"Bolehlah, tapi sebaiknya nanti saja saat aku sudah keluar dari rumah sakit." ujar pak Dimas seperti tanpa tenaga. Kemudian memalingkan Evan dan yang lainnya hanya bisa mereka- reka apa yang membuat pak Dimas tampak kembali tak bersemangat, tidak seperti yang beliau tunjukkan saat Evan dan Rara baru saja tiba. Hanya Ratu yang bisa memahami perumahan wajah bosnya.Terdengar suara adzan Maghrib di kejauhan memutuskan pembicaraan mereka. Semua terdiam mendengarkan suara adzan dan ini di jadikan suatu kesempatan oleh pak Dimas untuk memejamkan matanya.Rara mencolek lengan Evan. Memberikan isyarat melalui gerakan kepala dan mata pada suaminya agar segera pamit, pulang.Paham dengan yang di maui oleh Rara, Evan berdiri dari duduknya dan melangkah mendekati mbak Ratu setelah sebelumnya menganggukkan kepalanya berulang kali ke arah istrinya. "Mbak, flashdisk hasil dari Malaysia kemarin, di bawa nggak?" tanya Evan, yang menggerakkan kakinya untuk lebih mendekat ke arah mbak Ratu dan sua
"Sudah bangun?" tanya Evan saat terdengar suara pintu di buka, dan dirinya merasa tahu siapa orang yang membukanya walau tanpa harus menolehkan kepala."Mmm ...."Rara mendekat dan langsung duduk berdesakan di belakang Evan, dengan tangan melingkari dada suaminya, terpaksalah Evan yang mengalah menggeser duduknya maju sedikit."Kau kerja hari ini?" tanya Evan, dengan mata masih fokus ke arah laptop."Ya, sekarang tanggal di mana para pegawai ku mendapat gaji mereka, aku dan Nilla harus bertemu hari ini untuk menyelesaikan masalah keuangan. Kamu?"Apa mau aku antar?" Bukannya menjawab apa yang Rara tanyakan Evan malah menawarkan dirinya untuk mengantar."Tak perlu, niatmu itu mencurigakan?!" ujar Rara, yang menciumi leher belakang Evan gemas berulang kali. "Apa maksudmu?" tanya Evan dengan suara tinggi, dengan pandangan mata menatap lurus ke depan. "Kau mau nganterin aku apa mau ketemu dengan mantan, hah?" tanya Rara dengan tangan menarik telinga Evan pelan."Aku tersanjung, akhir
Dengan langkah gontai, Rara masuk ke dalam tempat makan miliknya bersama Nilla, dengan di buntuti Fatim dari belakang.Namun Fatim berhenti di pantry untuk mengambil dan sekaligus membawakan minuman untuk dirinya sendiri dan untuk Rara.Sementara Fatim masih di bawah, Rara langsung naik tangga menuju ke ruangan kerjanya. "Ra ... apa kita bisa langsung ke Bank, sekarang? Kita bicarakan segala sesuatunya di dalam mobil nanti, mumpung masih pagi," ajak Nilla yang baru saja keluar dari ruangannya dan langsung mendapatkan Rara dengan tangan masih berada di handle pintu, akan membuka ruangannya."Ok!" jawab Rara, dengan tangan hanya membuka ruangan Namun tidak masuk ke dalamnya, kemudian dirinya melangkah beriringan bersama Nilla kembali turun ke bawah."Tim, kamu selesaikan apa yang aku katakan tadi di mobil ya, sementara, selama aku pergi sama Nilla." titah Rara saat dirinya bertemu Fatim di depan pantry."Baik, Mbak." jawab Fatim dengan tas yang berada di pundaknya, serta ke dua tan
"Sudah datang, Dik?" tanya Evan yang sedang duduk di depan TV, sambil memangku laptop di pahanya. Saat merasa ada seseorang yang tiba tiba sudah mencium pipi Evan dari belakang."Iya ...." jawab Rara yang kemudian melangkah di samping Evan, setelah tadi mencium pipi dan kening lelaki tampan itu."Tadi kata Mak, Mas belum makan apa pun ya, kenapa? Mau aku buatin sesuatu?" tanya Rara yang sudah duduk di samping kaki Evan yang sedang di selonjorkan, sambil mencium punggung tangan suaminya itu."Tidak usah, aku sendiri bingung dengan perubahan yang terjadi, setiap melihat nasi, teh dan roti. Perutku mual nggak tahan mencium aromanya." jawab Evan dengan wajah lemas tak bertenaga. Tangannya berhenti bergerak walau pun masih berada di atas keyboard laptop"Kamu sakit ya, mas? Pusing nggak? Bosan makan di rumah kali ya? Kamu mau makan di luar nggak?" Rara memberikan solusi karena tidak tega melihat suaminya yang lemas karena kelaparan."Ah masak iya cuman karena bosan makan di rumah bisa mu
"Habis ini kita jalan jalan dulu yuk, mumpung udaranya tidak begitu panas." ajak Evan yang sudah kekenyangan menghabiskan dua mangkok mie ayam.Sengaja ia mengajak Rara jalan jalan, suasana yang tidak begitu panas, dan mumpung ada kesempatan. Karena mereka berdua sangat jarang sekali menikmati hari berdua saja karena kesibukan pekerjaan mereka masing masing."Apa kamu mau kita bungkus lagi mie ayamnya untuk di bawa pulang, siapa tahu buat kamu makan nanti malam," usul Rara yang hanya bisa tersenyum melihat betapa buasnya Evan, tadi! Saat Evan menghabiskan dua mangkok mie. Bukannya menjawab pertanyaan Evan."Tidak usah, aku sudah kenyang banget ini. Eh ... Kamu kan belum makan? Pesan lagi, sana! Biar aku tungguin sampai kamu selesai makan." jawab Evan dengan tangan mengelus perutnya yang masih tampak rata walau pun sudah di masuki mie ayam."Lihat kamu tadi makan aku sudah ikut kenyang kok, Mas." sahut Rara."Kamu aneh, cuman lihat orang makan aja bisa kenyang, hahahaha!"Evan menatap
"Bagaimana, Van. Kamu sudah menyelesaikan laporan yang aku pinta kemarin?" tanya mbak Rini, pagi itu, saat terlihat olehnya wajah Evan yang baru saja masuk ke dalam ruangan.Evan tak segera menjawab pertanyaan mbak Rini. Dia letakkan dulu tas di atas meja kerja kemudian mengeluarkan flasdisknya. Dan meneruskan langkah menghampiri meja mbak Rini."Ini Mbak, tolong di periksa dulu, cari aja laporan Malaysia." Evan memberikan flashdisk yang tadi ia keluarkan dari tasnya ke tangan mbak Rini, yang masih duduk di belakang meja kerjanya, tengah menatapnya sambil tersenyum."Assalamualaikum." Suara mbak Ratu dari pintu membuat Evan dan mbak Rini spontan menoleh ke arah munculnya suara."Wah, kebetulan mbak Ratu mampir, aku mau mengembalikan sesuatu." Evan yang teringat dengan flashdisk kepunyaan mbak Ratu yang dipinjamnya saat di rumah sakit, kemarin.Evan bergegas kembali ke meja dan merogoh ke dalam tasnya."Ini, Mbak. Makasih ya flashdisk." Evan menyodorkan flashdisk ke arah mbak Ratu.
"Bagaimana?" Mbak Rini bertanya dengan tatapan lekat ke arah Evan."Nanti siang, Mbak ... Mau ikut nggak, sambil jalan jalan, nggak sumpek ya makan siang hanya di kantin kantor.""Makan siang di tempat istrimu ya, Van? Aku yang traktir.""Wooooaaaah siap dong." Semburat kegembiraan langsung menyeruak di wajah Evan."Aku ikut dong." Suara berat seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan kerja Evan dan mbak Rini sontak membuat keduanya mengalihkan pandangan ke arah pintu. "Assalamualaikum," sapa orang itu lagi, dengan senyum mengembang di bawah kumis tipisnya. Lelaki tampan berahang keras, yang tadinya hanya ada di ambang pintu kini melangkahkan kaki mendekati meja kerja Evan."Wa alaikumussalam." jawab Evan dan mbak Rini hampir bersamaan. Evan berdiri dari kursinya menyambut kedatangan rekan kerja meraka yang dari divisi yang berbeda."Gimana kapan berangkat?" tanya sang tamu kepada Evan."Hahahaha!"Seketika itu juga ruangan itu penuh dengan gelak tawa ketiganya."Kalau mas
Evan langsung berdiri dan melangkah menuju ke meja kasir, Namun ternyata di luar dugaannya, Tina yang pergi dengan kesal tadi ternyata telah melunasi semua yang mereka pesan."Billnya mana, Van?" tanya mbak Rini yang melihat Evan sangat sebentar sekali di depan meja kasir, dan langsung berbalik arah kembali melangkah menuju ke arahnya."Sudah di bayar Bu Tina tadi." jawab Evan dengan alis yang sengaja ia naikkan berulang kali dan ujung bibir yang saling menjauh. Seakan ingin mengatakan surprise.Di sambut mbak Rini yang membulatkan ke dua matanya dengan sempurna, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja Evan katakan."Waaah, ternyata dia orangnya baik juga ya, Van?" ujar mbak Rini sambil tersenyum, berdiri dari kursi dan segera melangkah keluar dengan langkah santai sesaat setelah Evan memberikan isyarat untuk segera menemui pak Kafi yang menunggu di lobi."Tapi untung juga pak Kafi memberikan solusi tadi, andai di biarkannya aku sendirian terus, bakal lama perundingan ini se