Evan mengguncangkan bahu istrinya setelah sebelumnya mematikan mesin mobil."Dik, bangun kita sudah sampai," ujar Evan berulang ke dua kalinya.Isaura langsung membuka matanya, dan mengerjapnya berulang kali.Tampak di hadapannya, sebuah rumah minimalis berlantai dua bernuansa biru dan putih, di halaman depan sebatang pohon mangga besar dengan daun yang lebat, hingga menambah sejuk udaranya."Ayo masuk!" ajak Evan yang sudah membuka pintu mobil dengan mengulurkan tangannya ke arah Isaura."Te ... Terima kasih ...."Dan entah apa yang ada di benaknya, Isaura pun menerima uluran tangan kanan Evan untuk menggandengnya masuk ke dalam rumah.Cekrek!"Kok nggak di kunci? Di dalam ada orang kah?" tanya Isaura saat melihat dengan begitu mudahnya Evan masuk ke dalam rumah.Tak ada jawaban, Isaura terus membuntuti langkah suaminya yang kini berhenti di batas pintu ke dua. "Assalamualaikum!" sapa Evan sambil tersenyum pada istrinya, sedangkan tangan kirinya meletakkan tas koper di lantai."Wa a
Isaura langsung membalikkan badan saat mendengar apa yang di tanyakan oleh Evan."Apa maksudmu?" Tampak sekali pias di wajah cantiknya, gestur tubuhnya pun terlihat bila saat ini Rara sedang panik."Hei, aku hanya bertanya, apakah kau sudah siap?" Evan kembali menggoda. Matanya menatap tak biasa pada Rara."Siap? Jangan main main denganku!!"Rara mengulang pertanyaan Evan, sekaligus mengancamnya dengan kening yang mengerutkan tiga garis."Bukannya tadi kau mengatakan akan menungguku hingga nantinya aku yang akan meminta padamu?" tanyanya dengan mata membulat sempurna."Itu tentang nafkah batin, sedangkan yang sekarang aku tanyakan padamu, adalah tentang kesiapanmu menceritakan tentang bagaimana kamu dulu?" Evan berkata sembari menepuk ranjang yang di sampingnya."Apa maksudmu?" tanya Isaura yang tambah tidak mengerti."Seperti yang Mamamu katakan tadi, beliau menginginkan kamu untuk memakai jilbab seperti dulu, jadi ... kenapa kau lepas jilbabmu?"Isaura kembali membalikkan badannya
Evan yang mendengar pertanyaan dari Nilla, langsung memejamkan mata, karena firasatnya mengatakan bahwa sebentar lagi, Rara bakalan menengok untuk melihat kondisi dirinya, sedang tertidur atau terjaga.[Iya, tapi dia sedang tidur, ada apa? Apakah kau mengenal mas Evan?] tanya Isaura tanpa menengok lagi ke ranjang tempat Evan rebahan. Ternyata apa yang Evan pikirkan benar benar tidak terjadi.[Ya, dia kawan lama.][Ooo ... Nanti aku sampaikan kalau kau mencarinya.] Dengan wajah yang terlihat sedikit kaget, Rara menjawab sembari mengangguk kan kepalanya berulang kali.[Hei, jangan dong. Dia kan suamimu. Lagian aku tadi hanya basa basi aja kok.]Isaura tertawa saat mendengar Nilla langsung panik. Namun ada yang berbeda dengan aura wajahnya saat ini.[ Aku kan hanya bercanda, segitu paniknya? Antara kalian pasti ada apanya kan?! Ngaku deh ...!] Tuduh Isaura langsung tunjuk poin. Tangannya masih sibuk mengeluarkan dan langsung memasukkan pakaian ke dalam lemari.[ Eh, sudah dulu ya, ada p
Setelah selesai sholat pun, Isaura tak juga masuk ke dalam kamar, jam menunjukkan pada Evan, Isaura telah pergi selama kurang lebih empat puluh lima menit yang lalu.Dengan tetap menggunakan sarung dan baju kokonya, Evan keluar kamar dan langsung turun ke bawah dengan niat mencari istrinya.Terdengar riuh gelak tawa dari arah depan rumah.Semakin penasaran, Evan mempercepat langkahnya menuruni tangga.Sesampainya di bawah, tepatnya di ruang tamu, di lihatnya, Isaura sedang bersenda gurau bersama Mama dan Ayah mertuanya. Tentu saja Evan sangat kaget ketika tahu, siapa tamu yang datang sore itu."Kenapa tidak memberitahuku kalau kita kedatangan Ayah dan Mama, Dik?" tegur Evan saat kakinya menginjak lantai ruang tamu. Dan langsung mengelus rambut Isaura."Aku pikir kamu masih sholat, ternyata sudah selesai." Isaura menjawab sambil memeluk mamanya dari samping kanan. Seperti mencari perlindungan, takut Evan marah. Manjanya seketika itu juga mulai terasa saat berada di lingkungan keluarga
"Selamat pagi, Pak! Apa kabar?" sambut Evan saat kedatangan tamu yang ditunggunya. Saat ini Evan sedang berada dalam sebuah kafe sederhana Namun sangat terkenal di daerah itu."Pagi, pak Evan. Alhamdulillah sehat," lelaki separuh baya dengan kumisnya yang tebal, menyambut tangan Evan yang terulur untuk berjabat tangan."Bagaimana, apa ada yang perlu saya revisi lagi, pak Soni?" tanya Evan setelah kembali duduk di kursinya.Tiba tiba saja lelaki yang yang Evan tadi panggil pak Soni, melemparkan map yang isinya lumayan tebal ke atas meja.Tentu saja Evan yang langsung menegakkan badannya, matanya memandangi map itu dengan kedua tangan terkepal, tampak sekali kalau dia sedang menahan sesuatu di dadanya saat menghela nafas dengan kasar."Semua sudah saya tanda tangani, tidak ada revisi, perusahaan saya menerima semua yang pak Evan tawarkan," ujar pak Soni kini dengan senyum lebar di bibirnya."Maksud Bapak, ba- bagaimana?" Evan memandang pak Soni dengan tatapan tidak mengerti.Pak Soni
Mbak Ratu kemudian meletakkan sebuah bungkusan berbentuk kotak berwarna putih dengan berhiaskan pita, di depan Evan."Apa ini, Mbak?" tanya Evan yang kaget melihat betapa kecilnya bentuk penghargaan yang ia dapat dari perusahaan."Kamu buka dulu, Van. Biar jelas!"Evan menuruti perintah pak Dimas, tangannya terulur ke depan, ke atas meja tempat mbak Ratu tadi meletakkan kotak, dan mengambilnya.Evan menarik pita yang menghiasi kotak itu, Namun matanya tak henti melihat wajah pak Dimas dan mbak Ratu secara bergantian.Hingga kemudian tangannya membuka kotak dan mendapati dua buah kunci di dalamnya."Maksudnya ini, apa?" tanya Evan. Dengan menyipitkan mata dan dahi yang mengkerut Evan menatap kunci itu."Bukankah kau mau mentraktir kita untuk makan siang bersama. Ayooolah, kamu juga perlu me- testdriver mobil barumu bukan?" ujar mbak Ratu yang sudah berdiri dari kursinya.Pak Dimas pun kemudian ikut berdiri, bersamaan dengan mbak Ratu, yang melangkah bersama menuju pintu.Meninggalkan E
"Van, bagaimana dengan anak anak sekretariat, kita pesenin juga nggak?" tanya mbak Alex tiba tiba. Saat semuanya sudah menyelesaikan makannya. "Bungkus?" Evan bukannya menjawab malah balik bertanya. Dia bersyukur mbak Alex tiba tiba mengalihkan perhatian mbak Pita dengan pertanyaannya."Iya, tapi bisa nggak ya kalau di bungkus?" tanyanya lagi sambil menatap Evan yang hanya mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban"Eh Pita, kalau di bungkus bisa nggak? Tolong kamu tanyain deh, bukannya kamu kenal ma yang punya?!" Akhirnya mbak Alex beralih ke mbak Pita."Tapi mungkin anak anak sudah pada makan kalau sekarang, kalau beli kuenya aja gimana?" usul mbak Ratu, yang langsung di setujui oleh pak Dimas."Itu di etalase depan kan ada beraneka kue basah, itu aja di beli semua buat yang di kantor," usul pak Dimas. Tangan beliau menunjuk ke arah depan."Pilihlah beberapa yang menurutmu anak anak suka!!" Pak dimas melanjutkan ucapannya, setengah menyuruh mbak Pita. "Siap, pak!" ucap mbak Pita yan
"Kamu janjian dengan dia?" tanya Evan dengan nada terdengar curiga, kini kembali menghadap kaca, meletakkan dasi yang sudah lepas dari lehernya di atas meja."Nggak, tadi itu hanya kebetulan saja kok!" jawab Rara yang mulai membuang muka, salah tingkah melihat Evan dengan santainya membuka pakaian dan celana panjang di depannya."Dik, ambilkan handuk, tolong!" pinta Evan hingga tanpa sengaja matanya menangkap tingkah lucu istrinya, hingga menimbulkan tersenyum di bibirnya."Nggak! Ambil aja sendiri!" jawaban sarkas akhirnya keluar juga dari mulut Rara, yang bergegas keluar dari kamar dengan muka cemberut.Bukannya marah, Evan malah semakin tersenyum geli sendiri mendengar penolakan Rara, apalagi saat istrinya keluar dari kamar dan membiarkan pintu terbuka tanpa di tutup lagi.Evan menutup pintu kamarnya kemudian segera bergegas ke kamar mandi. Kini wajahnya sudah tak lagi muram seperti saat dia datang tadi.****Dengan masih menggunakan handuk, Evan keluar dari kamar mandi, Rara masih
Evan kembali melangkah sendirian ke rumah sakit, tampak olehnya Mama dan Ayah yang duduk di sisi ranjang tempat Rara berbaring. "Sudah kembali, Van?" tanya Mama saat mereka mendengar bunyi pintu yang di buka oleh Evan. "Iya, Ma." jawab Evan yang dengan senyum khasnya mendekati mereka dan mencium punggung tangan keduanya dengan Takzim."Kamu bawa apa?" tanya Mama yang melihat salah satu tangan Evan sedang menenteng sebuah kresek yang lumayan besar bentuknya."Aku bawa makanan untuk ayah dan mama, takutnya ayah dan mama tidak keluar karena menjaga Rara."Evan memberikan kresek warna hitam dengan logo wajah bapak tua itu pada mama. Kemudian menghampiri Rara yang memejamkan matanya. Tanpa bersuara lagi, pak Ali dan istrinya bangun dari kursinya dan melangkah mendekati ranjang kosong di sebelah ranjang pasien, yang menjadi fasilitas untuk kamar ber-vvip.Beliau berdua sepertinya sengaja memberikan Evan tempat untuk menemani Rara."Dia tidur, Van. Mungkin dia lelah karena nangis tadi."
"Aku merasa berdosa sekali telah beranggapan yang tidak tidak padamu, di masa lalu." ujar pak Dimas yang kembali terduduk di kursinya, wajahnya yang menunduk dengan pandangan nanar ke lantai."Ini terjadi karena ketiadaan kedua mertua kita, apalagi saat itu kak Bastian seperti tak lagi memperhatikan kedua adik perempuannya yang telah menginjak usia dewasa. Dia lebih memperhatikan Mieke karena saat itu cinta perempuan itu adalah segalanya bagi kak Bastian." jelas pak Hendra dengan mata menatap ke luar rumah seperti sedang mengingat kejadian kemarin."Apa maksudmu, Ndra?" tanya pak Dimas yang tak mengerti dengan penjelasan yang baru saja pak Hendra katakan "Ayah Nilla adalah kakak lelaki dan anak tertua dari keluarga istri kita. Namun Ayahnya Nilla yang awalnya sangat mencintai Mieke karena beranggapan cinta wanita itu tulus padanya, akhirnya berubah. Suatu ketika dia ingin tahu apakah Mieke akan tetap setia kepadanya atau berubah saat tahu kalau dia hanyalah seorang supir di keluarga
Di waktu yang sama .... Pak Dimas turun dari mobil dan berdiri tak jauh dari mobilnya, matanya menyapu dan menatap rumah asri di depannya, rumah sederhana dengan tembok berwarna biru, berpagar hanya sebatas pinggang orang dewasa. Dengan di dalamnya berjenis jenis tanaman berbeda disusun rapi dan indah. Tampaknya dia masih sangsi dengan apa yang di lihatnya, dia masih tak percaya, tangannya membuka ponsel yang sedari tadi ia genggam, di cocokkan nya lagi alamat yang ia dapat dari salah satu kaki tangannya. Dan alamat itu benar karena di tembok dekat pintu tertempel nama dan alamat lengkap, yang terbuat dari hiasan kayu. Sama seperti yang tertera di layar ponselnya. Pak Dimas melangkah mendekati pagar, dan membukanya dengan mudah karena ternyata tak terkunci. Dengan mata masih memperhatikan sekelilingnya. Pak Dimas melangkah masuk mendekati pintu rumah yang terdiri dari dua daun pintu bercat putih. Rumah yang sejuk dan nyaman. Angin bertiup dari segala arah. Dengan wangi b
Evan sebenarnya tahu kalau Rara sudah sadar dan tidak sedang tertidur, dia pasti juga sudah sangat mengerti kalau kedua orangtuanya datang, Namun mungkin sedang tak ingin melakukan apa pun karena sedang kehilangan."Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Evan yang melangkah mendekati ranjang pembaringan Rara.Tak ada jawaban, bergerak pun tidak. Evan hanya bisa kembali mencium kening Rara, dan melihat sepintas mata dari istrinya yang masih terpejam. "Sabar ya Sayang, Allah masih ingin menguji kesabaran kita," bisiknya pas di telinga Rara.Pun saat Ayah dan Mama kembali masuk ke dalam ruangan itu, Rara masih tetap membatu. Hingga saat seorang Dokter yang di ikuti dua perawat perempuan masuk ke dalam kamar untuk pemeriksaan rutin pun, Rara masih tetap terdiam walau kini matanya tak lagi terpejam."Mbak, tetap semangat ya, jangan sedih terus, nanti kalau sedih terus susah sembuhnya." Nasehat bu Dokter sambil mengajak bercanda, Namun Rara masih tetap bergeming.Sampai rombongan Dokter it
Mendengar penjelasan dari sang Dokter, Evan hanya bisa menggenggam jari tangannya sendiri kuat kuat, ada perasaan perih yang menyayat."Saya harap bapak tidak kecil hati, tolong berikan semangat buat istri bapak, karena biasanya perempuan yang baru saja kehilangan bayinya akan berubah menjadi wanita sensitif--gampang marah hanya kerana masalah masalah kecil," ujar Dokter perempuan itu dengan senyum perduli. "Apakah kami masih bisa punya anak lagi, Dok?" tanya Evan dengan wajah penuh harap. "Bisa! Tentu saja bisa, tidak ada kendala dengan rahim si ibu kok, pak," jawab Dokter dengan senyum yang menenangkan hati Evan."Yang penting sekarang adalah bagaimana cara bapak untuk menguatkan mental si ibu bahwa semua baik baik saja."Kembali Dokter memberikan pesan berharga buat Evan."Baik, Dok. Akan saya perhatikan semua yang dokter pesan. Terimakasih."Dokter perempuan separuh baya yang mengenakan hijab lebar itu hanya bisa tersenyum melihat ke kondisi Evan. Dan menganggukkan kepala mem
"Ya, kamu benar. Maaf kalau selama ini ayah tidak pernah menceritakan pada kalian, tapi bukankah kalian sudah mengatakan bahagia atas pernikahan ini?"Rara tak menjawab pertanyaan ayahnya, malah kini dia berpaling ke arah Evan, yang kini juga tengah memandangnya."Apakah kamu bahagia hidup bersamaku, Mas?" Dengan wajah serius, Rara bertanya pada Evan yang menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum saat mendengar istrinya bertanya."Alhamdulillah, insya Allah selamanya, aku bakalan bahagia dan akan membahagiakanmu," jawab Evan dengan rona muka serius, memandang silih berganti Rara, dan kedua mertuanya."Aamiin aamiin." sahut semuanya dengan penuh keyakinan."Jadi pengin muda lagi aku, Ayah." ujar Mama, dengan muka merajuk sambil memeluk satu lengan Ayah dan menggelayutinya mesra. "Hahahaha!"Tentu saja sikap Mama membuat Evan dan Rara terkekeh spontan. "Sudah malam, apakah kalian masih kekeh untuk pulang malam, ini?""Mungkin ada baiknya bila kita menginap saja, besok setelah subuh k
"Ayah sudah mendengar tadi dari Mama, cuma rasanya ayah ingin dengar langsung dari kamu Ra." Pak Ali yang baru saja turun dari lantai atas. Langsung mengambil tempat di depan Rara dan Evan yang sedang duduk di depan tv.Sengaja pak Ali menunggu suami anaknya datang agar dapat mendengar dari kedua pihak. "Tentang apa Ayah?" tanya Rara dengan perhatian beralih pada sosok yang masih tampan walau sudah berumur setengah abad."Apakah benar kamu hamil, Ra?" Ayah memandangi wajah putri dan menantunya secara bergantian seolah meminta jawaban jujur dari keduanya."Alhamdulillah, Ayah." Rara menjawab dengan seuntai senyum di bibirnya. Pak Ali bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Rara dengan mata berkaca kaca, di ciuminya setiap inci wajah Rara seolah sedang menciumi putrinya saat kecil."Alhamdulillah ...." ujarnya berkali kali.Rara hanya bisa tersenyum haru, matanya pun ikut berkaca kaca, di peluknya sang ayah dengan mata menatap Evan yang juga sedang menatapnya lekat."Kau harap kam
Sekejap Mama membulatkan mata, seakan tak mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari anak perempuan satu satunya, sambil mengucapkan syukur Alhamdulillah, tiada henti di pelukan Rara. "Kok Mama malah nangis? Harusnya Mama bahagia dong, sebentar lagi Mama bakalan di panggil Mbah uti." tanya Rara yang heran karena melihat mamanya terisak. "Sejak kamu datang tadi, hati mama terus menerus berdoa, semoga kepulanganmu kali ini bukan karena keinginanmu untuk berpisah dnegan Evan," ujar Mama dengan sangat lirih. "Mama ...." seru Rara yang ikut terharu dengan sikap mama. "Makasih ya Allah, akhirnya mama bisa bernafas lega sekarang. Kamu memilih untuk bersama walau dengan awal yang tak mengenakkan.""Ma ... kok gitu sih." sela Rara yang merasa tidak enak hati mengingat sikapnya dulu pada Evan."Sudahlah, nggak usah di pikirin lagi, dahewat kan?! Pokoknya mama sekarang senang, kamu nginap sini kan?" tanya Mama, beliau langsung berdiri menuju dapur."Aku belum bilang ke mas Evan kalau mau
Evan merenggangkan kedekatannya dengan Rara dan berbalik membuat mereka kini saling berhadapan dengan sangat intim."Makan kamu, boleh nggak, sih?" tanya Evan sambil tersenyum, kemudian dengan sigap mencuri kecup di bibir milik istrinya."Nggak!" jawab Rara, bahkan kini membalas pagutan bibir Evan dengan lincahnya. Mata mereka saling menatap lekat satu dan yang lainnya."Sudahlah, ayo kita cari sarapan sambil jalan jalan pagi." ajak Evan yang sudah bergerak turun dari ranjang."Aku mau pecel, Mas." seru Rara dengan semangat empat lima. Ikut bergegas mengikuti apa yang Evan mau.Pagi itu kali pertama mereka berdua jalan kaki keluar rumah berdua, tangan Evan posesif menggenggam jemari istrinya, tak membiarkannya terlepas walau sesaat.Beberapa orang tetangga mereka, yang terlalui. Terpesona melihat begitu romantisnya Evan dan Rara. terlihat mulai menyapa, bahkan ada yang berani menggoda keromantisannya pada sang istri."Mbak ....!"Evan dan Rara menoleh ke arah belakang, Sudah ada Mak