Pukulan tangan Dimas, yang sebelumnya tak pernah Hendra duga, kini tepat bersarang di pelipisnya, hingga membuat ia terjatuh dari sofa yang belum sempat ia duduki lagi tadi.
Belum sempat berdiri sempurna. Dimas kembali menyerang perut Hendra dengan tendangan kaki kanannya. Hingga membuat Papa kandung dari Evan itu kembali mencium lantai. Sempurna!Sangat mudah bagi Dimas, pemegang sabuk hitam karate ini untuk mengalahkan lawannya. apalagi lawan yang tak mempunyai dasar tentang pembelaan diri.Hendra dengan susah payah bangkit dan duduk kembali di kursinya. Sambil terus memegangi perut yang mungkin kerasa sangat sakit."Bajingan, kamu Dimas!" ujar Hendra, matanya terpejam sambil menyandarkan punggungnya. Mungkin untuk mengurangi sakit di bagian perut."Bajingan?!" ejek Dimas sambil kembali duduk di sofa."Aku kasih tahu kamu, siapa yang bajingan di antara kita!!?" Dimas menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kirinya. Matanya menatap tajam Hendra."Aku tahu, kamu pasti sudah mengira siapa yang membantu Bastian dan Mieke menikah? Namun apa alasanmu, dengan tak berperasaan, kau guna-guna istriku, kau hancurkan rumah tanggaku dengan Sinta. Kau tak terima, Mieke lebih memilih Bastian yang miskin daripada kamu yang punya segalanya-"Dimas tiba tiba menghentikan ucapannya, lelaki itu terlihat tak se semangat di awal."Kamu punya segalanya, Hen. Kamu gagah dan tampan, kamu kaya, banyak orang yang menghormatimu! Tapi sayangnya kamu nggak punya hati!"Dimas berkata sambil menahan emosi, pandangan mata itu memerah dan tajam seakan ingin merobek robek laki laki yang berdiri di depannya, sangat fokus pada lawannya."Di mana kamu, saat Sinta yang mulai menyayangimu dengan hati, perempuan yang dengan guna guna mampu kau rebut, malah kau biarkan bersusah payah sendirian, saat melahirkan anak kalian? Atau pada saat dia meregang nyawa?"Ada getaran kesedihan dalam nada suara Dimas yang tak bisa disembunyikan. Mengingat perempuan yang paling dia cintai dan masih bertahta di hatinya walaupun sudah tak ada lagi di antara mereka.Bayangan masa lalu saat dia menemani mantan istrinya melahirkan, berlari memutar satu persatu di kepalanya."Tapi yang satu hal yang tak bisa kuterima, perlakuanmu pada Evan. Dia anakmu, darah dagingmu. Salah apa dia hingga cintanya kau hancurkan? Hanya karena Nilla anak dari Mieke, wanita yang telah menolak cintamu. Tidakkah kau merasa bersalah telah membunuh Mieke dan Bastian dengan sengaja menabrakkan mobilmu pada warung mereka?"Kaget nampak jelas di raut muka Hendra, seperti tak percaya Dimas mengetahui segalanya. Namun itu hanya sesaat, karena kini wajah itu kembali datar dalam diam.Entah apa yang sedang di rasakan oleh lelaki berpenampilan bois itu, dari awal hanya menunjukkan raut datar, walau sesekali terlihat mengerutkan kening, Namun itu hanya sesaat."Aku juga tahu, bagaimana dengan begitu tak berperasaannya Nilla kau ancam untuk putus dari Evan. Papa macam apa kamu?"Dimas menggenggam ke dua tangannya, menahan amarah."Lepaskan, Evan. Biar aku yang akan menjaganya. Kan kucintai dia seperti anakku sendiri."Ada senyum tipis yang ditunjukkan oleh Hendra, yang tak dimas ketahui saat mendengar apa yang di ucapkan.Dimas berdiri dan melangkah keluar. Namun tiba-tiba terhenti di depan pintu, dan berbalik."Bila nanti, ada sesuatu yang menimpa Evan dan Nilla. Aku yang akan membunuhmu. Ingat itu, Hendra!" ucap Dimas sebelum berlalu pergi dari rumah besar itu.Tanpa Hendra dan Dimas sadari. Dari balik pintu yang terbuka tiba tiba, Evan sedang menatap lantai dengan ke dua tangan terkepal.Dengan mata memerah, Evan keluar dari balik pintu, melangkah perlahan melewati Papanya yang ia sadar pasti sedang melihat ke arahnya walau sama sama, dalam diam.Evan juga merasa tak perlu melihat bagaimana ekspresi lelaki yang selama ini selalu kontra dengannya, terkejut atau tidak, nyatanya selama mereka hidup bersama di rumah ini, tetapi Evan merasa tak punya kenangan berarti.Evan tetap melangkah perlahan menaiki tangga, sambil memegang sebuah tas ransel yang berada di punggungnya. Menuju ke kamar pribadi yang sudah hampir enam bulan tidak ia datangi.Tak ada yang berubah di setiap inci kamar pribadinya itu, semuanya terlihat sama dan selalu bersih.Ya! Sejak pertengkaran besar antara dia dan Papanya, yang baru ia tahu tadi jawaban dari semua masalah yang ia hadapi. Evan memilih untuk keluar dari rumah besar ini dan memilih melanjutkan hidupnya dengan sederhana, sangat sederhana malah.Dendam Papanya pada orang orang yang di anggap memisahkan dirinya dengan perempuan yang di cintainya, tanpa mau tahu apakah perempuan itu juga mencintai dirinya atau tidak.Semua bermula dari rasa, begitu pun yang Evan rasakan saat ini, karena rasa pada Nilla.Mampu membuat seorang King Evan Aizaer yang notabene adalah seorang pewaris tunggal dari kerajaan PT. Drabara Jaya --Sebuah perusahaan yang sudah sangat terkenal namanya dalam bidang pertambangan.Yang terbiasa hidup terjamin, kini di paksa harus mampu hidup berdikari sendiri, menjadi seorang satpam.Di bukanya pintu kamar hingga terdengar deritnya halus.Kemudian dia melangkah, masuk ke dalam dan langsung menuju ke lemari besi di sebelah kanan tempat tidurnya. Di buka dan di masukkannya semua kertas kertas dan uang yang ia keluarkan dari dalam lemari itu, ke dalam tas yang sudah ia siapkan.Setelah menganggap selesai dengan kepentingannya. Evan kembali melangkah keluar kamar. Tampak Papanya masih duduk di tempat yang sama, seperti saat dia masuk ke dalam kamar pribadinya tadi. Namun, kini dengan mata terpejam."Papa, aku minta maaf atas segala kekuranganku selama menjadi anakmu, aku juga meminta maaf untuk Mama yang mungkin juga sudah amat menyusahkan mu. Aku tahu, nggak bakalan bisa seorang Evan Aizaer yang bekerja hanya sebagai satpam untuk mengembalikan uang yang selama ini sudah kau kucurkan untukku. Tolong ikhlaskan."Evan mengulurkan kedua tangannya hendak mengambil tangan kanan milik Papanya yang kini sedang menatapnya dengan tatapan yang tak bisa di jelaskan."Aku akan pergi, agar tidak lagi memberatkan Papa dengan segala kemauanku yang selalu bertentangan denganmu, maafkan aku, Pa," ujarnya sambil berusaha memeluk lelaki yang masih bertahan dama diam, tak bersuara.Walau tanpa reaksi dari orang yang sudah ia pamitin dan ia peluk, Namun sepertinya Evan yakin kalau sekarang Papanya pasti akan sangat bahagia karena tidak perlu lagi melihat wajahnya, wajah dari anak yang sebenarnya tidak di inginkan.Dengan pasti, Evan melangkahkan kakinya keluar dan segera menaiki sepeda motor bekas yang baru saja di belinya dengan menggunakan uang tabungan yang awalnya untuk rencana menikah dengan Nilla.Sebelum meninggalkan halaman, Evan kembali memandangi rumah yang sudah ia tempati sejak kecil, dengan tatapan nanar."Aku berjanji tidak akan datang bila bukan kau yang memanggilku untuk datang, Pa!" ucap Evan lirih, sesaat sebelum dia melajukan motornya.****"Insya Allah, besok akan saya bawa istri saya ke rumah, karena saya tak ingin dia dengan sikap manjanya. belajar mandiri," putus Evan."Pilihan yang tepat dan bagus, memang sebaiknya rumah tangga itu ikut suami dan terpisah dari campur tangan mertua atau orang tua." Senyum Evan tampak lebih lebar, mendengar pak Dimas menyetujui apa yang tadi katakan. "Benar, Pak-!"Evan tak melanjutkan ucapannya karena, tiba tiba datang seseorang lelaki yang membawa beberapa paper bag dan langsung menyerahkannya pada pak Dimas, "Ini, aku tahu kamu tidak mempunyai salinan baju, ya kan? Bagaimana mau punya salinan, nikah aja dadakan," goda pak Dimas sambil menaik turunkan alisnya."Hahahahahah!"Meledak tawa Evan mendengar dan melihat apa yang pak Dimas lakukan."Gratis lagi!" sambung pak Dimas."Hahaha!" Mereka tertawa lepas, berdua. tak perduli dengan banyak pasang mata yang kini menatap mereka dengan pandangan tak mengerti."Tuhan memang mempunyai cara unik untuk membuat umatnya bersyukur, bukan
Evan kembali ke tempat yang tadi, untuk mengambil paper bag pemberian dari pak Dimas. Kemudian melangkah masuk ke kamar saat pertama kali dia di make over, karena barang pribadinya termasuk baju dan celana, ia tinggalkan di sana, tadi."Permisi!" sapanya, setelah sebelumnya mengetuk pintu, berdiri di depan kamar yang tertutup pintunya."Anu ... Mas."Seorang Mbak yang tadi me- make over dirinya membukakan pintu, menjawab dengan kaget saat tahu bahwa ada Evan di depan pintunya."Saya mau ambil barang barang saya, mbak!" kata Evan pada si Mbak."Semua yang berkaitan dengan masnya, sudah di ambil oleh pak Ali dan di pindahkan ke kamar pengantin," jawab Mbak tadi, sambil sedikit membungkukkan badannya."Di mana?""Naik tangga, Mas. Ada di lantai dua. Di kamar paling depan, sebelah kanan." Si Mbak memberikan penjelasan letak kamar pengantin pada Evan."Makasih, ya!" Tak perlu menunggu lebih lama lagi, Evan segera melesat naik tangga ke lantai atas, dengan tangan masih memegang paper bag.
"Akhirnya kalian turun juga, apa yang membuat kalian lama sekali?" tanya Mama Isaura pada sepasang pengantin baru yang melangkah mendekat."Maaf, Ma. Ketiduran tadi sore, hingga melewatkan sholat maghrib dan ashar, jadi sebelum turun saya selesaikan dulu urusan dengan Al Khaliq," jawab Evan sambil menarik salah satu kursi di sebelah mama untuk di duduki Isaura, yang tengah memandangnya dengan heran.Perempuan itu menyangka kursi itu akan Evan duduki sendiri, kemudian saat Evan kembali menarik salah satu kursi lagi untuk dirinya sendiri, barulah Isaura tersenyum dengan perlakuan manis Evan padanya."Alhamdulillah ... baguslah kalau begitu!" seru Mama dengan mata berbinar bahagia. Tangannya mengulurkan satu piring yang masih kosong pada anaknya.Isaura pun mengambil piring itu dan mengisinya dengan nasi dan lauk yang ia kehendaki, hingga membuat Mama, Ayah dan Evan memandang padanya."Kenapa tak kau tanyakan dulu pada suamimu. Makanan apa yang ingin ia makan?!" tegur ayahnya, dengan
Selesai dengan doanya, tanpa mengganti apa yang masih ia pakai, langkahnya kini berganti ke arah balkon dengan ponsel di tangan kanannya, dan tak lupa menutupnya lagi, walau tersisa sedikit celah di antara pintunya.Duduk di sofa panjang, sofa satu satunya yang tersedia, dengan bantuan ponselnya, Evan kembali mengulang hafalan alquran- nya. Benar! Suaranya pelan Evan rasa, Namun saat dini hari, suara pelannya yang sangat merdu itu, terdengar hingga se-antero rumah.Hingga adzan subuh terdengar, barulah Evan menyudahi hafalannya, berdiri dari duduknya, kemudian melakukan peregangan badan ringan hanya untuk mengusir penat karena duduk yang agak lama.Masuk kembali ke dalam kamar, dan melaksanakan sholat subuh. Semua ia lakukan seperti saat berada di rumahnya sendiri. Hari masih gelap, Evan sudah berada di luar pagar, ia pikir karena ini termasuk perumahan mewah, maka akan sangat sepi orang yang sekedar jalan jalan pagi, Namun ia keliru, pagi itu banyak sekali kaum muda mudi atau kau
"Iya, aku ikut, tapi ... jangan lupa di kasih makan ya?" jawab Isaura, sambil terus mengunyah makanan di dalam mulutnya.Perempuan cantik itu menjawab seperti setengah di paksa.Evan tersenyum, ternyata ini sisi lain dari seorang Isaura Chana yang selain kekerasan hatinya, ternyata mempunyai sifat humor juga. Dan yang lebih menyenangkan hatinya, sekarang sudah sah menjadi istri, bakal ibu dari anak anaknya kelak.Karena tak ada jawaban dari Evan, Isaura melirik Evan dengan ekor matanya."Kenapa menatapku seperti itu, aneh ya, liat orang secantik aku lagi makan?" Dengan mata mendelik, Isaura bertanya. Evan hanya tersenyum saat mendengar istrinya bertanya, bukannya menjawab, Evan malah bangun dari duduknya dan melangkah hendak menjauh, saat melewati belakang punggung istrinya, tiba tiba saja tangan kanannya mengacak lembut kepala Isaura, kemudian meninggalkannya ke lantai atas, tak perduli dengan racauan istrinya.Di dalam kamar, Evan yang tak tahu apa saja yang akan di bawa oleh istr
"Pak ...!"Sapa seorang lelaki separuh baya, Namun, masih tampak gagah. Dengan di dampingi oleh empat orang yang ke semuanya menggunakan jas putih, baru saja masuk ke dalam ruangan yang mempunyai interior ruangan sangat fantastik.Empat orang lelaki yang mengawal itu membungkukkan sedikit badannya di depan seorang lelaki dengan bergaya flamboyan yang sedang duduk di kursi kebesarannya di belakang meja. Tengah memberikan pandangan yang sangat familer.Lelaki yang sering di panggil dengan sebutan om Tyo itu pun langsung duduk di kursi yang tersedia di depan meja, setelah lelaki yang tadi ia beri hormat, menganggukkan kepala.Begitu pun dengan empat lelaki berjas putih yang tadi mengantarkan Om Tyo, mereka juga segera meninggalkan ruangan dan menutup pintu rapat rapat, setelah mendapatkan isyarat untuk pergi."Bagaimana, apakah kau sudah mengatakan apa yang aku ingin ucapkan untuk si Ali?!" tanya pak Hendra setelah pintu ruangannya di tutup sangat rapat."Sudah, aku sudah katakan, sudah
Evan mengguncangkan bahu istrinya setelah sebelumnya mematikan mesin mobil."Dik, bangun kita sudah sampai," ujar Evan berulang ke dua kalinya.Isaura langsung membuka matanya, dan mengerjapnya berulang kali.Tampak di hadapannya, sebuah rumah minimalis berlantai dua bernuansa biru dan putih, di halaman depan sebatang pohon mangga besar dengan daun yang lebat, hingga menambah sejuk udaranya."Ayo masuk!" ajak Evan yang sudah membuka pintu mobil dengan mengulurkan tangannya ke arah Isaura."Te ... Terima kasih ...."Dan entah apa yang ada di benaknya, Isaura pun menerima uluran tangan kanan Evan untuk menggandengnya masuk ke dalam rumah.Cekrek!"Kok nggak di kunci? Di dalam ada orang kah?" tanya Isaura saat melihat dengan begitu mudahnya Evan masuk ke dalam rumah.Tak ada jawaban, Isaura terus membuntuti langkah suaminya yang kini berhenti di batas pintu ke dua. "Assalamualaikum!" sapa Evan sambil tersenyum pada istrinya, sedangkan tangan kirinya meletakkan tas koper di lantai."Wa a
Isaura langsung membalikkan badan saat mendengar apa yang di tanyakan oleh Evan."Apa maksudmu?" Tampak sekali pias di wajah cantiknya, gestur tubuhnya pun terlihat bila saat ini Rara sedang panik."Hei, aku hanya bertanya, apakah kau sudah siap?" Evan kembali menggoda. Matanya menatap tak biasa pada Rara."Siap? Jangan main main denganku!!"Rara mengulang pertanyaan Evan, sekaligus mengancamnya dengan kening yang mengerutkan tiga garis."Bukannya tadi kau mengatakan akan menungguku hingga nantinya aku yang akan meminta padamu?" tanyanya dengan mata membulat sempurna."Itu tentang nafkah batin, sedangkan yang sekarang aku tanyakan padamu, adalah tentang kesiapanmu menceritakan tentang bagaimana kamu dulu?" Evan berkata sembari menepuk ranjang yang di sampingnya."Apa maksudmu?" tanya Isaura yang tambah tidak mengerti."Seperti yang Mamamu katakan tadi, beliau menginginkan kamu untuk memakai jilbab seperti dulu, jadi ... kenapa kau lepas jilbabmu?"Isaura kembali membalikkan badannya