"Hahahahahah!" Tawa mereka bertiga meledak, karena kejadian yang sama terjadi hingga dua kali."Dari tadi bude yang ngomong terus, sampek lupa nanya nama mantu," ujar beliau menyadari kesalahannya."Ini gara gara kamu, Van. Bikin jarak di antara keluarga, sampai sampai bude tak mengenali nama istrimu," goda Bude yang mendelik kan mata ke arah Evan."Ini kan udah ke sini, Bude," jawab Evan sambil cengar cengir."Rara, nanti tolong simpan nomer Bude, ya! Takut besok-besok, lagi butuh sesuatu kan bisa langsung ke kamu, aku nggak percaya ma anak satu itu!"Bude menunjuk Evan dengan lirikan matanya.Evan hanya bisa tersenyum sambil menundukkan kepalanya menatap lantai."Iya, Bude ...!" jawab Rara, bibirnya melebar melihat Evan hanya bisa curi curi pandang, tanpa bisa berkata apa apa lagi. "Sekarang bawa tiga gaun ini, terus coba pakai, ukurannya pas nggak?" perintah Bude sambil menunjuk ke sebuah kamar di sebelah barat meja kerjanya.Tanpa membantah, Rara menuruti apa yang bude tadi sur
"Ra ...!" Nilla membuka pintu ruangan Rara. Kepalanya menengok ke dalam Namun badannya tetap ia sembunyikan di balik pintu."Mbak Rara nggak ada, tadi pergi sama om Evan." Fatim yang menjawab dari balik meja di sebelah kanan meja kerjanya Rara."Ooo ...!" ujar Nilla sambil menoleh ke Fatim.Nilla terdiam sebentar, kemudian dia tersenyum. Pintu masuk dia lebarkan dan ia pun melangkah masuk mendekati Fatim."Fatim, Mbak minta tolong dong, kamu ambilkan kopi mocca di bawah ya. Bilang aja aku yang nyuruh. Terus sekalian kamu bawain ke ruanganku, bisa?""Bisa, Mbak!" Fatim berdiri dari kursinya dan bergegas melangkah keluar. "Makasih ya, Fatim ...." ucap Nilla saat Fatim sudah berada di ambang pintu ."Iyaa, Mbak." jawab Fatim yang menghentikan langkahnya sejenak, untuk menoleh dan tersenyum pada Nilla.Cepat cepat Nilla menutup kembali pintu dan menguncinya dari dalam. Saat Fatim kini benar benar sudah pergi dari ruangan milik Rara.Dari kresek warna hitam yang dia sembunyikan di balik
Rara masuk ke dalam rumah dengan perasaan senang. Fatim sudah menjelaskan dengan baik padanya tentang konotasi si serabi hangat."Mas ...." panggilnya saat tangan kanannya membuka pintu kamar. Rara mengedarkan pandangannya mencari sosok Evan berada, Namun tak tampak."Mas ...!" Rara memanggil cukup keras, kembali tangannya membuka pintu kamar mandi, kosong! "Pasti di kamar kerjanya."Rara mendesis lirih. Pintu kamar dia tutup kembali, ia harus bergegas mandi, karena sebentar lagi Maghrib.Terdengar nada dering ponsel Rara saat dirinya baru selesai dari kamar mandi.Nama Bude Leni tertera di layarnya, dengan tersenyum, panggilan itu langsung diangkatnya.[Halo, bude. Assalamualaikum ] sapa Rara dengan ramah.[Wa alaikum salam. Sudah sampai rumah, Ra? ][Sudah, Bude. Alhamdulillah. ][Mmm .... ] Suara bude, kedengaran bingung.[Ada apa, Bude?] tanya Rara yang penasaran, saat mendengar bude hanya bergumam saja.[Ra ... Bude boleh minta sesuatu nggak sama kamu?] Bude bertanya, wala
Pertemuan Rara pertama kali dengan keluarga Evan selain Bude, terasa sangat hangat. Bude memperkenalkan satu per satu keluarga besarnya dengan di sertai candaan, hingga membuat Rara tidak merasa canggung, dan bisa membaur dengan keluarga besar suaminya.Berbeda dengan yang Evan lakukan. Ia hanya duduk terdiam menyaksikan perkenalan Rara pada keluarga besarnya."Van ...! Ini undanganmu, maaf ya." Tiba tiba seseorang dari sebelah kiri, memberikan sebuah undangan berwarna coklat.Evan mengangkat wajahnya, dan tersenyum saat tahu siapa orang yang memberikannya undangan."Dik ...!" Evan memanggil Rara yang masih duduk di dekat Bude. Walau pun tangannya menerima pemberian dari orang itu.Rara mendekat, saat melihat tangan milik Evan melambai ke arahnya."Kenalkan, ini mbak Rini, teman kantor, bahkan satu ruangan denganku.""Rini. Senang akhirnya bisa tahu istrinya, si Evan," sapa Rini yang sudah mengulurkan tangan kanannya."Isaura." Rara pun menerima uluran tangan mbak Rini."Tapi maaf
Tangan Evan yang terulur ke depan, di tarik oleh pak Hendra, hingga membuat badannya kini terkungkung dalam dekapan Papanya.Tak terucap sepatah kata pun dari mulut mereka berdua. Namun mata Evan dan pak Hendra terlihat berkaca kaca. Evan meletakkan dagunya di bahu pak Hendra, satu kebiasaan yang sering dia rindukan, akhirnya kini semesta mengabulkannya.Mata Bude, dan beberapa keluarga juga menatap mereka dengan mata yang sudah basah.Entah berapa lama Evan dan pak Hendra berpelukan, hingga akhirnya pak Hendra yang mengurainya."Papa, ini Rara. Dia adalah istriku!" Evan memperkenalkan Rara pada Papanya.Rara mendekat dengan rasa sungkan. Bagaimana pun, orang yang di hadapannya adalah orang yang selama ini ia kenal sebagai orang yang mempunyai status sosial jauh di atasnya."Putri dari Ali Sofyan, benar?" tanya pak Hendra dengan senyum lebar.Rara mengangguk sambil tersenyum kaku, dengan penuh keberanian, Rara mengulurkan kedua tangannya dengan badan sedikit membungkuk pada Papa m
"Kuhargai jawabanmu. Namun, ini bisa menjadi perjalanan yang sangat membosankan. Apakah kau masih mau ikut?""Ikut!"Sesaat Evan dan Rara saling pandang dalam diam, ada perasaan bahagia di hati Evan. Hingga dia memalingkan wajahnya untuk kembali fokus memacu mobil milik istrinya ke tempat Ratna yang baru, dengan di pandu oleh si Mbah gogleee.Tiga puluh menit perjalanan hingga suami istri itu sampai di rumah pinggir jalan, sebuah perkampungan di perbatasan antara kota dan desa.Sebuah rumah yang lumayan besar dengan halaman yang luas, Namun nyaman karena ada dua pohon mangga besar di kiri dan kanannya. Seperti menaungi arena permainan yang berada di bawahnya.Evan memasukkan mobilnya, saat Ratna yang tadi di minta untuk keluar dari rumah. Membuka pagar."Umi mana, Rat?" tanya Evan begitu dia keluar dari mobil. Begitu pun dengan Rara."Ada di dalam, Kak!" jawab Ratna yang kembali menutup rapat pintu pagar."Ini istrinya kak Evan, namanya kak Rara." ujar Evan saat seperti biasa, R
"Rumah siapa ini, Mas?" tanya Rara dengan mata melirik ke kanan dan ke kiri, seperti orang yang sedang memata matai. Saat tiba tiba Evan menghentikan mobil di depan pagar sebuah rumah besar, dengan beberapa pohon palem yang tinggi menjulang, berjejer di halaman depannya.Evan keluar dari mobil tanpa memperdulikan pertanyaan istrinya, rahang wajah lelaki itu, tampak mengeras. Menandakan dia sedang dalam kondisi emosi yang tidak stabil. Kakinya melangkah dengan cepat ke pos satpam. Selang sekitar sepuluh menit kemudian, Evan kembali membuka pintu dan mulai menyalakan mesin mobil. Bersamaan dengan seorang satpam yang membukakan pintu pagar untuknya."Mas ...! Ini rumah siapa?"Dengan keberanian yang ia kumpulkan, akhirnya Rara kembali bertanya untuk yang kesekian kalinya."Rumah, om Tyo." jawab Evan yang membuka jas dan dasi yang sedang ia kenakan dengan kasar. Kemudian melemparnya ke jok belakang."Ayo!" ajaknya sambil membuka pintu mobil dan kemudian melangkah keluar. Rara terdi
"Mas ... sampai kapan kita akan menunggu di sini?" tanya Rara, tanpa menengok ke arah Evan. Matanya ikut memandangi apa yang suaminya tatap di seberang jalan sana.Setelah keluar dari rumah om Tyo, Evan melesatkan mobilnya bukan ke arah rumah mereka.Kembali ... Evan menghentikan mobilnya di sebuah rumah yang masih asing bagi Rara.Hampir tiga puluh menit, mereka berdua di dalam mobil, mata Evan tertuju pada sebuah rumah sederhana, dengan nuansa warna putih biru. Evan tak menjawab pertanyaan istrinya, tapi jelas sekali di wajahnya kini, tergambar jelas rasa kekhawatiran yang sangat."Kamu tunggu di sini!" Evan keluar dari mobil saat sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan rumah itu. Seorang pria, dengan umur sudah tak muda lagi keluar dari mobil dan berusaha membuka pintu pagar.Membiarkan Rara yang hanya bisa melihat apa yang hendak Evan lakukan dari dalam mobil."Om ...!"Wajah lelaki yang Evan sapa dengan sebutan om tampak sangat kaget sekali, saat dia tahu siapa orang ya
Evan kembali melangkah sendirian ke rumah sakit, tampak olehnya Mama dan Ayah yang duduk di sisi ranjang tempat Rara berbaring. "Sudah kembali, Van?" tanya Mama saat mereka mendengar bunyi pintu yang di buka oleh Evan. "Iya, Ma." jawab Evan yang dengan senyum khasnya mendekati mereka dan mencium punggung tangan keduanya dengan Takzim."Kamu bawa apa?" tanya Mama yang melihat salah satu tangan Evan sedang menenteng sebuah kresek yang lumayan besar bentuknya."Aku bawa makanan untuk ayah dan mama, takutnya ayah dan mama tidak keluar karena menjaga Rara."Evan memberikan kresek warna hitam dengan logo wajah bapak tua itu pada mama. Kemudian menghampiri Rara yang memejamkan matanya. Tanpa bersuara lagi, pak Ali dan istrinya bangun dari kursinya dan melangkah mendekati ranjang kosong di sebelah ranjang pasien, yang menjadi fasilitas untuk kamar ber-vvip.Beliau berdua sepertinya sengaja memberikan Evan tempat untuk menemani Rara."Dia tidur, Van. Mungkin dia lelah karena nangis tadi."
"Aku merasa berdosa sekali telah beranggapan yang tidak tidak padamu, di masa lalu." ujar pak Dimas yang kembali terduduk di kursinya, wajahnya yang menunduk dengan pandangan nanar ke lantai."Ini terjadi karena ketiadaan kedua mertua kita, apalagi saat itu kak Bastian seperti tak lagi memperhatikan kedua adik perempuannya yang telah menginjak usia dewasa. Dia lebih memperhatikan Mieke karena saat itu cinta perempuan itu adalah segalanya bagi kak Bastian." jelas pak Hendra dengan mata menatap ke luar rumah seperti sedang mengingat kejadian kemarin."Apa maksudmu, Ndra?" tanya pak Dimas yang tak mengerti dengan penjelasan yang baru saja pak Hendra katakan "Ayah Nilla adalah kakak lelaki dan anak tertua dari keluarga istri kita. Namun Ayahnya Nilla yang awalnya sangat mencintai Mieke karena beranggapan cinta wanita itu tulus padanya, akhirnya berubah. Suatu ketika dia ingin tahu apakah Mieke akan tetap setia kepadanya atau berubah saat tahu kalau dia hanyalah seorang supir di keluarga
Di waktu yang sama .... Pak Dimas turun dari mobil dan berdiri tak jauh dari mobilnya, matanya menyapu dan menatap rumah asri di depannya, rumah sederhana dengan tembok berwarna biru, berpagar hanya sebatas pinggang orang dewasa. Dengan di dalamnya berjenis jenis tanaman berbeda disusun rapi dan indah. Tampaknya dia masih sangsi dengan apa yang di lihatnya, dia masih tak percaya, tangannya membuka ponsel yang sedari tadi ia genggam, di cocokkan nya lagi alamat yang ia dapat dari salah satu kaki tangannya. Dan alamat itu benar karena di tembok dekat pintu tertempel nama dan alamat lengkap, yang terbuat dari hiasan kayu. Sama seperti yang tertera di layar ponselnya. Pak Dimas melangkah mendekati pagar, dan membukanya dengan mudah karena ternyata tak terkunci. Dengan mata masih memperhatikan sekelilingnya. Pak Dimas melangkah masuk mendekati pintu rumah yang terdiri dari dua daun pintu bercat putih. Rumah yang sejuk dan nyaman. Angin bertiup dari segala arah. Dengan wangi b
Evan sebenarnya tahu kalau Rara sudah sadar dan tidak sedang tertidur, dia pasti juga sudah sangat mengerti kalau kedua orangtuanya datang, Namun mungkin sedang tak ingin melakukan apa pun karena sedang kehilangan."Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Evan yang melangkah mendekati ranjang pembaringan Rara.Tak ada jawaban, bergerak pun tidak. Evan hanya bisa kembali mencium kening Rara, dan melihat sepintas mata dari istrinya yang masih terpejam. "Sabar ya Sayang, Allah masih ingin menguji kesabaran kita," bisiknya pas di telinga Rara.Pun saat Ayah dan Mama kembali masuk ke dalam ruangan itu, Rara masih tetap membatu. Hingga saat seorang Dokter yang di ikuti dua perawat perempuan masuk ke dalam kamar untuk pemeriksaan rutin pun, Rara masih tetap terdiam walau kini matanya tak lagi terpejam."Mbak, tetap semangat ya, jangan sedih terus, nanti kalau sedih terus susah sembuhnya." Nasehat bu Dokter sambil mengajak bercanda, Namun Rara masih tetap bergeming.Sampai rombongan Dokter it
Mendengar penjelasan dari sang Dokter, Evan hanya bisa menggenggam jari tangannya sendiri kuat kuat, ada perasaan perih yang menyayat."Saya harap bapak tidak kecil hati, tolong berikan semangat buat istri bapak, karena biasanya perempuan yang baru saja kehilangan bayinya akan berubah menjadi wanita sensitif--gampang marah hanya kerana masalah masalah kecil," ujar Dokter perempuan itu dengan senyum perduli. "Apakah kami masih bisa punya anak lagi, Dok?" tanya Evan dengan wajah penuh harap. "Bisa! Tentu saja bisa, tidak ada kendala dengan rahim si ibu kok, pak," jawab Dokter dengan senyum yang menenangkan hati Evan."Yang penting sekarang adalah bagaimana cara bapak untuk menguatkan mental si ibu bahwa semua baik baik saja."Kembali Dokter memberikan pesan berharga buat Evan."Baik, Dok. Akan saya perhatikan semua yang dokter pesan. Terimakasih."Dokter perempuan separuh baya yang mengenakan hijab lebar itu hanya bisa tersenyum melihat ke kondisi Evan. Dan menganggukkan kepala mem
"Ya, kamu benar. Maaf kalau selama ini ayah tidak pernah menceritakan pada kalian, tapi bukankah kalian sudah mengatakan bahagia atas pernikahan ini?"Rara tak menjawab pertanyaan ayahnya, malah kini dia berpaling ke arah Evan, yang kini juga tengah memandangnya."Apakah kamu bahagia hidup bersamaku, Mas?" Dengan wajah serius, Rara bertanya pada Evan yang menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum saat mendengar istrinya bertanya."Alhamdulillah, insya Allah selamanya, aku bakalan bahagia dan akan membahagiakanmu," jawab Evan dengan rona muka serius, memandang silih berganti Rara, dan kedua mertuanya."Aamiin aamiin." sahut semuanya dengan penuh keyakinan."Jadi pengin muda lagi aku, Ayah." ujar Mama, dengan muka merajuk sambil memeluk satu lengan Ayah dan menggelayutinya mesra. "Hahahaha!"Tentu saja sikap Mama membuat Evan dan Rara terkekeh spontan. "Sudah malam, apakah kalian masih kekeh untuk pulang malam, ini?""Mungkin ada baiknya bila kita menginap saja, besok setelah subuh k
"Ayah sudah mendengar tadi dari Mama, cuma rasanya ayah ingin dengar langsung dari kamu Ra." Pak Ali yang baru saja turun dari lantai atas. Langsung mengambil tempat di depan Rara dan Evan yang sedang duduk di depan tv.Sengaja pak Ali menunggu suami anaknya datang agar dapat mendengar dari kedua pihak. "Tentang apa Ayah?" tanya Rara dengan perhatian beralih pada sosok yang masih tampan walau sudah berumur setengah abad."Apakah benar kamu hamil, Ra?" Ayah memandangi wajah putri dan menantunya secara bergantian seolah meminta jawaban jujur dari keduanya."Alhamdulillah, Ayah." Rara menjawab dengan seuntai senyum di bibirnya. Pak Ali bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Rara dengan mata berkaca kaca, di ciuminya setiap inci wajah Rara seolah sedang menciumi putrinya saat kecil."Alhamdulillah ...." ujarnya berkali kali.Rara hanya bisa tersenyum haru, matanya pun ikut berkaca kaca, di peluknya sang ayah dengan mata menatap Evan yang juga sedang menatapnya lekat."Kau harap kam
Sekejap Mama membulatkan mata, seakan tak mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari anak perempuan satu satunya, sambil mengucapkan syukur Alhamdulillah, tiada henti di pelukan Rara. "Kok Mama malah nangis? Harusnya Mama bahagia dong, sebentar lagi Mama bakalan di panggil Mbah uti." tanya Rara yang heran karena melihat mamanya terisak. "Sejak kamu datang tadi, hati mama terus menerus berdoa, semoga kepulanganmu kali ini bukan karena keinginanmu untuk berpisah dnegan Evan," ujar Mama dengan sangat lirih. "Mama ...." seru Rara yang ikut terharu dengan sikap mama. "Makasih ya Allah, akhirnya mama bisa bernafas lega sekarang. Kamu memilih untuk bersama walau dengan awal yang tak mengenakkan.""Ma ... kok gitu sih." sela Rara yang merasa tidak enak hati mengingat sikapnya dulu pada Evan."Sudahlah, nggak usah di pikirin lagi, dahewat kan?! Pokoknya mama sekarang senang, kamu nginap sini kan?" tanya Mama, beliau langsung berdiri menuju dapur."Aku belum bilang ke mas Evan kalau mau
Evan merenggangkan kedekatannya dengan Rara dan berbalik membuat mereka kini saling berhadapan dengan sangat intim."Makan kamu, boleh nggak, sih?" tanya Evan sambil tersenyum, kemudian dengan sigap mencuri kecup di bibir milik istrinya."Nggak!" jawab Rara, bahkan kini membalas pagutan bibir Evan dengan lincahnya. Mata mereka saling menatap lekat satu dan yang lainnya."Sudahlah, ayo kita cari sarapan sambil jalan jalan pagi." ajak Evan yang sudah bergerak turun dari ranjang."Aku mau pecel, Mas." seru Rara dengan semangat empat lima. Ikut bergegas mengikuti apa yang Evan mau.Pagi itu kali pertama mereka berdua jalan kaki keluar rumah berdua, tangan Evan posesif menggenggam jemari istrinya, tak membiarkannya terlepas walau sesaat.Beberapa orang tetangga mereka, yang terlalui. Terpesona melihat begitu romantisnya Evan dan Rara. terlihat mulai menyapa, bahkan ada yang berani menggoda keromantisannya pada sang istri."Mbak ....!"Evan dan Rara menoleh ke arah belakang, Sudah ada Mak