"Makasih ya Mas dan mbak Rara sudah mau di repotkan dengan keluarga kami.""Pak Ri jangan seperti itu, kita kan sudah lama bersama, bapak dan mak juga sudah banyak membantu saya." tegur Evan karena merasa tak nyaman saat pak Ri terlalu merendahkan dirinya sendiri.Sesaaat suasana hening Evan dan pak Ri sepertinya sedang bermonolog dengan hati mereka."Pak Ri sekarang kerja apa?" tanya Evan yang lagi lagi merasa tak nyaman dengan keheningan yang sempat tercipta tadi."Nggak ada, Mas. Selain bantu Mak. Ya ... diam di rumah saja. Nunggu ada orang manggil." "Nggak niat jualan apa gitu, Pak?""Saya nggak biasa jualan, Mas, kalau mau nyoba nyoba takut merugi. Ini masih nabung buat beli sepeda motor, pengin ikutan yang lagi trend itu loh, Mas.""Mau ngojek on line, Pak?""Iya, mas. In sya Allah.""Semoga cepat di kabulkan ya, Pak Ri.""Aamiin aamiin.""Loo, kok malah pada duduk di bawah." Rara yang muncul tiba- tiba dari dalam rumah, di ikuti Fatim di belakang dengan tangan membawa baki b
"Bagaimana, apakah kau bersedia membantuku. Mmm ... bukan, maksudku kita bekerja sama." tanya Dani siang itu. Sengaja dia mendatangi Nilla di kafe setelah sebelumnya memastikan bahwa tak ada Rara di kafe."Sudahlah Dani, lupakan saja Rara, lagian yang kemarin terjadi juga karena kesalahanmu, untung saja perempuan yang kau tiduri malam itu tidak meminta pertanggung jawaban padamu." Dengan mendengus terlebih dahulu, Nilla menjawab ucapan Dani."Aku sedang tidak mau membahas tentang yang sudah terjadi, Nilla." Dengan santai Dani menyalakan rokoknya di depan Nilla, padahal di kafe sudah tercantum peraturan di tembok kalau pengunjung di larang merokok dalam area kafe."Apakah kau bersedia membantuku?"Nilla terdiam, tangannya yang menyatu bergerak tak beraturan. Entah apa yang sedang di pikirkannya saat ini."Nilla, aku tahu kalau kau dan suami Rara, dulunya pernah ada cerita, bahkan cerita itu saat kau sudah menikah dan mempunyai anak satu, benar bukan?" tanya Dani, yang memandang peremp
"Senang berkenalan dengan anda." Dengan pandangan mata ke arah Dani, Evan berkata sambil berdiri dengan cepat dari duduknya. "Maaf, kami tidak bisa menemani waktu anda. Ada yang harus kami berdua lakukan saat ini," ujarnya lagi sambil tersenyum hangat pada Dani, Namun bagi Dani tampak seperti menyeringai, hingga dia hanya membalas dengan dengusan kasar."Ayo berangkat!" Evan menarik tangan istrinya, menggenggamnya erat sambil melangkah menjauhi Dani. Memaksa Rara untuk mengikutinya dengan terpaksa. Tak ada penolakan."Kita naik mobilmu, aku tak tega membiarkanmu panas panas nanti di jalan."Evan yang melangkah di depan, tak mendengar jawaban karena Rara hanya menganggukkan kepalanya."Bisakah pulangnya nanti kita mampir ke rumah ? Ada yang ingin aku ambil di sana," pinta Rara saat Evan membukakan pintu mobil untuknya."Bisa, apakah kau mau kita menginap di sana nanti malam?"Rara seketika hatinya terasa menghangat mendengar apa yang Evan usulkan. "Tidak, lain kali saja," jawab Rar
"Hahahahahah!" Tawa mereka bertiga meledak, karena kejadian yang sama terjadi hingga dua kali."Dari tadi bude yang ngomong terus, sampek lupa nanya nama mantu," ujar beliau menyadari kesalahannya."Ini gara gara kamu, Van. Bikin jarak di antara keluarga, sampai sampai bude tak mengenali nama istrimu," goda Bude yang mendelik kan mata ke arah Evan."Ini kan udah ke sini, Bude," jawab Evan sambil cengar cengir."Rara, nanti tolong simpan nomer Bude, ya! Takut besok-besok, lagi butuh sesuatu kan bisa langsung ke kamu, aku nggak percaya ma anak satu itu!"Bude menunjuk Evan dengan lirikan matanya.Evan hanya bisa tersenyum sambil menundukkan kepalanya menatap lantai."Iya, Bude ...!" jawab Rara, bibirnya melebar melihat Evan hanya bisa curi curi pandang, tanpa bisa berkata apa apa lagi. "Sekarang bawa tiga gaun ini, terus coba pakai, ukurannya pas nggak?" perintah Bude sambil menunjuk ke sebuah kamar di sebelah barat meja kerjanya.Tanpa membantah, Rara menuruti apa yang bude tadi sur
"Ra ...!" Nilla membuka pintu ruangan Rara. Kepalanya menengok ke dalam Namun badannya tetap ia sembunyikan di balik pintu."Mbak Rara nggak ada, tadi pergi sama om Evan." Fatim yang menjawab dari balik meja di sebelah kanan meja kerjanya Rara."Ooo ...!" ujar Nilla sambil menoleh ke Fatim.Nilla terdiam sebentar, kemudian dia tersenyum. Pintu masuk dia lebarkan dan ia pun melangkah masuk mendekati Fatim."Fatim, Mbak minta tolong dong, kamu ambilkan kopi mocca di bawah ya. Bilang aja aku yang nyuruh. Terus sekalian kamu bawain ke ruanganku, bisa?""Bisa, Mbak!" Fatim berdiri dari kursinya dan bergegas melangkah keluar. "Makasih ya, Fatim ...." ucap Nilla saat Fatim sudah berada di ambang pintu ."Iyaa, Mbak." jawab Fatim yang menghentikan langkahnya sejenak, untuk menoleh dan tersenyum pada Nilla.Cepat cepat Nilla menutup kembali pintu dan menguncinya dari dalam. Saat Fatim kini benar benar sudah pergi dari ruangan milik Rara.Dari kresek warna hitam yang dia sembunyikan di balik
Rara masuk ke dalam rumah dengan perasaan senang. Fatim sudah menjelaskan dengan baik padanya tentang konotasi si serabi hangat."Mas ...." panggilnya saat tangan kanannya membuka pintu kamar. Rara mengedarkan pandangannya mencari sosok Evan berada, Namun tak tampak."Mas ...!" Rara memanggil cukup keras, kembali tangannya membuka pintu kamar mandi, kosong! "Pasti di kamar kerjanya."Rara mendesis lirih. Pintu kamar dia tutup kembali, ia harus bergegas mandi, karena sebentar lagi Maghrib.Terdengar nada dering ponsel Rara saat dirinya baru selesai dari kamar mandi.Nama Bude Leni tertera di layarnya, dengan tersenyum, panggilan itu langsung diangkatnya.[Halo, bude. Assalamualaikum ] sapa Rara dengan ramah.[Wa alaikum salam. Sudah sampai rumah, Ra? ][Sudah, Bude. Alhamdulillah. ][Mmm .... ] Suara bude, kedengaran bingung.[Ada apa, Bude?] tanya Rara yang penasaran, saat mendengar bude hanya bergumam saja.[Ra ... Bude boleh minta sesuatu nggak sama kamu?] Bude bertanya, wala
Pertemuan Rara pertama kali dengan keluarga Evan selain Bude, terasa sangat hangat. Bude memperkenalkan satu per satu keluarga besarnya dengan di sertai candaan, hingga membuat Rara tidak merasa canggung, dan bisa membaur dengan keluarga besar suaminya.Berbeda dengan yang Evan lakukan. Ia hanya duduk terdiam menyaksikan perkenalan Rara pada keluarga besarnya."Van ...! Ini undanganmu, maaf ya." Tiba tiba seseorang dari sebelah kiri, memberikan sebuah undangan berwarna coklat.Evan mengangkat wajahnya, dan tersenyum saat tahu siapa orang yang memberikannya undangan."Dik ...!" Evan memanggil Rara yang masih duduk di dekat Bude. Walau pun tangannya menerima pemberian dari orang itu.Rara mendekat, saat melihat tangan milik Evan melambai ke arahnya."Kenalkan, ini mbak Rini, teman kantor, bahkan satu ruangan denganku.""Rini. Senang akhirnya bisa tahu istrinya, si Evan," sapa Rini yang sudah mengulurkan tangan kanannya."Isaura." Rara pun menerima uluran tangan mbak Rini."Tapi maaf
Tangan Evan yang terulur ke depan, di tarik oleh pak Hendra, hingga membuat badannya kini terkungkung dalam dekapan Papanya.Tak terucap sepatah kata pun dari mulut mereka berdua. Namun mata Evan dan pak Hendra terlihat berkaca kaca. Evan meletakkan dagunya di bahu pak Hendra, satu kebiasaan yang sering dia rindukan, akhirnya kini semesta mengabulkannya.Mata Bude, dan beberapa keluarga juga menatap mereka dengan mata yang sudah basah.Entah berapa lama Evan dan pak Hendra berpelukan, hingga akhirnya pak Hendra yang mengurainya."Papa, ini Rara. Dia adalah istriku!" Evan memperkenalkan Rara pada Papanya.Rara mendekat dengan rasa sungkan. Bagaimana pun, orang yang di hadapannya adalah orang yang selama ini ia kenal sebagai orang yang mempunyai status sosial jauh di atasnya."Putri dari Ali Sofyan, benar?" tanya pak Hendra dengan senyum lebar.Rara mengangguk sambil tersenyum kaku, dengan penuh keberanian, Rara mengulurkan kedua tangannya dengan badan sedikit membungkuk pada Papa m