"Dimaaaas ...! Dim, tolong aku!"
Tiba tiba suara pak Ali yang menggelegar, mengagetkan pak Dimas dan Evan hingga membuat keduanya terjaga dari duduk mereka."Ada apa? Kenapa sampai teriak seperti itu?" tanya pak Dimas, sesaat setelah pak Ali sudah berdiri di dekatnya dengan muka pias memucat.Bukannya menjawab pak Ali malah menangis sambil menggenggam tangan pak Dimas erat."Tolong aku ...!""Ada apa ...?" tanya pak Dimas untuk ke dua kalinya, sambil mengurai pelukan pak Ali di badannya."Tadi orang tua dari Dani-- calon pengantin pria-- dari anakku, datang dan meminta maaf karena Dani menghilang dari rumah, mereka sudah berusaha mencari Namun masih tidak dapat di ketahui keberadaannya."Tiba tiba pak Ali berujar lirih hingga tak terasa duduk bersimpuh di antara Evan dan Pak Dimas. Isaknya walau tertahan masih terdengar lirih di telinga.Pak Ali menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat kuat."Aku bingung, Dim. Sekarang mau aku taruh di mana kehormatan keluargaku. Mau aku taruh di mana?"Mata pak Ali memerah, sepertinya benar benar menahan marah dan bingung yang menjadi satu saat ini."Terus apa maumu?" tanya pak Dimas yang tak tega melihat kondisi sahabatnya itu."Tolong bujuklaah pemuda yang berada di sampingmu untuk menjadi pengganti pengantin pria untuk anakku." ujarnya dengan penuh harap sambil menatap Evan."Maksudmu, Evan! Serius??!" tanya pak Dimas yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat mendengar apa yang dikatakan oleh pak Ali..Pak Ali mengangguk mantap sambil tersenyum pada Evan, senyum yang tampak sekali kalau tengah di paksakan."Van ...! Gimana?" tanya pak Dimas sambil mengalihkan badannya sedikit serong ke arah Evan yang tercenung hingga terdiam tak bisa berkata apa apa.Ketidak sengajaan lah yang membuat Pak Dimas mengajak Evan untuk menemaninya, karena kebetulan berpapasan dengan pemuda tampan yang baru saja menyelesaikan dinas luarnya, di depan kantor milik pak Dimas.Tentu saja pak Dimas merasa tidak enak hati, karena sudah membuat lelaki yang awalnya hanya sebagai seorang satpam itu,Namun, sejak dia menyelesaikan pendidikan sarjananya, pak Dimas menariknya ke kantor sebagai salah satu staf di publik relation perusahaan. Dihadapkan pada persoalan rumit."Tolonglah, Van. Jadilah suami untuk anakku, setahun saja. Setelah itu terserah, apa pun keputusan kalian berdua, aku akan terima." pinta pak Ali yang terdengar seperti rengekan seorang anak kecil yang meminta lollipop pada ibunya."Saya bersedia, Namun dengan syarat. Putri bapak harus bersikap sebenar benarnya sebagai seorang istri saat kami sudah sah, kalau tidak, bisa saya pastikan saat itu juga saya akan ceraikan anak bapak, tanpa harus menunggu waktu satu tahun, bagaimana?!" ujar Evan dengan mantap, dan mata yang menatap tajam ke arah lawan bicaranya.Sepertinya dia sudah memutuskan untuk menerima lamaran dari Pak Ali, ketika anggukan kepala pak Ali terlihat oleh Evan dan pak Dimas"Memang seharusnya tidak ada tenggang waktu untuk sebuah pernikahan, Ali. Karena pernikahan itu sakral, janji yang terucap karena Allah. Aku setuju dengan syarat yang diajukan Evan."Sokong pak Dimas sambil menepuk bahu kanan dari sahabatnya itu.Pak Ali hanya bisa menganggukkan kepala, dia terpojok dengan ucapannya sendiri, dan juga karena merasa sudah tidak mempunyai pilihan selain menyetujui syarat yang di ajukan Evan, agar kehormatan keluarganya bisa diselamatkan."Kalau begitu, segera bawa Evan untuk bersiap!"Tak menunggu perintah dua kali dari Dimas, pak Ali yang di buntutin Evan, segera melangkah meninggalkan pak Dimas menuju ke tempat di mana Evan bisa disulap dengan cepat untuk menjadi pengantin lelaki pengganti."Mbak, tolong mas ini di pakaikan baju pengantin yang warnanya senada dengan pengantin perempuannya, segera ya !!" titah pak Ali pada Mbak yang mempunyai tugas untuk mendadani pengantin pria."Siap, pak!" jawab ke dua mbak mbak yang berada di kamar itu."Pak ... nama pengantin wanita tolong di catat, takut saya salah ucap, belum hafal," pinta Evan sesaat sebelum pak Ali benar benar meninggalkan kamar."Aduh Tuhan ... Aku lupa," ujar pak Ali yang menghentikan langkahnya, dan kini malah berbalik arah, kembali mendekati Evan."Nama anakku, Isaura Chana binti Ali Sofyan. Atau ... apa sebaiknya aku tulis di kertas saja ya?" Pak Ali mencari kertas ke kana dan ke kiri."Tidak usah, Pak! Sudah saya catat, berharap nanti lancar..""Terimakasih ya, Van, kamu mau membantu keluargaku terhindar dari aib," kata Pak Ali sebelum benar benar pergi meninggalkan kamar, tempat Evan akan di make over.****"Bagaimana, Ayah. Para tamu undangan sudah datang semua, bila dibatalkan, keluarga kita akan malu."Dengan suara bergetar, seorang wanita paruh baya cantik dengan konde agak besar di belakang kepala, mendekati dan langsung menyambut pak Ali dengan mata dan pipi yang sudah basah karena air mata.Pak Ali memandangi putrinya yang duduk menundukkan kepala menatap lantai kamar."Ra ... Ayah sudah menemukan orang yang bersedia menjadi pria pengganti, hanya saja syaratnya, dia mau diperlakukan seperti suami dalam rumah tangga yang sesungguhnya. Bila dalam setahun di antara kalian tak timbul rasa, keputusan selanjutnya, ada di tangan kamu dan suamimu kelak."Tak ada reaksi dari perempuan cantik yang sedang tertunduk itu, hanya saja gerakan tangannya yang tampak bergerak tak beraturan yang bisa menunjukkan betapa kondisi hatinya sangat tidak kondusif."Ayah harap ini menjadi pernikahanmu yang pertama maupun yang terakhir. Namun semuanya tergantung kamu, mau mempertahankan atau melepaskan," ujar pak Ali sembari melangkah mendekat dan duduk samping putrinya di tepi ranjang."Ayah hanya menginginkan kamu bahagia. Semoga kamu mau menerima apa yang sudah Ayah putuskan."Terdengar suara pak Ali yang mulai bergetar, hingga membuat siapa pun yang mendengarnya bakalan akan ikut terenyuh.Isaura langsung merangkul ayah, sambil terisak dan mengucapkan maaf beberapa kali dengan lembut di telinga ayah."Pak, semuanya sudah siap, pengantin pria sudah ada di depan penghulu, tinggal menunggu bapak sebagai wali dari pihak perempuan," ujar seorang lelaki yang berseragam, sepertinya merupakan anggota dari WO dalam pernikahan kali ini yang tiba tiba datang."Sudah, jangan nangis lagi, ikhlaskan ya, Ra," ujar pak Ali yang mengurai pelukan putrinya sambil berdiri dan kemudian melangkah mengikuti lelaki yang tadi memanggilnya.Sesampainya pak Ali di tempat, terlihat Evan, dengan penampilan yang membuat pak Ali sedikit terkesima, sudah duduk di kursi yang berada di depan petugas dari KUA, yang hanya terpisahkan oleh sebuah meja kayu yang pendek dan kecil. Maka pak Ali kemudian bergegas duduk di samping petugas dari KUA.Pak Ali menganggukkan kepala kepada petugas KUA sebagai isyarat untuk segera memulakan. Kemudian petugas membacakan beberapa hal penting mengenai beberapa ketentuan penting dalam berumah tangga. Di lanjutkan dengan pembacaan doa."Siapa namamu?" tanya pak petugas ke arah Evan."King Evan Aizaer!" jawab Evan singkat dan tegas.Sejenak pak Ali kaget mendengar nama belakang yang sebutkan Evan, karena mengingatkan pada orang yang paling berpengaruh di tempat kerjanya."Silahkan pak Ali jabat tangan milik Evan. Nanti kalau saya kasih tanda, baru bapak ucapkan." ujar bapak petugas pada Pak Ali, yang kemudian menerima uluran tangan dari Evan."Nak Evan. Nanti begitu tangannya di hentakkan oleh calon mertuamu, langsung jawab ucapan dari beliau ya, mengerti kan?"Evan menganggukkan kepala tanda mengerti, tangannya keringetan, tak pernah Evan sangka akan menikah secepat, dan semudah ini, tanpa mengeluarkan uang sepersen pun."Bismillah hirrohman nirrohim. King Evan Aizaer, aku nikahkan engkau, dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu, puteriku Isaura Chana dengan mahar seperangkat alat sholat dan emas dua puluh lima gram di bayar tunai," ucap Pak Ali yang langsung menghentakkan jabatan tangan mereka."Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq."Evan dengan cepat menjawab ucapan dari pak Ali dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih. Hingga menambah kekaguman pak Ali pada Evan."Bagaimana para saksi, sah?""Saah!" Spontan para saksi meneriakkan satu kata secara serempak."Alhamdulillah ...." desis Evan lirih. Menyapu wajah yang mulai rileks, dengan kedua telapak tangannya."Tunggu sebentar, aku panggilkan istrimu," ujar pak Ali sambil menepuk bahu kanan Evan. Dan setelah melihat anggukan Evan, pak Ali terus berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumahnya. Selang beberapa saat, terdengar suara kasak kusuk di belakang punggung Evan tentang betapa cantiknya si mempelai perempuan. Karena penasaran Evan pun akhirnya memberanikan diri mengangkat wajahnya ke arah tangga, di mana perempuan yang sudah sah jadi istri seorang Evan sedang di giring menuju ke arahnya.Mata Evan membeliak dengan mulut terkatub rapat, bukan karena kecantikan dari mempelai wanita, Namun karena perempuan yang sedang melangkah di samping perempuan yang saat ini berstatus sebagai istrinya adalah perempuan yang dulu pernah ia perjuangkan dengan seluruh nafasnya, Nilla.Sepertinya, Nilla pun tak kalah terkejut saat pandang
Evan pun mengikuti isyarat gerakan kepala pak Dimas. Dan ternyata tepat di hadapannya dengan jarak sekitar lima meteran, Nilla, sedang memangku seorang anak kecil yang lucu dengan gaun hijab kecilnya.Dan tepat di sisinya pula, ada seorang lelaki dengan penampilan sederhana, berkaca mata, ikut bercanda. Mereka bertiga terlihat sangat bahagia. ****Beberapa tahun yang lalu ...."Belum pulang, Van? Bukankah kau sudah mulai dari semalam, kan? Pulanglah, kau juga butuh istirahat," ujar Pak Dimas--lelaki separuh baya, yang bermurah hati memberikan Evan pekerjaan--sambil menepuk bahu kanan Evan."Siap, Pak. Semalam, dan sesiang nanti, saya yang tugas, menggantikan Dito.""Jangan terlalu ngoyo bekerja, kalo kamu sakit, uangnya bakal habis buat berobat. Sekarang lebih mahal biaya obatnya dari pada uang yang kau terima buat menggantikan si Dito." "Siap, Pak!" jawab Evan, dengan tubuh tegap, dan tangan di dahi memberikan tanda hormat. Pak Dimas terlihat menggeleng beberapa kali, membuang
Pukulan tangan Dimas, yang sebelumnya tak pernah Hendra duga, kini tepat bersarang di pelipisnya, hingga membuat ia terjatuh dari sofa yang belum sempat ia duduki lagi tadi. Belum sempat berdiri sempurna. Dimas kembali menyerang perut Hendra dengan tendangan kaki kanannya. Hingga membuat Papa kandung dari Evan itu kembali mencium lantai. Sempurna!Sangat mudah bagi Dimas, pemegang sabuk hitam karate ini untuk mengalahkan lawannya. apalagi lawan yang tak mempunyai dasar tentang pembelaan diri.Hendra dengan susah payah bangkit dan duduk kembali di kursinya. Sambil terus memegangi perut yang mungkin kerasa sangat sakit."Bajingan, kamu Dimas!" ujar Hendra, matanya terpejam sambil menyandarkan punggungnya. Mungkin untuk mengurangi sakit di bagian perut."Bajingan?!" ejek Dimas sambil kembali duduk di sofa."Aku kasih tahu kamu, siapa yang bajingan di antara kita!!?" Dimas menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kirinya. Matanya menatap tajam Hendra."Aku tahu, kamu pasti sudah mengira sia
"Insya Allah, besok akan saya bawa istri saya ke rumah, karena saya tak ingin dia dengan sikap manjanya. belajar mandiri," putus Evan."Pilihan yang tepat dan bagus, memang sebaiknya rumah tangga itu ikut suami dan terpisah dari campur tangan mertua atau orang tua." Senyum Evan tampak lebih lebar, mendengar pak Dimas menyetujui apa yang tadi katakan. "Benar, Pak-!"Evan tak melanjutkan ucapannya karena, tiba tiba datang seseorang lelaki yang membawa beberapa paper bag dan langsung menyerahkannya pada pak Dimas, "Ini, aku tahu kamu tidak mempunyai salinan baju, ya kan? Bagaimana mau punya salinan, nikah aja dadakan," goda pak Dimas sambil menaik turunkan alisnya."Hahahahahah!"Meledak tawa Evan mendengar dan melihat apa yang pak Dimas lakukan."Gratis lagi!" sambung pak Dimas."Hahaha!" Mereka tertawa lepas, berdua. tak perduli dengan banyak pasang mata yang kini menatap mereka dengan pandangan tak mengerti."Tuhan memang mempunyai cara unik untuk membuat umatnya bersyukur, bukan
Evan kembali ke tempat yang tadi, untuk mengambil paper bag pemberian dari pak Dimas. Kemudian melangkah masuk ke kamar saat pertama kali dia di make over, karena barang pribadinya termasuk baju dan celana, ia tinggalkan di sana, tadi."Permisi!" sapanya, setelah sebelumnya mengetuk pintu, berdiri di depan kamar yang tertutup pintunya."Anu ... Mas."Seorang Mbak yang tadi me- make over dirinya membukakan pintu, menjawab dengan kaget saat tahu bahwa ada Evan di depan pintunya."Saya mau ambil barang barang saya, mbak!" kata Evan pada si Mbak."Semua yang berkaitan dengan masnya, sudah di ambil oleh pak Ali dan di pindahkan ke kamar pengantin," jawab Mbak tadi, sambil sedikit membungkukkan badannya."Di mana?""Naik tangga, Mas. Ada di lantai dua. Di kamar paling depan, sebelah kanan." Si Mbak memberikan penjelasan letak kamar pengantin pada Evan."Makasih, ya!" Tak perlu menunggu lebih lama lagi, Evan segera melesat naik tangga ke lantai atas, dengan tangan masih memegang paper bag.
"Akhirnya kalian turun juga, apa yang membuat kalian lama sekali?" tanya Mama Isaura pada sepasang pengantin baru yang melangkah mendekat."Maaf, Ma. Ketiduran tadi sore, hingga melewatkan sholat maghrib dan ashar, jadi sebelum turun saya selesaikan dulu urusan dengan Al Khaliq," jawab Evan sambil menarik salah satu kursi di sebelah mama untuk di duduki Isaura, yang tengah memandangnya dengan heran.Perempuan itu menyangka kursi itu akan Evan duduki sendiri, kemudian saat Evan kembali menarik salah satu kursi lagi untuk dirinya sendiri, barulah Isaura tersenyum dengan perlakuan manis Evan padanya."Alhamdulillah ... baguslah kalau begitu!" seru Mama dengan mata berbinar bahagia. Tangannya mengulurkan satu piring yang masih kosong pada anaknya.Isaura pun mengambil piring itu dan mengisinya dengan nasi dan lauk yang ia kehendaki, hingga membuat Mama, Ayah dan Evan memandang padanya."Kenapa tak kau tanyakan dulu pada suamimu. Makanan apa yang ingin ia makan?!" tegur ayahnya, dengan
Selesai dengan doanya, tanpa mengganti apa yang masih ia pakai, langkahnya kini berganti ke arah balkon dengan ponsel di tangan kanannya, dan tak lupa menutupnya lagi, walau tersisa sedikit celah di antara pintunya.Duduk di sofa panjang, sofa satu satunya yang tersedia, dengan bantuan ponselnya, Evan kembali mengulang hafalan alquran- nya. Benar! Suaranya pelan Evan rasa, Namun saat dini hari, suara pelannya yang sangat merdu itu, terdengar hingga se-antero rumah.Hingga adzan subuh terdengar, barulah Evan menyudahi hafalannya, berdiri dari duduknya, kemudian melakukan peregangan badan ringan hanya untuk mengusir penat karena duduk yang agak lama.Masuk kembali ke dalam kamar, dan melaksanakan sholat subuh. Semua ia lakukan seperti saat berada di rumahnya sendiri. Hari masih gelap, Evan sudah berada di luar pagar, ia pikir karena ini termasuk perumahan mewah, maka akan sangat sepi orang yang sekedar jalan jalan pagi, Namun ia keliru, pagi itu banyak sekali kaum muda mudi atau kau
"Iya, aku ikut, tapi ... jangan lupa di kasih makan ya?" jawab Isaura, sambil terus mengunyah makanan di dalam mulutnya.Perempuan cantik itu menjawab seperti setengah di paksa.Evan tersenyum, ternyata ini sisi lain dari seorang Isaura Chana yang selain kekerasan hatinya, ternyata mempunyai sifat humor juga. Dan yang lebih menyenangkan hatinya, sekarang sudah sah menjadi istri, bakal ibu dari anak anaknya kelak.Karena tak ada jawaban dari Evan, Isaura melirik Evan dengan ekor matanya."Kenapa menatapku seperti itu, aneh ya, liat orang secantik aku lagi makan?" Dengan mata mendelik, Isaura bertanya. Evan hanya tersenyum saat mendengar istrinya bertanya, bukannya menjawab, Evan malah bangun dari duduknya dan melangkah hendak menjauh, saat melewati belakang punggung istrinya, tiba tiba saja tangan kanannya mengacak lembut kepala Isaura, kemudian meninggalkannya ke lantai atas, tak perduli dengan racauan istrinya.Di dalam kamar, Evan yang tak tahu apa saja yang akan di bawa oleh istr
Evan kembali melangkah sendirian ke rumah sakit, tampak olehnya Mama dan Ayah yang duduk di sisi ranjang tempat Rara berbaring. "Sudah kembali, Van?" tanya Mama saat mereka mendengar bunyi pintu yang di buka oleh Evan. "Iya, Ma." jawab Evan yang dengan senyum khasnya mendekati mereka dan mencium punggung tangan keduanya dengan Takzim."Kamu bawa apa?" tanya Mama yang melihat salah satu tangan Evan sedang menenteng sebuah kresek yang lumayan besar bentuknya."Aku bawa makanan untuk ayah dan mama, takutnya ayah dan mama tidak keluar karena menjaga Rara."Evan memberikan kresek warna hitam dengan logo wajah bapak tua itu pada mama. Kemudian menghampiri Rara yang memejamkan matanya. Tanpa bersuara lagi, pak Ali dan istrinya bangun dari kursinya dan melangkah mendekati ranjang kosong di sebelah ranjang pasien, yang menjadi fasilitas untuk kamar ber-vvip.Beliau berdua sepertinya sengaja memberikan Evan tempat untuk menemani Rara."Dia tidur, Van. Mungkin dia lelah karena nangis tadi."
"Aku merasa berdosa sekali telah beranggapan yang tidak tidak padamu, di masa lalu." ujar pak Dimas yang kembali terduduk di kursinya, wajahnya yang menunduk dengan pandangan nanar ke lantai."Ini terjadi karena ketiadaan kedua mertua kita, apalagi saat itu kak Bastian seperti tak lagi memperhatikan kedua adik perempuannya yang telah menginjak usia dewasa. Dia lebih memperhatikan Mieke karena saat itu cinta perempuan itu adalah segalanya bagi kak Bastian." jelas pak Hendra dengan mata menatap ke luar rumah seperti sedang mengingat kejadian kemarin."Apa maksudmu, Ndra?" tanya pak Dimas yang tak mengerti dengan penjelasan yang baru saja pak Hendra katakan "Ayah Nilla adalah kakak lelaki dan anak tertua dari keluarga istri kita. Namun Ayahnya Nilla yang awalnya sangat mencintai Mieke karena beranggapan cinta wanita itu tulus padanya, akhirnya berubah. Suatu ketika dia ingin tahu apakah Mieke akan tetap setia kepadanya atau berubah saat tahu kalau dia hanyalah seorang supir di keluarga
Di waktu yang sama .... Pak Dimas turun dari mobil dan berdiri tak jauh dari mobilnya, matanya menyapu dan menatap rumah asri di depannya, rumah sederhana dengan tembok berwarna biru, berpagar hanya sebatas pinggang orang dewasa. Dengan di dalamnya berjenis jenis tanaman berbeda disusun rapi dan indah. Tampaknya dia masih sangsi dengan apa yang di lihatnya, dia masih tak percaya, tangannya membuka ponsel yang sedari tadi ia genggam, di cocokkan nya lagi alamat yang ia dapat dari salah satu kaki tangannya. Dan alamat itu benar karena di tembok dekat pintu tertempel nama dan alamat lengkap, yang terbuat dari hiasan kayu. Sama seperti yang tertera di layar ponselnya. Pak Dimas melangkah mendekati pagar, dan membukanya dengan mudah karena ternyata tak terkunci. Dengan mata masih memperhatikan sekelilingnya. Pak Dimas melangkah masuk mendekati pintu rumah yang terdiri dari dua daun pintu bercat putih. Rumah yang sejuk dan nyaman. Angin bertiup dari segala arah. Dengan wangi b
Evan sebenarnya tahu kalau Rara sudah sadar dan tidak sedang tertidur, dia pasti juga sudah sangat mengerti kalau kedua orangtuanya datang, Namun mungkin sedang tak ingin melakukan apa pun karena sedang kehilangan."Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Evan yang melangkah mendekati ranjang pembaringan Rara.Tak ada jawaban, bergerak pun tidak. Evan hanya bisa kembali mencium kening Rara, dan melihat sepintas mata dari istrinya yang masih terpejam. "Sabar ya Sayang, Allah masih ingin menguji kesabaran kita," bisiknya pas di telinga Rara.Pun saat Ayah dan Mama kembali masuk ke dalam ruangan itu, Rara masih tetap membatu. Hingga saat seorang Dokter yang di ikuti dua perawat perempuan masuk ke dalam kamar untuk pemeriksaan rutin pun, Rara masih tetap terdiam walau kini matanya tak lagi terpejam."Mbak, tetap semangat ya, jangan sedih terus, nanti kalau sedih terus susah sembuhnya." Nasehat bu Dokter sambil mengajak bercanda, Namun Rara masih tetap bergeming.Sampai rombongan Dokter it
Mendengar penjelasan dari sang Dokter, Evan hanya bisa menggenggam jari tangannya sendiri kuat kuat, ada perasaan perih yang menyayat."Saya harap bapak tidak kecil hati, tolong berikan semangat buat istri bapak, karena biasanya perempuan yang baru saja kehilangan bayinya akan berubah menjadi wanita sensitif--gampang marah hanya kerana masalah masalah kecil," ujar Dokter perempuan itu dengan senyum perduli. "Apakah kami masih bisa punya anak lagi, Dok?" tanya Evan dengan wajah penuh harap. "Bisa! Tentu saja bisa, tidak ada kendala dengan rahim si ibu kok, pak," jawab Dokter dengan senyum yang menenangkan hati Evan."Yang penting sekarang adalah bagaimana cara bapak untuk menguatkan mental si ibu bahwa semua baik baik saja."Kembali Dokter memberikan pesan berharga buat Evan."Baik, Dok. Akan saya perhatikan semua yang dokter pesan. Terimakasih."Dokter perempuan separuh baya yang mengenakan hijab lebar itu hanya bisa tersenyum melihat ke kondisi Evan. Dan menganggukkan kepala mem
"Ya, kamu benar. Maaf kalau selama ini ayah tidak pernah menceritakan pada kalian, tapi bukankah kalian sudah mengatakan bahagia atas pernikahan ini?"Rara tak menjawab pertanyaan ayahnya, malah kini dia berpaling ke arah Evan, yang kini juga tengah memandangnya."Apakah kamu bahagia hidup bersamaku, Mas?" Dengan wajah serius, Rara bertanya pada Evan yang menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum saat mendengar istrinya bertanya."Alhamdulillah, insya Allah selamanya, aku bakalan bahagia dan akan membahagiakanmu," jawab Evan dengan rona muka serius, memandang silih berganti Rara, dan kedua mertuanya."Aamiin aamiin." sahut semuanya dengan penuh keyakinan."Jadi pengin muda lagi aku, Ayah." ujar Mama, dengan muka merajuk sambil memeluk satu lengan Ayah dan menggelayutinya mesra. "Hahahaha!"Tentu saja sikap Mama membuat Evan dan Rara terkekeh spontan. "Sudah malam, apakah kalian masih kekeh untuk pulang malam, ini?""Mungkin ada baiknya bila kita menginap saja, besok setelah subuh k
"Ayah sudah mendengar tadi dari Mama, cuma rasanya ayah ingin dengar langsung dari kamu Ra." Pak Ali yang baru saja turun dari lantai atas. Langsung mengambil tempat di depan Rara dan Evan yang sedang duduk di depan tv.Sengaja pak Ali menunggu suami anaknya datang agar dapat mendengar dari kedua pihak. "Tentang apa Ayah?" tanya Rara dengan perhatian beralih pada sosok yang masih tampan walau sudah berumur setengah abad."Apakah benar kamu hamil, Ra?" Ayah memandangi wajah putri dan menantunya secara bergantian seolah meminta jawaban jujur dari keduanya."Alhamdulillah, Ayah." Rara menjawab dengan seuntai senyum di bibirnya. Pak Ali bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Rara dengan mata berkaca kaca, di ciuminya setiap inci wajah Rara seolah sedang menciumi putrinya saat kecil."Alhamdulillah ...." ujarnya berkali kali.Rara hanya bisa tersenyum haru, matanya pun ikut berkaca kaca, di peluknya sang ayah dengan mata menatap Evan yang juga sedang menatapnya lekat."Kau harap kam
Sekejap Mama membulatkan mata, seakan tak mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari anak perempuan satu satunya, sambil mengucapkan syukur Alhamdulillah, tiada henti di pelukan Rara. "Kok Mama malah nangis? Harusnya Mama bahagia dong, sebentar lagi Mama bakalan di panggil Mbah uti." tanya Rara yang heran karena melihat mamanya terisak. "Sejak kamu datang tadi, hati mama terus menerus berdoa, semoga kepulanganmu kali ini bukan karena keinginanmu untuk berpisah dnegan Evan," ujar Mama dengan sangat lirih. "Mama ...." seru Rara yang ikut terharu dengan sikap mama. "Makasih ya Allah, akhirnya mama bisa bernafas lega sekarang. Kamu memilih untuk bersama walau dengan awal yang tak mengenakkan.""Ma ... kok gitu sih." sela Rara yang merasa tidak enak hati mengingat sikapnya dulu pada Evan."Sudahlah, nggak usah di pikirin lagi, dahewat kan?! Pokoknya mama sekarang senang, kamu nginap sini kan?" tanya Mama, beliau langsung berdiri menuju dapur."Aku belum bilang ke mas Evan kalau mau
Evan merenggangkan kedekatannya dengan Rara dan berbalik membuat mereka kini saling berhadapan dengan sangat intim."Makan kamu, boleh nggak, sih?" tanya Evan sambil tersenyum, kemudian dengan sigap mencuri kecup di bibir milik istrinya."Nggak!" jawab Rara, bahkan kini membalas pagutan bibir Evan dengan lincahnya. Mata mereka saling menatap lekat satu dan yang lainnya."Sudahlah, ayo kita cari sarapan sambil jalan jalan pagi." ajak Evan yang sudah bergerak turun dari ranjang."Aku mau pecel, Mas." seru Rara dengan semangat empat lima. Ikut bergegas mengikuti apa yang Evan mau.Pagi itu kali pertama mereka berdua jalan kaki keluar rumah berdua, tangan Evan posesif menggenggam jemari istrinya, tak membiarkannya terlepas walau sesaat.Beberapa orang tetangga mereka, yang terlalui. Terpesona melihat begitu romantisnya Evan dan Rara. terlihat mulai menyapa, bahkan ada yang berani menggoda keromantisannya pada sang istri."Mbak ....!"Evan dan Rara menoleh ke arah belakang, Sudah ada Mak