"Apa maksudmu?" tanya Evan sambil memandangi wajah istrinya, intens. Ia memangkas lagi jarak antara wajahnya dengan Rara yang masih terdiam, hingga tercium olehnya aroma khas nafas Rara. Matanya silih berganti memandangi mata dan bibir istrinya. Hasrat yang selama ini ia pendam untuk kembali melumat dan menggigit benda kenyal yang mempunyai rasa manis itu. Bisa Evan wujudkan berulang kali malam ini.Pandangan Evan membuat Rara jadi salah tingkah, dan segera membuang wajahnya ke samping. Dengan pipi yang langsung berubah warnanya, memerah."Memangnya apa yang kamu pakai?" kejar Evan yang bertanya tepat di telinga istrinya.Sentuhan bibir Evan yang tak sengaja menyentuh telinga Rara di bagian belakang, langsung membuat badan Rara menegang, sepertinya semua bulu kuduk ikut berdiri, meremang.Rara kembali berbalik dan mendongak menatap mata Evan. Tampak olehnya wajah tampan itu sedang mengernyit kan kening, dan mata yang sedikit melebar, saat kembali bertanya tentang jawaban ambigu
"Mbak ... Saya Isaura, mau ketemu dengan Evan Aizaer, dari bagian PR."Rara memperkenalkan dirinya pada seorang perempuan berkerudung yang berdiri di belakang meja dengan tinggi kurang lebih satu meter. Ada plakat berwarna putih bertuliskan resepsionis di atas meja.Ya! Rara sengaja mendatangi Evan di kantornya, sekedar sebagai bentuk perhatian, kejutan kecil dan juga mengajak Evan makan siang bersama dengan membawakannya makanan yang ia masak sendiri tadi."Sudah ada janji, sebelumnya?" Tanyanya mbak resepsionis dengan senyuman hangat, sopan."Be---""Rara! Istrinya Evan kan?" Seseorang yang sepertinya baru datang dan sudah berada di belakang punggung Rara, menyapa.Hingga membuatnya berhenti menjawab pertanyaan dari mbak resepsionis tadi. Dan memilih menengok kan kepalanya ke arah sumber suara yang tadi menyapanya."Iya mbak---" Rara menggantungkan ucapannya, dia lupa nama perempuan yang berdiri di depannya."Rini!" ujar mbak yang tadi menyapanya."Eh, Iya ... Maaf mbak, lupa." ja
Lewat Maghrib, saat Rara tiba di rumahnya. Dengan langkah cepat, Rara membuka pagar dan garasinya, sendiri. Begitu pun saat menutup dan menguncinya lagi dengan rapat.Kemudian masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Tak ingin rasanya bertemu dengan Evan. Ah, jadi punya pikiran untuk kembali pulang ke rumah orang tua. Namun, tidak punya keberanian untuk berbohong andai Ayah dan mamanya bertanya perihal kenapa pulang."Sudahlaah, anggap saja tak pernah ada masalah," desisnya lirih, kemudian menghela nafas panjang dan di buangnya kasar."Bismillah," ujarnya lagi, kemudian dengan dibuat setenang mungkin, Rara menaiki tangga menuju ke kamarnya.Sampai di ujung tangga, bayang suaminya masih juga tidak tampak."Aman ...." Sambil melangkah menuju ke kamar, tangan kanannya mengelus dada, sedangkan tangan kiri menjinjing tas kerjanya.Di bukanya pintu perlahan setelah sebelumnya dia mengetuk pintu itu, pelan.Aman! Di dalam kamar dan kamar mandi, tak ada Evan, mungkin ada di ruang kerja
Tapi Evan terpaksa meninggalkan istrinya karena suami mbak ratu yang tadi menelpon dengan menggunakan ponsel miliknya istrinya.Memintanya datang malam ini ke rumahnya, untuk mengambil beberapa arsip yang pak Dimas perlukan besok, karena mbak Ratu dan keluarga harus segera berangkat ke luar Jawa, karena ada keluarga yang meninggal.Sesampainya di rumah mbak Ratu, Evan masih sempat dijamu dengan segelas teh dan sepiring gorengan. Membuat Evan canggung bila segera pulang, tanpa lebih dulu duduk berbasa basi dengan mas Edo, suami mbak Ratu. Untung saja, anak mbak Ratu yang bontot terbangun dari tidurnya sambil menangis, hingga mau tak mau, mas Edo yang harus minta maaf karena tak bisa lagi menemani Evan, mas Edo harus kembali menenangkan anak bungsunya, agar kembali tidur.Dengan membawa map yang di perlukan kantor, Evan pamit dan segera melajukan motor gedenya kembali pulang.Setibanya di rumah, lampu di lantai atas masih menyala. Itu pertanda, kalau istrinya belum tidur.Selesai menu
Lambat laun, akhirnya Fatim bisa menyesuaikan dirinya lagi, di tambah dengan candaan konyol yang sering Nilla lontarkan hingga membuat makan siang yang semula hareudang menjadi sangat bersahabat."Ra ...! Si Dani ngapain ke sini lagi? Ngajak balikan?""Hmm ....!""Is ... lelaki kancrut, kemarin ninggalin, sekarang ngajak balik. Bikin eneg, tahu!" ejek Nilla, yang melirik Rara dengan ekor matanya. "Kamunya gimana? Mau balikan ma Dani?" tanya Nilla di sela sela saat mulutnya mengunyah."Kau seperti tidak tahu bagaimana Dani, dia akan berbuat nekad bila keinginannya tidak dituruti. Aku hanya nggak pengin ribut aja sih," jawab Rara setelah menegak habis air bening dari botol kemasan."Tapi kamu juga harus tegas, nanti dia malah salah duga, disangkanya kamu mau diajak balikan ma dia, lagian harus menjaga perasaan Evan, Ra!""Mmm ...." jawab Rara, matanya melirik memperhatikan wajah Nilla yang sedang fokus pada piringnya."Kamu berapa tahun pacaran ma Evan, La?" tanya Rara, tanpa basa ba
"Mbak, aku kok merinding?" bisik Fatim lirih, matanya melirik ke kanan dan ke kiri, seperti takut ada yang ngikutin. Bisikin Fatim yang lirih, namun masih dapat di dengar dengan baik oleh Rara."Shuut ...!" Rara menutup mulutnya dengan satu jari."Jangan rame, kalau ada yang dengar kan nggak enak." ujarnya lagi, matanya pun ikut melirik ke sana ke mari.Fatim mengangguk, segera keduanya beranjak ke bawah, membuang sampah dan kembali ke ruangan dengan perasaan gamang serta takut takut.Tak ada yang aneh di ruangan itu, selain wangi kembang yang menusuk hidung. Keduanya berjalan pelan menuju kursinya masing masing.Sepi ...!Rara dan Fatim sepertinya mulai sibuk dengan pekerjaannya sendiri sendiri dan terlupa dengan pesona wangi kembang. Hingga kemudian terdengar sebuah ketukan di pintu di barengi suara perempuan yang memangil Rara."Masuk!" suruh Rara tanpa bangun dari kursinya."Maaf, mbak. Di bawah ada tamu yang ngaku sebagai suaminya, mbak." Perempuan muda berjilbab, langsung
"Kenapa kok tumben tumbennya mbak Rara takut, ada apa sebenarnya?" tanya Mak penasaran.Malam itu mereka bertiga memutuskan untuk tidur bersama di depan tv, dengan kasur yang sengaja pak Ri keluarkan dari kamar. "Gara-gara ada yang iseng naruh kembang di ruangan kerjanya mbak Rara, wanginya itu banter, kayak nusuk nusuk ke hidung," jawab Fatim dengan muka di tekuk, yang di anggukkin Rara."Mungkin mbak Rara ada yang naksir barang kali, kok bisa bisanya naruh kembang di situ," selidik Mak, sambil menatap wajah Rara.Rara menghela nafas panjang, ia kemudian menceritakan dari awal, bagaimana dia dan Evan bisa menjadi suami istri, dan juga tentang Dani. Semuanya, tanpa ada yang dia sembunyikan."Oalah ... jadi ceritanya, mas Dani pengin balikan lagi gitu ya, Mbak?""Iya, Mak!" Rara menjawab pertanyaan Mak dengan wajah yang tak bisa di gambarkan."Mbaknya gimana, mau nggak sama mas Daninya?""Anu ... Mak," jawab Rara yang tampak malu malu untuk menjawab pertanyaan Mak, Namun Mak yang paha
Perjalanan dinas Evan dan pak Dimas ternyata membuahkan hasil yang sangat fantastik, bahkan rencana tiga hari, dapat dipangkas menjadi hanya dua hari saja."Bagaimana, Van. Apakah kita akan di sini dulu menghabiskan sehari besok untuk sekedar berjalan jalan, atau kita pulang hari ini?" Tanya pak Dimas dengan senyum puas, karena berhasil melampaui target.Sore itu, berdua saja di sebuah kafe bintang lima, saat mereka baru saja menyelesai kan proyek terakhir dengan klien yang berasal dari Hongkong."Terserah bapak. Apa pun keputusannya saya ikut.""Tidakkah kau rindu pada istrimu?" tanya pak Dimas lagi dengan nada menggoda, lihat saja! Alis kedua matanya naik turun bersamaan berulang kali, dengan senyum yang melebar."Aku dulu juga pernah merasakan, Van. Apalagi saat bersama mamamu. Dia wanita terbaik dalam hidupku." jawabnya lagi saat melihat Evan membuang muka jengah, namun tersenyum saat melihat sikap pak Dimas."Kenapa sampai sekarang bapak tidak menikah lagi?""Karena, aku takut me
Evan kembali melangkah sendirian ke rumah sakit, tampak olehnya Mama dan Ayah yang duduk di sisi ranjang tempat Rara berbaring. "Sudah kembali, Van?" tanya Mama saat mereka mendengar bunyi pintu yang di buka oleh Evan. "Iya, Ma." jawab Evan yang dengan senyum khasnya mendekati mereka dan mencium punggung tangan keduanya dengan Takzim."Kamu bawa apa?" tanya Mama yang melihat salah satu tangan Evan sedang menenteng sebuah kresek yang lumayan besar bentuknya."Aku bawa makanan untuk ayah dan mama, takutnya ayah dan mama tidak keluar karena menjaga Rara."Evan memberikan kresek warna hitam dengan logo wajah bapak tua itu pada mama. Kemudian menghampiri Rara yang memejamkan matanya. Tanpa bersuara lagi, pak Ali dan istrinya bangun dari kursinya dan melangkah mendekati ranjang kosong di sebelah ranjang pasien, yang menjadi fasilitas untuk kamar ber-vvip.Beliau berdua sepertinya sengaja memberikan Evan tempat untuk menemani Rara."Dia tidur, Van. Mungkin dia lelah karena nangis tadi."
"Aku merasa berdosa sekali telah beranggapan yang tidak tidak padamu, di masa lalu." ujar pak Dimas yang kembali terduduk di kursinya, wajahnya yang menunduk dengan pandangan nanar ke lantai."Ini terjadi karena ketiadaan kedua mertua kita, apalagi saat itu kak Bastian seperti tak lagi memperhatikan kedua adik perempuannya yang telah menginjak usia dewasa. Dia lebih memperhatikan Mieke karena saat itu cinta perempuan itu adalah segalanya bagi kak Bastian." jelas pak Hendra dengan mata menatap ke luar rumah seperti sedang mengingat kejadian kemarin."Apa maksudmu, Ndra?" tanya pak Dimas yang tak mengerti dengan penjelasan yang baru saja pak Hendra katakan "Ayah Nilla adalah kakak lelaki dan anak tertua dari keluarga istri kita. Namun Ayahnya Nilla yang awalnya sangat mencintai Mieke karena beranggapan cinta wanita itu tulus padanya, akhirnya berubah. Suatu ketika dia ingin tahu apakah Mieke akan tetap setia kepadanya atau berubah saat tahu kalau dia hanyalah seorang supir di keluarga
Di waktu yang sama .... Pak Dimas turun dari mobil dan berdiri tak jauh dari mobilnya, matanya menyapu dan menatap rumah asri di depannya, rumah sederhana dengan tembok berwarna biru, berpagar hanya sebatas pinggang orang dewasa. Dengan di dalamnya berjenis jenis tanaman berbeda disusun rapi dan indah. Tampaknya dia masih sangsi dengan apa yang di lihatnya, dia masih tak percaya, tangannya membuka ponsel yang sedari tadi ia genggam, di cocokkan nya lagi alamat yang ia dapat dari salah satu kaki tangannya. Dan alamat itu benar karena di tembok dekat pintu tertempel nama dan alamat lengkap, yang terbuat dari hiasan kayu. Sama seperti yang tertera di layar ponselnya. Pak Dimas melangkah mendekati pagar, dan membukanya dengan mudah karena ternyata tak terkunci. Dengan mata masih memperhatikan sekelilingnya. Pak Dimas melangkah masuk mendekati pintu rumah yang terdiri dari dua daun pintu bercat putih. Rumah yang sejuk dan nyaman. Angin bertiup dari segala arah. Dengan wangi b
Evan sebenarnya tahu kalau Rara sudah sadar dan tidak sedang tertidur, dia pasti juga sudah sangat mengerti kalau kedua orangtuanya datang, Namun mungkin sedang tak ingin melakukan apa pun karena sedang kehilangan."Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Evan yang melangkah mendekati ranjang pembaringan Rara.Tak ada jawaban, bergerak pun tidak. Evan hanya bisa kembali mencium kening Rara, dan melihat sepintas mata dari istrinya yang masih terpejam. "Sabar ya Sayang, Allah masih ingin menguji kesabaran kita," bisiknya pas di telinga Rara.Pun saat Ayah dan Mama kembali masuk ke dalam ruangan itu, Rara masih tetap membatu. Hingga saat seorang Dokter yang di ikuti dua perawat perempuan masuk ke dalam kamar untuk pemeriksaan rutin pun, Rara masih tetap terdiam walau kini matanya tak lagi terpejam."Mbak, tetap semangat ya, jangan sedih terus, nanti kalau sedih terus susah sembuhnya." Nasehat bu Dokter sambil mengajak bercanda, Namun Rara masih tetap bergeming.Sampai rombongan Dokter it
Mendengar penjelasan dari sang Dokter, Evan hanya bisa menggenggam jari tangannya sendiri kuat kuat, ada perasaan perih yang menyayat."Saya harap bapak tidak kecil hati, tolong berikan semangat buat istri bapak, karena biasanya perempuan yang baru saja kehilangan bayinya akan berubah menjadi wanita sensitif--gampang marah hanya kerana masalah masalah kecil," ujar Dokter perempuan itu dengan senyum perduli. "Apakah kami masih bisa punya anak lagi, Dok?" tanya Evan dengan wajah penuh harap. "Bisa! Tentu saja bisa, tidak ada kendala dengan rahim si ibu kok, pak," jawab Dokter dengan senyum yang menenangkan hati Evan."Yang penting sekarang adalah bagaimana cara bapak untuk menguatkan mental si ibu bahwa semua baik baik saja."Kembali Dokter memberikan pesan berharga buat Evan."Baik, Dok. Akan saya perhatikan semua yang dokter pesan. Terimakasih."Dokter perempuan separuh baya yang mengenakan hijab lebar itu hanya bisa tersenyum melihat ke kondisi Evan. Dan menganggukkan kepala mem
"Ya, kamu benar. Maaf kalau selama ini ayah tidak pernah menceritakan pada kalian, tapi bukankah kalian sudah mengatakan bahagia atas pernikahan ini?"Rara tak menjawab pertanyaan ayahnya, malah kini dia berpaling ke arah Evan, yang kini juga tengah memandangnya."Apakah kamu bahagia hidup bersamaku, Mas?" Dengan wajah serius, Rara bertanya pada Evan yang menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum saat mendengar istrinya bertanya."Alhamdulillah, insya Allah selamanya, aku bakalan bahagia dan akan membahagiakanmu," jawab Evan dengan rona muka serius, memandang silih berganti Rara, dan kedua mertuanya."Aamiin aamiin." sahut semuanya dengan penuh keyakinan."Jadi pengin muda lagi aku, Ayah." ujar Mama, dengan muka merajuk sambil memeluk satu lengan Ayah dan menggelayutinya mesra. "Hahahaha!"Tentu saja sikap Mama membuat Evan dan Rara terkekeh spontan. "Sudah malam, apakah kalian masih kekeh untuk pulang malam, ini?""Mungkin ada baiknya bila kita menginap saja, besok setelah subuh k
"Ayah sudah mendengar tadi dari Mama, cuma rasanya ayah ingin dengar langsung dari kamu Ra." Pak Ali yang baru saja turun dari lantai atas. Langsung mengambil tempat di depan Rara dan Evan yang sedang duduk di depan tv.Sengaja pak Ali menunggu suami anaknya datang agar dapat mendengar dari kedua pihak. "Tentang apa Ayah?" tanya Rara dengan perhatian beralih pada sosok yang masih tampan walau sudah berumur setengah abad."Apakah benar kamu hamil, Ra?" Ayah memandangi wajah putri dan menantunya secara bergantian seolah meminta jawaban jujur dari keduanya."Alhamdulillah, Ayah." Rara menjawab dengan seuntai senyum di bibirnya. Pak Ali bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Rara dengan mata berkaca kaca, di ciuminya setiap inci wajah Rara seolah sedang menciumi putrinya saat kecil."Alhamdulillah ...." ujarnya berkali kali.Rara hanya bisa tersenyum haru, matanya pun ikut berkaca kaca, di peluknya sang ayah dengan mata menatap Evan yang juga sedang menatapnya lekat."Kau harap kam
Sekejap Mama membulatkan mata, seakan tak mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari anak perempuan satu satunya, sambil mengucapkan syukur Alhamdulillah, tiada henti di pelukan Rara. "Kok Mama malah nangis? Harusnya Mama bahagia dong, sebentar lagi Mama bakalan di panggil Mbah uti." tanya Rara yang heran karena melihat mamanya terisak. "Sejak kamu datang tadi, hati mama terus menerus berdoa, semoga kepulanganmu kali ini bukan karena keinginanmu untuk berpisah dnegan Evan," ujar Mama dengan sangat lirih. "Mama ...." seru Rara yang ikut terharu dengan sikap mama. "Makasih ya Allah, akhirnya mama bisa bernafas lega sekarang. Kamu memilih untuk bersama walau dengan awal yang tak mengenakkan.""Ma ... kok gitu sih." sela Rara yang merasa tidak enak hati mengingat sikapnya dulu pada Evan."Sudahlah, nggak usah di pikirin lagi, dahewat kan?! Pokoknya mama sekarang senang, kamu nginap sini kan?" tanya Mama, beliau langsung berdiri menuju dapur."Aku belum bilang ke mas Evan kalau mau
Evan merenggangkan kedekatannya dengan Rara dan berbalik membuat mereka kini saling berhadapan dengan sangat intim."Makan kamu, boleh nggak, sih?" tanya Evan sambil tersenyum, kemudian dengan sigap mencuri kecup di bibir milik istrinya."Nggak!" jawab Rara, bahkan kini membalas pagutan bibir Evan dengan lincahnya. Mata mereka saling menatap lekat satu dan yang lainnya."Sudahlah, ayo kita cari sarapan sambil jalan jalan pagi." ajak Evan yang sudah bergerak turun dari ranjang."Aku mau pecel, Mas." seru Rara dengan semangat empat lima. Ikut bergegas mengikuti apa yang Evan mau.Pagi itu kali pertama mereka berdua jalan kaki keluar rumah berdua, tangan Evan posesif menggenggam jemari istrinya, tak membiarkannya terlepas walau sesaat.Beberapa orang tetangga mereka, yang terlalui. Terpesona melihat begitu romantisnya Evan dan Rara. terlihat mulai menyapa, bahkan ada yang berani menggoda keromantisannya pada sang istri."Mbak ....!"Evan dan Rara menoleh ke arah belakang, Sudah ada Mak