Evan kembali melangkah sendirian ke rumah sakit, tampak olehnya Mama dan Ayah yang duduk di sisi ranjang tempat Rara berbaring. "Sudah kembali, Van?" tanya Mama saat mereka mendengar bunyi pintu yang di buka oleh Evan. "Iya, Ma." jawab Evan yang dengan senyum khasnya mendekati mereka dan mencium punggung tangan keduanya dengan Takzim."Kamu bawa apa?" tanya Mama yang melihat salah satu tangan Evan sedang menenteng sebuah kresek yang lumayan besar bentuknya."Aku bawa makanan untuk ayah dan mama, takutnya ayah dan mama tidak keluar karena menjaga Rara."Evan memberikan kresek warna hitam dengan logo wajah bapak tua itu pada mama. Kemudian menghampiri Rara yang memejamkan matanya. Tanpa bersuara lagi, pak Ali dan istrinya bangun dari kursinya dan melangkah mendekati ranjang kosong di sebelah ranjang pasien, yang menjadi fasilitas untuk kamar ber-vvip.Beliau berdua sepertinya sengaja memberikan Evan tempat untuk menemani Rara."Dia tidur, Van. Mungkin dia lelah karena nangis tadi."
"Dimaaaas ...! Dim, tolong aku!" Tiba tiba suara pak Ali yang menggelegar, mengagetkan pak Dimas dan Evan hingga membuat keduanya terjaga dari duduk mereka."Ada apa? Kenapa sampai teriak seperti itu?" tanya pak Dimas, sesaat setelah pak Ali sudah berdiri di dekatnya dengan muka pias memucat.Bukannya menjawab pak Ali malah menangis sambil menggenggam tangan pak Dimas erat."Tolong aku ...!""Ada apa ...?" tanya pak Dimas untuk ke dua kalinya, sambil mengurai pelukan pak Ali di badannya."Tadi orang tua dari Dani-- calon pengantin pria-- dari anakku, datang dan meminta maaf karena Dani menghilang dari rumah, mereka sudah berusaha mencari Namun masih tidak dapat di ketahui keberadaannya." Tiba tiba pak Ali berujar lirih hingga tak terasa duduk bersimpuh di antara Evan dan Pak Dimas. Isaknya walau tertahan masih terdengar lirih di telinga.Pak Ali menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat kuat."Aku bingung, Dim. Sekarang mau aku taruh di mana kehormatan keluargaku. Mau aku ta
"Saah!" Spontan para saksi meneriakkan satu kata secara serempak."Alhamdulillah ...." desis Evan lirih. Menyapu wajah yang mulai rileks, dengan kedua telapak tangannya."Tunggu sebentar, aku panggilkan istrimu," ujar pak Ali sambil menepuk bahu kanan Evan. Dan setelah melihat anggukan Evan, pak Ali terus berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumahnya. Selang beberapa saat, terdengar suara kasak kusuk di belakang punggung Evan tentang betapa cantiknya si mempelai perempuan. Karena penasaran Evan pun akhirnya memberanikan diri mengangkat wajahnya ke arah tangga, di mana perempuan yang sudah sah jadi istri seorang Evan sedang di giring menuju ke arahnya.Mata Evan membeliak dengan mulut terkatub rapat, bukan karena kecantikan dari mempelai wanita, Namun karena perempuan yang sedang melangkah di samping perempuan yang saat ini berstatus sebagai istrinya adalah perempuan yang dulu pernah ia perjuangkan dengan seluruh nafasnya, Nilla.Sepertinya, Nilla pun tak kalah terkejut saat pandang
Evan pun mengikuti isyarat gerakan kepala pak Dimas. Dan ternyata tepat di hadapannya dengan jarak sekitar lima meteran, Nilla, sedang memangku seorang anak kecil yang lucu dengan gaun hijab kecilnya.Dan tepat di sisinya pula, ada seorang lelaki dengan penampilan sederhana, berkaca mata, ikut bercanda. Mereka bertiga terlihat sangat bahagia. ****Beberapa tahun yang lalu ...."Belum pulang, Van? Bukankah kau sudah mulai dari semalam, kan? Pulanglah, kau juga butuh istirahat," ujar Pak Dimas--lelaki separuh baya, yang bermurah hati memberikan Evan pekerjaan--sambil menepuk bahu kanan Evan."Siap, Pak. Semalam, dan sesiang nanti, saya yang tugas, menggantikan Dito.""Jangan terlalu ngoyo bekerja, kalo kamu sakit, uangnya bakal habis buat berobat. Sekarang lebih mahal biaya obatnya dari pada uang yang kau terima buat menggantikan si Dito." "Siap, Pak!" jawab Evan, dengan tubuh tegap, dan tangan di dahi memberikan tanda hormat. Pak Dimas terlihat menggeleng beberapa kali, membuang
Pukulan tangan Dimas, yang sebelumnya tak pernah Hendra duga, kini tepat bersarang di pelipisnya, hingga membuat ia terjatuh dari sofa yang belum sempat ia duduki lagi tadi. Belum sempat berdiri sempurna. Dimas kembali menyerang perut Hendra dengan tendangan kaki kanannya. Hingga membuat Papa kandung dari Evan itu kembali mencium lantai. Sempurna!Sangat mudah bagi Dimas, pemegang sabuk hitam karate ini untuk mengalahkan lawannya. apalagi lawan yang tak mempunyai dasar tentang pembelaan diri.Hendra dengan susah payah bangkit dan duduk kembali di kursinya. Sambil terus memegangi perut yang mungkin kerasa sangat sakit."Bajingan, kamu Dimas!" ujar Hendra, matanya terpejam sambil menyandarkan punggungnya. Mungkin untuk mengurangi sakit di bagian perut."Bajingan?!" ejek Dimas sambil kembali duduk di sofa."Aku kasih tahu kamu, siapa yang bajingan di antara kita!!?" Dimas menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kirinya. Matanya menatap tajam Hendra."Aku tahu, kamu pasti sudah mengira sia
"Insya Allah, besok akan saya bawa istri saya ke rumah, karena saya tak ingin dia dengan sikap manjanya. belajar mandiri," putus Evan."Pilihan yang tepat dan bagus, memang sebaiknya rumah tangga itu ikut suami dan terpisah dari campur tangan mertua atau orang tua." Senyum Evan tampak lebih lebar, mendengar pak Dimas menyetujui apa yang tadi katakan. "Benar, Pak-!"Evan tak melanjutkan ucapannya karena, tiba tiba datang seseorang lelaki yang membawa beberapa paper bag dan langsung menyerahkannya pada pak Dimas, "Ini, aku tahu kamu tidak mempunyai salinan baju, ya kan? Bagaimana mau punya salinan, nikah aja dadakan," goda pak Dimas sambil menaik turunkan alisnya."Hahahahahah!"Meledak tawa Evan mendengar dan melihat apa yang pak Dimas lakukan."Gratis lagi!" sambung pak Dimas."Hahaha!" Mereka tertawa lepas, berdua. tak perduli dengan banyak pasang mata yang kini menatap mereka dengan pandangan tak mengerti."Tuhan memang mempunyai cara unik untuk membuat umatnya bersyukur, bukan
Evan kembali ke tempat yang tadi, untuk mengambil paper bag pemberian dari pak Dimas. Kemudian melangkah masuk ke kamar saat pertama kali dia di make over, karena barang pribadinya termasuk baju dan celana, ia tinggalkan di sana, tadi."Permisi!" sapanya, setelah sebelumnya mengetuk pintu, berdiri di depan kamar yang tertutup pintunya."Anu ... Mas."Seorang Mbak yang tadi me- make over dirinya membukakan pintu, menjawab dengan kaget saat tahu bahwa ada Evan di depan pintunya."Saya mau ambil barang barang saya, mbak!" kata Evan pada si Mbak."Semua yang berkaitan dengan masnya, sudah di ambil oleh pak Ali dan di pindahkan ke kamar pengantin," jawab Mbak tadi, sambil sedikit membungkukkan badannya."Di mana?""Naik tangga, Mas. Ada di lantai dua. Di kamar paling depan, sebelah kanan." Si Mbak memberikan penjelasan letak kamar pengantin pada Evan."Makasih, ya!" Tak perlu menunggu lebih lama lagi, Evan segera melesat naik tangga ke lantai atas, dengan tangan masih memegang paper bag.
"Akhirnya kalian turun juga, apa yang membuat kalian lama sekali?" tanya Mama Isaura pada sepasang pengantin baru yang melangkah mendekat."Maaf, Ma. Ketiduran tadi sore, hingga melewatkan sholat maghrib dan ashar, jadi sebelum turun saya selesaikan dulu urusan dengan Al Khaliq," jawab Evan sambil menarik salah satu kursi di sebelah mama untuk di duduki Isaura, yang tengah memandangnya dengan heran.Perempuan itu menyangka kursi itu akan Evan duduki sendiri, kemudian saat Evan kembali menarik salah satu kursi lagi untuk dirinya sendiri, barulah Isaura tersenyum dengan perlakuan manis Evan padanya."Alhamdulillah ... baguslah kalau begitu!" seru Mama dengan mata berbinar bahagia. Tangannya mengulurkan satu piring yang masih kosong pada anaknya.Isaura pun mengambil piring itu dan mengisinya dengan nasi dan lauk yang ia kehendaki, hingga membuat Mama, Ayah dan Evan memandang padanya."Kenapa tak kau tanyakan dulu pada suamimu. Makanan apa yang ingin ia makan?!" tegur ayahnya, dengan