"Om, aku pamit ke atas dulu ya, ada sesuatu yang harus aku lakukan." pamit Fatim pada Evan."Kok keburu? Nggak makan siang bareng kita dulu, Fat?" jawab Evan sambil tersenyum ke arah perempuan yang berdiri di samping kursi yang di duduki pak Kafi.Tanpa sengaja Evan melihat pak Kafi yang memandang Fatin dengan tatapan yang tidak biasanya."Eh Sampai lupa ngenalin temannya Om. Kenalin Fat ini pak Kafi. Dia teman Om di kantor tapi lain ruangan." Evan langsung memperkenalkan lelaki yang bersamanya, dan yang hampir dia lupakan."Fatim." ujarnya saat menyambut tangan pak Kafi. Evan tersenyum saat tangan Fatim dan pak Kafi masih tergenggam di udara. "Ehem ...!"Karena kaget, akhirnya ke dua tangan yang tergenggam tadi terlepas saat mendengar deheman dari Evan."Maaf." ujar pak Kafi yang langsung tersenyum salah tingkah. Begitu pun dengan Fatim."Saya permisi dulu, Om, pak Kafi." ujar Fatim yang sepertinya tidak mempermasalahkan kejadian barusan."Iya, Fat." jawab Evan."Dia, siapanya is
Evan masuk ke dalam rumah, setelah sebelumnya memarkirkan motornya di dalam garasi, dan menutup serta mengunci kembali semua pintu yang tadi di bukanya. Terlihat ada mobil milik Rara sudah terparkir manis.Melalui pintu dapur, Evan melangkah naik tangga. Tak terlihat Mak saat ia tadi melintasi dapur.Setelah meletakkan tas ke ruangan kerja, Evan masuk ke dalam kamarnya, membuka dan kemudian kembali menutup pintu kamar.Sepi! Hanya suara gemericik air dari dalam kamar mandi yang sepertinya menjawab apa yang ada dalam benak Evan.Dasi yang dari tadi sudah tak rapi lagi, dia buka lalu di letakkan begitu saja di sandaran kursi meja hias. Tiba tiba matanya melebar saat melihat benda yang sama seperti yang ia lihat di meja mbak Rini, kini ada di atas meja rias istrinya.Evan menghela nafas panjang, matanya menatap ke arah pintu kamar mandi dengan pikiran yang penuh dengan pertanyaan.Punya siapa? Dan kenapa?Merasa tak mendapatkan satu pun jawaban dari pertanyaannya sendiri. Evan kemudia
"Baca ...!" suruh Rara lirih, pas di telinga suaminya, sambil tersenyum kemudian mencium pipi kanan Evan, lama, sebelum akhirnya berdiri dan kembali ke sofa. Evan, dengan wajah terlihat masih sangat kesal, bangun dari rebahan dan langsung membuka amplop putih yang bertuliskan nama sebuah klinik terkenal di kotanya.Evan membaca surat itu, tak lama kemudian dengan mata berkaca kaca, dia menghampiri Rara dan langsung berlutut di depan Rara yang hanya bisa tersenyum memandanginya."Maap ...."Dengan mata berkaca kaca, Evan memeluk dan menciumi perut ramping istrinya sambil terus berucap maaf dengan suara lirih dan bergetar. Dia merasa berdosa telah berpikir yang bukan- bukan pada istrinya."Sudah dong mas, jangan bikin aku mandi untuk ke tiga kalinya, capek," rengek Rara saat Evan terus menerus menciumi perutnya, hingga dia menggelinjang geli.Evan tersenyum mendengar rengekan istrinya, ia pun kemudian bangkit dan kembali duduk di sofa tempatnya tadi. Tak lagi berniat menggoda."Kamu,
Evan merenggangkan kedekatannya dengan Rara dan berbalik membuat mereka kini saling berhadapan dengan sangat intim."Makan kamu, boleh nggak, sih?" tanya Evan sambil tersenyum, kemudian dengan sigap mencuri kecup di bibir milik istrinya."Nggak!" jawab Rara, bahkan kini membalas pagutan bibir Evan dengan lincahnya. Mata mereka saling menatap lekat satu dan yang lainnya."Sudahlah, ayo kita cari sarapan sambil jalan jalan pagi." ajak Evan yang sudah bergerak turun dari ranjang."Aku mau pecel, Mas." seru Rara dengan semangat empat lima. Ikut bergegas mengikuti apa yang Evan mau.Pagi itu kali pertama mereka berdua jalan kaki keluar rumah berdua, tangan Evan posesif menggenggam jemari istrinya, tak membiarkannya terlepas walau sesaat.Beberapa orang tetangga mereka, yang terlalui. Terpesona melihat begitu romantisnya Evan dan Rara. terlihat mulai menyapa, bahkan ada yang berani menggoda keromantisannya pada sang istri."Mbak ....!"Evan dan Rara menoleh ke arah belakang, Sudah ada Mak
Sekejap Mama membulatkan mata, seakan tak mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari anak perempuan satu satunya, sambil mengucapkan syukur Alhamdulillah, tiada henti di pelukan Rara. "Kok Mama malah nangis? Harusnya Mama bahagia dong, sebentar lagi Mama bakalan di panggil Mbah uti." tanya Rara yang heran karena melihat mamanya terisak. "Sejak kamu datang tadi, hati mama terus menerus berdoa, semoga kepulanganmu kali ini bukan karena keinginanmu untuk berpisah dnegan Evan," ujar Mama dengan sangat lirih. "Mama ...." seru Rara yang ikut terharu dengan sikap mama. "Makasih ya Allah, akhirnya mama bisa bernafas lega sekarang. Kamu memilih untuk bersama walau dengan awal yang tak mengenakkan.""Ma ... kok gitu sih." sela Rara yang merasa tidak enak hati mengingat sikapnya dulu pada Evan."Sudahlah, nggak usah di pikirin lagi, dahewat kan?! Pokoknya mama sekarang senang, kamu nginap sini kan?" tanya Mama, beliau langsung berdiri menuju dapur."Aku belum bilang ke mas Evan kalau mau
"Ayah sudah mendengar tadi dari Mama, cuma rasanya ayah ingin dengar langsung dari kamu Ra." Pak Ali yang baru saja turun dari lantai atas. Langsung mengambil tempat di depan Rara dan Evan yang sedang duduk di depan tv.Sengaja pak Ali menunggu suami anaknya datang agar dapat mendengar dari kedua pihak. "Tentang apa Ayah?" tanya Rara dengan perhatian beralih pada sosok yang masih tampan walau sudah berumur setengah abad."Apakah benar kamu hamil, Ra?" Ayah memandangi wajah putri dan menantunya secara bergantian seolah meminta jawaban jujur dari keduanya."Alhamdulillah, Ayah." Rara menjawab dengan seuntai senyum di bibirnya. Pak Ali bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Rara dengan mata berkaca kaca, di ciuminya setiap inci wajah Rara seolah sedang menciumi putrinya saat kecil."Alhamdulillah ...." ujarnya berkali kali.Rara hanya bisa tersenyum haru, matanya pun ikut berkaca kaca, di peluknya sang ayah dengan mata menatap Evan yang juga sedang menatapnya lekat."Kau harap kam
"Ya, kamu benar. Maaf kalau selama ini ayah tidak pernah menceritakan pada kalian, tapi bukankah kalian sudah mengatakan bahagia atas pernikahan ini?"Rara tak menjawab pertanyaan ayahnya, malah kini dia berpaling ke arah Evan, yang kini juga tengah memandangnya."Apakah kamu bahagia hidup bersamaku, Mas?" Dengan wajah serius, Rara bertanya pada Evan yang menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum saat mendengar istrinya bertanya."Alhamdulillah, insya Allah selamanya, aku bakalan bahagia dan akan membahagiakanmu," jawab Evan dengan rona muka serius, memandang silih berganti Rara, dan kedua mertuanya."Aamiin aamiin." sahut semuanya dengan penuh keyakinan."Jadi pengin muda lagi aku, Ayah." ujar Mama, dengan muka merajuk sambil memeluk satu lengan Ayah dan menggelayutinya mesra. "Hahahaha!"Tentu saja sikap Mama membuat Evan dan Rara terkekeh spontan. "Sudah malam, apakah kalian masih kekeh untuk pulang malam, ini?""Mungkin ada baiknya bila kita menginap saja, besok setelah subuh k
Mendengar penjelasan dari sang Dokter, Evan hanya bisa menggenggam jari tangannya sendiri kuat kuat, ada perasaan perih yang menyayat."Saya harap bapak tidak kecil hati, tolong berikan semangat buat istri bapak, karena biasanya perempuan yang baru saja kehilangan bayinya akan berubah menjadi wanita sensitif--gampang marah hanya kerana masalah masalah kecil," ujar Dokter perempuan itu dengan senyum perduli. "Apakah kami masih bisa punya anak lagi, Dok?" tanya Evan dengan wajah penuh harap. "Bisa! Tentu saja bisa, tidak ada kendala dengan rahim si ibu kok, pak," jawab Dokter dengan senyum yang menenangkan hati Evan."Yang penting sekarang adalah bagaimana cara bapak untuk menguatkan mental si ibu bahwa semua baik baik saja."Kembali Dokter memberikan pesan berharga buat Evan."Baik, Dok. Akan saya perhatikan semua yang dokter pesan. Terimakasih."Dokter perempuan separuh baya yang mengenakan hijab lebar itu hanya bisa tersenyum melihat ke kondisi Evan. Dan menganggukkan kepala mem