"Ya ... Allah!"Evan langsung melangkah keluar dengan tergesa gesa. "Ada apa, Van?" Mbak Rini yang kaget karena teriakan Evan sekaligus gerakan langkahnya yang setengah berlari keluar dari ruangan.Tak ada jawaban, Evan hanya melambaikan tangannya ke belakang, sambil terus melangkah menjauh meninggalkan mbak Rini yang masih menatap punggungnya sampai hilang dengan tatapan penuh tanda tanya.Evan keluar dari kantor ya dan langsung menggeber motor gedenya menuju arah kafe sang istri berada. "Mau pesan apa, Mas?" tanya seorang karyawan yang duduk di belakang meja, berhiaskan plakat perak bertuliskan kasir."Mau ketemu dengan Rara, Mbak. Bilang saja suaminya menunggu.""Oo ... Anda suaminya mbak Rara. Tapi mbaknya nggak ada di tempat, Mas ...." jawab si Mbak kasir dengan menunjukkan wajah sedikit sedih. "Sudah lama belum Mbak, perginya?""Tunggu sebentar."Kemudian karyawan itu menghampiri perempuan lain yang menggunakan seragam sama dengan dirinya. Mereka berbisik sambil melirik ke
Evan masih bingung dan tak tahu harus bagaimana menyingkapi sikap Rara yang seolah menggodanya.Selama ini ia selalu berusaha sekuat tenaga untuk memendam hasrat gila saat berhadapan dengan Rara. Namun, sekarang sepertinya berbeda. Ia takut tak bisa membendung hasrat lelakinya."Mas ... pusing." Rara kembali merintih, dengan melakukan gerakan gerakan yang seperti sengaja menggoda Evan. Namun, Evan masih mampu menahan, godaan dari tangan dan rintihan. Namun, keluhan pusing Raralah yang lebih menjadi perhatiannya, hingga membuat Evan serta merta menggendong Rara dengan gaya bridal style, masuk ke dalam kamar dengan langkah lebar.Sungguh ini terasa berat, bukan karena badan Rara yang gemuk, tapi karena selama dalam gendongannya, gerakan dan rintihan Rara yang membuat badan Evan menggelinjang.Dengan pelan pelan, ia meletakkan badan istrinya ke atas ranjang. Namun, saat dia hendak melangkah menjauh dari badan Rara. Tiba tiba sebuah tangan malah menariknya mendekat hingga membuat E
Evan tersenyum, saat mendengar erangan Rara yang disebabkan oleh kelakuan jemari tangan kanannya, yang sedang mengusap dan membuka belahan bukit berbulu itu dengan lembut dan pelan. "Maaas ...!"Lagi, dan lagi Rara mengerang memanggil Evan untuk segera menyembuhkan rasa panas di dalam tubuhnya. Bersama dengan gerakan badan dan tangan Rara yang semakin menggila. Brugh!Rara yang sudah tak sabar, dengan sekuat tenaga merobohkan Evan hingga telentang di ranjang, kini posisi mereka berubah. Rara berada di atas tubuh Evan.Kaki Evan seperti dikunci oleh kedua paha Rara yang mulai mengangkanginya. Namun justru inilah yang membuat Evan memejamkan matanya, ia menahan erangannya saat gesekan antara miliknya dengan milik Rara, yang kini tanpa di halangi oleh selembar kain, sangat terasa nikmatnya. Tangan Evan yang berada di samping badan pun tidak dapat melakukan apa- apa karena sedang digenggam erat oleh tangan Rara. Dan dijadikan sebagai tumpuan saat ia bergerak di atas badan Evan.Stempel
Evan terbangun saat sayup sayup telinganya mendengar suara orang menangis dari dalam kamar.Dengan melompat dari tidurnya, saking sangat khawatir pada kondisi Rara, Evan bergegas masuk ke dalam kamarnya. "Dik ...!" panggil Evan setelah membuka pintu dan langsung mendekat pada Rara yang masih berbaring di atas ranjang. Tak ada jawaban, hanya suara isakan Rara balik balik selimut yang menutupi seluruh tubuh dan kepalanya, tak menjawab pertanyaan Evan."Dik ...!"Dengan sabar Evan terus menunggu jawaban dari Rara, dia memilih duduk di tepi ranjang tanpa menoleh ke arah istrinya. Matanya menatap lurus ke arah tembok."Sakit ...."Hati Evan seperti teriris saat mendengar keluhan istrinya yang terucap di sela isaknya.Tak bersuara, Evan masuk ke dalam kamar mandi, kemudian keluar lagi dengan kedua lengan basah. Masih terdengar olehnya suara isakan Rara dari atas ranjang.Sekali sentakan halus, Evan membuka selimut yang menutupi tubuh istrinya, hingga membuat Rara yang malu dengan seketik
"Mbak, aku boleh masuk nggak?" pinta Fatim dari depan pintu kamar milik Rara dan Evan, setelah sebelumnya sudah mengetuk pintu kamar itu dengan pelan."Masuk, Tim ...!"Mendengar yang punya kamar mengizinkannya masuk, Fatim pun segera membuka pintu dengan tangan kanan, yang ternyata tidak dikunci. Ia melangkah mendekat kemudian meletakkan baki yang ia bawa dari dapur. Baki berisi segelas susu, segelas air bening dan sepiring nasi goreng bikinan Maknya."Mbak, gimana sehat?" Tanya Fatim saat sedang melangkah masuk dan langsyng mendekati ranjang."Maaf, kemarin aku langsung nelpon om Evan, habisnya kak Dani nggak mau ngelepas mbak Rara, lagian aku juga sempat liat saat kak Dani ngasih sesuatu ke dalam minumannya mbak Rara, aku khawatir kalau itu obat anu ...." sambung Fatim lagi, pandangan matanya menatap khawatir pada perempuan di atas ranjang yang sedang menatapnya pula.Begitu panjang dan lebar sekali penjelasan yang Fatim ujarkan saat sudah berhadapan dengan Rara. Hingga membuat
"Mbak, pak Dimas ada nggak?" tanya Evan pada mbak Ratu, pagi itu. Ia sengaja langsung menuju ruangan administrasi yang di dalamnya ada ruangan pribadi milik pak Dimas, ingin segera menemui atasannya."Ada, baru saja datang, tunggu ya, aku bilang dulu," jawab mbak Ratu, yang kemudian menghubungi pak Dimas dengan menggunakan intercom, mbak Ratu memberitahukan kehadiran Evan pada pak Dimas."Langsung masuk, Van. Kan tadi udah dengar sendiri," suruh mbak Ratu pada Evan dengan tangan masih menekan tombol di mesin intercom.Sengaja Ratu tidak menggoda Evan seperti biasanya. Wajah lelaki tampan itu, menunjukkan sikap serius."Makasih, mbak Ratu," ujar Evan yang langsung berlalu dari hadapan mbak Ratu, menuju ke ruangan yang masih tertutup pintunya. "Masuk!" Evan membuka pintu ruangan itu setelah terdengar perintah untuk masuk, saat sebelumnya dengan pelan ia ketuk lebih dulu."Pak ...." "Masuk, Van. Duduklah, ada apa? Tumben pagi- pagi begini kau datang menemuiku?""Saya ingin mengucapkan
Bukannya kasihan, tapi sepertinya mbak Rini malah tidak menggubris Evan sama sekali, dia tetap fokus ke arah komputernya. Taampak dari sepuluh jari miliknya yang masih asyik berada di atas keyboard.Marasa diacuhkan, Evan akhirnya memilih berdiri dan melangkah pergi, kantin merupakan tujuan akhir untuk saat ini, sebagai tempat untuk melampiaskan berbagai rasa yang sedang berkecamuk di dalam pikirannya.Tapi belum sampai kakinya menyentuh batas pintu, telinga Evan mendengar ponselnya berbunyi. Tanda sebuah pesan masuk.Evan berhenti, dan berbalik arah untuk mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja kerjanya.Ia bergegas, Karena takut mendapat kabar dari Rara atau mungkin dari Ratna. Tapi sekilas dia tampak tersenyum, saat tahu siapa yang berbalas pesan dengannya."Makasih, Mbak Rini." ujarnya sambil menengokkan wajahnya ke meja seberang."Yoi! Jangan lupa selesaikan semua map itu, aku butuh besok pagi!" ujar mbak Rini mengingatkan Evan pada tugasnya yang belum kelar. Namun kini d
Setelah mengamankan sepeda motor milik Evan ke sebuah toko terdekat, pemilik mobil yang juga terluka di bagian kepala, segera membawa Evan dan pak Dimas ke rumah sakit terdekat agar segera mendapatkan pertolongan.Evan kembali tersadar saat hidungnya mencium aroma pekat obat obatan. Matanya mengerjap beberapa kali, untuk menormalkan kembali penglihatannya dengan pencahayaan ruangan."Pak ....!" panggil seorang perempuan yang berdiri di dekat kakinya. Ternyata selain orang yang bertanya tadi, ada dua orang lainnya yang juga berada di sisinya dengan arah berlawanan."Pak ...!" panggil perempuan yang sama untuk yang kedua kalinya."Ya." jawab Evan terdengar serak. Matanya terpejam, pening di kepalanya mulai terasa. "Namanya siapa?""Evan, King Evan Aizaer.""Umur?""Dua puluh enam tahun.""Alamat rumahnya?"Evan kembali mengatakan alamat rumahnya dengan jelas walau tanpa membuka mata."Gimana, Dok!" Evan mendengar seseorang yang lain bertanya."Aman, benturan di kepalanya tidak membua