"Mbak, aku kok merinding?" bisik Fatim lirih, matanya melirik ke kanan dan ke kiri, seperti takut ada yang ngikutin. Bisikin Fatim yang lirih, namun masih dapat di dengar dengan baik oleh Rara."Shuut ...!" Rara menutup mulutnya dengan satu jari."Jangan rame, kalau ada yang dengar kan nggak enak." ujarnya lagi, matanya pun ikut melirik ke sana ke mari.Fatim mengangguk, segera keduanya beranjak ke bawah, membuang sampah dan kembali ke ruangan dengan perasaan gamang serta takut takut.Tak ada yang aneh di ruangan itu, selain wangi kembang yang menusuk hidung. Keduanya berjalan pelan menuju kursinya masing masing.Sepi ...!Rara dan Fatim sepertinya mulai sibuk dengan pekerjaannya sendiri sendiri dan terlupa dengan pesona wangi kembang. Hingga kemudian terdengar sebuah ketukan di pintu di barengi suara perempuan yang memangil Rara."Masuk!" suruh Rara tanpa bangun dari kursinya."Maaf, mbak. Di bawah ada tamu yang ngaku sebagai suaminya, mbak." Perempuan muda berjilbab, langsung
"Kenapa kok tumben tumbennya mbak Rara takut, ada apa sebenarnya?" tanya Mak penasaran.Malam itu mereka bertiga memutuskan untuk tidur bersama di depan tv, dengan kasur yang sengaja pak Ri keluarkan dari kamar. "Gara-gara ada yang iseng naruh kembang di ruangan kerjanya mbak Rara, wanginya itu banter, kayak nusuk nusuk ke hidung," jawab Fatim dengan muka di tekuk, yang di anggukkin Rara."Mungkin mbak Rara ada yang naksir barang kali, kok bisa bisanya naruh kembang di situ," selidik Mak, sambil menatap wajah Rara.Rara menghela nafas panjang, ia kemudian menceritakan dari awal, bagaimana dia dan Evan bisa menjadi suami istri, dan juga tentang Dani. Semuanya, tanpa ada yang dia sembunyikan."Oalah ... jadi ceritanya, mas Dani pengin balikan lagi gitu ya, Mbak?""Iya, Mak!" Rara menjawab pertanyaan Mak dengan wajah yang tak bisa di gambarkan."Mbaknya gimana, mau nggak sama mas Daninya?""Anu ... Mak," jawab Rara yang tampak malu malu untuk menjawab pertanyaan Mak, Namun Mak yang paha
Perjalanan dinas Evan dan pak Dimas ternyata membuahkan hasil yang sangat fantastik, bahkan rencana tiga hari, dapat dipangkas menjadi hanya dua hari saja."Bagaimana, Van. Apakah kita akan di sini dulu menghabiskan sehari besok untuk sekedar berjalan jalan, atau kita pulang hari ini?" Tanya pak Dimas dengan senyum puas, karena berhasil melampaui target.Sore itu, berdua saja di sebuah kafe bintang lima, saat mereka baru saja menyelesai kan proyek terakhir dengan klien yang berasal dari Hongkong."Terserah bapak. Apa pun keputusannya saya ikut.""Tidakkah kau rindu pada istrimu?" tanya pak Dimas lagi dengan nada menggoda, lihat saja! Alis kedua matanya naik turun bersamaan berulang kali, dengan senyum yang melebar."Aku dulu juga pernah merasakan, Van. Apalagi saat bersama mamamu. Dia wanita terbaik dalam hidupku." jawabnya lagi saat melihat Evan membuang muka jengah, namun tersenyum saat melihat sikap pak Dimas."Kenapa sampai sekarang bapak tidak menikah lagi?""Karena, aku takut me
"Apakah kau ingin aku temani hari ini?" tanya Evan, saat hanya berdua saja di dalam kamar, menyaksikan Rara yang sedang sibuk mengenakan hijabnya."Tidak! Tenang saja ada Fatim yang menemaniku," tolak Rara yang terus memmperbaiki hijabnya, dengan menambahkan jarum pentol di sana sini."Kalau kau menolak hanya karena tak ingin kerjaku terganggu, tenang saja hari ini aku di izinkan bolos ma Bos." Evan terus berusaha meyakinkan Rara bahwa dia benar benar ingin ikut.Apalagi tadi saat mendengar cerita dari pak Ri bahwa di temukan bungkusan kain kafan dengan tiga ikatan yang sangat wangi khas kembang, di dalam tas milik Rara. Membuat Evan semakin khawatir untuk melepas istrinya untuk berangkat kerja."Tidak, kamu istirahat saja di rumah," larang Rara, yang sudah selesai dengan urusan hijabnya dan kini menjangkau dua tas yang berbeda ukuran. Tas ukuran sedang, dia cangklong ke bahunya, sedangkan untuk tas yang lumayan besar dijinjing."Mungkin ada baiknya bila kau mulai menjauhi Nill
"Ya ... Allah!"Evan langsung melangkah keluar dengan tergesa gesa. "Ada apa, Van?" Mbak Rini yang kaget karena teriakan Evan sekaligus gerakan langkahnya yang setengah berlari keluar dari ruangan.Tak ada jawaban, Evan hanya melambaikan tangannya ke belakang, sambil terus melangkah menjauh meninggalkan mbak Rini yang masih menatap punggungnya sampai hilang dengan tatapan penuh tanda tanya.Evan keluar dari kantor ya dan langsung menggeber motor gedenya menuju arah kafe sang istri berada. "Mau pesan apa, Mas?" tanya seorang karyawan yang duduk di belakang meja, berhiaskan plakat perak bertuliskan kasir."Mau ketemu dengan Rara, Mbak. Bilang saja suaminya menunggu.""Oo ... Anda suaminya mbak Rara. Tapi mbaknya nggak ada di tempat, Mas ...." jawab si Mbak kasir dengan menunjukkan wajah sedikit sedih. "Sudah lama belum Mbak, perginya?""Tunggu sebentar."Kemudian karyawan itu menghampiri perempuan lain yang menggunakan seragam sama dengan dirinya. Mereka berbisik sambil melirik ke
Evan masih bingung dan tak tahu harus bagaimana menyingkapi sikap Rara yang seolah menggodanya.Selama ini ia selalu berusaha sekuat tenaga untuk memendam hasrat gila saat berhadapan dengan Rara. Namun, sekarang sepertinya berbeda. Ia takut tak bisa membendung hasrat lelakinya."Mas ... pusing." Rara kembali merintih, dengan melakukan gerakan gerakan yang seperti sengaja menggoda Evan. Namun, Evan masih mampu menahan, godaan dari tangan dan rintihan. Namun, keluhan pusing Raralah yang lebih menjadi perhatiannya, hingga membuat Evan serta merta menggendong Rara dengan gaya bridal style, masuk ke dalam kamar dengan langkah lebar.Sungguh ini terasa berat, bukan karena badan Rara yang gemuk, tapi karena selama dalam gendongannya, gerakan dan rintihan Rara yang membuat badan Evan menggelinjang.Dengan pelan pelan, ia meletakkan badan istrinya ke atas ranjang. Namun, saat dia hendak melangkah menjauh dari badan Rara. Tiba tiba sebuah tangan malah menariknya mendekat hingga membuat E
Evan tersenyum, saat mendengar erangan Rara yang disebabkan oleh kelakuan jemari tangan kanannya, yang sedang mengusap dan membuka belahan bukit berbulu itu dengan lembut dan pelan. "Maaas ...!"Lagi, dan lagi Rara mengerang memanggil Evan untuk segera menyembuhkan rasa panas di dalam tubuhnya. Bersama dengan gerakan badan dan tangan Rara yang semakin menggila. Brugh!Rara yang sudah tak sabar, dengan sekuat tenaga merobohkan Evan hingga telentang di ranjang, kini posisi mereka berubah. Rara berada di atas tubuh Evan.Kaki Evan seperti dikunci oleh kedua paha Rara yang mulai mengangkanginya. Namun justru inilah yang membuat Evan memejamkan matanya, ia menahan erangannya saat gesekan antara miliknya dengan milik Rara, yang kini tanpa di halangi oleh selembar kain, sangat terasa nikmatnya. Tangan Evan yang berada di samping badan pun tidak dapat melakukan apa- apa karena sedang digenggam erat oleh tangan Rara. Dan dijadikan sebagai tumpuan saat ia bergerak di atas badan Evan.Stempel
Evan terbangun saat sayup sayup telinganya mendengar suara orang menangis dari dalam kamar.Dengan melompat dari tidurnya, saking sangat khawatir pada kondisi Rara, Evan bergegas masuk ke dalam kamarnya. "Dik ...!" panggil Evan setelah membuka pintu dan langsung mendekat pada Rara yang masih berbaring di atas ranjang. Tak ada jawaban, hanya suara isakan Rara balik balik selimut yang menutupi seluruh tubuh dan kepalanya, tak menjawab pertanyaan Evan."Dik ...!"Dengan sabar Evan terus menunggu jawaban dari Rara, dia memilih duduk di tepi ranjang tanpa menoleh ke arah istrinya. Matanya menatap lurus ke arah tembok."Sakit ...."Hati Evan seperti teriris saat mendengar keluhan istrinya yang terucap di sela isaknya.Tak bersuara, Evan masuk ke dalam kamar mandi, kemudian keluar lagi dengan kedua lengan basah. Masih terdengar olehnya suara isakan Rara dari atas ranjang.Sekali sentakan halus, Evan membuka selimut yang menutupi tubuh istrinya, hingga membuat Rara yang malu dengan seketik
Evan kembali melangkah sendirian ke rumah sakit, tampak olehnya Mama dan Ayah yang duduk di sisi ranjang tempat Rara berbaring. "Sudah kembali, Van?" tanya Mama saat mereka mendengar bunyi pintu yang di buka oleh Evan. "Iya, Ma." jawab Evan yang dengan senyum khasnya mendekati mereka dan mencium punggung tangan keduanya dengan Takzim."Kamu bawa apa?" tanya Mama yang melihat salah satu tangan Evan sedang menenteng sebuah kresek yang lumayan besar bentuknya."Aku bawa makanan untuk ayah dan mama, takutnya ayah dan mama tidak keluar karena menjaga Rara."Evan memberikan kresek warna hitam dengan logo wajah bapak tua itu pada mama. Kemudian menghampiri Rara yang memejamkan matanya. Tanpa bersuara lagi, pak Ali dan istrinya bangun dari kursinya dan melangkah mendekati ranjang kosong di sebelah ranjang pasien, yang menjadi fasilitas untuk kamar ber-vvip.Beliau berdua sepertinya sengaja memberikan Evan tempat untuk menemani Rara."Dia tidur, Van. Mungkin dia lelah karena nangis tadi."
"Aku merasa berdosa sekali telah beranggapan yang tidak tidak padamu, di masa lalu." ujar pak Dimas yang kembali terduduk di kursinya, wajahnya yang menunduk dengan pandangan nanar ke lantai."Ini terjadi karena ketiadaan kedua mertua kita, apalagi saat itu kak Bastian seperti tak lagi memperhatikan kedua adik perempuannya yang telah menginjak usia dewasa. Dia lebih memperhatikan Mieke karena saat itu cinta perempuan itu adalah segalanya bagi kak Bastian." jelas pak Hendra dengan mata menatap ke luar rumah seperti sedang mengingat kejadian kemarin."Apa maksudmu, Ndra?" tanya pak Dimas yang tak mengerti dengan penjelasan yang baru saja pak Hendra katakan "Ayah Nilla adalah kakak lelaki dan anak tertua dari keluarga istri kita. Namun Ayahnya Nilla yang awalnya sangat mencintai Mieke karena beranggapan cinta wanita itu tulus padanya, akhirnya berubah. Suatu ketika dia ingin tahu apakah Mieke akan tetap setia kepadanya atau berubah saat tahu kalau dia hanyalah seorang supir di keluarga
Di waktu yang sama .... Pak Dimas turun dari mobil dan berdiri tak jauh dari mobilnya, matanya menyapu dan menatap rumah asri di depannya, rumah sederhana dengan tembok berwarna biru, berpagar hanya sebatas pinggang orang dewasa. Dengan di dalamnya berjenis jenis tanaman berbeda disusun rapi dan indah. Tampaknya dia masih sangsi dengan apa yang di lihatnya, dia masih tak percaya, tangannya membuka ponsel yang sedari tadi ia genggam, di cocokkan nya lagi alamat yang ia dapat dari salah satu kaki tangannya. Dan alamat itu benar karena di tembok dekat pintu tertempel nama dan alamat lengkap, yang terbuat dari hiasan kayu. Sama seperti yang tertera di layar ponselnya. Pak Dimas melangkah mendekati pagar, dan membukanya dengan mudah karena ternyata tak terkunci. Dengan mata masih memperhatikan sekelilingnya. Pak Dimas melangkah masuk mendekati pintu rumah yang terdiri dari dua daun pintu bercat putih. Rumah yang sejuk dan nyaman. Angin bertiup dari segala arah. Dengan wangi b
Evan sebenarnya tahu kalau Rara sudah sadar dan tidak sedang tertidur, dia pasti juga sudah sangat mengerti kalau kedua orangtuanya datang, Namun mungkin sedang tak ingin melakukan apa pun karena sedang kehilangan."Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Evan yang melangkah mendekati ranjang pembaringan Rara.Tak ada jawaban, bergerak pun tidak. Evan hanya bisa kembali mencium kening Rara, dan melihat sepintas mata dari istrinya yang masih terpejam. "Sabar ya Sayang, Allah masih ingin menguji kesabaran kita," bisiknya pas di telinga Rara.Pun saat Ayah dan Mama kembali masuk ke dalam ruangan itu, Rara masih tetap membatu. Hingga saat seorang Dokter yang di ikuti dua perawat perempuan masuk ke dalam kamar untuk pemeriksaan rutin pun, Rara masih tetap terdiam walau kini matanya tak lagi terpejam."Mbak, tetap semangat ya, jangan sedih terus, nanti kalau sedih terus susah sembuhnya." Nasehat bu Dokter sambil mengajak bercanda, Namun Rara masih tetap bergeming.Sampai rombongan Dokter it
Mendengar penjelasan dari sang Dokter, Evan hanya bisa menggenggam jari tangannya sendiri kuat kuat, ada perasaan perih yang menyayat."Saya harap bapak tidak kecil hati, tolong berikan semangat buat istri bapak, karena biasanya perempuan yang baru saja kehilangan bayinya akan berubah menjadi wanita sensitif--gampang marah hanya kerana masalah masalah kecil," ujar Dokter perempuan itu dengan senyum perduli. "Apakah kami masih bisa punya anak lagi, Dok?" tanya Evan dengan wajah penuh harap. "Bisa! Tentu saja bisa, tidak ada kendala dengan rahim si ibu kok, pak," jawab Dokter dengan senyum yang menenangkan hati Evan."Yang penting sekarang adalah bagaimana cara bapak untuk menguatkan mental si ibu bahwa semua baik baik saja."Kembali Dokter memberikan pesan berharga buat Evan."Baik, Dok. Akan saya perhatikan semua yang dokter pesan. Terimakasih."Dokter perempuan separuh baya yang mengenakan hijab lebar itu hanya bisa tersenyum melihat ke kondisi Evan. Dan menganggukkan kepala mem
"Ya, kamu benar. Maaf kalau selama ini ayah tidak pernah menceritakan pada kalian, tapi bukankah kalian sudah mengatakan bahagia atas pernikahan ini?"Rara tak menjawab pertanyaan ayahnya, malah kini dia berpaling ke arah Evan, yang kini juga tengah memandangnya."Apakah kamu bahagia hidup bersamaku, Mas?" Dengan wajah serius, Rara bertanya pada Evan yang menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum saat mendengar istrinya bertanya."Alhamdulillah, insya Allah selamanya, aku bakalan bahagia dan akan membahagiakanmu," jawab Evan dengan rona muka serius, memandang silih berganti Rara, dan kedua mertuanya."Aamiin aamiin." sahut semuanya dengan penuh keyakinan."Jadi pengin muda lagi aku, Ayah." ujar Mama, dengan muka merajuk sambil memeluk satu lengan Ayah dan menggelayutinya mesra. "Hahahaha!"Tentu saja sikap Mama membuat Evan dan Rara terkekeh spontan. "Sudah malam, apakah kalian masih kekeh untuk pulang malam, ini?""Mungkin ada baiknya bila kita menginap saja, besok setelah subuh k
"Ayah sudah mendengar tadi dari Mama, cuma rasanya ayah ingin dengar langsung dari kamu Ra." Pak Ali yang baru saja turun dari lantai atas. Langsung mengambil tempat di depan Rara dan Evan yang sedang duduk di depan tv.Sengaja pak Ali menunggu suami anaknya datang agar dapat mendengar dari kedua pihak. "Tentang apa Ayah?" tanya Rara dengan perhatian beralih pada sosok yang masih tampan walau sudah berumur setengah abad."Apakah benar kamu hamil, Ra?" Ayah memandangi wajah putri dan menantunya secara bergantian seolah meminta jawaban jujur dari keduanya."Alhamdulillah, Ayah." Rara menjawab dengan seuntai senyum di bibirnya. Pak Ali bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Rara dengan mata berkaca kaca, di ciuminya setiap inci wajah Rara seolah sedang menciumi putrinya saat kecil."Alhamdulillah ...." ujarnya berkali kali.Rara hanya bisa tersenyum haru, matanya pun ikut berkaca kaca, di peluknya sang ayah dengan mata menatap Evan yang juga sedang menatapnya lekat."Kau harap kam
Sekejap Mama membulatkan mata, seakan tak mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari anak perempuan satu satunya, sambil mengucapkan syukur Alhamdulillah, tiada henti di pelukan Rara. "Kok Mama malah nangis? Harusnya Mama bahagia dong, sebentar lagi Mama bakalan di panggil Mbah uti." tanya Rara yang heran karena melihat mamanya terisak. "Sejak kamu datang tadi, hati mama terus menerus berdoa, semoga kepulanganmu kali ini bukan karena keinginanmu untuk berpisah dnegan Evan," ujar Mama dengan sangat lirih. "Mama ...." seru Rara yang ikut terharu dengan sikap mama. "Makasih ya Allah, akhirnya mama bisa bernafas lega sekarang. Kamu memilih untuk bersama walau dengan awal yang tak mengenakkan.""Ma ... kok gitu sih." sela Rara yang merasa tidak enak hati mengingat sikapnya dulu pada Evan."Sudahlah, nggak usah di pikirin lagi, dahewat kan?! Pokoknya mama sekarang senang, kamu nginap sini kan?" tanya Mama, beliau langsung berdiri menuju dapur."Aku belum bilang ke mas Evan kalau mau
Evan merenggangkan kedekatannya dengan Rara dan berbalik membuat mereka kini saling berhadapan dengan sangat intim."Makan kamu, boleh nggak, sih?" tanya Evan sambil tersenyum, kemudian dengan sigap mencuri kecup di bibir milik istrinya."Nggak!" jawab Rara, bahkan kini membalas pagutan bibir Evan dengan lincahnya. Mata mereka saling menatap lekat satu dan yang lainnya."Sudahlah, ayo kita cari sarapan sambil jalan jalan pagi." ajak Evan yang sudah bergerak turun dari ranjang."Aku mau pecel, Mas." seru Rara dengan semangat empat lima. Ikut bergegas mengikuti apa yang Evan mau.Pagi itu kali pertama mereka berdua jalan kaki keluar rumah berdua, tangan Evan posesif menggenggam jemari istrinya, tak membiarkannya terlepas walau sesaat.Beberapa orang tetangga mereka, yang terlalui. Terpesona melihat begitu romantisnya Evan dan Rara. terlihat mulai menyapa, bahkan ada yang berani menggoda keromantisannya pada sang istri."Mbak ....!"Evan dan Rara menoleh ke arah belakang, Sudah ada Mak