ke arah Evan."Nanti siang, Mbak ... Mau ikut nggak, sambil jalan jalan, nggak sumpek ya makan siang hanya di kantin kantor.""Makan siang di tempat istrimu ya, Van? Aku yang traktir.""Wooooaaaah siap dong." Semburat kegembiraan langsung menyeruak di wajah Evan."Aku ikut dong." Suara berat seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan kerja Evan dan mbak Rini sontak membuat keduanya mengalihkan pandangan ke arah pintu. "Assalamualaikum," sapa orang itu lagi, dengan senyum mengembang di bawah kumis tipisnya. Lelaki tampan berahang keras, yang tadinya hanya ada di ambang pintu kini melangkahkan kaki mendekati meja kerja Evan."Wa alaikumussalam." jawab Evan dan mbak Rini hampir bersamaan. Evan berdiri dari kursinya menyambut kedatangan rekan kerja meraka yang dari divisi yang berbeda."Gimana kapan berangkat?" tanya sang tamu kepada Evan."Hahahaha!"Seketika itu juga ruangan itu penuh dengan gelak tawa ketiganya."Kalau mas
Evan kembali melangkah sendirian ke rumah sakit, tampak olehnya Mama dan Ayah yang duduk di sisi ranjang tempat Rara berbaring. "Sudah kembali, Van?" tanya Mama saat mereka mendengar bunyi pintu yang di buka oleh Evan. "Iya, Ma." jawab Evan yang dengan senyum khasnya mendekati mereka dan mencium punggung tangan keduanya dengan Takzim."Kamu bawa apa?" tanya Mama yang melihat salah satu tangan Evan sedang menenteng sebuah kresek yang lumayan besar bentuknya."Aku bawa makanan untuk ayah dan mama, takutnya ayah dan mama tidak keluar karena menjaga Rara."Evan memberikan kresek warna hitam dengan logo wajah bapak tua itu pada mama. Kemudian menghampiri Rara yang memejamkan matanya. Tanpa bersuara lagi, pak Ali dan istrinya bangun dari kursinya dan melangkah mendekati ranjang kosong di sebelah ranjang pasien, yang menjadi fasilitas untuk kamar ber-vvip.Beliau berdua sepertinya sengaja memberikan Evan tempat untuk menemani Rara."Dia tidur, Van. Mungkin dia lelah karena nangis tadi."
"Aku merasa berdosa sekali telah beranggapan yang tidak tidak padamu, di masa lalu." ujar pak Dimas yang kembali terduduk di kursinya, wajahnya yang menunduk dengan pandangan nanar ke lantai."Ini terjadi karena ketiadaan kedua mertua kita, apalagi saat itu kak Bastian seperti tak lagi memperhatikan kedua adik perempuannya yang telah menginjak usia dewasa. Dia lebih memperhatikan Mieke karena saat itu cinta perempuan itu adalah segalanya bagi kak Bastian." jelas pak Hendra dengan mata menatap ke luar rumah seperti sedang mengingat kejadian kemarin."Apa maksudmu, Ndra?" tanya pak Dimas yang tak mengerti dengan penjelasan yang baru saja pak Hendra katakan "Ayah Nilla adalah kakak lelaki dan anak tertua dari keluarga istri kita. Namun Ayahnya Nilla yang awalnya sangat mencintai Mieke karena beranggapan cinta wanita itu tulus padanya, akhirnya berubah. Suatu ketika dia ingin tahu apakah Mieke akan tetap setia kepadanya atau berubah saat tahu kalau dia hanyalah seorang supir di keluarga
Di waktu yang sama .... Pak Dimas turun dari mobil dan berdiri tak jauh dari mobilnya, matanya menyapu dan menatap rumah asri di depannya, rumah sederhana dengan tembok berwarna biru, berpagar hanya sebatas pinggang orang dewasa. Dengan di dalamnya berjenis jenis tanaman berbeda disusun rapi dan indah. Tampaknya dia masih sangsi dengan apa yang di lihatnya, dia masih tak percaya, tangannya membuka ponsel yang sedari tadi ia genggam, di cocokkan nya lagi alamat yang ia dapat dari salah satu kaki tangannya. Dan alamat itu benar karena di tembok dekat pintu tertempel nama dan alamat lengkap, yang terbuat dari hiasan kayu. Sama seperti yang tertera di layar ponselnya. Pak Dimas melangkah mendekati pagar, dan membukanya dengan mudah karena ternyata tak terkunci. Dengan mata masih memperhatikan sekelilingnya. Pak Dimas melangkah masuk mendekati pintu rumah yang terdiri dari dua daun pintu bercat putih. Rumah yang sejuk dan nyaman. Angin bertiup dari segala arah. Dengan wangi b
Evan sebenarnya tahu kalau Rara sudah sadar dan tidak sedang tertidur, dia pasti juga sudah sangat mengerti kalau kedua orangtuanya datang, Namun mungkin sedang tak ingin melakukan apa pun karena sedang kehilangan."Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Evan yang melangkah mendekati ranjang pembaringan Rara.Tak ada jawaban, bergerak pun tidak. Evan hanya bisa kembali mencium kening Rara, dan melihat sepintas mata dari istrinya yang masih terpejam. "Sabar ya Sayang, Allah masih ingin menguji kesabaran kita," bisiknya pas di telinga Rara.Pun saat Ayah dan Mama kembali masuk ke dalam ruangan itu, Rara masih tetap membatu. Hingga saat seorang Dokter yang di ikuti dua perawat perempuan masuk ke dalam kamar untuk pemeriksaan rutin pun, Rara masih tetap terdiam walau kini matanya tak lagi terpejam."Mbak, tetap semangat ya, jangan sedih terus, nanti kalau sedih terus susah sembuhnya." Nasehat bu Dokter sambil mengajak bercanda, Namun Rara masih tetap bergeming.Sampai rombongan Dokter it
Mendengar penjelasan dari sang Dokter, Evan hanya bisa menggenggam jari tangannya sendiri kuat kuat, ada perasaan perih yang menyayat."Saya harap bapak tidak kecil hati, tolong berikan semangat buat istri bapak, karena biasanya perempuan yang baru saja kehilangan bayinya akan berubah menjadi wanita sensitif--gampang marah hanya kerana masalah masalah kecil," ujar Dokter perempuan itu dengan senyum perduli. "Apakah kami masih bisa punya anak lagi, Dok?" tanya Evan dengan wajah penuh harap. "Bisa! Tentu saja bisa, tidak ada kendala dengan rahim si ibu kok, pak," jawab Dokter dengan senyum yang menenangkan hati Evan."Yang penting sekarang adalah bagaimana cara bapak untuk menguatkan mental si ibu bahwa semua baik baik saja."Kembali Dokter memberikan pesan berharga buat Evan."Baik, Dok. Akan saya perhatikan semua yang dokter pesan. Terimakasih."Dokter perempuan separuh baya yang mengenakan hijab lebar itu hanya bisa tersenyum melihat ke kondisi Evan. Dan menganggukkan kepala mem
"Ya, kamu benar. Maaf kalau selama ini ayah tidak pernah menceritakan pada kalian, tapi bukankah kalian sudah mengatakan bahagia atas pernikahan ini?"Rara tak menjawab pertanyaan ayahnya, malah kini dia berpaling ke arah Evan, yang kini juga tengah memandangnya."Apakah kamu bahagia hidup bersamaku, Mas?" Dengan wajah serius, Rara bertanya pada Evan yang menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum saat mendengar istrinya bertanya."Alhamdulillah, insya Allah selamanya, aku bakalan bahagia dan akan membahagiakanmu," jawab Evan dengan rona muka serius, memandang silih berganti Rara, dan kedua mertuanya."Aamiin aamiin." sahut semuanya dengan penuh keyakinan."Jadi pengin muda lagi aku, Ayah." ujar Mama, dengan muka merajuk sambil memeluk satu lengan Ayah dan menggelayutinya mesra. "Hahahaha!"Tentu saja sikap Mama membuat Evan dan Rara terkekeh spontan. "Sudah malam, apakah kalian masih kekeh untuk pulang malam, ini?""Mungkin ada baiknya bila kita menginap saja, besok setelah subuh k
"Ayah sudah mendengar tadi dari Mama, cuma rasanya ayah ingin dengar langsung dari kamu Ra." Pak Ali yang baru saja turun dari lantai atas. Langsung mengambil tempat di depan Rara dan Evan yang sedang duduk di depan tv.Sengaja pak Ali menunggu suami anaknya datang agar dapat mendengar dari kedua pihak. "Tentang apa Ayah?" tanya Rara dengan perhatian beralih pada sosok yang masih tampan walau sudah berumur setengah abad."Apakah benar kamu hamil, Ra?" Ayah memandangi wajah putri dan menantunya secara bergantian seolah meminta jawaban jujur dari keduanya."Alhamdulillah, Ayah." Rara menjawab dengan seuntai senyum di bibirnya. Pak Ali bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Rara dengan mata berkaca kaca, di ciuminya setiap inci wajah Rara seolah sedang menciumi putrinya saat kecil."Alhamdulillah ...." ujarnya berkali kali.Rara hanya bisa tersenyum haru, matanya pun ikut berkaca kaca, di peluknya sang ayah dengan mata menatap Evan yang juga sedang menatapnya lekat."Kau harap kam
Sekejap Mama membulatkan mata, seakan tak mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari anak perempuan satu satunya, sambil mengucapkan syukur Alhamdulillah, tiada henti di pelukan Rara. "Kok Mama malah nangis? Harusnya Mama bahagia dong, sebentar lagi Mama bakalan di panggil Mbah uti." tanya Rara yang heran karena melihat mamanya terisak. "Sejak kamu datang tadi, hati mama terus menerus berdoa, semoga kepulanganmu kali ini bukan karena keinginanmu untuk berpisah dnegan Evan," ujar Mama dengan sangat lirih. "Mama ...." seru Rara yang ikut terharu dengan sikap mama. "Makasih ya Allah, akhirnya mama bisa bernafas lega sekarang. Kamu memilih untuk bersama walau dengan awal yang tak mengenakkan.""Ma ... kok gitu sih." sela Rara yang merasa tidak enak hati mengingat sikapnya dulu pada Evan."Sudahlah, nggak usah di pikirin lagi, dahewat kan?! Pokoknya mama sekarang senang, kamu nginap sini kan?" tanya Mama, beliau langsung berdiri menuju dapur."Aku belum bilang ke mas Evan kalau mau
Evan merenggangkan kedekatannya dengan Rara dan berbalik membuat mereka kini saling berhadapan dengan sangat intim."Makan kamu, boleh nggak, sih?" tanya Evan sambil tersenyum, kemudian dengan sigap mencuri kecup di bibir milik istrinya."Nggak!" jawab Rara, bahkan kini membalas pagutan bibir Evan dengan lincahnya. Mata mereka saling menatap lekat satu dan yang lainnya."Sudahlah, ayo kita cari sarapan sambil jalan jalan pagi." ajak Evan yang sudah bergerak turun dari ranjang."Aku mau pecel, Mas." seru Rara dengan semangat empat lima. Ikut bergegas mengikuti apa yang Evan mau.Pagi itu kali pertama mereka berdua jalan kaki keluar rumah berdua, tangan Evan posesif menggenggam jemari istrinya, tak membiarkannya terlepas walau sesaat.Beberapa orang tetangga mereka, yang terlalui. Terpesona melihat begitu romantisnya Evan dan Rara. terlihat mulai menyapa, bahkan ada yang berani menggoda keromantisannya pada sang istri."Mbak ....!"Evan dan Rara menoleh ke arah belakang, Sudah ada Mak