"Van, bagaimana dengan anak anak sekretariat, kita pesenin juga nggak?" tanya mbak Alex tiba tiba. Saat semuanya sudah menyelesaikan makannya. "Bungkus?" Evan bukannya menjawab malah balik bertanya. Dia bersyukur mbak Alex tiba tiba mengalihkan perhatian mbak Pita dengan pertanyaannya."Iya, tapi bisa nggak ya kalau di bungkus?" tanyanya lagi sambil menatap Evan yang hanya mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban"Eh Pita, kalau di bungkus bisa nggak? Tolong kamu tanyain deh, bukannya kamu kenal ma yang punya?!" Akhirnya mbak Alex beralih ke mbak Pita."Tapi mungkin anak anak sudah pada makan kalau sekarang, kalau beli kuenya aja gimana?" usul mbak Ratu, yang langsung di setujui oleh pak Dimas."Itu di etalase depan kan ada beraneka kue basah, itu aja di beli semua buat yang di kantor," usul pak Dimas. Tangan beliau menunjuk ke arah depan."Pilihlah beberapa yang menurutmu anak anak suka!!" Pak dimas melanjutkan ucapannya, setengah menyuruh mbak Pita. "Siap, pak!" ucap mbak Pita yan
"Kamu janjian dengan dia?" tanya Evan dengan nada terdengar curiga, kini kembali menghadap kaca, meletakkan dasi yang sudah lepas dari lehernya di atas meja."Nggak, tadi itu hanya kebetulan saja kok!" jawab Rara yang mulai membuang muka, salah tingkah melihat Evan dengan santainya membuka pakaian dan celana panjang di depannya."Dik, ambilkan handuk, tolong!" pinta Evan hingga tanpa sengaja matanya menangkap tingkah lucu istrinya, hingga menimbulkan tersenyum di bibirnya."Nggak! Ambil aja sendiri!" jawaban sarkas akhirnya keluar juga dari mulut Rara, yang bergegas keluar dari kamar dengan muka cemberut.Bukannya marah, Evan malah semakin tersenyum geli sendiri mendengar penolakan Rara, apalagi saat istrinya keluar dari kamar dan membiarkan pintu terbuka tanpa di tutup lagi.Evan menutup pintu kamarnya kemudian segera bergegas ke kamar mandi. Kini wajahnya sudah tak lagi muram seperti saat dia datang tadi.****Dengan masih menggunakan handuk, Evan keluar dari kamar mandi, Rara masih
Dengan kasar Rara menarik tangannya dari genggaman Evan yang tersenyum menggoda. Rara segera memalingkan wajahnya, yang ia tahu pasti sudah berubah warnanya sekarang."Dik ...!"Rara tak bersuara, cukup dengan membanting keras pintu kamar sebagai jawaban dari pertanyaan Evan tadi. Membuat Evan malah tersenyum semakin lebar.Setelah sekian lama sendirian di depan tv, Evan menengok jam dinding yang berada di atas tv, menunjukkan jam sepuluh malam. Dia pun berdiri dengan mengucek ucek matanya yang mulai terasa sepet.Di bukanya pintu kamar secara perlahan."Alhamdulillah," desisnya pelan, saat terbukti pintu kamarnya tidak di kunci dari dalam.Hawa dingin langsung memeluk badan Evan hingga membuatnya sedikit bergidik. Matanya melirik ke arah Rara yang tertidur nyenyak di atas ranjang, sepertinya dia tidak berpengaruh dengan hawa dingin yang berasal dari mesin pendingin ruangan.Kini matanya mulai mencari jejak remote pengatur mesin pendingin ruangan berada, suhu ini terlalu dingin baginy
"Kamu sudah sarapan belum? Kenapa tidak ada piring di depanmu?" Evan spontan mengalihkan perhatian Rara. Gawat bila dia harus menjelaskan sesuatu di balik kata serabi."Aku tidak terbiasa sarapan," jawab Rara sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas."Kenapa, takut gemuk?" Evan menerima piring berisi roti dengan telur mata sapi di tengahnya, seperti yang tadi ia minta Mak untuk membuatkan."Tidak, hanya kebiasaan saja.""Sejak di pondok?" Evan seperti tak mau berhenti bertanya tentang pribadi Rara, walau di mulutnya sedang mengunyah makanan."Iya, tak ada waktu untuk memasak, saat itu hanya fokus pada hafalan, lagi dan lagi.""Di pondok mana?""Salah satu pondok di Jombang. Jawa timur.""Wooow, pondok terbesar itu?" Mata Evan membulat sempurna."Jadi kapan kau mau pakai hijab, Dik?"Isaura tak menjawab, pandangannya kini beradu dengan pandangan milik Evan."Ak---aku ....""Ganti bajumu dengan yang lebih longgar, kalau tidur saja kau rangkap sampai tiga baju, kenapa kalau keluar rumah
"Pak, tolong, Mama masih dalam kondisi gawat." Evan kembali mengingatkan pak Dimas dengan suara yang mulai serak dan wajah yang memerah.Seolah kembali tersadar, walau masih di landa penasaran yang amat sangat, pak Dimas fokus lagi membawa mobilnya, kini dengan lebih cepat walau tetap dengan kewaspadaan yang tinggi.Begitu sampai di rumah sakit, pak Dimas menghentikan mobil tepat di depan lobi. Dengan cepat, Evan keluar dari mobil dan kembali membopong perempuan yang ia panggil Mama, dan membawanya masuk."Tolong, segera di tangani. Tolong!" Seperti orang gila, Evan teriak -teriak sambil melangkah masuk ke dalam ruangan yang di ikuti Umi dari belakang."Jangan teriak teriak Pak, kasihan pasien yang lain!" tegur seorang petugas kesehatan."Sini, segera tidurkan di sini. Biar saya periksa dulu!"suruh seorang perempuan berkaca mata, yang meminta Evan menidurkan Mamanya pada salah satu ranjang yang berada di ruangan itu.Baru saja Dokter memeriksa, seorang petugas kesehatan yang lain m
Selesai sholat, Evan sengaja membacakan al quran di dekat mama Dewi. Tangan Mama Dewi, Evan genggam dan kadang juga diciuminya. Sungguh ia sudah menganggap mama Dewi sebagai pengganti mamanya.Mama Dewi perlahan membuka mata, dan mengerjapnya beberapa kali, menatap Evan yang sedang mengaji dengan senyum bahagia. "Van ...!"Evan tak menjawab, rupanya dia benar benar konsentrasi dengan apa yang sedang ia baca."Van ...!" panggil mama Dewi sambil menarik tangannya yang masih dalam genggaman Evan. Pelan.Evan yang merasakan adanya gerakan dari Mama, sontak mengangkat wajahnya menghadap ke arah Mama."Ada yang ingin Evan lakukan untuk Mama?" tanyanya sambil berdiri, Evan menatap Mama dengan penuh perhatian. "Pulanglah, istrimu pasti sedang menunggumu," suruh perempuan yang kini terlihat sedikit lebih segar.Evan terdiam dia lupa memberitahukan pada Rara tentang keterlambatannya pulang hari ini, juga tentang Mama Dewi."Evan masih ingin di sini, Ma." Evan menjawab pertanyaan Dewi dengan
"Mbak, ini laporan kemarin, maaf baru bisa aku berikan hari ini." Evan meletakkan map berwarna putih ke atas meja mbak Ratu, hingga membuat perempuan cantik yang berhijab modern itu menghentikan aktivitasnya. "Duduk dulu, Van. Aku periksa sebentar, ya!" pintanya, tangan mbak Ratu mengambil map dan memeriksanya per lembar, dengan sangat teliti."Iya, Mbak." jawab Evan yang juga memperhatikan bagaimana mbak Ratu memeriksa laporannya."Bagaimana kesehatan mamamu, Van?" tanya mbak Ratu di sela sela kesibukannya memeriksa laporan Evan."Alhamdulillah, sudah semakin sehat, mungkin setelah ini aku akan langsung ke sana, Mbak. Nggak ada yang bisa dimintain tolong kalau beliau sedang menginginkan sesuatu." Jawab Evan."Kenapa istrimu tidak kau minta menjaganya?" tanya mbak Ratu lagi dengan tanpa menoleh ke arah Evan. "Tidak, Mbak, dia malah belum tahu kalau Mama masuk ke rumah sakit.""Kenapa tidak kau ceritakan, masih sekaku itukah hubungan kalian? Sampai sampai mengalahkan kanebo," tanya
Sudah satu jam, Rara masih duduk saja, berdiam diri di dalam mobil yang sengaja ia parkir di bawah salah satu pohon besar nan rindang, yang dekat dengan letak kafenya berdiri. Matanya menatap orang yang berlalu lalang di dalam kafe yang masih bisa ia lihat dari jendela mobil."Bagaimana nanti kalau seumpama semua orang yang berada di kafe menertawakan aku? Mengejek penampilanku yang sudah tidak modis lagi?"Dua pertanyaan yang kini sedang berputar dalam kepalanya. Bertambah lagi tiga puluh menit di dalam mobil, hingga akhirnya dengan segala keberanian yang belum terkumpul semuanya, Rara membuka pintu, kembali menutup dengan ragu dan melangkah menuju kafe dengan cepat.Rara masuk ke dalam kafe, dengan penampilan baru. Berhijab modern Namun menutupi hingga ke dadanya. Ia paham kalau sekarang semua pandangan karyawan terfokus padanya. Namun ia tak peduli, dengan langkah cepat Rara melesat naik tangga menuju ke kantornya di lantai atas.Bluum! Pintu ruang kerjanya di tutup dengan kasa
Evan kembali melangkah sendirian ke rumah sakit, tampak olehnya Mama dan Ayah yang duduk di sisi ranjang tempat Rara berbaring. "Sudah kembali, Van?" tanya Mama saat mereka mendengar bunyi pintu yang di buka oleh Evan. "Iya, Ma." jawab Evan yang dengan senyum khasnya mendekati mereka dan mencium punggung tangan keduanya dengan Takzim."Kamu bawa apa?" tanya Mama yang melihat salah satu tangan Evan sedang menenteng sebuah kresek yang lumayan besar bentuknya."Aku bawa makanan untuk ayah dan mama, takutnya ayah dan mama tidak keluar karena menjaga Rara."Evan memberikan kresek warna hitam dengan logo wajah bapak tua itu pada mama. Kemudian menghampiri Rara yang memejamkan matanya. Tanpa bersuara lagi, pak Ali dan istrinya bangun dari kursinya dan melangkah mendekati ranjang kosong di sebelah ranjang pasien, yang menjadi fasilitas untuk kamar ber-vvip.Beliau berdua sepertinya sengaja memberikan Evan tempat untuk menemani Rara."Dia tidur, Van. Mungkin dia lelah karena nangis tadi."
"Aku merasa berdosa sekali telah beranggapan yang tidak tidak padamu, di masa lalu." ujar pak Dimas yang kembali terduduk di kursinya, wajahnya yang menunduk dengan pandangan nanar ke lantai."Ini terjadi karena ketiadaan kedua mertua kita, apalagi saat itu kak Bastian seperti tak lagi memperhatikan kedua adik perempuannya yang telah menginjak usia dewasa. Dia lebih memperhatikan Mieke karena saat itu cinta perempuan itu adalah segalanya bagi kak Bastian." jelas pak Hendra dengan mata menatap ke luar rumah seperti sedang mengingat kejadian kemarin."Apa maksudmu, Ndra?" tanya pak Dimas yang tak mengerti dengan penjelasan yang baru saja pak Hendra katakan "Ayah Nilla adalah kakak lelaki dan anak tertua dari keluarga istri kita. Namun Ayahnya Nilla yang awalnya sangat mencintai Mieke karena beranggapan cinta wanita itu tulus padanya, akhirnya berubah. Suatu ketika dia ingin tahu apakah Mieke akan tetap setia kepadanya atau berubah saat tahu kalau dia hanyalah seorang supir di keluarga
Di waktu yang sama .... Pak Dimas turun dari mobil dan berdiri tak jauh dari mobilnya, matanya menyapu dan menatap rumah asri di depannya, rumah sederhana dengan tembok berwarna biru, berpagar hanya sebatas pinggang orang dewasa. Dengan di dalamnya berjenis jenis tanaman berbeda disusun rapi dan indah. Tampaknya dia masih sangsi dengan apa yang di lihatnya, dia masih tak percaya, tangannya membuka ponsel yang sedari tadi ia genggam, di cocokkan nya lagi alamat yang ia dapat dari salah satu kaki tangannya. Dan alamat itu benar karena di tembok dekat pintu tertempel nama dan alamat lengkap, yang terbuat dari hiasan kayu. Sama seperti yang tertera di layar ponselnya. Pak Dimas melangkah mendekati pagar, dan membukanya dengan mudah karena ternyata tak terkunci. Dengan mata masih memperhatikan sekelilingnya. Pak Dimas melangkah masuk mendekati pintu rumah yang terdiri dari dua daun pintu bercat putih. Rumah yang sejuk dan nyaman. Angin bertiup dari segala arah. Dengan wangi b
Evan sebenarnya tahu kalau Rara sudah sadar dan tidak sedang tertidur, dia pasti juga sudah sangat mengerti kalau kedua orangtuanya datang, Namun mungkin sedang tak ingin melakukan apa pun karena sedang kehilangan."Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Evan yang melangkah mendekati ranjang pembaringan Rara.Tak ada jawaban, bergerak pun tidak. Evan hanya bisa kembali mencium kening Rara, dan melihat sepintas mata dari istrinya yang masih terpejam. "Sabar ya Sayang, Allah masih ingin menguji kesabaran kita," bisiknya pas di telinga Rara.Pun saat Ayah dan Mama kembali masuk ke dalam ruangan itu, Rara masih tetap membatu. Hingga saat seorang Dokter yang di ikuti dua perawat perempuan masuk ke dalam kamar untuk pemeriksaan rutin pun, Rara masih tetap terdiam walau kini matanya tak lagi terpejam."Mbak, tetap semangat ya, jangan sedih terus, nanti kalau sedih terus susah sembuhnya." Nasehat bu Dokter sambil mengajak bercanda, Namun Rara masih tetap bergeming.Sampai rombongan Dokter it
Mendengar penjelasan dari sang Dokter, Evan hanya bisa menggenggam jari tangannya sendiri kuat kuat, ada perasaan perih yang menyayat."Saya harap bapak tidak kecil hati, tolong berikan semangat buat istri bapak, karena biasanya perempuan yang baru saja kehilangan bayinya akan berubah menjadi wanita sensitif--gampang marah hanya kerana masalah masalah kecil," ujar Dokter perempuan itu dengan senyum perduli. "Apakah kami masih bisa punya anak lagi, Dok?" tanya Evan dengan wajah penuh harap. "Bisa! Tentu saja bisa, tidak ada kendala dengan rahim si ibu kok, pak," jawab Dokter dengan senyum yang menenangkan hati Evan."Yang penting sekarang adalah bagaimana cara bapak untuk menguatkan mental si ibu bahwa semua baik baik saja."Kembali Dokter memberikan pesan berharga buat Evan."Baik, Dok. Akan saya perhatikan semua yang dokter pesan. Terimakasih."Dokter perempuan separuh baya yang mengenakan hijab lebar itu hanya bisa tersenyum melihat ke kondisi Evan. Dan menganggukkan kepala mem
"Ya, kamu benar. Maaf kalau selama ini ayah tidak pernah menceritakan pada kalian, tapi bukankah kalian sudah mengatakan bahagia atas pernikahan ini?"Rara tak menjawab pertanyaan ayahnya, malah kini dia berpaling ke arah Evan, yang kini juga tengah memandangnya."Apakah kamu bahagia hidup bersamaku, Mas?" Dengan wajah serius, Rara bertanya pada Evan yang menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum saat mendengar istrinya bertanya."Alhamdulillah, insya Allah selamanya, aku bakalan bahagia dan akan membahagiakanmu," jawab Evan dengan rona muka serius, memandang silih berganti Rara, dan kedua mertuanya."Aamiin aamiin." sahut semuanya dengan penuh keyakinan."Jadi pengin muda lagi aku, Ayah." ujar Mama, dengan muka merajuk sambil memeluk satu lengan Ayah dan menggelayutinya mesra. "Hahahaha!"Tentu saja sikap Mama membuat Evan dan Rara terkekeh spontan. "Sudah malam, apakah kalian masih kekeh untuk pulang malam, ini?""Mungkin ada baiknya bila kita menginap saja, besok setelah subuh k
"Ayah sudah mendengar tadi dari Mama, cuma rasanya ayah ingin dengar langsung dari kamu Ra." Pak Ali yang baru saja turun dari lantai atas. Langsung mengambil tempat di depan Rara dan Evan yang sedang duduk di depan tv.Sengaja pak Ali menunggu suami anaknya datang agar dapat mendengar dari kedua pihak. "Tentang apa Ayah?" tanya Rara dengan perhatian beralih pada sosok yang masih tampan walau sudah berumur setengah abad."Apakah benar kamu hamil, Ra?" Ayah memandangi wajah putri dan menantunya secara bergantian seolah meminta jawaban jujur dari keduanya."Alhamdulillah, Ayah." Rara menjawab dengan seuntai senyum di bibirnya. Pak Ali bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Rara dengan mata berkaca kaca, di ciuminya setiap inci wajah Rara seolah sedang menciumi putrinya saat kecil."Alhamdulillah ...." ujarnya berkali kali.Rara hanya bisa tersenyum haru, matanya pun ikut berkaca kaca, di peluknya sang ayah dengan mata menatap Evan yang juga sedang menatapnya lekat."Kau harap kam
Sekejap Mama membulatkan mata, seakan tak mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari anak perempuan satu satunya, sambil mengucapkan syukur Alhamdulillah, tiada henti di pelukan Rara. "Kok Mama malah nangis? Harusnya Mama bahagia dong, sebentar lagi Mama bakalan di panggil Mbah uti." tanya Rara yang heran karena melihat mamanya terisak. "Sejak kamu datang tadi, hati mama terus menerus berdoa, semoga kepulanganmu kali ini bukan karena keinginanmu untuk berpisah dnegan Evan," ujar Mama dengan sangat lirih. "Mama ...." seru Rara yang ikut terharu dengan sikap mama. "Makasih ya Allah, akhirnya mama bisa bernafas lega sekarang. Kamu memilih untuk bersama walau dengan awal yang tak mengenakkan.""Ma ... kok gitu sih." sela Rara yang merasa tidak enak hati mengingat sikapnya dulu pada Evan."Sudahlah, nggak usah di pikirin lagi, dahewat kan?! Pokoknya mama sekarang senang, kamu nginap sini kan?" tanya Mama, beliau langsung berdiri menuju dapur."Aku belum bilang ke mas Evan kalau mau
Evan merenggangkan kedekatannya dengan Rara dan berbalik membuat mereka kini saling berhadapan dengan sangat intim."Makan kamu, boleh nggak, sih?" tanya Evan sambil tersenyum, kemudian dengan sigap mencuri kecup di bibir milik istrinya."Nggak!" jawab Rara, bahkan kini membalas pagutan bibir Evan dengan lincahnya. Mata mereka saling menatap lekat satu dan yang lainnya."Sudahlah, ayo kita cari sarapan sambil jalan jalan pagi." ajak Evan yang sudah bergerak turun dari ranjang."Aku mau pecel, Mas." seru Rara dengan semangat empat lima. Ikut bergegas mengikuti apa yang Evan mau.Pagi itu kali pertama mereka berdua jalan kaki keluar rumah berdua, tangan Evan posesif menggenggam jemari istrinya, tak membiarkannya terlepas walau sesaat.Beberapa orang tetangga mereka, yang terlalui. Terpesona melihat begitu romantisnya Evan dan Rara. terlihat mulai menyapa, bahkan ada yang berani menggoda keromantisannya pada sang istri."Mbak ....!"Evan dan Rara menoleh ke arah belakang, Sudah ada Mak