"Akhirnya kalian turun juga, apa yang membuat kalian lama sekali?" tanya Mama Isaura pada sepasang pengantin baru yang melangkah mendekat.
"Maaf, Ma. Ketiduran tadi sore, hingga melewatkan sholat maghrib dan ashar, jadi sebelum turun saya selesaikan dulu urusan dengan Al Khaliq," jawab Evan sambil menarik salah satu kursi di sebelah mama untuk di duduki Isaura, yang tengah memandangnya dengan heran.Perempuan itu menyangka kursi itu akan Evan duduki sendiri, kemudian saat Evan kembali menarik salah satu kursi lagi untuk dirinya sendiri, barulah Isaura tersenyum dengan perlakuan manis Evan padanya."Alhamdulillah ... baguslah kalau begitu!" seru Mama dengan mata berbinar bahagia. Tangannya mengulurkan satu piring yang masih kosong pada anaknya.Isaura pun mengambil piring itu dan mengisinya dengan nasi dan lauk yang ia kehendaki, hingga membuat Mama, Ayah dan Evan memandang padanya."Kenapa tak kau tanyakan dulu pada suamimu. Makanan apa yang ingin ia makan?!" tegur ayahnya, dengan tatapan tajam."Kenapa harus aku yang bertanya, bukankah mama yang biasanya bertanya saat ada tamu yang berkunjung," jawab Isaura dengan cueknya, malah menaruh piring yang ia isi tadi, tepat di depannya."Tapi dia bukan tamu, Ra. Dia suamimu, kamu harus belajar untuk melayani suamimu," tegur Ayah Ali yang berhenti makan, tangannya langsung meletakkan sendok dan garpu di piring. Ucapannya pun terdengar naik satu oktaf.Isaura tercekat, dia tak menyangka ayahnya akan semarah itu padanya. Evan melirik istrinya yang sepertinya sedang menarik nafas panjang berulang kali, kedua matanya tampak sudah berkaca kaca. Tampak sekali kalau sedang menahan kesal."Ayah, Mama. Saya mau minta izin untuk membawa Isaura ke rumah saya yang berada di perumahan Griya Kahyangan, besok," pinta Evan, berharap fokus tidak lagi pada Isaura."Silahkan, aku sudah memberikan tanggung jawab padamu untuk menjaga, membimbing dan mengajarinya menjadi istri yang sempurna," jawab Ayah Ali, langsung menyetujui permintaan Evan."Ayah, kenapa kau seperti sudah tidak mencintaiku, bukankah aku adalah putrimu yang sangat ayah cintai, selama ini ayah tak pernah menolak, dan memarahiku, kenapa sekarang seperti tak berdaya saat di hadapan dia."Isaura serta merta menunjuk tepat di muka Evan yang memejamkan mata karena terlalu dekatnya telunjuk Isaura ke matanya."Sopanlaah pada suamimu, apakah kau pernah melihat mamamu memperlakukan ayahmu seperti itu?" Sentak pak ali dengan tatapan tak suka ke arah Isaura."Tapi dia berbeda, dia bukan pilihanku?" bantah Rara, panggilan kesayangan untuk Isaura."Buka matamu lebar- lebar, orang yang menjadi pilihanmu, bukannya menjagamu, tapi dia telah melempar kotoran di muka keluarga kita!"Suara ayah yang menggelegar membuat Mama serta merta mendekat dengan memberikan segelas air bening pada Ayah sambil meminta Ayah untuk lebih bersabar.Ayah meminum air dalam gelas hingga habis, sedangkan Evan berbalas pandang dengan Rara dan kedua orang tuanya."Van ... ceraikan aku, sekarang juga! aku tak mau ikut denganmu!" Suara Isaura yang pelan Namun gaungnya melebihi toa di mesjid bagi yang mendengar."Bila kau bercerai bukan karena inginnya si Evan, maka pintu rumah ini akan tertutup untukmu! dengarkan itu Isaura!" bentak Ayah Ali, yang langsung berdiri dengan kedua tangannya pun terkepal. Evan yang semula diam, kaget dan spontan berdiri."Ayah ...!" jerit mama dan Rara, hampir bersamaanMama memegang tangan kanan Ayah, Namun Ayah mengurainya. Kemudian melangkah pergi meninggalkan meja makan dengan raut muka merah padam, menaiki tangga ke lantai atas."Ka--!""Ra, jangan kasar pada suamimu!" Lagi lagi mama menegur Rara yang kembali menatap Evan seperti sedang menatap mangsa yang tak bisa ia makan."Ayahmu benar, setelah pernikahan, anak perempuan sudah bukan milik keluarga lagi, tapi kepunyaan suaminya, belajarlah menjadi istri yang baik, yang patuh pada suamimu."Mama dengan nada lirih dan pelan menghampiri Isaura dan membelai rambutnya, semata untuk membuat reda amarah putri tunggalnya itu."Mama dan Ayah sudah tidak mencintaiku!"Dengan setengah berlari, Isaura melangkah menaiki tangga ke lantai atas."Jangan di kejar Van. Biarkan dulu dia sendiri. Biar nanti mama yang akan membujuknya," cegah Mama membuat Evan yang sudah berdiri dari duduknya, kembali menghentikan niatnya."Rara memang keras hati, sama seperti yang ayahnya punya. Rara anak baik kok, hanya saja mungkin dia masih kecewa, kenapa Dani tidak datang di hari pernikahannya, tanpa ada alasan." Mama menjelaskan kemungkinan kenapa Isaura bersikap kasar seperti itu terhadap Evan."Ya, saya paham, Ma.""Dia juga bukan orang yang susah jatuh cinta, dengan perhatian perhatian kecil aja, dia akan cepat luluh. Mama harap, kamu mau bersabar, ya?!"Mama memberikan semangat dengan nada yang enak terdengar di telinga Evan."Iya, Ma.""Kamu teruskan makan, mama mau bujuk istri manjamu dulu," ujar Mama, yang melangkah ke tangga, dan saat melewati Evan, tangan kanan mama memukul pelan bahu Evan sembari mengucapkan kata sabar.Sepertinya hanya Mama yang mempunyai sifat dewasa di rumah ini, kata katanya membuat tenang dan bersemangat.Evan yang sudah tak merasakan lapar lagi, akhirnya juga bangun dari kursi dan melangkah ke halaman belakang.Sambil rebahan menikmati bintang, Evan akhirnya kembali tertidur di gazebo, gigitan dan bunyi nyamuk sepertinya tak lagi jadi penghalang dia lelap.Entah berapa lamanya Evan tertidur dengan posisi meringkuk, akhirnya terbangun karena dingin yang menusuk hingga tulang.Duduk sebentar di tepian gazebo, akhirnya Evan memilih untuk melangkah meninggalkan halaman belakang, menuju kamarnya.Dengan pelan dan tak bersuara, Evan membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Di ranjang terlihat Isaura sedang tertidur, dengan banyak tumpukkan bantal di tengah ranjang.Membuat Evan tersenyum karena mengerti maksud dari tumpukan bantal.Dilihatnya jam di atas pintu ke arah balkon. Jarum pendek berada di angka tiga dan jarum pangan di angka dua belas.Evan langsung menuju ke kamar mandi, terdengar suara gemericik air, tak lama kemudian Evan keluar dengan keadaan wajah, separuh rambut, kedua kaki dan tangan dalam kondisi basah.Kemudian mengganti baju dan celana dengan kaos dan sarung yang tadi ia pakai buat sholat isya. Kemudian berdiri tegak, sholat malam."Ya ... Tuhan." seru Evan saat selesai sholat, kemudian duduk bersila dengan kedua tangan mengulur ke atas."Ya Allah, hamba memohon cinta-Mu, cinta seorang yang mencintai-Mu, dan cinta amal yang membawaku ke samping-Mu. Jadikan Engkau lebih aku cintai dari pada selainngkau. Jadikan cintaku pada-Mu dapat membimbingku pada ridho-Mu. Jadikanlah kerinduanku pada-Mu sehingga mencegahku dari maksiat. Anugrahkanlah padaku pandangan-Mu. Tataplah diriku dengan pandangan kasih sayang. Jangan palingkan wajah-Mu dariku. Jadikanlah aku di antara para penerima anugerah dan karunia-Mu.""Ya ... Allah, aku tahu, masih belum ada cinta di hatiku dan di hati istriku, tapi apalah kami di mata-Mu, sang pembolak balikkan hati manusia. Aku tahu pasti takdirmu lebih indah dibandingkan apa yang menjadi rencanaku dan rencana istriku, Isaura.""Jadikanlah aku di antara para penerima anugerah dan karunia-Mu. Wahai Dzat yang Maha Pemberi Ijabah. Ya Arhamar rahimin."Evan mengatubkan kedua tangan dan menyapukan ke wajahnya sambil terus mengucapkan kata Aamiin.Tanpa Evan sadari, Isaura yang saat itu terbangun, mendengar semua apa yang di ucapkan Evan dalam doa malamnya.Hatinya luluh, air matanya menetes, entah amal baik apa yang pernah di buatnya hingga berjodoh dengan seorang Evan yang sangat taat agamanya, dan perduli pada dirinya."Aku masih tak percaya, lelaki ini pasti sedang ber - drama di depanku," ujar Isaura yang mengusap pipinya dengan sedikit kasar.Selesai dengan doanya, tanpa mengganti apa yang masih ia pakai, langkahnya kini berganti ke arah balkon dengan ponsel di tangan kanannya, dan tak lupa menutupnya lagi, walau tersisa sedikit celah di antara pintunya.Duduk di sofa panjang, sofa satu satunya yang tersedia, dengan bantuan ponselnya, Evan kembali mengulang hafalan alquran- nya. Benar! Suaranya pelan Evan rasa, Namun saat dini hari, suara pelannya yang sangat merdu itu, terdengar hingga se-antero rumah.Hingga adzan subuh terdengar, barulah Evan menyudahi hafalannya, berdiri dari duduknya, kemudian melakukan peregangan badan ringan hanya untuk mengusir penat karena duduk yang agak lama.Masuk kembali ke dalam kamar, dan melaksanakan sholat subuh. Semua ia lakukan seperti saat berada di rumahnya sendiri. Hari masih gelap, Evan sudah berada di luar pagar, ia pikir karena ini termasuk perumahan mewah, maka akan sangat sepi orang yang sekedar jalan jalan pagi, Namun ia keliru, pagi itu banyak sekali kaum muda mudi atau kau
"Iya, aku ikut, tapi ... jangan lupa di kasih makan ya?" jawab Isaura, sambil terus mengunyah makanan di dalam mulutnya.Perempuan cantik itu menjawab seperti setengah di paksa.Evan tersenyum, ternyata ini sisi lain dari seorang Isaura Chana yang selain kekerasan hatinya, ternyata mempunyai sifat humor juga. Dan yang lebih menyenangkan hatinya, sekarang sudah sah menjadi istri, bakal ibu dari anak anaknya kelak.Karena tak ada jawaban dari Evan, Isaura melirik Evan dengan ekor matanya."Kenapa menatapku seperti itu, aneh ya, liat orang secantik aku lagi makan?" Dengan mata mendelik, Isaura bertanya. Evan hanya tersenyum saat mendengar istrinya bertanya, bukannya menjawab, Evan malah bangun dari duduknya dan melangkah hendak menjauh, saat melewati belakang punggung istrinya, tiba tiba saja tangan kanannya mengacak lembut kepala Isaura, kemudian meninggalkannya ke lantai atas, tak perduli dengan racauan istrinya.Di dalam kamar, Evan yang tak tahu apa saja yang akan di bawa oleh istr
"Pak ...!"Sapa seorang lelaki separuh baya, Namun, masih tampak gagah. Dengan di dampingi oleh empat orang yang ke semuanya menggunakan jas putih, baru saja masuk ke dalam ruangan yang mempunyai interior ruangan sangat fantastik.Empat orang lelaki yang mengawal itu membungkukkan sedikit badannya di depan seorang lelaki dengan bergaya flamboyan yang sedang duduk di kursi kebesarannya di belakang meja. Tengah memberikan pandangan yang sangat familer.Lelaki yang sering di panggil dengan sebutan om Tyo itu pun langsung duduk di kursi yang tersedia di depan meja, setelah lelaki yang tadi ia beri hormat, menganggukkan kepala.Begitu pun dengan empat lelaki berjas putih yang tadi mengantarkan Om Tyo, mereka juga segera meninggalkan ruangan dan menutup pintu rapat rapat, setelah mendapatkan isyarat untuk pergi."Bagaimana, apakah kau sudah mengatakan apa yang aku ingin ucapkan untuk si Ali?!" tanya pak Hendra setelah pintu ruangannya di tutup sangat rapat."Sudah, aku sudah katakan, sudah
Evan mengguncangkan bahu istrinya setelah sebelumnya mematikan mesin mobil."Dik, bangun kita sudah sampai," ujar Evan berulang ke dua kalinya.Isaura langsung membuka matanya, dan mengerjapnya berulang kali.Tampak di hadapannya, sebuah rumah minimalis berlantai dua bernuansa biru dan putih, di halaman depan sebatang pohon mangga besar dengan daun yang lebat, hingga menambah sejuk udaranya."Ayo masuk!" ajak Evan yang sudah membuka pintu mobil dengan mengulurkan tangannya ke arah Isaura."Te ... Terima kasih ...."Dan entah apa yang ada di benaknya, Isaura pun menerima uluran tangan kanan Evan untuk menggandengnya masuk ke dalam rumah.Cekrek!"Kok nggak di kunci? Di dalam ada orang kah?" tanya Isaura saat melihat dengan begitu mudahnya Evan masuk ke dalam rumah.Tak ada jawaban, Isaura terus membuntuti langkah suaminya yang kini berhenti di batas pintu ke dua. "Assalamualaikum!" sapa Evan sambil tersenyum pada istrinya, sedangkan tangan kirinya meletakkan tas koper di lantai."Wa a
Isaura langsung membalikkan badan saat mendengar apa yang di tanyakan oleh Evan."Apa maksudmu?" Tampak sekali pias di wajah cantiknya, gestur tubuhnya pun terlihat bila saat ini Rara sedang panik."Hei, aku hanya bertanya, apakah kau sudah siap?" Evan kembali menggoda. Matanya menatap tak biasa pada Rara."Siap? Jangan main main denganku!!"Rara mengulang pertanyaan Evan, sekaligus mengancamnya dengan kening yang mengerutkan tiga garis."Bukannya tadi kau mengatakan akan menungguku hingga nantinya aku yang akan meminta padamu?" tanyanya dengan mata membulat sempurna."Itu tentang nafkah batin, sedangkan yang sekarang aku tanyakan padamu, adalah tentang kesiapanmu menceritakan tentang bagaimana kamu dulu?" Evan berkata sembari menepuk ranjang yang di sampingnya."Apa maksudmu?" tanya Isaura yang tambah tidak mengerti."Seperti yang Mamamu katakan tadi, beliau menginginkan kamu untuk memakai jilbab seperti dulu, jadi ... kenapa kau lepas jilbabmu?"Isaura kembali membalikkan badannya
Evan yang mendengar pertanyaan dari Nilla, langsung memejamkan mata, karena firasatnya mengatakan bahwa sebentar lagi, Rara bakalan menengok untuk melihat kondisi dirinya, sedang tertidur atau terjaga.[Iya, tapi dia sedang tidur, ada apa? Apakah kau mengenal mas Evan?] tanya Isaura tanpa menengok lagi ke ranjang tempat Evan rebahan. Ternyata apa yang Evan pikirkan benar benar tidak terjadi.[Ya, dia kawan lama.][Ooo ... Nanti aku sampaikan kalau kau mencarinya.] Dengan wajah yang terlihat sedikit kaget, Rara menjawab sembari mengangguk kan kepalanya berulang kali.[Hei, jangan dong. Dia kan suamimu. Lagian aku tadi hanya basa basi aja kok.]Isaura tertawa saat mendengar Nilla langsung panik. Namun ada yang berbeda dengan aura wajahnya saat ini.[ Aku kan hanya bercanda, segitu paniknya? Antara kalian pasti ada apanya kan?! Ngaku deh ...!] Tuduh Isaura langsung tunjuk poin. Tangannya masih sibuk mengeluarkan dan langsung memasukkan pakaian ke dalam lemari.[ Eh, sudah dulu ya, ada p
Setelah selesai sholat pun, Isaura tak juga masuk ke dalam kamar, jam menunjukkan pada Evan, Isaura telah pergi selama kurang lebih empat puluh lima menit yang lalu.Dengan tetap menggunakan sarung dan baju kokonya, Evan keluar kamar dan langsung turun ke bawah dengan niat mencari istrinya.Terdengar riuh gelak tawa dari arah depan rumah.Semakin penasaran, Evan mempercepat langkahnya menuruni tangga.Sesampainya di bawah, tepatnya di ruang tamu, di lihatnya, Isaura sedang bersenda gurau bersama Mama dan Ayah mertuanya. Tentu saja Evan sangat kaget ketika tahu, siapa tamu yang datang sore itu."Kenapa tidak memberitahuku kalau kita kedatangan Ayah dan Mama, Dik?" tegur Evan saat kakinya menginjak lantai ruang tamu. Dan langsung mengelus rambut Isaura."Aku pikir kamu masih sholat, ternyata sudah selesai." Isaura menjawab sambil memeluk mamanya dari samping kanan. Seperti mencari perlindungan, takut Evan marah. Manjanya seketika itu juga mulai terasa saat berada di lingkungan keluarga
"Selamat pagi, Pak! Apa kabar?" sambut Evan saat kedatangan tamu yang ditunggunya. Saat ini Evan sedang berada dalam sebuah kafe sederhana Namun sangat terkenal di daerah itu."Pagi, pak Evan. Alhamdulillah sehat," lelaki separuh baya dengan kumisnya yang tebal, menyambut tangan Evan yang terulur untuk berjabat tangan."Bagaimana, apa ada yang perlu saya revisi lagi, pak Soni?" tanya Evan setelah kembali duduk di kursinya.Tiba tiba saja lelaki yang yang Evan tadi panggil pak Soni, melemparkan map yang isinya lumayan tebal ke atas meja.Tentu saja Evan yang langsung menegakkan badannya, matanya memandangi map itu dengan kedua tangan terkepal, tampak sekali kalau dia sedang menahan sesuatu di dadanya saat menghela nafas dengan kasar."Semua sudah saya tanda tangani, tidak ada revisi, perusahaan saya menerima semua yang pak Evan tawarkan," ujar pak Soni kini dengan senyum lebar di bibirnya."Maksud Bapak, ba- bagaimana?" Evan memandang pak Soni dengan tatapan tidak mengerti.Pak Soni