Tangan Evan yang terulur ke depan, di tarik oleh pak Hendra, hingga membuat badannya kini terkungkung dalam dekapan Papanya.Tak terucap sepatah kata pun dari mulut mereka berdua. Namun mata Evan dan pak Hendra terlihat berkaca kaca. Evan meletakkan dagunya di bahu pak Hendra, satu kebiasaan yang sering dia rindukan, akhirnya kini semesta mengabulkannya.Mata Bude, dan beberapa keluarga juga menatap mereka dengan mata yang sudah basah.Entah berapa lama Evan dan pak Hendra berpelukan, hingga akhirnya pak Hendra yang mengurainya."Papa, ini Rara. Dia adalah istriku!" Evan memperkenalkan Rara pada Papanya.Rara mendekat dengan rasa sungkan. Bagaimana pun, orang yang di hadapannya adalah orang yang selama ini ia kenal sebagai orang yang mempunyai status sosial jauh di atasnya."Putri dari Ali Sofyan, benar?" tanya pak Hendra dengan senyum lebar.Rara mengangguk sambil tersenyum kaku, dengan penuh keberanian, Rara mengulurkan kedua tangannya dengan badan sedikit membungkuk pada Papa m
"Kuhargai jawabanmu. Namun, ini bisa menjadi perjalanan yang sangat membosankan. Apakah kau masih mau ikut?""Ikut!"Sesaat Evan dan Rara saling pandang dalam diam, ada perasaan bahagia di hati Evan. Hingga dia memalingkan wajahnya untuk kembali fokus memacu mobil milik istrinya ke tempat Ratna yang baru, dengan di pandu oleh si Mbah gogleee.Tiga puluh menit perjalanan hingga suami istri itu sampai di rumah pinggir jalan, sebuah perkampungan di perbatasan antara kota dan desa.Sebuah rumah yang lumayan besar dengan halaman yang luas, Namun nyaman karena ada dua pohon mangga besar di kiri dan kanannya. Seperti menaungi arena permainan yang berada di bawahnya.Evan memasukkan mobilnya, saat Ratna yang tadi di minta untuk keluar dari rumah. Membuka pagar."Umi mana, Rat?" tanya Evan begitu dia keluar dari mobil. Begitu pun dengan Rara."Ada di dalam, Kak!" jawab Ratna yang kembali menutup rapat pintu pagar."Ini istrinya kak Evan, namanya kak Rara." ujar Evan saat seperti biasa, R
"Rumah siapa ini, Mas?" tanya Rara dengan mata melirik ke kanan dan ke kiri, seperti orang yang sedang memata matai. Saat tiba tiba Evan menghentikan mobil di depan pagar sebuah rumah besar, dengan beberapa pohon palem yang tinggi menjulang, berjejer di halaman depannya.Evan keluar dari mobil tanpa memperdulikan pertanyaan istrinya, rahang wajah lelaki itu, tampak mengeras. Menandakan dia sedang dalam kondisi emosi yang tidak stabil. Kakinya melangkah dengan cepat ke pos satpam. Selang sekitar sepuluh menit kemudian, Evan kembali membuka pintu dan mulai menyalakan mesin mobil. Bersamaan dengan seorang satpam yang membukakan pintu pagar untuknya."Mas ...! Ini rumah siapa?"Dengan keberanian yang ia kumpulkan, akhirnya Rara kembali bertanya untuk yang kesekian kalinya."Rumah, om Tyo." jawab Evan yang membuka jas dan dasi yang sedang ia kenakan dengan kasar. Kemudian melemparnya ke jok belakang."Ayo!" ajaknya sambil membuka pintu mobil dan kemudian melangkah keluar. Rara terdi
"Mas ... sampai kapan kita akan menunggu di sini?" tanya Rara, tanpa menengok ke arah Evan. Matanya ikut memandangi apa yang suaminya tatap di seberang jalan sana.Setelah keluar dari rumah om Tyo, Evan melesatkan mobilnya bukan ke arah rumah mereka.Kembali ... Evan menghentikan mobilnya di sebuah rumah yang masih asing bagi Rara.Hampir tiga puluh menit, mereka berdua di dalam mobil, mata Evan tertuju pada sebuah rumah sederhana, dengan nuansa warna putih biru. Evan tak menjawab pertanyaan istrinya, tapi jelas sekali di wajahnya kini, tergambar jelas rasa kekhawatiran yang sangat."Kamu tunggu di sini!" Evan keluar dari mobil saat sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan rumah itu. Seorang pria, dengan umur sudah tak muda lagi keluar dari mobil dan berusaha membuka pintu pagar.Membiarkan Rara yang hanya bisa melihat apa yang hendak Evan lakukan dari dalam mobil."Om ...!"Wajah lelaki yang Evan sapa dengan sebutan om tampak sangat kaget sekali, saat dia tahu siapa orang ya
"Apa maksudmu?" tanya Evan sambil memandangi wajah istrinya, intens. Ia memangkas lagi jarak antara wajahnya dengan Rara yang masih terdiam, hingga tercium olehnya aroma khas nafas Rara. Matanya silih berganti memandangi mata dan bibir istrinya. Hasrat yang selama ini ia pendam untuk kembali melumat dan menggigit benda kenyal yang mempunyai rasa manis itu. Bisa Evan wujudkan berulang kali malam ini.Pandangan Evan membuat Rara jadi salah tingkah, dan segera membuang wajahnya ke samping. Dengan pipi yang langsung berubah warnanya, memerah."Memangnya apa yang kamu pakai?" kejar Evan yang bertanya tepat di telinga istrinya.Sentuhan bibir Evan yang tak sengaja menyentuh telinga Rara di bagian belakang, langsung membuat badan Rara menegang, sepertinya semua bulu kuduk ikut berdiri, meremang.Rara kembali berbalik dan mendongak menatap mata Evan. Tampak olehnya wajah tampan itu sedang mengernyit kan kening, dan mata yang sedikit melebar, saat kembali bertanya tentang jawaban ambigu
"Mbak ... Saya Isaura, mau ketemu dengan Evan Aizaer, dari bagian PR."Rara memperkenalkan dirinya pada seorang perempuan berkerudung yang berdiri di belakang meja dengan tinggi kurang lebih satu meter. Ada plakat berwarna putih bertuliskan resepsionis di atas meja.Ya! Rara sengaja mendatangi Evan di kantornya, sekedar sebagai bentuk perhatian, kejutan kecil dan juga mengajak Evan makan siang bersama dengan membawakannya makanan yang ia masak sendiri tadi."Sudah ada janji, sebelumnya?" Tanyanya mbak resepsionis dengan senyuman hangat, sopan."Be---""Rara! Istrinya Evan kan?" Seseorang yang sepertinya baru datang dan sudah berada di belakang punggung Rara, menyapa.Hingga membuatnya berhenti menjawab pertanyaan dari mbak resepsionis tadi. Dan memilih menengok kan kepalanya ke arah sumber suara yang tadi menyapanya."Iya mbak---" Rara menggantungkan ucapannya, dia lupa nama perempuan yang berdiri di depannya."Rini!" ujar mbak yang tadi menyapanya."Eh, Iya ... Maaf mbak, lupa." ja
Lewat Maghrib, saat Rara tiba di rumahnya. Dengan langkah cepat, Rara membuka pagar dan garasinya, sendiri. Begitu pun saat menutup dan menguncinya lagi dengan rapat.Kemudian masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Tak ingin rasanya bertemu dengan Evan. Ah, jadi punya pikiran untuk kembali pulang ke rumah orang tua. Namun, tidak punya keberanian untuk berbohong andai Ayah dan mamanya bertanya perihal kenapa pulang."Sudahlaah, anggap saja tak pernah ada masalah," desisnya lirih, kemudian menghela nafas panjang dan di buangnya kasar."Bismillah," ujarnya lagi, kemudian dengan dibuat setenang mungkin, Rara menaiki tangga menuju ke kamarnya.Sampai di ujung tangga, bayang suaminya masih juga tidak tampak."Aman ...." Sambil melangkah menuju ke kamar, tangan kanannya mengelus dada, sedangkan tangan kiri menjinjing tas kerjanya.Di bukanya pintu perlahan setelah sebelumnya dia mengetuk pintu itu, pelan.Aman! Di dalam kamar dan kamar mandi, tak ada Evan, mungkin ada di ruang kerja
Tapi Evan terpaksa meninggalkan istrinya karena suami mbak ratu yang tadi menelpon dengan menggunakan ponsel miliknya istrinya.Memintanya datang malam ini ke rumahnya, untuk mengambil beberapa arsip yang pak Dimas perlukan besok, karena mbak Ratu dan keluarga harus segera berangkat ke luar Jawa, karena ada keluarga yang meninggal.Sesampainya di rumah mbak Ratu, Evan masih sempat dijamu dengan segelas teh dan sepiring gorengan. Membuat Evan canggung bila segera pulang, tanpa lebih dulu duduk berbasa basi dengan mas Edo, suami mbak Ratu. Untung saja, anak mbak Ratu yang bontot terbangun dari tidurnya sambil menangis, hingga mau tak mau, mas Edo yang harus minta maaf karena tak bisa lagi menemani Evan, mas Edo harus kembali menenangkan anak bungsunya, agar kembali tidur.Dengan membawa map yang di perlukan kantor, Evan pamit dan segera melajukan motor gedenya kembali pulang.Setibanya di rumah, lampu di lantai atas masih menyala. Itu pertanda, kalau istrinya belum tidur.Selesai menu