"Aku tahu apa yang akan kau katakan tadi, dan aku pikir itu tidak cocok bila kita jadikan solusi buat Mak, makanya aku melarang tadi untuk meneruskan ucapanmu," jawab Evan."Emangnya, apa yang aku ingin katakan tadi?" Bukannya berhenti, Rara masih terus mengejar jawaban suaminya. "Kamu bakalan terima dia, asalkan anaknya Mak mau sekolah lagi, ya kan?"Rara tersenyum, tebakan Evan benar. Apa yang Evan ucapkan hampir terluncur tadi dari mulutnya. "Eh kamu cenayang ya, kok benar? Tapi kenapa aku tidak boleh mengatakannya, apa yang salah dari ucapan itu?" tanya Rara dengan mata melotot, menunjukkan betapa kagetnya dia karena Evan berhasil menebak."Mak dan Pak Ri punya anak cuma satu, itu pun setelah lima belas tahun mereka menikah. Mereka berdua berusaha memenuhi segala keinginan sang anak.Untung saja si anak ini masih bisa di tekan gayanya, karena dia pernah aku paksa masuk ke pondok, ya ... walau pun hanya bertahan selama enam bulan, Namun itu mampu merubahnya untuk tidak manja
"Kenapa kau bertanya seperti itu?" Evan menjawab pertanyaan istrinya dengan pertanyaan pula. Dahinya mengkerut hingga terlihat dua garis melintang di sana."Kamu tidak seperti kelihatannya, macam orang tak punya. Namun pergaulanmu melebihi kaum jetset.""Hah! Itu hanya perasaanmu saja. Aku ya begini. Seperti yang kamu lihat sehari hari," jawab Evan sambil merebahkan badannya. Kedua tangan yang di lipatnya di belakang kepala, dia jadikan alas bantal."Bukan sehari hari, tapi hanya saat malam," ralat Rara."Kau kan juga wanita sibuk, Dik. Bukan wanita rumahan. Kalau kau mau, kau bisa ke kantorku dan tahu lingkungan kerjaku," ujar Evan yang kini tidur dengan miring ke kanan, ke arah istrinya. Tangan kanannya menjadi penyangga kepalanya. "Tapi ... jangan harap kau ke tempat kerjaku!""Kenapa ...?" tanya Evan , tangannya menggenggam jari tangan kiri Rara dengan erat, sesekali di elusnya lembut."Tidak ... tidak apa apa, aku mau makan, lapar." Rara tiba tiba langsung berdiri dari dudukn
Tak bisa menolak! Pak Dimas dan Evan akhirnya bisa kembali ke kantor saat sudah seharusnya jam pulang kerja. Demi Omma dan Oppa yang sejak hari ini ada di hati Evan."Nggak pa- pa kan turun di sini?" tanya pak Dimas yang menghentikan mobilnya di depan lapangan parkir kantornya."Nggak pa pa, Pak. Lagian tinggal ngambil motor aja kok, Pak!" sambil melepaskan sabuk pengaman dari tubuhnya."Makasih ya, sudah membuat Mama dan Papaku bahagia hari ini." "Saya juga bahagia kok Pak, selama ini saya merasa hidup saya sebatang kara.""Sabar, ya ... Van." Pak Dimas menepuk pundak kanan Evan."Iya, Pak!" jawab Evan sambil tersenyum ke arahnya."Kalau bapak mau lanjut silahkan." Evan menjawab sambil membuka pintu mobil milik pak Dimas. Dan melangkah keluar dari mobil."Ok, aku tinggal, Van. Assalamualaikum!" "Wa alaikum salam," jawab Evan sambil melambaikan tangannya.Begitu mobil pak Dimas sudah berangkat pergi. Evan pun melangkahkan kaki ke arah motornya berada, harus cepat cepat, dia berhar
"Makasih ya Mas dan mbak Rara sudah mau di repotkan dengan keluarga kami.""Pak Ri jangan seperti itu, kita kan sudah lama bersama, bapak dan mak juga sudah banyak membantu saya." tegur Evan karena merasa tak nyaman saat pak Ri terlalu merendahkan dirinya sendiri.Sesaaat suasana hening Evan dan pak Ri sepertinya sedang bermonolog dengan hati mereka."Pak Ri sekarang kerja apa?" tanya Evan yang lagi lagi merasa tak nyaman dengan keheningan yang sempat tercipta tadi."Nggak ada, Mas. Selain bantu Mak. Ya ... diam di rumah saja. Nunggu ada orang manggil." "Nggak niat jualan apa gitu, Pak?""Saya nggak biasa jualan, Mas, kalau mau nyoba nyoba takut merugi. Ini masih nabung buat beli sepeda motor, pengin ikutan yang lagi trend itu loh, Mas.""Mau ngojek on line, Pak?""Iya, mas. In sya Allah.""Semoga cepat di kabulkan ya, Pak Ri.""Aamiin aamiin.""Loo, kok malah pada duduk di bawah." Rara yang muncul tiba- tiba dari dalam rumah, di ikuti Fatim di belakang dengan tangan membawa baki b
"Bagaimana, apakah kau bersedia membantuku. Mmm ... bukan, maksudku kita bekerja sama." tanya Dani siang itu. Sengaja dia mendatangi Nilla di kafe setelah sebelumnya memastikan bahwa tak ada Rara di kafe."Sudahlah Dani, lupakan saja Rara, lagian yang kemarin terjadi juga karena kesalahanmu, untung saja perempuan yang kau tiduri malam itu tidak meminta pertanggung jawaban padamu." Dengan mendengus terlebih dahulu, Nilla menjawab ucapan Dani."Aku sedang tidak mau membahas tentang yang sudah terjadi, Nilla." Dengan santai Dani menyalakan rokoknya di depan Nilla, padahal di kafe sudah tercantum peraturan di tembok kalau pengunjung di larang merokok dalam area kafe."Apakah kau bersedia membantuku?"Nilla terdiam, tangannya yang menyatu bergerak tak beraturan. Entah apa yang sedang di pikirkannya saat ini."Nilla, aku tahu kalau kau dan suami Rara, dulunya pernah ada cerita, bahkan cerita itu saat kau sudah menikah dan mempunyai anak satu, benar bukan?" tanya Dani, yang memandang peremp
"Senang berkenalan dengan anda." Dengan pandangan mata ke arah Dani, Evan berkata sambil berdiri dengan cepat dari duduknya. "Maaf, kami tidak bisa menemani waktu anda. Ada yang harus kami berdua lakukan saat ini," ujarnya lagi sambil tersenyum hangat pada Dani, Namun bagi Dani tampak seperti menyeringai, hingga dia hanya membalas dengan dengusan kasar."Ayo berangkat!" Evan menarik tangan istrinya, menggenggamnya erat sambil melangkah menjauhi Dani. Memaksa Rara untuk mengikutinya dengan terpaksa. Tak ada penolakan."Kita naik mobilmu, aku tak tega membiarkanmu panas panas nanti di jalan."Evan yang melangkah di depan, tak mendengar jawaban karena Rara hanya menganggukkan kepalanya."Bisakah pulangnya nanti kita mampir ke rumah ? Ada yang ingin aku ambil di sana," pinta Rara saat Evan membukakan pintu mobil untuknya."Bisa, apakah kau mau kita menginap di sana nanti malam?"Rara seketika hatinya terasa menghangat mendengar apa yang Evan usulkan. "Tidak, lain kali saja," jawab Rar
"Hahahahahah!" Tawa mereka bertiga meledak, karena kejadian yang sama terjadi hingga dua kali."Dari tadi bude yang ngomong terus, sampek lupa nanya nama mantu," ujar beliau menyadari kesalahannya."Ini gara gara kamu, Van. Bikin jarak di antara keluarga, sampai sampai bude tak mengenali nama istrimu," goda Bude yang mendelik kan mata ke arah Evan."Ini kan udah ke sini, Bude," jawab Evan sambil cengar cengir."Rara, nanti tolong simpan nomer Bude, ya! Takut besok-besok, lagi butuh sesuatu kan bisa langsung ke kamu, aku nggak percaya ma anak satu itu!"Bude menunjuk Evan dengan lirikan matanya.Evan hanya bisa tersenyum sambil menundukkan kepalanya menatap lantai."Iya, Bude ...!" jawab Rara, bibirnya melebar melihat Evan hanya bisa curi curi pandang, tanpa bisa berkata apa apa lagi. "Sekarang bawa tiga gaun ini, terus coba pakai, ukurannya pas nggak?" perintah Bude sambil menunjuk ke sebuah kamar di sebelah barat meja kerjanya.Tanpa membantah, Rara menuruti apa yang bude tadi sur
"Ra ...!" Nilla membuka pintu ruangan Rara. Kepalanya menengok ke dalam Namun badannya tetap ia sembunyikan di balik pintu."Mbak Rara nggak ada, tadi pergi sama om Evan." Fatim yang menjawab dari balik meja di sebelah kanan meja kerjanya Rara."Ooo ...!" ujar Nilla sambil menoleh ke Fatim.Nilla terdiam sebentar, kemudian dia tersenyum. Pintu masuk dia lebarkan dan ia pun melangkah masuk mendekati Fatim."Fatim, Mbak minta tolong dong, kamu ambilkan kopi mocca di bawah ya. Bilang aja aku yang nyuruh. Terus sekalian kamu bawain ke ruanganku, bisa?""Bisa, Mbak!" Fatim berdiri dari kursinya dan bergegas melangkah keluar. "Makasih ya, Fatim ...." ucap Nilla saat Fatim sudah berada di ambang pintu ."Iyaa, Mbak." jawab Fatim yang menghentikan langkahnya sejenak, untuk menoleh dan tersenyum pada Nilla.Cepat cepat Nilla menutup kembali pintu dan menguncinya dari dalam. Saat Fatim kini benar benar sudah pergi dari ruangan milik Rara.Dari kresek warna hitam yang dia sembunyikan di balik