Lewat Maghrib, saat Rara tiba di rumahnya. Dengan langkah cepat, Rara membuka pagar dan garasinya, sendiri. Begitu pun saat menutup dan menguncinya lagi dengan rapat.Kemudian masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Tak ingin rasanya bertemu dengan Evan. Ah, jadi punya pikiran untuk kembali pulang ke rumah orang tua. Namun, tidak punya keberanian untuk berbohong andai Ayah dan mamanya bertanya perihal kenapa pulang."Sudahlaah, anggap saja tak pernah ada masalah," desisnya lirih, kemudian menghela nafas panjang dan di buangnya kasar."Bismillah," ujarnya lagi, kemudian dengan dibuat setenang mungkin, Rara menaiki tangga menuju ke kamarnya.Sampai di ujung tangga, bayang suaminya masih juga tidak tampak."Aman ...." Sambil melangkah menuju ke kamar, tangan kanannya mengelus dada, sedangkan tangan kiri menjinjing tas kerjanya.Di bukanya pintu perlahan setelah sebelumnya dia mengetuk pintu itu, pelan.Aman! Di dalam kamar dan kamar mandi, tak ada Evan, mungkin ada di ruang kerja
Tapi Evan terpaksa meninggalkan istrinya karena suami mbak ratu yang tadi menelpon dengan menggunakan ponsel miliknya istrinya.Memintanya datang malam ini ke rumahnya, untuk mengambil beberapa arsip yang pak Dimas perlukan besok, karena mbak Ratu dan keluarga harus segera berangkat ke luar Jawa, karena ada keluarga yang meninggal.Sesampainya di rumah mbak Ratu, Evan masih sempat dijamu dengan segelas teh dan sepiring gorengan. Membuat Evan canggung bila segera pulang, tanpa lebih dulu duduk berbasa basi dengan mas Edo, suami mbak Ratu. Untung saja, anak mbak Ratu yang bontot terbangun dari tidurnya sambil menangis, hingga mau tak mau, mas Edo yang harus minta maaf karena tak bisa lagi menemani Evan, mas Edo harus kembali menenangkan anak bungsunya, agar kembali tidur.Dengan membawa map yang di perlukan kantor, Evan pamit dan segera melajukan motor gedenya kembali pulang.Setibanya di rumah, lampu di lantai atas masih menyala. Itu pertanda, kalau istrinya belum tidur.Selesai menu
Lambat laun, akhirnya Fatim bisa menyesuaikan dirinya lagi, di tambah dengan candaan konyol yang sering Nilla lontarkan hingga membuat makan siang yang semula hareudang menjadi sangat bersahabat."Ra ...! Si Dani ngapain ke sini lagi? Ngajak balikan?""Hmm ....!""Is ... lelaki kancrut, kemarin ninggalin, sekarang ngajak balik. Bikin eneg, tahu!" ejek Nilla, yang melirik Rara dengan ekor matanya. "Kamunya gimana? Mau balikan ma Dani?" tanya Nilla di sela sela saat mulutnya mengunyah."Kau seperti tidak tahu bagaimana Dani, dia akan berbuat nekad bila keinginannya tidak dituruti. Aku hanya nggak pengin ribut aja sih," jawab Rara setelah menegak habis air bening dari botol kemasan."Tapi kamu juga harus tegas, nanti dia malah salah duga, disangkanya kamu mau diajak balikan ma dia, lagian harus menjaga perasaan Evan, Ra!""Mmm ...." jawab Rara, matanya melirik memperhatikan wajah Nilla yang sedang fokus pada piringnya."Kamu berapa tahun pacaran ma Evan, La?" tanya Rara, tanpa basa ba
"Mbak, aku kok merinding?" bisik Fatim lirih, matanya melirik ke kanan dan ke kiri, seperti takut ada yang ngikutin. Bisikin Fatim yang lirih, namun masih dapat di dengar dengan baik oleh Rara."Shuut ...!" Rara menutup mulutnya dengan satu jari."Jangan rame, kalau ada yang dengar kan nggak enak." ujarnya lagi, matanya pun ikut melirik ke sana ke mari.Fatim mengangguk, segera keduanya beranjak ke bawah, membuang sampah dan kembali ke ruangan dengan perasaan gamang serta takut takut.Tak ada yang aneh di ruangan itu, selain wangi kembang yang menusuk hidung. Keduanya berjalan pelan menuju kursinya masing masing.Sepi ...!Rara dan Fatim sepertinya mulai sibuk dengan pekerjaannya sendiri sendiri dan terlupa dengan pesona wangi kembang. Hingga kemudian terdengar sebuah ketukan di pintu di barengi suara perempuan yang memangil Rara."Masuk!" suruh Rara tanpa bangun dari kursinya."Maaf, mbak. Di bawah ada tamu yang ngaku sebagai suaminya, mbak." Perempuan muda berjilbab, langsung
"Kenapa kok tumben tumbennya mbak Rara takut, ada apa sebenarnya?" tanya Mak penasaran.Malam itu mereka bertiga memutuskan untuk tidur bersama di depan tv, dengan kasur yang sengaja pak Ri keluarkan dari kamar. "Gara-gara ada yang iseng naruh kembang di ruangan kerjanya mbak Rara, wanginya itu banter, kayak nusuk nusuk ke hidung," jawab Fatim dengan muka di tekuk, yang di anggukkin Rara."Mungkin mbak Rara ada yang naksir barang kali, kok bisa bisanya naruh kembang di situ," selidik Mak, sambil menatap wajah Rara.Rara menghela nafas panjang, ia kemudian menceritakan dari awal, bagaimana dia dan Evan bisa menjadi suami istri, dan juga tentang Dani. Semuanya, tanpa ada yang dia sembunyikan."Oalah ... jadi ceritanya, mas Dani pengin balikan lagi gitu ya, Mbak?""Iya, Mak!" Rara menjawab pertanyaan Mak dengan wajah yang tak bisa di gambarkan."Mbaknya gimana, mau nggak sama mas Daninya?""Anu ... Mak," jawab Rara yang tampak malu malu untuk menjawab pertanyaan Mak, Namun Mak yang paha
Perjalanan dinas Evan dan pak Dimas ternyata membuahkan hasil yang sangat fantastik, bahkan rencana tiga hari, dapat dipangkas menjadi hanya dua hari saja."Bagaimana, Van. Apakah kita akan di sini dulu menghabiskan sehari besok untuk sekedar berjalan jalan, atau kita pulang hari ini?" Tanya pak Dimas dengan senyum puas, karena berhasil melampaui target.Sore itu, berdua saja di sebuah kafe bintang lima, saat mereka baru saja menyelesai kan proyek terakhir dengan klien yang berasal dari Hongkong."Terserah bapak. Apa pun keputusannya saya ikut.""Tidakkah kau rindu pada istrimu?" tanya pak Dimas lagi dengan nada menggoda, lihat saja! Alis kedua matanya naik turun bersamaan berulang kali, dengan senyum yang melebar."Aku dulu juga pernah merasakan, Van. Apalagi saat bersama mamamu. Dia wanita terbaik dalam hidupku." jawabnya lagi saat melihat Evan membuang muka jengah, namun tersenyum saat melihat sikap pak Dimas."Kenapa sampai sekarang bapak tidak menikah lagi?""Karena, aku takut me
"Apakah kau ingin aku temani hari ini?" tanya Evan, saat hanya berdua saja di dalam kamar, menyaksikan Rara yang sedang sibuk mengenakan hijabnya."Tidak! Tenang saja ada Fatim yang menemaniku," tolak Rara yang terus memmperbaiki hijabnya, dengan menambahkan jarum pentol di sana sini."Kalau kau menolak hanya karena tak ingin kerjaku terganggu, tenang saja hari ini aku di izinkan bolos ma Bos." Evan terus berusaha meyakinkan Rara bahwa dia benar benar ingin ikut.Apalagi tadi saat mendengar cerita dari pak Ri bahwa di temukan bungkusan kain kafan dengan tiga ikatan yang sangat wangi khas kembang, di dalam tas milik Rara. Membuat Evan semakin khawatir untuk melepas istrinya untuk berangkat kerja."Tidak, kamu istirahat saja di rumah," larang Rara, yang sudah selesai dengan urusan hijabnya dan kini menjangkau dua tas yang berbeda ukuran. Tas ukuran sedang, dia cangklong ke bahunya, sedangkan untuk tas yang lumayan besar dijinjing."Mungkin ada baiknya bila kau mulai menjauhi Nill
"Ya ... Allah!"Evan langsung melangkah keluar dengan tergesa gesa. "Ada apa, Van?" Mbak Rini yang kaget karena teriakan Evan sekaligus gerakan langkahnya yang setengah berlari keluar dari ruangan.Tak ada jawaban, Evan hanya melambaikan tangannya ke belakang, sambil terus melangkah menjauh meninggalkan mbak Rini yang masih menatap punggungnya sampai hilang dengan tatapan penuh tanda tanya.Evan keluar dari kantor ya dan langsung menggeber motor gedenya menuju arah kafe sang istri berada. "Mau pesan apa, Mas?" tanya seorang karyawan yang duduk di belakang meja, berhiaskan plakat perak bertuliskan kasir."Mau ketemu dengan Rara, Mbak. Bilang saja suaminya menunggu.""Oo ... Anda suaminya mbak Rara. Tapi mbaknya nggak ada di tempat, Mas ...." jawab si Mbak kasir dengan menunjukkan wajah sedikit sedih. "Sudah lama belum Mbak, perginya?""Tunggu sebentar."Kemudian karyawan itu menghampiri perempuan lain yang menggunakan seragam sama dengan dirinya. Mereka berbisik sambil melirik ke