"Habis ini kita jalan jalan dulu yuk, mumpung udaranya tidak begitu panas." ajak Evan yang sudah kekenyangan menghabiskan dua mangkok mie ayam.Sengaja ia mengajak Rara jalan jalan, suasana yang tidak begitu panas, dan mumpung ada kesempatan. Karena mereka berdua sangat jarang sekali menikmati hari berdua saja karena kesibukan pekerjaan mereka masing masing."Apa kamu mau kita bungkus lagi mie ayamnya untuk di bawa pulang, siapa tahu buat kamu makan nanti malam," usul Rara yang hanya bisa tersenyum melihat betapa buasnya Evan, tadi! Saat Evan menghabiskan dua mangkok mie. Bukannya menjawab pertanyaan Evan."Tidak usah, aku sudah kenyang banget ini. Eh ... Kamu kan belum makan? Pesan lagi, sana! Biar aku tungguin sampai kamu selesai makan." jawab Evan dengan tangan mengelus perutnya yang masih tampak rata walau pun sudah di masuki mie ayam."Lihat kamu tadi makan aku sudah ikut kenyang kok, Mas." sahut Rara."Kamu aneh, cuman lihat orang makan aja bisa kenyang, hahahaha!"Evan menatap
"Bagaimana, Van. Kamu sudah menyelesaikan laporan yang aku pinta kemarin?" tanya mbak Rini, pagi itu, saat terlihat olehnya wajah Evan yang baru saja masuk ke dalam ruangan.Evan tak segera menjawab pertanyaan mbak Rini. Dia letakkan dulu tas di atas meja kerja kemudian mengeluarkan flasdisknya. Dan meneruskan langkah menghampiri meja mbak Rini."Ini Mbak, tolong di periksa dulu, cari aja laporan Malaysia." Evan memberikan flashdisk yang tadi ia keluarkan dari tasnya ke tangan mbak Rini, yang masih duduk di belakang meja kerjanya, tengah menatapnya sambil tersenyum."Assalamualaikum." Suara mbak Ratu dari pintu membuat Evan dan mbak Rini spontan menoleh ke arah munculnya suara."Wah, kebetulan mbak Ratu mampir, aku mau mengembalikan sesuatu." Evan yang teringat dengan flashdisk kepunyaan mbak Ratu yang dipinjamnya saat di rumah sakit, kemarin.Evan bergegas kembali ke meja dan merogoh ke dalam tasnya."Ini, Mbak. Makasih ya flashdisk." Evan menyodorkan flashdisk ke arah mbak Ratu.
"Bagaimana?" Mbak Rini bertanya dengan tatapan lekat ke arah Evan."Nanti siang, Mbak ... Mau ikut nggak, sambil jalan jalan, nggak sumpek ya makan siang hanya di kantin kantor.""Makan siang di tempat istrimu ya, Van? Aku yang traktir.""Wooooaaaah siap dong." Semburat kegembiraan langsung menyeruak di wajah Evan."Aku ikut dong." Suara berat seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan kerja Evan dan mbak Rini sontak membuat keduanya mengalihkan pandangan ke arah pintu. "Assalamualaikum," sapa orang itu lagi, dengan senyum mengembang di bawah kumis tipisnya. Lelaki tampan berahang keras, yang tadinya hanya ada di ambang pintu kini melangkahkan kaki mendekati meja kerja Evan."Wa alaikumussalam." jawab Evan dan mbak Rini hampir bersamaan. Evan berdiri dari kursinya menyambut kedatangan rekan kerja meraka yang dari divisi yang berbeda."Gimana kapan berangkat?" tanya sang tamu kepada Evan."Hahahaha!"Seketika itu juga ruangan itu penuh dengan gelak tawa ketiganya."Kalau mas
Evan langsung berdiri dan melangkah menuju ke meja kasir, Namun ternyata di luar dugaannya, Tina yang pergi dengan kesal tadi ternyata telah melunasi semua yang mereka pesan."Billnya mana, Van?" tanya mbak Rini yang melihat Evan sangat sebentar sekali di depan meja kasir, dan langsung berbalik arah kembali melangkah menuju ke arahnya."Sudah di bayar Bu Tina tadi." jawab Evan dengan alis yang sengaja ia naikkan berulang kali dan ujung bibir yang saling menjauh. Seakan ingin mengatakan surprise.Di sambut mbak Rini yang membulatkan ke dua matanya dengan sempurna, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja Evan katakan."Waaah, ternyata dia orangnya baik juga ya, Van?" ujar mbak Rini sambil tersenyum, berdiri dari kursi dan segera melangkah keluar dengan langkah santai sesaat setelah Evan memberikan isyarat untuk segera menemui pak Kafi yang menunggu di lobi."Tapi untung juga pak Kafi memberikan solusi tadi, andai di biarkannya aku sendirian terus, bakal lama perundingan ini se
"Om, aku pamit ke atas dulu ya, ada sesuatu yang harus aku lakukan." pamit Fatim pada Evan."Kok keburu? Nggak makan siang bareng kita dulu, Fat?" jawab Evan sambil tersenyum ke arah perempuan yang berdiri di samping kursi yang di duduki pak Kafi.Tanpa sengaja Evan melihat pak Kafi yang memandang Fatin dengan tatapan yang tidak biasanya."Eh Sampai lupa ngenalin temannya Om. Kenalin Fat ini pak Kafi. Dia teman Om di kantor tapi lain ruangan." Evan langsung memperkenalkan lelaki yang bersamanya, dan yang hampir dia lupakan."Fatim." ujarnya saat menyambut tangan pak Kafi. Evan tersenyum saat tangan Fatim dan pak Kafi masih tergenggam di udara. "Ehem ...!"Karena kaget, akhirnya ke dua tangan yang tergenggam tadi terlepas saat mendengar deheman dari Evan."Maaf." ujar pak Kafi yang langsung tersenyum salah tingkah. Begitu pun dengan Fatim."Saya permisi dulu, Om, pak Kafi." ujar Fatim yang sepertinya tidak mempermasalahkan kejadian barusan."Iya, Fat." jawab Evan."Dia, siapanya is
Evan masuk ke dalam rumah, setelah sebelumnya memarkirkan motornya di dalam garasi, dan menutup serta mengunci kembali semua pintu yang tadi di bukanya. Terlihat ada mobil milik Rara sudah terparkir manis.Melalui pintu dapur, Evan melangkah naik tangga. Tak terlihat Mak saat ia tadi melintasi dapur.Setelah meletakkan tas ke ruangan kerja, Evan masuk ke dalam kamarnya, membuka dan kemudian kembali menutup pintu kamar.Sepi! Hanya suara gemericik air dari dalam kamar mandi yang sepertinya menjawab apa yang ada dalam benak Evan.Dasi yang dari tadi sudah tak rapi lagi, dia buka lalu di letakkan begitu saja di sandaran kursi meja hias. Tiba tiba matanya melebar saat melihat benda yang sama seperti yang ia lihat di meja mbak Rini, kini ada di atas meja rias istrinya.Evan menghela nafas panjang, matanya menatap ke arah pintu kamar mandi dengan pikiran yang penuh dengan pertanyaan.Punya siapa? Dan kenapa?Merasa tak mendapatkan satu pun jawaban dari pertanyaannya sendiri. Evan kemudia
"Baca ...!" suruh Rara lirih, pas di telinga suaminya, sambil tersenyum kemudian mencium pipi kanan Evan, lama, sebelum akhirnya berdiri dan kembali ke sofa. Evan, dengan wajah terlihat masih sangat kesal, bangun dari rebahan dan langsung membuka amplop putih yang bertuliskan nama sebuah klinik terkenal di kotanya.Evan membaca surat itu, tak lama kemudian dengan mata berkaca kaca, dia menghampiri Rara dan langsung berlutut di depan Rara yang hanya bisa tersenyum memandanginya."Maap ...."Dengan mata berkaca kaca, Evan memeluk dan menciumi perut ramping istrinya sambil terus berucap maaf dengan suara lirih dan bergetar. Dia merasa berdosa telah berpikir yang bukan- bukan pada istrinya."Sudah dong mas, jangan bikin aku mandi untuk ke tiga kalinya, capek," rengek Rara saat Evan terus menerus menciumi perutnya, hingga dia menggelinjang geli.Evan tersenyum mendengar rengekan istrinya, ia pun kemudian bangkit dan kembali duduk di sofa tempatnya tadi. Tak lagi berniat menggoda."Kamu,
Evan merenggangkan kedekatannya dengan Rara dan berbalik membuat mereka kini saling berhadapan dengan sangat intim."Makan kamu, boleh nggak, sih?" tanya Evan sambil tersenyum, kemudian dengan sigap mencuri kecup di bibir milik istrinya."Nggak!" jawab Rara, bahkan kini membalas pagutan bibir Evan dengan lincahnya. Mata mereka saling menatap lekat satu dan yang lainnya."Sudahlah, ayo kita cari sarapan sambil jalan jalan pagi." ajak Evan yang sudah bergerak turun dari ranjang."Aku mau pecel, Mas." seru Rara dengan semangat empat lima. Ikut bergegas mengikuti apa yang Evan mau.Pagi itu kali pertama mereka berdua jalan kaki keluar rumah berdua, tangan Evan posesif menggenggam jemari istrinya, tak membiarkannya terlepas walau sesaat.Beberapa orang tetangga mereka, yang terlalui. Terpesona melihat begitu romantisnya Evan dan Rara. terlihat mulai menyapa, bahkan ada yang berani menggoda keromantisannya pada sang istri."Mbak ....!"Evan dan Rara menoleh ke arah belakang, Sudah ada Mak