"Selamat pagi, Pak! Apa kabar?" sambut Evan saat kedatangan tamu yang ditunggunya. Saat ini Evan sedang berada dalam sebuah kafe sederhana Namun sangat terkenal di daerah itu."Pagi, pak Evan. Alhamdulillah sehat," lelaki separuh baya dengan kumisnya yang tebal, menyambut tangan Evan yang terulur untuk berjabat tangan."Bagaimana, apa ada yang perlu saya revisi lagi, pak Soni?" tanya Evan setelah kembali duduk di kursinya.Tiba tiba saja lelaki yang yang Evan tadi panggil pak Soni, melemparkan map yang isinya lumayan tebal ke atas meja.Tentu saja Evan yang langsung menegakkan badannya, matanya memandangi map itu dengan kedua tangan terkepal, tampak sekali kalau dia sedang menahan sesuatu di dadanya saat menghela nafas dengan kasar."Semua sudah saya tanda tangani, tidak ada revisi, perusahaan saya menerima semua yang pak Evan tawarkan," ujar pak Soni kini dengan senyum lebar di bibirnya."Maksud Bapak, ba- bagaimana?" Evan memandang pak Soni dengan tatapan tidak mengerti.Pak Soni
Mbak Ratu kemudian meletakkan sebuah bungkusan berbentuk kotak berwarna putih dengan berhiaskan pita, di depan Evan."Apa ini, Mbak?" tanya Evan yang kaget melihat betapa kecilnya bentuk penghargaan yang ia dapat dari perusahaan."Kamu buka dulu, Van. Biar jelas!"Evan menuruti perintah pak Dimas, tangannya terulur ke depan, ke atas meja tempat mbak Ratu tadi meletakkan kotak, dan mengambilnya.Evan menarik pita yang menghiasi kotak itu, Namun matanya tak henti melihat wajah pak Dimas dan mbak Ratu secara bergantian.Hingga kemudian tangannya membuka kotak dan mendapati dua buah kunci di dalamnya."Maksudnya ini, apa?" tanya Evan. Dengan menyipitkan mata dan dahi yang mengkerut Evan menatap kunci itu."Bukankah kau mau mentraktir kita untuk makan siang bersama. Ayooolah, kamu juga perlu me- testdriver mobil barumu bukan?" ujar mbak Ratu yang sudah berdiri dari kursinya.Pak Dimas pun kemudian ikut berdiri, bersamaan dengan mbak Ratu, yang melangkah bersama menuju pintu.Meninggalkan E
"Van, bagaimana dengan anak anak sekretariat, kita pesenin juga nggak?" tanya mbak Alex tiba tiba. Saat semuanya sudah menyelesaikan makannya. "Bungkus?" Evan bukannya menjawab malah balik bertanya. Dia bersyukur mbak Alex tiba tiba mengalihkan perhatian mbak Pita dengan pertanyaannya."Iya, tapi bisa nggak ya kalau di bungkus?" tanyanya lagi sambil menatap Evan yang hanya mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban"Eh Pita, kalau di bungkus bisa nggak? Tolong kamu tanyain deh, bukannya kamu kenal ma yang punya?!" Akhirnya mbak Alex beralih ke mbak Pita."Tapi mungkin anak anak sudah pada makan kalau sekarang, kalau beli kuenya aja gimana?" usul mbak Ratu, yang langsung di setujui oleh pak Dimas."Itu di etalase depan kan ada beraneka kue basah, itu aja di beli semua buat yang di kantor," usul pak Dimas. Tangan beliau menunjuk ke arah depan."Pilihlah beberapa yang menurutmu anak anak suka!!" Pak dimas melanjutkan ucapannya, setengah menyuruh mbak Pita. "Siap, pak!" ucap mbak Pita yan
"Kamu janjian dengan dia?" tanya Evan dengan nada terdengar curiga, kini kembali menghadap kaca, meletakkan dasi yang sudah lepas dari lehernya di atas meja."Nggak, tadi itu hanya kebetulan saja kok!" jawab Rara yang mulai membuang muka, salah tingkah melihat Evan dengan santainya membuka pakaian dan celana panjang di depannya."Dik, ambilkan handuk, tolong!" pinta Evan hingga tanpa sengaja matanya menangkap tingkah lucu istrinya, hingga menimbulkan tersenyum di bibirnya."Nggak! Ambil aja sendiri!" jawaban sarkas akhirnya keluar juga dari mulut Rara, yang bergegas keluar dari kamar dengan muka cemberut.Bukannya marah, Evan malah semakin tersenyum geli sendiri mendengar penolakan Rara, apalagi saat istrinya keluar dari kamar dan membiarkan pintu terbuka tanpa di tutup lagi.Evan menutup pintu kamarnya kemudian segera bergegas ke kamar mandi. Kini wajahnya sudah tak lagi muram seperti saat dia datang tadi.****Dengan masih menggunakan handuk, Evan keluar dari kamar mandi, Rara masih
Dengan kasar Rara menarik tangannya dari genggaman Evan yang tersenyum menggoda. Rara segera memalingkan wajahnya, yang ia tahu pasti sudah berubah warnanya sekarang."Dik ...!"Rara tak bersuara, cukup dengan membanting keras pintu kamar sebagai jawaban dari pertanyaan Evan tadi. Membuat Evan malah tersenyum semakin lebar.Setelah sekian lama sendirian di depan tv, Evan menengok jam dinding yang berada di atas tv, menunjukkan jam sepuluh malam. Dia pun berdiri dengan mengucek ucek matanya yang mulai terasa sepet.Di bukanya pintu kamar secara perlahan."Alhamdulillah," desisnya pelan, saat terbukti pintu kamarnya tidak di kunci dari dalam.Hawa dingin langsung memeluk badan Evan hingga membuatnya sedikit bergidik. Matanya melirik ke arah Rara yang tertidur nyenyak di atas ranjang, sepertinya dia tidak berpengaruh dengan hawa dingin yang berasal dari mesin pendingin ruangan.Kini matanya mulai mencari jejak remote pengatur mesin pendingin ruangan berada, suhu ini terlalu dingin baginy
"Kamu sudah sarapan belum? Kenapa tidak ada piring di depanmu?" Evan spontan mengalihkan perhatian Rara. Gawat bila dia harus menjelaskan sesuatu di balik kata serabi."Aku tidak terbiasa sarapan," jawab Rara sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas."Kenapa, takut gemuk?" Evan menerima piring berisi roti dengan telur mata sapi di tengahnya, seperti yang tadi ia minta Mak untuk membuatkan."Tidak, hanya kebiasaan saja.""Sejak di pondok?" Evan seperti tak mau berhenti bertanya tentang pribadi Rara, walau di mulutnya sedang mengunyah makanan."Iya, tak ada waktu untuk memasak, saat itu hanya fokus pada hafalan, lagi dan lagi.""Di pondok mana?""Salah satu pondok di Jombang. Jawa timur.""Wooow, pondok terbesar itu?" Mata Evan membulat sempurna."Jadi kapan kau mau pakai hijab, Dik?"Isaura tak menjawab, pandangannya kini beradu dengan pandangan milik Evan."Ak---aku ....""Ganti bajumu dengan yang lebih longgar, kalau tidur saja kau rangkap sampai tiga baju, kenapa kalau keluar rumah
"Pak, tolong, Mama masih dalam kondisi gawat." Evan kembali mengingatkan pak Dimas dengan suara yang mulai serak dan wajah yang memerah.Seolah kembali tersadar, walau masih di landa penasaran yang amat sangat, pak Dimas fokus lagi membawa mobilnya, kini dengan lebih cepat walau tetap dengan kewaspadaan yang tinggi.Begitu sampai di rumah sakit, pak Dimas menghentikan mobil tepat di depan lobi. Dengan cepat, Evan keluar dari mobil dan kembali membopong perempuan yang ia panggil Mama, dan membawanya masuk."Tolong, segera di tangani. Tolong!" Seperti orang gila, Evan teriak -teriak sambil melangkah masuk ke dalam ruangan yang di ikuti Umi dari belakang."Jangan teriak teriak Pak, kasihan pasien yang lain!" tegur seorang petugas kesehatan."Sini, segera tidurkan di sini. Biar saya periksa dulu!"suruh seorang perempuan berkaca mata, yang meminta Evan menidurkan Mamanya pada salah satu ranjang yang berada di ruangan itu.Baru saja Dokter memeriksa, seorang petugas kesehatan yang lain m
Selesai sholat, Evan sengaja membacakan al quran di dekat mama Dewi. Tangan Mama Dewi, Evan genggam dan kadang juga diciuminya. Sungguh ia sudah menganggap mama Dewi sebagai pengganti mamanya.Mama Dewi perlahan membuka mata, dan mengerjapnya beberapa kali, menatap Evan yang sedang mengaji dengan senyum bahagia. "Van ...!"Evan tak menjawab, rupanya dia benar benar konsentrasi dengan apa yang sedang ia baca."Van ...!" panggil mama Dewi sambil menarik tangannya yang masih dalam genggaman Evan. Pelan.Evan yang merasakan adanya gerakan dari Mama, sontak mengangkat wajahnya menghadap ke arah Mama."Ada yang ingin Evan lakukan untuk Mama?" tanyanya sambil berdiri, Evan menatap Mama dengan penuh perhatian. "Pulanglah, istrimu pasti sedang menunggumu," suruh perempuan yang kini terlihat sedikit lebih segar.Evan terdiam dia lupa memberitahukan pada Rara tentang keterlambatannya pulang hari ini, juga tentang Mama Dewi."Evan masih ingin di sini, Ma." Evan menjawab pertanyaan Dewi dengan