"Dimaaaas ...! Dim, tolong aku!"
Tiba tiba suara pak Ali yang menggelegar, mengagetkan pak Dimas dan Evan hingga membuat keduanya terjaga dari duduk mereka."Ada apa? Kenapa sampai teriak seperti itu?" tanya pak Dimas, sesaat setelah pak Ali sudah berdiri di dekatnya dengan muka pias memucat.Bukannya menjawab pak Ali malah menangis sambil menggenggam tangan pak Dimas erat."Tolong aku ...!""Ada apa ...?" tanya pak Dimas untuk ke dua kalinya, sambil mengurai pelukan pak Ali di badannya."Tadi orang tua dari Dani-- calon pengantin pria-- dari anakku, datang dan meminta maaf karena Dani menghilang dari rumah, mereka sudah berusaha mencari Namun masih tidak dapat di ketahui keberadaannya."Tiba tiba pak Ali berujar lirih hingga tak terasa duduk bersimpuh di antara Evan dan Pak Dimas. Isaknya walau tertahan masih terdengar lirih di telinga.Pak Ali menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat kuat."Aku bingung, Dim. Sekarang mau aku taruh di mana kehormatan keluargaku. Mau aku taruh di mana?"Mata pak Ali memerah, sepertinya benar benar menahan marah dan bingung yang menjadi satu saat ini."Terus apa maumu?" tanya pak Dimas yang tak tega melihat kondisi sahabatnya itu."Tolong bujuklaah pemuda yang berada di sampingmu untuk menjadi pengganti pengantin pria untuk anakku." ujarnya dengan penuh harap sambil menatap Evan."Maksudmu, Evan! Serius??!" tanya pak Dimas yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat mendengar apa yang dikatakan oleh pak Ali..Pak Ali mengangguk mantap sambil tersenyum pada Evan, senyum yang tampak sekali kalau tengah di paksakan."Van ...! Gimana?" tanya pak Dimas sambil mengalihkan badannya sedikit serong ke arah Evan yang tercenung hingga terdiam tak bisa berkata apa apa.Ketidak sengajaan lah yang membuat Pak Dimas mengajak Evan untuk menemaninya, karena kebetulan berpapasan dengan pemuda tampan yang baru saja menyelesaikan dinas luarnya, di depan kantor milik pak Dimas.Tentu saja pak Dimas merasa tidak enak hati, karena sudah membuat lelaki yang awalnya hanya sebagai seorang satpam itu,Namun, sejak dia menyelesaikan pendidikan sarjananya, pak Dimas menariknya ke kantor sebagai salah satu staf di publik relation perusahaan. Dihadapkan pada persoalan rumit."Tolonglah, Van. Jadilah suami untuk anakku, setahun saja. Setelah itu terserah, apa pun keputusan kalian berdua, aku akan terima." pinta pak Ali yang terdengar seperti rengekan seorang anak kecil yang meminta lollipop pada ibunya."Saya bersedia, Namun dengan syarat. Putri bapak harus bersikap sebenar benarnya sebagai seorang istri saat kami sudah sah, kalau tidak, bisa saya pastikan saat itu juga saya akan ceraikan anak bapak, tanpa harus menunggu waktu satu tahun, bagaimana?!" ujar Evan dengan mantap, dan mata yang menatap tajam ke arah lawan bicaranya.Sepertinya dia sudah memutuskan untuk menerima lamaran dari Pak Ali, ketika anggukan kepala pak Ali terlihat oleh Evan dan pak Dimas"Memang seharusnya tidak ada tenggang waktu untuk sebuah pernikahan, Ali. Karena pernikahan itu sakral, janji yang terucap karena Allah. Aku setuju dengan syarat yang diajukan Evan."Sokong pak Dimas sambil menepuk bahu kanan dari sahabatnya itu.Pak Ali hanya bisa menganggukkan kepala, dia terpojok dengan ucapannya sendiri, dan juga karena merasa sudah tidak mempunyai pilihan selain menyetujui syarat yang di ajukan Evan, agar kehormatan keluarganya bisa diselamatkan."Kalau begitu, segera bawa Evan untuk bersiap!"Tak menunggu perintah dua kali dari Dimas, pak Ali yang di buntutin Evan, segera melangkah meninggalkan pak Dimas menuju ke tempat di mana Evan bisa disulap dengan cepat untuk menjadi pengantin lelaki pengganti."Mbak, tolong mas ini di pakaikan baju pengantin yang warnanya senada dengan pengantin perempuannya, segera ya !!" titah pak Ali pada Mbak yang mempunyai tugas untuk mendadani pengantin pria."Siap, pak!" jawab ke dua mbak mbak yang berada di kamar itu."Pak ... nama pengantin wanita tolong di catat, takut saya salah ucap, belum hafal," pinta Evan sesaat sebelum pak Ali benar benar meninggalkan kamar."Aduh Tuhan ... Aku lupa," ujar pak Ali yang menghentikan langkahnya, dan kini malah berbalik arah, kembali mendekati Evan."Nama anakku, Isaura Chana binti Ali Sofyan. Atau ... apa sebaiknya aku tulis di kertas saja ya?" Pak Ali mencari kertas ke kana dan ke kiri."Tidak usah, Pak! Sudah saya catat, berharap nanti lancar..""Terimakasih ya, Van, kamu mau membantu keluargaku terhindar dari aib," kata Pak Ali sebelum benar benar pergi meninggalkan kamar, tempat Evan akan di make over.****"Bagaimana, Ayah. Para tamu undangan sudah datang semua, bila dibatalkan, keluarga kita akan malu."Dengan suara bergetar, seorang wanita paruh baya cantik dengan konde agak besar di belakang kepala, mendekati dan langsung menyambut pak Ali dengan mata dan pipi yang sudah basah karena air mata.Pak Ali memandangi putrinya yang duduk menundukkan kepala menatap lantai kamar."Ra ... Ayah sudah menemukan orang yang bersedia menjadi pria pengganti, hanya saja syaratnya, dia mau diperlakukan seperti suami dalam rumah tangga yang sesungguhnya. Bila dalam setahun di antara kalian tak timbul rasa, keputusan selanjutnya, ada di tangan kamu dan suamimu kelak."Tak ada reaksi dari perempuan cantik yang sedang tertunduk itu, hanya saja gerakan tangannya yang tampak bergerak tak beraturan yang bisa menunjukkan betapa kondisi hatinya sangat tidak kondusif."Ayah harap ini menjadi pernikahanmu yang pertama maupun yang terakhir. Namun semuanya tergantung kamu, mau mempertahankan atau melepaskan," ujar pak Ali sembari melangkah mendekat dan duduk samping putrinya di tepi ranjang."Ayah hanya menginginkan kamu bahagia. Semoga kamu mau menerima apa yang sudah Ayah putuskan."Terdengar suara pak Ali yang mulai bergetar, hingga membuat siapa pun yang mendengarnya bakalan akan ikut terenyuh.Isaura langsung merangkul ayah, sambil terisak dan mengucapkan maaf beberapa kali dengan lembut di telinga ayah."Pak, semuanya sudah siap, pengantin pria sudah ada di depan penghulu, tinggal menunggu bapak sebagai wali dari pihak perempuan," ujar seorang lelaki yang berseragam, sepertinya merupakan anggota dari WO dalam pernikahan kali ini yang tiba tiba datang."Sudah, jangan nangis lagi, ikhlaskan ya, Ra," ujar pak Ali yang mengurai pelukan putrinya sambil berdiri dan kemudian melangkah mengikuti lelaki yang tadi memanggilnya.Sesampainya pak Ali di tempat, terlihat Evan, dengan penampilan yang membuat pak Ali sedikit terkesima, sudah duduk di kursi yang berada di depan petugas dari KUA, yang hanya terpisahkan oleh sebuah meja kayu yang pendek dan kecil. Maka pak Ali kemudian bergegas duduk di samping petugas dari KUA.Pak Ali menganggukkan kepala kepada petugas KUA sebagai isyarat untuk segera memulakan. Kemudian petugas membacakan beberapa hal penting mengenai beberapa ketentuan penting dalam berumah tangga. Di lanjutkan dengan pembacaan doa."Siapa namamu?" tanya pak petugas ke arah Evan."King Evan Aizaer!" jawab Evan singkat dan tegas.Sejenak pak Ali kaget mendengar nama belakang yang sebutkan Evan, karena mengingatkan pada orang yang paling berpengaruh di tempat kerjanya."Silahkan pak Ali jabat tangan milik Evan. Nanti kalau saya kasih tanda, baru bapak ucapkan." ujar bapak petugas pada Pak Ali, yang kemudian menerima uluran tangan dari Evan."Nak Evan. Nanti begitu tangannya di hentakkan oleh calon mertuamu, langsung jawab ucapan dari beliau ya, mengerti kan?"Evan menganggukkan kepala tanda mengerti, tangannya keringetan, tak pernah Evan sangka akan menikah secepat, dan semudah ini, tanpa mengeluarkan uang sepersen pun."Bismillah hirrohman nirrohim. King Evan Aizaer, aku nikahkan engkau, dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu, puteriku Isaura Chana dengan mahar seperangkat alat sholat dan emas dua puluh lima gram di bayar tunai," ucap Pak Ali yang langsung menghentakkan jabatan tangan mereka."Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq."Evan dengan cepat menjawab ucapan dari pak Ali dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih. Hingga menambah kekaguman pak Ali pada Evan."Bagaimana para saksi, sah?""Saah!" Spontan para saksi meneriakkan satu kata secara serempak."Alhamdulillah ...." desis Evan lirih. Menyapu wajah yang mulai rileks, dengan kedua telapak tangannya."Tunggu sebentar, aku panggilkan istrimu," ujar pak Ali sambil menepuk bahu kanan Evan. Dan setelah melihat anggukan Evan, pak Ali terus berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumahnya. Selang beberapa saat, terdengar suara kasak kusuk di belakang punggung Evan tentang betapa cantiknya si mempelai perempuan. Karena penasaran Evan pun akhirnya memberanikan diri mengangkat wajahnya ke arah tangga, di mana perempuan yang sudah sah jadi istri seorang Evan sedang di giring menuju ke arahnya.Mata Evan membeliak dengan mulut terkatub rapat, bukan karena kecantikan dari mempelai wanita, Namun karena perempuan yang sedang melangkah di samping perempuan yang saat ini berstatus sebagai istrinya adalah perempuan yang dulu pernah ia perjuangkan dengan seluruh nafasnya, Nilla.Sepertinya, Nilla pun tak kalah terkejut saat pandang
Evan pun mengikuti isyarat gerakan kepala pak Dimas. Dan ternyata tepat di hadapannya dengan jarak sekitar lima meteran, Nilla, sedang memangku seorang anak kecil yang lucu dengan gaun hijab kecilnya.Dan tepat di sisinya pula, ada seorang lelaki dengan penampilan sederhana, berkaca mata, ikut bercanda. Mereka bertiga terlihat sangat bahagia. ****Beberapa tahun yang lalu ...."Belum pulang, Van? Bukankah kau sudah mulai dari semalam, kan? Pulanglah, kau juga butuh istirahat," ujar Pak Dimas--lelaki separuh baya, yang bermurah hati memberikan Evan pekerjaan--sambil menepuk bahu kanan Evan."Siap, Pak. Semalam, dan sesiang nanti, saya yang tugas, menggantikan Dito.""Jangan terlalu ngoyo bekerja, kalo kamu sakit, uangnya bakal habis buat berobat. Sekarang lebih mahal biaya obatnya dari pada uang yang kau terima buat menggantikan si Dito." "Siap, Pak!" jawab Evan, dengan tubuh tegap, dan tangan di dahi memberikan tanda hormat. Pak Dimas terlihat menggeleng beberapa kali, membuang
Pukulan tangan Dimas, yang sebelumnya tak pernah Hendra duga, kini tepat bersarang di pelipisnya, hingga membuat ia terjatuh dari sofa yang belum sempat ia duduki lagi tadi. Belum sempat berdiri sempurna. Dimas kembali menyerang perut Hendra dengan tendangan kaki kanannya. Hingga membuat Papa kandung dari Evan itu kembali mencium lantai. Sempurna!Sangat mudah bagi Dimas, pemegang sabuk hitam karate ini untuk mengalahkan lawannya. apalagi lawan yang tak mempunyai dasar tentang pembelaan diri.Hendra dengan susah payah bangkit dan duduk kembali di kursinya. Sambil terus memegangi perut yang mungkin kerasa sangat sakit."Bajingan, kamu Dimas!" ujar Hendra, matanya terpejam sambil menyandarkan punggungnya. Mungkin untuk mengurangi sakit di bagian perut."Bajingan?!" ejek Dimas sambil kembali duduk di sofa."Aku kasih tahu kamu, siapa yang bajingan di antara kita!!?" Dimas menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kirinya. Matanya menatap tajam Hendra."Aku tahu, kamu pasti sudah mengira sia
"Insya Allah, besok akan saya bawa istri saya ke rumah, karena saya tak ingin dia dengan sikap manjanya. belajar mandiri," putus Evan."Pilihan yang tepat dan bagus, memang sebaiknya rumah tangga itu ikut suami dan terpisah dari campur tangan mertua atau orang tua." Senyum Evan tampak lebih lebar, mendengar pak Dimas menyetujui apa yang tadi katakan. "Benar, Pak-!"Evan tak melanjutkan ucapannya karena, tiba tiba datang seseorang lelaki yang membawa beberapa paper bag dan langsung menyerahkannya pada pak Dimas, "Ini, aku tahu kamu tidak mempunyai salinan baju, ya kan? Bagaimana mau punya salinan, nikah aja dadakan," goda pak Dimas sambil menaik turunkan alisnya."Hahahahahah!"Meledak tawa Evan mendengar dan melihat apa yang pak Dimas lakukan."Gratis lagi!" sambung pak Dimas."Hahaha!" Mereka tertawa lepas, berdua. tak perduli dengan banyak pasang mata yang kini menatap mereka dengan pandangan tak mengerti."Tuhan memang mempunyai cara unik untuk membuat umatnya bersyukur, bukan
Evan kembali ke tempat yang tadi, untuk mengambil paper bag pemberian dari pak Dimas. Kemudian melangkah masuk ke kamar saat pertama kali dia di make over, karena barang pribadinya termasuk baju dan celana, ia tinggalkan di sana, tadi."Permisi!" sapanya, setelah sebelumnya mengetuk pintu, berdiri di depan kamar yang tertutup pintunya."Anu ... Mas."Seorang Mbak yang tadi me- make over dirinya membukakan pintu, menjawab dengan kaget saat tahu bahwa ada Evan di depan pintunya."Saya mau ambil barang barang saya, mbak!" kata Evan pada si Mbak."Semua yang berkaitan dengan masnya, sudah di ambil oleh pak Ali dan di pindahkan ke kamar pengantin," jawab Mbak tadi, sambil sedikit membungkukkan badannya."Di mana?""Naik tangga, Mas. Ada di lantai dua. Di kamar paling depan, sebelah kanan." Si Mbak memberikan penjelasan letak kamar pengantin pada Evan."Makasih, ya!" Tak perlu menunggu lebih lama lagi, Evan segera melesat naik tangga ke lantai atas, dengan tangan masih memegang paper bag.
"Akhirnya kalian turun juga, apa yang membuat kalian lama sekali?" tanya Mama Isaura pada sepasang pengantin baru yang melangkah mendekat."Maaf, Ma. Ketiduran tadi sore, hingga melewatkan sholat maghrib dan ashar, jadi sebelum turun saya selesaikan dulu urusan dengan Al Khaliq," jawab Evan sambil menarik salah satu kursi di sebelah mama untuk di duduki Isaura, yang tengah memandangnya dengan heran.Perempuan itu menyangka kursi itu akan Evan duduki sendiri, kemudian saat Evan kembali menarik salah satu kursi lagi untuk dirinya sendiri, barulah Isaura tersenyum dengan perlakuan manis Evan padanya."Alhamdulillah ... baguslah kalau begitu!" seru Mama dengan mata berbinar bahagia. Tangannya mengulurkan satu piring yang masih kosong pada anaknya.Isaura pun mengambil piring itu dan mengisinya dengan nasi dan lauk yang ia kehendaki, hingga membuat Mama, Ayah dan Evan memandang padanya."Kenapa tak kau tanyakan dulu pada suamimu. Makanan apa yang ingin ia makan?!" tegur ayahnya, dengan
Selesai dengan doanya, tanpa mengganti apa yang masih ia pakai, langkahnya kini berganti ke arah balkon dengan ponsel di tangan kanannya, dan tak lupa menutupnya lagi, walau tersisa sedikit celah di antara pintunya.Duduk di sofa panjang, sofa satu satunya yang tersedia, dengan bantuan ponselnya, Evan kembali mengulang hafalan alquran- nya. Benar! Suaranya pelan Evan rasa, Namun saat dini hari, suara pelannya yang sangat merdu itu, terdengar hingga se-antero rumah.Hingga adzan subuh terdengar, barulah Evan menyudahi hafalannya, berdiri dari duduknya, kemudian melakukan peregangan badan ringan hanya untuk mengusir penat karena duduk yang agak lama.Masuk kembali ke dalam kamar, dan melaksanakan sholat subuh. Semua ia lakukan seperti saat berada di rumahnya sendiri. Hari masih gelap, Evan sudah berada di luar pagar, ia pikir karena ini termasuk perumahan mewah, maka akan sangat sepi orang yang sekedar jalan jalan pagi, Namun ia keliru, pagi itu banyak sekali kaum muda mudi atau kau
"Iya, aku ikut, tapi ... jangan lupa di kasih makan ya?" jawab Isaura, sambil terus mengunyah makanan di dalam mulutnya.Perempuan cantik itu menjawab seperti setengah di paksa.Evan tersenyum, ternyata ini sisi lain dari seorang Isaura Chana yang selain kekerasan hatinya, ternyata mempunyai sifat humor juga. Dan yang lebih menyenangkan hatinya, sekarang sudah sah menjadi istri, bakal ibu dari anak anaknya kelak.Karena tak ada jawaban dari Evan, Isaura melirik Evan dengan ekor matanya."Kenapa menatapku seperti itu, aneh ya, liat orang secantik aku lagi makan?" Dengan mata mendelik, Isaura bertanya. Evan hanya tersenyum saat mendengar istrinya bertanya, bukannya menjawab, Evan malah bangun dari duduknya dan melangkah hendak menjauh, saat melewati belakang punggung istrinya, tiba tiba saja tangan kanannya mengacak lembut kepala Isaura, kemudian meninggalkannya ke lantai atas, tak perduli dengan racauan istrinya.Di dalam kamar, Evan yang tak tahu apa saja yang akan di bawa oleh istr