Evan kembali ke tempat yang tadi, untuk mengambil paper bag pemberian dari pak Dimas. Kemudian melangkah masuk ke kamar saat pertama kali dia di make over, karena barang pribadinya termasuk baju dan celana, ia tinggalkan di sana, tadi.
"Permisi!" sapanya, setelah sebelumnya mengetuk pintu, berdiri di depan kamar yang tertutup pintunya."Anu ... Mas."Seorang Mbak yang tadi me- make over dirinya membukakan pintu, menjawab dengan kaget saat tahu bahwa ada Evan di depan pintunya."Saya mau ambil barang barang saya, mbak!" kata Evan pada si Mbak."Semua yang berkaitan dengan masnya, sudah di ambil oleh pak Ali dan di pindahkan ke kamar pengantin," jawab Mbak tadi, sambil sedikit membungkukkan badannya."Di mana?""Naik tangga, Mas. Ada di lantai dua. Di kamar paling depan, sebelah kanan."Si Mbak memberikan penjelasan letak kamar pengantin pada Evan."Makasih, ya!"Tak perlu menunggu lebih lama lagi, Evan segera melesat naik tangga ke lantai atas, dengan tangan masih memegang paper bag.Saat tiba di lantai atas, Evan tiba tiba hanya berdiri saja, matanya meneliti kamar yang tadi dijelaskan oleh mbak mbak yang ada di kamar bawah.Baru saja kakinya melangkah, pintu kamar di sebelah kiri terbuka, kemudian keluar seorang perempuan dengan sisa make up di wajahnya, yang langsung tersenyum saat melihat Evan."Nyari kamarnya Isaura ya, nak Evan? Sini ikut Mama!" ujarnya sambil setengah tersenyum, melangkah di depan Evan"Iya, Nte.""Looo, kok tante, mama dong, kan udah nikah dengan anak mama. Jadi itu berarti kamu juga anak mama, ya kan?" jawabnya lagi tanpa menoleh."Eh, i-- iya, Ma!"Evan tersenyum malu, dengan tangan kiri menggaruk leher belakangnya yang tidak gatal."Jadi ini Mama mertuaku," desisnya lirih, sambil mengikuti langkah perempuan yang kecantikannya masih sangat terawat.Langkah Mama berhenti di kamar ujung paling depan, yang bertuliskan Isaura Chana."Silahkan, masuk aja, nak Evan. Tapi maaf, Isaura-nya sedang tidur di kamar mama, itu ... kamar di sebelah kiri. Nggak pa- pa kan?"Tangan kanan Mama menunjuk kamar pribadi miliknya."Iya, Ma. Nggak papa, kok. Kalau begitu, saya pamit mau masuk dulu."Evan kemudian membuka pintu kamar setelah sebelumnya melihat anggukan dan senyuman dari Mama mertua. Yang kemudian pergi meninggalkannya di depan pintu kamar.Kakinya ia langkahkan perlahan masuk ke dalam kamar. Ah ... kamar yang masih penuh dengan hiasan bunga. Bunga mawar dan melati lebih dominan.Dilihatnya di meja dekat tempat tidur, baju dan celananya yang sudah dilipat rapi, di atas baju ada kunci sepeda motor, dompet dan ponselnya.Ada dua pintu di depannya ranjang, penasaran! Evan pun mendekati pintu yang ditutup dengan gorden yang senada dengan jendela. Balkon, ya itu balkon yang langsung menghadap ke jalan raya.Angin langsung menerpa dan menyapa Evan, saat tangannya membuka pintu balkon.Entah apa yang sedang Evan pikirkan, Namun senyum di bibirnya, mungkin sebagai ungkapan kalau lelaki itu menyukai suasana di kamar itu.Evan menutup kembali pintu yang pertama ia buka, kemudian membuka pintu ke dua yang ditutupi gorden berbeda, warna biru.Aroma pewangi ruangan yang beda Namun khas untuk kamar mandi, langsung menyeruak di lubang hidungnya, Evan paham ini kamar mandi, namun dirinya seperti penasaran dengan apa yang ada di dalamnya.Dibukanya lebar lebar pintu kamar mandi, dan dia membeliak, isinya bath-up penuh dengan air dan bunga mawar-melati. Mungkin jika dia menikah dengan orang yang dicintai, suasana seperti ini akan sangat dia nantikan, namun persoalannya berbeda.Evan kemudian kembali melangkah mendekati ranjang, dan meletakkan paper bag di kursi dekat ke jendela. Membuka, mulai memilih, dan langsung membawa baju dan perlengkapan mandi yang tadi pak Dimas berikan untuknya.Tak perlu lama membersihkan diri, lima belas menit kemudian, Evan sudah berdiri menghadap sang penciptanya, terdengar lirih doa doa yang ia ucapkan dengan khusuk, yang langsung di lanjutkan dengan membaca doa doa sesudah sholat.Terdengar suara knop pintu di buka dan di susul suara langkah yang mendekat dan kadang menjauh. Namun sepertinya Evan tak perduli, ia tetap di sajadahnya dengan menengadahkan kedua tangannya.Saat sudah selesai, diberesinnya lagi alat sholatnya dan meletakkan sajadah di kursi tempat paper bag-nya berada, ia tumpuk begitu saja. Merasa benar benar capek, Evan langsung merebahkan badannya ke ranjang setelah sebelumnya membersihkan kelopak bunga bunga yang banyak bertebaran di permukaan ranjang. Tak perlu menunggu lama, akhirnya Evan tertidur pulas."Heh bangun, ayah menyuruh kita turun untuk makan malam."Evan hanya menggeliatkan badannya, sesaat. Hingga membuat Isaura semakin kesal, mungkin dia merasa tidak di dengarkan."Heh!! Kamu mau bangun atau mau aku tinggal??!!" ancam Isaura, kini mengguncangkan badan Evan dengan lebih keras lagi.Evan membuka matanya, mengerjapnya beberapa kali, dan akhirnya bangun sambil memperhatikan sekelilingnya."Ayo siap siap, ayah menunggu kita untuk makan malam bersama," ajak Isaura dengan langkah mendekati pintu."Ini jam berapa?""Sudah jam tujuh malam.""Kamu duluan aja!"Evan bergegas turun dari ranjang dan langsung ke kamar mandi, di sela sela gerutuan Isaura yang sengaja tidak Evan dengarkan.Namun betapa terkejutnya Evan saat keluar dari kamar mandi, ternyata istrinya masih duduk di tepi ranjang, di tempat yang sama saat ia tinggalkan ke kamar mandi."Kenapa kamu tidak ke bawah?" tanya Evan sambil memakai sarung di depan Isaura."Kata Ayah, aku harus bersamamu saat turun ."Isaura menjawab sambil memberengutkan dan memalingkan wajah cantiknya."Apa lagi yang akan kau lakukan, kenapa mengganti celana dngan sarung?" tanya Isaura dengan mata membulat."Sholat dulu Sayang, itu lebih penting dari apapun, kamu sudah apa belum?"Evan sengaja menekan kata sayang saat memanggil istrinya.Isaura terdiam saat ditanya Evan sudah apa belum sholat, dengan mata kagum, Isaura menatap bangga Evan yang masih sholat, entah kenapa di bibir tipisnya terlukis senyuman.Evan yang tak sadar kalau terus menerus diperhatikan dan ditunggu oleh Isaura, meneruskan mengganti sholat yang ketinggalan karena ketiduran tadi."Apakah kau sudah selesai sholat?" tanya Isaura saat melihat Evan berdiri dan mulai melepas kopyah di kepalanya.Mendengar suara istrinya yang bertanya, seketika itu pula Evan langsung menoleh pada Isaura, dengan pandangan mata heran"Aku pikir kamu sudah ke bawah, apa kau tidak lapar?"Bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Evan malah balik bertanya."Apakah aku boleh bertanya sesuatu padamu?" tanya Isaura tanpa menjawab apa yang tadi Evan tanyakan."Mau bertanya tentang apa?""Mungkin tidak penting bagimu, Namun menurutku ini sangat penting.""Tentang Apa?""Siapa kamu, kenapa ayah berkata kamu bukanlah lelaki bayaran? Beliau bahkan menyuruhku untuk melakukan kewajibanku sebagai istri. Bahkan permintaanku untuk bercerai dibalas dengan tamparan. Sungguh, ini merupakan pengalaman pertama olehku."Evan melihat kesedihan di nada bicara Isaura, walaupun mereka tidak saling bertatap muka."Selama aku hidup, baru sekarang aku merasakan tamparan dari Ayah."Wajahnya semakin menunduk, menatap lantai, Namun sesaat. Karena setelah itu, Isaura malah menatapnya tajam sambil berkata, "Sekarang jelaskan siapa kamu!""Aku bukan siapa siapa, aku hanyalah orang biasa yang bekerja sebagai staf biasa di kantor milik pak Dimas, bukankah kau sudah tahu hal itu!" jelas Evan dengan tenang."Aku tidak percaya!""Terserah kamu!" jawab Evan sambil melangkah meninggalkan kamar, dan itu berarti meninggalkan Isaura yang sudah sekian lama menunggu untuk turun bersama, hingga membuat Isaura berdecak kesal sambil mengikuti langkah Evan dari belakang, membuat Evan tersenyum karenanya."Akhirnya kalian turun juga, apa yang membuat kalian lama sekali?" tanya Mama Isaura pada sepasang pengantin baru yang melangkah mendekat."Maaf, Ma. Ketiduran tadi sore, hingga melewatkan sholat maghrib dan ashar, jadi sebelum turun saya selesaikan dulu urusan dengan Al Khaliq," jawab Evan sambil menarik salah satu kursi di sebelah mama untuk di duduki Isaura, yang tengah memandangnya dengan heran.Perempuan itu menyangka kursi itu akan Evan duduki sendiri, kemudian saat Evan kembali menarik salah satu kursi lagi untuk dirinya sendiri, barulah Isaura tersenyum dengan perlakuan manis Evan padanya."Alhamdulillah ... baguslah kalau begitu!" seru Mama dengan mata berbinar bahagia. Tangannya mengulurkan satu piring yang masih kosong pada anaknya.Isaura pun mengambil piring itu dan mengisinya dengan nasi dan lauk yang ia kehendaki, hingga membuat Mama, Ayah dan Evan memandang padanya."Kenapa tak kau tanyakan dulu pada suamimu. Makanan apa yang ingin ia makan?!" tegur ayahnya, dengan
Selesai dengan doanya, tanpa mengganti apa yang masih ia pakai, langkahnya kini berganti ke arah balkon dengan ponsel di tangan kanannya, dan tak lupa menutupnya lagi, walau tersisa sedikit celah di antara pintunya.Duduk di sofa panjang, sofa satu satunya yang tersedia, dengan bantuan ponselnya, Evan kembali mengulang hafalan alquran- nya. Benar! Suaranya pelan Evan rasa, Namun saat dini hari, suara pelannya yang sangat merdu itu, terdengar hingga se-antero rumah.Hingga adzan subuh terdengar, barulah Evan menyudahi hafalannya, berdiri dari duduknya, kemudian melakukan peregangan badan ringan hanya untuk mengusir penat karena duduk yang agak lama.Masuk kembali ke dalam kamar, dan melaksanakan sholat subuh. Semua ia lakukan seperti saat berada di rumahnya sendiri. Hari masih gelap, Evan sudah berada di luar pagar, ia pikir karena ini termasuk perumahan mewah, maka akan sangat sepi orang yang sekedar jalan jalan pagi, Namun ia keliru, pagi itu banyak sekali kaum muda mudi atau kau
"Iya, aku ikut, tapi ... jangan lupa di kasih makan ya?" jawab Isaura, sambil terus mengunyah makanan di dalam mulutnya.Perempuan cantik itu menjawab seperti setengah di paksa.Evan tersenyum, ternyata ini sisi lain dari seorang Isaura Chana yang selain kekerasan hatinya, ternyata mempunyai sifat humor juga. Dan yang lebih menyenangkan hatinya, sekarang sudah sah menjadi istri, bakal ibu dari anak anaknya kelak.Karena tak ada jawaban dari Evan, Isaura melirik Evan dengan ekor matanya."Kenapa menatapku seperti itu, aneh ya, liat orang secantik aku lagi makan?" Dengan mata mendelik, Isaura bertanya. Evan hanya tersenyum saat mendengar istrinya bertanya, bukannya menjawab, Evan malah bangun dari duduknya dan melangkah hendak menjauh, saat melewati belakang punggung istrinya, tiba tiba saja tangan kanannya mengacak lembut kepala Isaura, kemudian meninggalkannya ke lantai atas, tak perduli dengan racauan istrinya.Di dalam kamar, Evan yang tak tahu apa saja yang akan di bawa oleh istr
"Pak ...!"Sapa seorang lelaki separuh baya, Namun, masih tampak gagah. Dengan di dampingi oleh empat orang yang ke semuanya menggunakan jas putih, baru saja masuk ke dalam ruangan yang mempunyai interior ruangan sangat fantastik.Empat orang lelaki yang mengawal itu membungkukkan sedikit badannya di depan seorang lelaki dengan bergaya flamboyan yang sedang duduk di kursi kebesarannya di belakang meja. Tengah memberikan pandangan yang sangat familer.Lelaki yang sering di panggil dengan sebutan om Tyo itu pun langsung duduk di kursi yang tersedia di depan meja, setelah lelaki yang tadi ia beri hormat, menganggukkan kepala.Begitu pun dengan empat lelaki berjas putih yang tadi mengantarkan Om Tyo, mereka juga segera meninggalkan ruangan dan menutup pintu rapat rapat, setelah mendapatkan isyarat untuk pergi."Bagaimana, apakah kau sudah mengatakan apa yang aku ingin ucapkan untuk si Ali?!" tanya pak Hendra setelah pintu ruangannya di tutup sangat rapat."Sudah, aku sudah katakan, sudah
Evan mengguncangkan bahu istrinya setelah sebelumnya mematikan mesin mobil."Dik, bangun kita sudah sampai," ujar Evan berulang ke dua kalinya.Isaura langsung membuka matanya, dan mengerjapnya berulang kali.Tampak di hadapannya, sebuah rumah minimalis berlantai dua bernuansa biru dan putih, di halaman depan sebatang pohon mangga besar dengan daun yang lebat, hingga menambah sejuk udaranya."Ayo masuk!" ajak Evan yang sudah membuka pintu mobil dengan mengulurkan tangannya ke arah Isaura."Te ... Terima kasih ...."Dan entah apa yang ada di benaknya, Isaura pun menerima uluran tangan kanan Evan untuk menggandengnya masuk ke dalam rumah.Cekrek!"Kok nggak di kunci? Di dalam ada orang kah?" tanya Isaura saat melihat dengan begitu mudahnya Evan masuk ke dalam rumah.Tak ada jawaban, Isaura terus membuntuti langkah suaminya yang kini berhenti di batas pintu ke dua. "Assalamualaikum!" sapa Evan sambil tersenyum pada istrinya, sedangkan tangan kirinya meletakkan tas koper di lantai."Wa a
Isaura langsung membalikkan badan saat mendengar apa yang di tanyakan oleh Evan."Apa maksudmu?" Tampak sekali pias di wajah cantiknya, gestur tubuhnya pun terlihat bila saat ini Rara sedang panik."Hei, aku hanya bertanya, apakah kau sudah siap?" Evan kembali menggoda. Matanya menatap tak biasa pada Rara."Siap? Jangan main main denganku!!"Rara mengulang pertanyaan Evan, sekaligus mengancamnya dengan kening yang mengerutkan tiga garis."Bukannya tadi kau mengatakan akan menungguku hingga nantinya aku yang akan meminta padamu?" tanyanya dengan mata membulat sempurna."Itu tentang nafkah batin, sedangkan yang sekarang aku tanyakan padamu, adalah tentang kesiapanmu menceritakan tentang bagaimana kamu dulu?" Evan berkata sembari menepuk ranjang yang di sampingnya."Apa maksudmu?" tanya Isaura yang tambah tidak mengerti."Seperti yang Mamamu katakan tadi, beliau menginginkan kamu untuk memakai jilbab seperti dulu, jadi ... kenapa kau lepas jilbabmu?"Isaura kembali membalikkan badannya
Evan yang mendengar pertanyaan dari Nilla, langsung memejamkan mata, karena firasatnya mengatakan bahwa sebentar lagi, Rara bakalan menengok untuk melihat kondisi dirinya, sedang tertidur atau terjaga.[Iya, tapi dia sedang tidur, ada apa? Apakah kau mengenal mas Evan?] tanya Isaura tanpa menengok lagi ke ranjang tempat Evan rebahan. Ternyata apa yang Evan pikirkan benar benar tidak terjadi.[Ya, dia kawan lama.][Ooo ... Nanti aku sampaikan kalau kau mencarinya.] Dengan wajah yang terlihat sedikit kaget, Rara menjawab sembari mengangguk kan kepalanya berulang kali.[Hei, jangan dong. Dia kan suamimu. Lagian aku tadi hanya basa basi aja kok.]Isaura tertawa saat mendengar Nilla langsung panik. Namun ada yang berbeda dengan aura wajahnya saat ini.[ Aku kan hanya bercanda, segitu paniknya? Antara kalian pasti ada apanya kan?! Ngaku deh ...!] Tuduh Isaura langsung tunjuk poin. Tangannya masih sibuk mengeluarkan dan langsung memasukkan pakaian ke dalam lemari.[ Eh, sudah dulu ya, ada p
Setelah selesai sholat pun, Isaura tak juga masuk ke dalam kamar, jam menunjukkan pada Evan, Isaura telah pergi selama kurang lebih empat puluh lima menit yang lalu.Dengan tetap menggunakan sarung dan baju kokonya, Evan keluar kamar dan langsung turun ke bawah dengan niat mencari istrinya.Terdengar riuh gelak tawa dari arah depan rumah.Semakin penasaran, Evan mempercepat langkahnya menuruni tangga.Sesampainya di bawah, tepatnya di ruang tamu, di lihatnya, Isaura sedang bersenda gurau bersama Mama dan Ayah mertuanya. Tentu saja Evan sangat kaget ketika tahu, siapa tamu yang datang sore itu."Kenapa tidak memberitahuku kalau kita kedatangan Ayah dan Mama, Dik?" tegur Evan saat kakinya menginjak lantai ruang tamu. Dan langsung mengelus rambut Isaura."Aku pikir kamu masih sholat, ternyata sudah selesai." Isaura menjawab sambil memeluk mamanya dari samping kanan. Seperti mencari perlindungan, takut Evan marah. Manjanya seketika itu juga mulai terasa saat berada di lingkungan keluarga