"Ra ...!" Nilla membuka pintu ruangan Rara. Kepalanya menengok ke dalam Namun badannya tetap ia sembunyikan di balik pintu."Mbak Rara nggak ada, tadi pergi sama om Evan." Fatim yang menjawab dari balik meja di sebelah kanan meja kerjanya Rara."Ooo ...!" ujar Nilla sambil menoleh ke Fatim.Nilla terdiam sebentar, kemudian dia tersenyum. Pintu masuk dia lebarkan dan ia pun melangkah masuk mendekati Fatim."Fatim, Mbak minta tolong dong, kamu ambilkan kopi mocca di bawah ya. Bilang aja aku yang nyuruh. Terus sekalian kamu bawain ke ruanganku, bisa?""Bisa, Mbak!" Fatim berdiri dari kursinya dan bergegas melangkah keluar. "Makasih ya, Fatim ...." ucap Nilla saat Fatim sudah berada di ambang pintu ."Iyaa, Mbak." jawab Fatim yang menghentikan langkahnya sejenak, untuk menoleh dan tersenyum pada Nilla.Cepat cepat Nilla menutup kembali pintu dan menguncinya dari dalam. Saat Fatim kini benar benar sudah pergi dari ruangan milik Rara.Dari kresek warna hitam yang dia sembunyikan di balik
Rara masuk ke dalam rumah dengan perasaan senang. Fatim sudah menjelaskan dengan baik padanya tentang konotasi si serabi hangat."Mas ...." panggilnya saat tangan kanannya membuka pintu kamar. Rara mengedarkan pandangannya mencari sosok Evan berada, Namun tak tampak."Mas ...!" Rara memanggil cukup keras, kembali tangannya membuka pintu kamar mandi, kosong! "Pasti di kamar kerjanya."Rara mendesis lirih. Pintu kamar dia tutup kembali, ia harus bergegas mandi, karena sebentar lagi Maghrib.Terdengar nada dering ponsel Rara saat dirinya baru selesai dari kamar mandi.Nama Bude Leni tertera di layarnya, dengan tersenyum, panggilan itu langsung diangkatnya.[Halo, bude. Assalamualaikum ] sapa Rara dengan ramah.[Wa alaikum salam. Sudah sampai rumah, Ra? ][Sudah, Bude. Alhamdulillah. ][Mmm .... ] Suara bude, kedengaran bingung.[Ada apa, Bude?] tanya Rara yang penasaran, saat mendengar bude hanya bergumam saja.[Ra ... Bude boleh minta sesuatu nggak sama kamu?] Bude bertanya, wala
Pertemuan Rara pertama kali dengan keluarga Evan selain Bude, terasa sangat hangat. Bude memperkenalkan satu per satu keluarga besarnya dengan di sertai candaan, hingga membuat Rara tidak merasa canggung, dan bisa membaur dengan keluarga besar suaminya.Berbeda dengan yang Evan lakukan. Ia hanya duduk terdiam menyaksikan perkenalan Rara pada keluarga besarnya."Van ...! Ini undanganmu, maaf ya." Tiba tiba seseorang dari sebelah kiri, memberikan sebuah undangan berwarna coklat.Evan mengangkat wajahnya, dan tersenyum saat tahu siapa orang yang memberikannya undangan."Dik ...!" Evan memanggil Rara yang masih duduk di dekat Bude. Walau pun tangannya menerima pemberian dari orang itu.Rara mendekat, saat melihat tangan milik Evan melambai ke arahnya."Kenalkan, ini mbak Rini, teman kantor, bahkan satu ruangan denganku.""Rini. Senang akhirnya bisa tahu istrinya, si Evan," sapa Rini yang sudah mengulurkan tangan kanannya."Isaura." Rara pun menerima uluran tangan mbak Rini."Tapi maaf
Tangan Evan yang terulur ke depan, di tarik oleh pak Hendra, hingga membuat badannya kini terkungkung dalam dekapan Papanya.Tak terucap sepatah kata pun dari mulut mereka berdua. Namun mata Evan dan pak Hendra terlihat berkaca kaca. Evan meletakkan dagunya di bahu pak Hendra, satu kebiasaan yang sering dia rindukan, akhirnya kini semesta mengabulkannya.Mata Bude, dan beberapa keluarga juga menatap mereka dengan mata yang sudah basah.Entah berapa lama Evan dan pak Hendra berpelukan, hingga akhirnya pak Hendra yang mengurainya."Papa, ini Rara. Dia adalah istriku!" Evan memperkenalkan Rara pada Papanya.Rara mendekat dengan rasa sungkan. Bagaimana pun, orang yang di hadapannya adalah orang yang selama ini ia kenal sebagai orang yang mempunyai status sosial jauh di atasnya."Putri dari Ali Sofyan, benar?" tanya pak Hendra dengan senyum lebar.Rara mengangguk sambil tersenyum kaku, dengan penuh keberanian, Rara mengulurkan kedua tangannya dengan badan sedikit membungkuk pada Papa m
"Kuhargai jawabanmu. Namun, ini bisa menjadi perjalanan yang sangat membosankan. Apakah kau masih mau ikut?""Ikut!"Sesaat Evan dan Rara saling pandang dalam diam, ada perasaan bahagia di hati Evan. Hingga dia memalingkan wajahnya untuk kembali fokus memacu mobil milik istrinya ke tempat Ratna yang baru, dengan di pandu oleh si Mbah gogleee.Tiga puluh menit perjalanan hingga suami istri itu sampai di rumah pinggir jalan, sebuah perkampungan di perbatasan antara kota dan desa.Sebuah rumah yang lumayan besar dengan halaman yang luas, Namun nyaman karena ada dua pohon mangga besar di kiri dan kanannya. Seperti menaungi arena permainan yang berada di bawahnya.Evan memasukkan mobilnya, saat Ratna yang tadi di minta untuk keluar dari rumah. Membuka pagar."Umi mana, Rat?" tanya Evan begitu dia keluar dari mobil. Begitu pun dengan Rara."Ada di dalam, Kak!" jawab Ratna yang kembali menutup rapat pintu pagar."Ini istrinya kak Evan, namanya kak Rara." ujar Evan saat seperti biasa, R
"Rumah siapa ini, Mas?" tanya Rara dengan mata melirik ke kanan dan ke kiri, seperti orang yang sedang memata matai. Saat tiba tiba Evan menghentikan mobil di depan pagar sebuah rumah besar, dengan beberapa pohon palem yang tinggi menjulang, berjejer di halaman depannya.Evan keluar dari mobil tanpa memperdulikan pertanyaan istrinya, rahang wajah lelaki itu, tampak mengeras. Menandakan dia sedang dalam kondisi emosi yang tidak stabil. Kakinya melangkah dengan cepat ke pos satpam. Selang sekitar sepuluh menit kemudian, Evan kembali membuka pintu dan mulai menyalakan mesin mobil. Bersamaan dengan seorang satpam yang membukakan pintu pagar untuknya."Mas ...! Ini rumah siapa?"Dengan keberanian yang ia kumpulkan, akhirnya Rara kembali bertanya untuk yang kesekian kalinya."Rumah, om Tyo." jawab Evan yang membuka jas dan dasi yang sedang ia kenakan dengan kasar. Kemudian melemparnya ke jok belakang."Ayo!" ajaknya sambil membuka pintu mobil dan kemudian melangkah keluar. Rara terdi
"Mas ... sampai kapan kita akan menunggu di sini?" tanya Rara, tanpa menengok ke arah Evan. Matanya ikut memandangi apa yang suaminya tatap di seberang jalan sana.Setelah keluar dari rumah om Tyo, Evan melesatkan mobilnya bukan ke arah rumah mereka.Kembali ... Evan menghentikan mobilnya di sebuah rumah yang masih asing bagi Rara.Hampir tiga puluh menit, mereka berdua di dalam mobil, mata Evan tertuju pada sebuah rumah sederhana, dengan nuansa warna putih biru. Evan tak menjawab pertanyaan istrinya, tapi jelas sekali di wajahnya kini, tergambar jelas rasa kekhawatiran yang sangat."Kamu tunggu di sini!" Evan keluar dari mobil saat sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan rumah itu. Seorang pria, dengan umur sudah tak muda lagi keluar dari mobil dan berusaha membuka pintu pagar.Membiarkan Rara yang hanya bisa melihat apa yang hendak Evan lakukan dari dalam mobil."Om ...!"Wajah lelaki yang Evan sapa dengan sebutan om tampak sangat kaget sekali, saat dia tahu siapa orang ya
"Apa maksudmu?" tanya Evan sambil memandangi wajah istrinya, intens. Ia memangkas lagi jarak antara wajahnya dengan Rara yang masih terdiam, hingga tercium olehnya aroma khas nafas Rara. Matanya silih berganti memandangi mata dan bibir istrinya. Hasrat yang selama ini ia pendam untuk kembali melumat dan menggigit benda kenyal yang mempunyai rasa manis itu. Bisa Evan wujudkan berulang kali malam ini.Pandangan Evan membuat Rara jadi salah tingkah, dan segera membuang wajahnya ke samping. Dengan pipi yang langsung berubah warnanya, memerah."Memangnya apa yang kamu pakai?" kejar Evan yang bertanya tepat di telinga istrinya.Sentuhan bibir Evan yang tak sengaja menyentuh telinga Rara di bagian belakang, langsung membuat badan Rara menegang, sepertinya semua bulu kuduk ikut berdiri, meremang.Rara kembali berbalik dan mendongak menatap mata Evan. Tampak olehnya wajah tampan itu sedang mengernyit kan kening, dan mata yang sedikit melebar, saat kembali bertanya tentang jawaban ambigu