Evan tiba di rumah lebih awal, hanya ada Mak yang sedang beberes rumah, sedangkan bayangan istrinya, tidak kelihatan."Mak, gimana kabarnya Pak Ri? Sehat?" tanyanya saat sedang melintasi dapur, untuk naik tangga ke lantai atas."Alhamdulillah, Mas. Cuman masuk angin dikit kok," jawab Mak yang sedikit kaget saat melihat Evan sudah pulang sore itu."Mau saya siapin teh dan kue, Mas?" tawar Mak, yang sengaja menghentikan aktifitas menyapunya, sekedar menanyakan apa yang Evan mau."Nggak usah, Mak. Saya mau langsung istirahat aja di kamar." Mak mengangguk, dan memilih kembali meneruskan menyapu lantai kemudian masuk ke dapur.Begitu tiba di kamar, Evan yang lama tak menikmati kasur. Membuka sepatu dan dasi, kemudian meloncat ke arah ranjang dengan tangan kanan memegang ponsel.Iseng saat di kamarnya, Evan yang tiba tiba teringat dengan petuah dari mbak Pita dan mbak Ratu kemarin pagi. Membuka fitur chat aplikasi berwarna hijau.Kemudian di lihatnya foto profil di kontak yang ia simpan d
"Aku tahu apa yang akan kau katakan tadi, dan aku pikir itu tidak cocok bila kita jadikan solusi buat Mak, makanya aku melarang tadi untuk meneruskan ucapanmu," jawab Evan."Emangnya, apa yang aku ingin katakan tadi?" Bukannya berhenti, Rara masih terus mengejar jawaban suaminya. "Kamu bakalan terima dia, asalkan anaknya Mak mau sekolah lagi, ya kan?"Rara tersenyum, tebakan Evan benar. Apa yang Evan ucapkan hampir terluncur tadi dari mulutnya. "Eh kamu cenayang ya, kok benar? Tapi kenapa aku tidak boleh mengatakannya, apa yang salah dari ucapan itu?" tanya Rara dengan mata melotot, menunjukkan betapa kagetnya dia karena Evan berhasil menebak."Mak dan Pak Ri punya anak cuma satu, itu pun setelah lima belas tahun mereka menikah. Mereka berdua berusaha memenuhi segala keinginan sang anak.Untung saja si anak ini masih bisa di tekan gayanya, karena dia pernah aku paksa masuk ke pondok, ya ... walau pun hanya bertahan selama enam bulan, Namun itu mampu merubahnya untuk tidak manja
"Kenapa kau bertanya seperti itu?" Evan menjawab pertanyaan istrinya dengan pertanyaan pula. Dahinya mengkerut hingga terlihat dua garis melintang di sana."Kamu tidak seperti kelihatannya, macam orang tak punya. Namun pergaulanmu melebihi kaum jetset.""Hah! Itu hanya perasaanmu saja. Aku ya begini. Seperti yang kamu lihat sehari hari," jawab Evan sambil merebahkan badannya. Kedua tangan yang di lipatnya di belakang kepala, dia jadikan alas bantal."Bukan sehari hari, tapi hanya saat malam," ralat Rara."Kau kan juga wanita sibuk, Dik. Bukan wanita rumahan. Kalau kau mau, kau bisa ke kantorku dan tahu lingkungan kerjaku," ujar Evan yang kini tidur dengan miring ke kanan, ke arah istrinya. Tangan kanannya menjadi penyangga kepalanya. "Tapi ... jangan harap kau ke tempat kerjaku!""Kenapa ...?" tanya Evan , tangannya menggenggam jari tangan kiri Rara dengan erat, sesekali di elusnya lembut."Tidak ... tidak apa apa, aku mau makan, lapar." Rara tiba tiba langsung berdiri dari dudukn
Tak bisa menolak! Pak Dimas dan Evan akhirnya bisa kembali ke kantor saat sudah seharusnya jam pulang kerja. Demi Omma dan Oppa yang sejak hari ini ada di hati Evan."Nggak pa- pa kan turun di sini?" tanya pak Dimas yang menghentikan mobilnya di depan lapangan parkir kantornya."Nggak pa pa, Pak. Lagian tinggal ngambil motor aja kok, Pak!" sambil melepaskan sabuk pengaman dari tubuhnya."Makasih ya, sudah membuat Mama dan Papaku bahagia hari ini." "Saya juga bahagia kok Pak, selama ini saya merasa hidup saya sebatang kara.""Sabar, ya ... Van." Pak Dimas menepuk pundak kanan Evan."Iya, Pak!" jawab Evan sambil tersenyum ke arahnya."Kalau bapak mau lanjut silahkan." Evan menjawab sambil membuka pintu mobil milik pak Dimas. Dan melangkah keluar dari mobil."Ok, aku tinggal, Van. Assalamualaikum!" "Wa alaikum salam," jawab Evan sambil melambaikan tangannya.Begitu mobil pak Dimas sudah berangkat pergi. Evan pun melangkahkan kaki ke arah motornya berada, harus cepat cepat, dia berhar
"Makasih ya Mas dan mbak Rara sudah mau di repotkan dengan keluarga kami.""Pak Ri jangan seperti itu, kita kan sudah lama bersama, bapak dan mak juga sudah banyak membantu saya." tegur Evan karena merasa tak nyaman saat pak Ri terlalu merendahkan dirinya sendiri.Sesaaat suasana hening Evan dan pak Ri sepertinya sedang bermonolog dengan hati mereka."Pak Ri sekarang kerja apa?" tanya Evan yang lagi lagi merasa tak nyaman dengan keheningan yang sempat tercipta tadi."Nggak ada, Mas. Selain bantu Mak. Ya ... diam di rumah saja. Nunggu ada orang manggil." "Nggak niat jualan apa gitu, Pak?""Saya nggak biasa jualan, Mas, kalau mau nyoba nyoba takut merugi. Ini masih nabung buat beli sepeda motor, pengin ikutan yang lagi trend itu loh, Mas.""Mau ngojek on line, Pak?""Iya, mas. In sya Allah.""Semoga cepat di kabulkan ya, Pak Ri.""Aamiin aamiin.""Loo, kok malah pada duduk di bawah." Rara yang muncul tiba- tiba dari dalam rumah, di ikuti Fatim di belakang dengan tangan membawa baki b
"Bagaimana, apakah kau bersedia membantuku. Mmm ... bukan, maksudku kita bekerja sama." tanya Dani siang itu. Sengaja dia mendatangi Nilla di kafe setelah sebelumnya memastikan bahwa tak ada Rara di kafe."Sudahlah Dani, lupakan saja Rara, lagian yang kemarin terjadi juga karena kesalahanmu, untung saja perempuan yang kau tiduri malam itu tidak meminta pertanggung jawaban padamu." Dengan mendengus terlebih dahulu, Nilla menjawab ucapan Dani."Aku sedang tidak mau membahas tentang yang sudah terjadi, Nilla." Dengan santai Dani menyalakan rokoknya di depan Nilla, padahal di kafe sudah tercantum peraturan di tembok kalau pengunjung di larang merokok dalam area kafe."Apakah kau bersedia membantuku?"Nilla terdiam, tangannya yang menyatu bergerak tak beraturan. Entah apa yang sedang di pikirkannya saat ini."Nilla, aku tahu kalau kau dan suami Rara, dulunya pernah ada cerita, bahkan cerita itu saat kau sudah menikah dan mempunyai anak satu, benar bukan?" tanya Dani, yang memandang peremp
"Senang berkenalan dengan anda." Dengan pandangan mata ke arah Dani, Evan berkata sambil berdiri dengan cepat dari duduknya. "Maaf, kami tidak bisa menemani waktu anda. Ada yang harus kami berdua lakukan saat ini," ujarnya lagi sambil tersenyum hangat pada Dani, Namun bagi Dani tampak seperti menyeringai, hingga dia hanya membalas dengan dengusan kasar."Ayo berangkat!" Evan menarik tangan istrinya, menggenggamnya erat sambil melangkah menjauhi Dani. Memaksa Rara untuk mengikutinya dengan terpaksa. Tak ada penolakan."Kita naik mobilmu, aku tak tega membiarkanmu panas panas nanti di jalan."Evan yang melangkah di depan, tak mendengar jawaban karena Rara hanya menganggukkan kepalanya."Bisakah pulangnya nanti kita mampir ke rumah ? Ada yang ingin aku ambil di sana," pinta Rara saat Evan membukakan pintu mobil untuknya."Bisa, apakah kau mau kita menginap di sana nanti malam?"Rara seketika hatinya terasa menghangat mendengar apa yang Evan usulkan. "Tidak, lain kali saja," jawab Rar
"Hahahahahah!" Tawa mereka bertiga meledak, karena kejadian yang sama terjadi hingga dua kali."Dari tadi bude yang ngomong terus, sampek lupa nanya nama mantu," ujar beliau menyadari kesalahannya."Ini gara gara kamu, Van. Bikin jarak di antara keluarga, sampai sampai bude tak mengenali nama istrimu," goda Bude yang mendelik kan mata ke arah Evan."Ini kan udah ke sini, Bude," jawab Evan sambil cengar cengir."Rara, nanti tolong simpan nomer Bude, ya! Takut besok-besok, lagi butuh sesuatu kan bisa langsung ke kamu, aku nggak percaya ma anak satu itu!"Bude menunjuk Evan dengan lirikan matanya.Evan hanya bisa tersenyum sambil menundukkan kepalanya menatap lantai."Iya, Bude ...!" jawab Rara, bibirnya melebar melihat Evan hanya bisa curi curi pandang, tanpa bisa berkata apa apa lagi. "Sekarang bawa tiga gaun ini, terus coba pakai, ukurannya pas nggak?" perintah Bude sambil menunjuk ke sebuah kamar di sebelah barat meja kerjanya.Tanpa membantah, Rara menuruti apa yang bude tadi sur
Evan kembali melangkah sendirian ke rumah sakit, tampak olehnya Mama dan Ayah yang duduk di sisi ranjang tempat Rara berbaring. "Sudah kembali, Van?" tanya Mama saat mereka mendengar bunyi pintu yang di buka oleh Evan. "Iya, Ma." jawab Evan yang dengan senyum khasnya mendekati mereka dan mencium punggung tangan keduanya dengan Takzim."Kamu bawa apa?" tanya Mama yang melihat salah satu tangan Evan sedang menenteng sebuah kresek yang lumayan besar bentuknya."Aku bawa makanan untuk ayah dan mama, takutnya ayah dan mama tidak keluar karena menjaga Rara."Evan memberikan kresek warna hitam dengan logo wajah bapak tua itu pada mama. Kemudian menghampiri Rara yang memejamkan matanya. Tanpa bersuara lagi, pak Ali dan istrinya bangun dari kursinya dan melangkah mendekati ranjang kosong di sebelah ranjang pasien, yang menjadi fasilitas untuk kamar ber-vvip.Beliau berdua sepertinya sengaja memberikan Evan tempat untuk menemani Rara."Dia tidur, Van. Mungkin dia lelah karena nangis tadi."
"Aku merasa berdosa sekali telah beranggapan yang tidak tidak padamu, di masa lalu." ujar pak Dimas yang kembali terduduk di kursinya, wajahnya yang menunduk dengan pandangan nanar ke lantai."Ini terjadi karena ketiadaan kedua mertua kita, apalagi saat itu kak Bastian seperti tak lagi memperhatikan kedua adik perempuannya yang telah menginjak usia dewasa. Dia lebih memperhatikan Mieke karena saat itu cinta perempuan itu adalah segalanya bagi kak Bastian." jelas pak Hendra dengan mata menatap ke luar rumah seperti sedang mengingat kejadian kemarin."Apa maksudmu, Ndra?" tanya pak Dimas yang tak mengerti dengan penjelasan yang baru saja pak Hendra katakan "Ayah Nilla adalah kakak lelaki dan anak tertua dari keluarga istri kita. Namun Ayahnya Nilla yang awalnya sangat mencintai Mieke karena beranggapan cinta wanita itu tulus padanya, akhirnya berubah. Suatu ketika dia ingin tahu apakah Mieke akan tetap setia kepadanya atau berubah saat tahu kalau dia hanyalah seorang supir di keluarga
Di waktu yang sama .... Pak Dimas turun dari mobil dan berdiri tak jauh dari mobilnya, matanya menyapu dan menatap rumah asri di depannya, rumah sederhana dengan tembok berwarna biru, berpagar hanya sebatas pinggang orang dewasa. Dengan di dalamnya berjenis jenis tanaman berbeda disusun rapi dan indah. Tampaknya dia masih sangsi dengan apa yang di lihatnya, dia masih tak percaya, tangannya membuka ponsel yang sedari tadi ia genggam, di cocokkan nya lagi alamat yang ia dapat dari salah satu kaki tangannya. Dan alamat itu benar karena di tembok dekat pintu tertempel nama dan alamat lengkap, yang terbuat dari hiasan kayu. Sama seperti yang tertera di layar ponselnya. Pak Dimas melangkah mendekati pagar, dan membukanya dengan mudah karena ternyata tak terkunci. Dengan mata masih memperhatikan sekelilingnya. Pak Dimas melangkah masuk mendekati pintu rumah yang terdiri dari dua daun pintu bercat putih. Rumah yang sejuk dan nyaman. Angin bertiup dari segala arah. Dengan wangi b
Evan sebenarnya tahu kalau Rara sudah sadar dan tidak sedang tertidur, dia pasti juga sudah sangat mengerti kalau kedua orangtuanya datang, Namun mungkin sedang tak ingin melakukan apa pun karena sedang kehilangan."Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Evan yang melangkah mendekati ranjang pembaringan Rara.Tak ada jawaban, bergerak pun tidak. Evan hanya bisa kembali mencium kening Rara, dan melihat sepintas mata dari istrinya yang masih terpejam. "Sabar ya Sayang, Allah masih ingin menguji kesabaran kita," bisiknya pas di telinga Rara.Pun saat Ayah dan Mama kembali masuk ke dalam ruangan itu, Rara masih tetap membatu. Hingga saat seorang Dokter yang di ikuti dua perawat perempuan masuk ke dalam kamar untuk pemeriksaan rutin pun, Rara masih tetap terdiam walau kini matanya tak lagi terpejam."Mbak, tetap semangat ya, jangan sedih terus, nanti kalau sedih terus susah sembuhnya." Nasehat bu Dokter sambil mengajak bercanda, Namun Rara masih tetap bergeming.Sampai rombongan Dokter it
Mendengar penjelasan dari sang Dokter, Evan hanya bisa menggenggam jari tangannya sendiri kuat kuat, ada perasaan perih yang menyayat."Saya harap bapak tidak kecil hati, tolong berikan semangat buat istri bapak, karena biasanya perempuan yang baru saja kehilangan bayinya akan berubah menjadi wanita sensitif--gampang marah hanya kerana masalah masalah kecil," ujar Dokter perempuan itu dengan senyum perduli. "Apakah kami masih bisa punya anak lagi, Dok?" tanya Evan dengan wajah penuh harap. "Bisa! Tentu saja bisa, tidak ada kendala dengan rahim si ibu kok, pak," jawab Dokter dengan senyum yang menenangkan hati Evan."Yang penting sekarang adalah bagaimana cara bapak untuk menguatkan mental si ibu bahwa semua baik baik saja."Kembali Dokter memberikan pesan berharga buat Evan."Baik, Dok. Akan saya perhatikan semua yang dokter pesan. Terimakasih."Dokter perempuan separuh baya yang mengenakan hijab lebar itu hanya bisa tersenyum melihat ke kondisi Evan. Dan menganggukkan kepala mem
"Ya, kamu benar. Maaf kalau selama ini ayah tidak pernah menceritakan pada kalian, tapi bukankah kalian sudah mengatakan bahagia atas pernikahan ini?"Rara tak menjawab pertanyaan ayahnya, malah kini dia berpaling ke arah Evan, yang kini juga tengah memandangnya."Apakah kamu bahagia hidup bersamaku, Mas?" Dengan wajah serius, Rara bertanya pada Evan yang menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum saat mendengar istrinya bertanya."Alhamdulillah, insya Allah selamanya, aku bakalan bahagia dan akan membahagiakanmu," jawab Evan dengan rona muka serius, memandang silih berganti Rara, dan kedua mertuanya."Aamiin aamiin." sahut semuanya dengan penuh keyakinan."Jadi pengin muda lagi aku, Ayah." ujar Mama, dengan muka merajuk sambil memeluk satu lengan Ayah dan menggelayutinya mesra. "Hahahaha!"Tentu saja sikap Mama membuat Evan dan Rara terkekeh spontan. "Sudah malam, apakah kalian masih kekeh untuk pulang malam, ini?""Mungkin ada baiknya bila kita menginap saja, besok setelah subuh k
"Ayah sudah mendengar tadi dari Mama, cuma rasanya ayah ingin dengar langsung dari kamu Ra." Pak Ali yang baru saja turun dari lantai atas. Langsung mengambil tempat di depan Rara dan Evan yang sedang duduk di depan tv.Sengaja pak Ali menunggu suami anaknya datang agar dapat mendengar dari kedua pihak. "Tentang apa Ayah?" tanya Rara dengan perhatian beralih pada sosok yang masih tampan walau sudah berumur setengah abad."Apakah benar kamu hamil, Ra?" Ayah memandangi wajah putri dan menantunya secara bergantian seolah meminta jawaban jujur dari keduanya."Alhamdulillah, Ayah." Rara menjawab dengan seuntai senyum di bibirnya. Pak Ali bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Rara dengan mata berkaca kaca, di ciuminya setiap inci wajah Rara seolah sedang menciumi putrinya saat kecil."Alhamdulillah ...." ujarnya berkali kali.Rara hanya bisa tersenyum haru, matanya pun ikut berkaca kaca, di peluknya sang ayah dengan mata menatap Evan yang juga sedang menatapnya lekat."Kau harap kam
Sekejap Mama membulatkan mata, seakan tak mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari anak perempuan satu satunya, sambil mengucapkan syukur Alhamdulillah, tiada henti di pelukan Rara. "Kok Mama malah nangis? Harusnya Mama bahagia dong, sebentar lagi Mama bakalan di panggil Mbah uti." tanya Rara yang heran karena melihat mamanya terisak. "Sejak kamu datang tadi, hati mama terus menerus berdoa, semoga kepulanganmu kali ini bukan karena keinginanmu untuk berpisah dnegan Evan," ujar Mama dengan sangat lirih. "Mama ...." seru Rara yang ikut terharu dengan sikap mama. "Makasih ya Allah, akhirnya mama bisa bernafas lega sekarang. Kamu memilih untuk bersama walau dengan awal yang tak mengenakkan.""Ma ... kok gitu sih." sela Rara yang merasa tidak enak hati mengingat sikapnya dulu pada Evan."Sudahlah, nggak usah di pikirin lagi, dahewat kan?! Pokoknya mama sekarang senang, kamu nginap sini kan?" tanya Mama, beliau langsung berdiri menuju dapur."Aku belum bilang ke mas Evan kalau mau
Evan merenggangkan kedekatannya dengan Rara dan berbalik membuat mereka kini saling berhadapan dengan sangat intim."Makan kamu, boleh nggak, sih?" tanya Evan sambil tersenyum, kemudian dengan sigap mencuri kecup di bibir milik istrinya."Nggak!" jawab Rara, bahkan kini membalas pagutan bibir Evan dengan lincahnya. Mata mereka saling menatap lekat satu dan yang lainnya."Sudahlah, ayo kita cari sarapan sambil jalan jalan pagi." ajak Evan yang sudah bergerak turun dari ranjang."Aku mau pecel, Mas." seru Rara dengan semangat empat lima. Ikut bergegas mengikuti apa yang Evan mau.Pagi itu kali pertama mereka berdua jalan kaki keluar rumah berdua, tangan Evan posesif menggenggam jemari istrinya, tak membiarkannya terlepas walau sesaat.Beberapa orang tetangga mereka, yang terlalui. Terpesona melihat begitu romantisnya Evan dan Rara. terlihat mulai menyapa, bahkan ada yang berani menggoda keromantisannya pada sang istri."Mbak ....!"Evan dan Rara menoleh ke arah belakang, Sudah ada Mak