"Kamu sudah sarapan belum? Kenapa tidak ada piring di depanmu?" Evan spontan mengalihkan perhatian Rara. Gawat bila dia harus menjelaskan sesuatu di balik kata serabi."Aku tidak terbiasa sarapan," jawab Rara sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas."Kenapa, takut gemuk?" Evan menerima piring berisi roti dengan telur mata sapi di tengahnya, seperti yang tadi ia minta Mak untuk membuatkan."Tidak, hanya kebiasaan saja.""Sejak di pondok?" Evan seperti tak mau berhenti bertanya tentang pribadi Rara, walau di mulutnya sedang mengunyah makanan."Iya, tak ada waktu untuk memasak, saat itu hanya fokus pada hafalan, lagi dan lagi.""Di pondok mana?""Salah satu pondok di Jombang. Jawa timur.""Wooow, pondok terbesar itu?" Mata Evan membulat sempurna."Jadi kapan kau mau pakai hijab, Dik?"Isaura tak menjawab, pandangannya kini beradu dengan pandangan milik Evan."Ak---aku ....""Ganti bajumu dengan yang lebih longgar, kalau tidur saja kau rangkap sampai tiga baju, kenapa kalau keluar rumah
"Pak, tolong, Mama masih dalam kondisi gawat." Evan kembali mengingatkan pak Dimas dengan suara yang mulai serak dan wajah yang memerah.Seolah kembali tersadar, walau masih di landa penasaran yang amat sangat, pak Dimas fokus lagi membawa mobilnya, kini dengan lebih cepat walau tetap dengan kewaspadaan yang tinggi.Begitu sampai di rumah sakit, pak Dimas menghentikan mobil tepat di depan lobi. Dengan cepat, Evan keluar dari mobil dan kembali membopong perempuan yang ia panggil Mama, dan membawanya masuk."Tolong, segera di tangani. Tolong!" Seperti orang gila, Evan teriak -teriak sambil melangkah masuk ke dalam ruangan yang di ikuti Umi dari belakang."Jangan teriak teriak Pak, kasihan pasien yang lain!" tegur seorang petugas kesehatan."Sini, segera tidurkan di sini. Biar saya periksa dulu!"suruh seorang perempuan berkaca mata, yang meminta Evan menidurkan Mamanya pada salah satu ranjang yang berada di ruangan itu.Baru saja Dokter memeriksa, seorang petugas kesehatan yang lain m
Selesai sholat, Evan sengaja membacakan al quran di dekat mama Dewi. Tangan Mama Dewi, Evan genggam dan kadang juga diciuminya. Sungguh ia sudah menganggap mama Dewi sebagai pengganti mamanya.Mama Dewi perlahan membuka mata, dan mengerjapnya beberapa kali, menatap Evan yang sedang mengaji dengan senyum bahagia. "Van ...!"Evan tak menjawab, rupanya dia benar benar konsentrasi dengan apa yang sedang ia baca."Van ...!" panggil mama Dewi sambil menarik tangannya yang masih dalam genggaman Evan. Pelan.Evan yang merasakan adanya gerakan dari Mama, sontak mengangkat wajahnya menghadap ke arah Mama."Ada yang ingin Evan lakukan untuk Mama?" tanyanya sambil berdiri, Evan menatap Mama dengan penuh perhatian. "Pulanglah, istrimu pasti sedang menunggumu," suruh perempuan yang kini terlihat sedikit lebih segar.Evan terdiam dia lupa memberitahukan pada Rara tentang keterlambatannya pulang hari ini, juga tentang Mama Dewi."Evan masih ingin di sini, Ma." Evan menjawab pertanyaan Dewi dengan
"Mbak, ini laporan kemarin, maaf baru bisa aku berikan hari ini." Evan meletakkan map berwarna putih ke atas meja mbak Ratu, hingga membuat perempuan cantik yang berhijab modern itu menghentikan aktivitasnya. "Duduk dulu, Van. Aku periksa sebentar, ya!" pintanya, tangan mbak Ratu mengambil map dan memeriksanya per lembar, dengan sangat teliti."Iya, Mbak." jawab Evan yang juga memperhatikan bagaimana mbak Ratu memeriksa laporannya."Bagaimana kesehatan mamamu, Van?" tanya mbak Ratu di sela sela kesibukannya memeriksa laporan Evan."Alhamdulillah, sudah semakin sehat, mungkin setelah ini aku akan langsung ke sana, Mbak. Nggak ada yang bisa dimintain tolong kalau beliau sedang menginginkan sesuatu." Jawab Evan."Kenapa istrimu tidak kau minta menjaganya?" tanya mbak Ratu lagi dengan tanpa menoleh ke arah Evan. "Tidak, Mbak, dia malah belum tahu kalau Mama masuk ke rumah sakit.""Kenapa tidak kau ceritakan, masih sekaku itukah hubungan kalian? Sampai sampai mengalahkan kanebo," tanya
Sudah satu jam, Rara masih duduk saja, berdiam diri di dalam mobil yang sengaja ia parkir di bawah salah satu pohon besar nan rindang, yang dekat dengan letak kafenya berdiri. Matanya menatap orang yang berlalu lalang di dalam kafe yang masih bisa ia lihat dari jendela mobil."Bagaimana nanti kalau seumpama semua orang yang berada di kafe menertawakan aku? Mengejek penampilanku yang sudah tidak modis lagi?"Dua pertanyaan yang kini sedang berputar dalam kepalanya. Bertambah lagi tiga puluh menit di dalam mobil, hingga akhirnya dengan segala keberanian yang belum terkumpul semuanya, Rara membuka pintu, kembali menutup dengan ragu dan melangkah menuju kafe dengan cepat.Rara masuk ke dalam kafe, dengan penampilan baru. Berhijab modern Namun menutupi hingga ke dadanya. Ia paham kalau sekarang semua pandangan karyawan terfokus padanya. Namun ia tak peduli, dengan langkah cepat Rara melesat naik tangga menuju ke kantornya di lantai atas.Bluum! Pintu ruang kerjanya di tutup dengan kasa
1"Hai!" Seorang lelaki yang memiliki rahang kuat, tampan, karena memiliki garis wajah banyak mengadopsi dari luar. Berdiri di pintu ruangan kerja Rara. Dan memandang Rara dengan tatapan yang tak bisa di jelaskan."Bukan hai, tapi assalamualaikum!" jawab Rara datar. Matanya memandang lelaki yang mendekat itu dengan penuh tatapan penuh selidik."Hahahaha! Sejak kapan kau jadi kuno seperti ini?" Mata lelaki yang bernama Dani itu pun memandangi Rara yang sedang memakai hijab. Kemudian duduk di kursi depan meja Rara."Sejak mempunyai suami yang tidak sepengecut kamu!!" Rara pun dengan tegas menjawab pertanyaan Dani yang kedengaran sangat menghinanya."Mmm ...." Dani terdiam, sesaat kemudian kepalanya menoleh ke sana ke mari."Nyari apa?" tanya Rara yang dari awal tak pernah melepaskan tatapan matanya dari lelaki mada lalunya itu!"Pengin tahu aja, lelaki macam apa, yang membuatmu bisa berubah kembali jadi dekil seperti ini! Tapi rupanya kau tidak meletakkan wajah jeleknya di sini, ya ..
Evan tiba di rumah lebih awal, hanya ada Mak yang sedang beberes rumah, sedangkan bayangan istrinya, tidak kelihatan."Mak, gimana kabarnya Pak Ri? Sehat?" tanyanya saat sedang melintasi dapur, untuk naik tangga ke lantai atas."Alhamdulillah, Mas. Cuman masuk angin dikit kok," jawab Mak yang sedikit kaget saat melihat Evan sudah pulang sore itu."Mau saya siapin teh dan kue, Mas?" tawar Mak, yang sengaja menghentikan aktifitas menyapunya, sekedar menanyakan apa yang Evan mau."Nggak usah, Mak. Saya mau langsung istirahat aja di kamar." Mak mengangguk, dan memilih kembali meneruskan menyapu lantai kemudian masuk ke dapur.Begitu tiba di kamar, Evan yang lama tak menikmati kasur. Membuka sepatu dan dasi, kemudian meloncat ke arah ranjang dengan tangan kanan memegang ponsel.Iseng saat di kamarnya, Evan yang tiba tiba teringat dengan petuah dari mbak Pita dan mbak Ratu kemarin pagi. Membuka fitur chat aplikasi berwarna hijau.Kemudian di lihatnya foto profil di kontak yang ia simpan d
"Aku tahu apa yang akan kau katakan tadi, dan aku pikir itu tidak cocok bila kita jadikan solusi buat Mak, makanya aku melarang tadi untuk meneruskan ucapanmu," jawab Evan."Emangnya, apa yang aku ingin katakan tadi?" Bukannya berhenti, Rara masih terus mengejar jawaban suaminya. "Kamu bakalan terima dia, asalkan anaknya Mak mau sekolah lagi, ya kan?"Rara tersenyum, tebakan Evan benar. Apa yang Evan ucapkan hampir terluncur tadi dari mulutnya. "Eh kamu cenayang ya, kok benar? Tapi kenapa aku tidak boleh mengatakannya, apa yang salah dari ucapan itu?" tanya Rara dengan mata melotot, menunjukkan betapa kagetnya dia karena Evan berhasil menebak."Mak dan Pak Ri punya anak cuma satu, itu pun setelah lima belas tahun mereka menikah. Mereka berdua berusaha memenuhi segala keinginan sang anak.Untung saja si anak ini masih bisa di tekan gayanya, karena dia pernah aku paksa masuk ke pondok, ya ... walau pun hanya bertahan selama enam bulan, Namun itu mampu merubahnya untuk tidak manja