Sandra berharap bosnya berhasil meyakinkan personalia utnuk memindahkannya kembali bersama Wuri. ia tak sanggup bekerja di bawah naungan Brian. Bahkan untuk satu hari. Maka, dengan jantung berdegup, ia bertanya, "Trus gimana, Mbak?" Dalam hati ia berdoa supaya harapannya terkabul.“Ya nggak ada terusannya. Besok kamu bisa kembali ke sini.” Jawaban Wuri membuat Sandra lega setengah mati.“Kalau nanti Brian atau Pak Romi marah gimana?” tanya wanita itu ragu-ragu.“Udah, nggak usah mikir macem-macem. Yang penting kamu besok nggak usah ke kantor si Bocah Manja lagi.”Setelah mengiayakan, Sandra melompat senang. Tak lama Pak No datang. Ia datang untuk mengantar Sandra ke mana pun wanita itu ingin pergi. Namun, yang diinginkannya hanya pulang.Chandra sudah berangkat kuliah saat wanita itu sampai di rumah. Jadi, ia tak perlu menjelaskan apa-apa kepada adiknya itu. Ia masih mengenakan kemeja Barra.Ia berniat mengirimnya kembali setelah dari penatu nanti, tetapi ketika memasukkannya ke dalam
Suasana dalam ruangan itu mendadak keruh. Masing-masing orang berbicara dengan teman di sebelahnya. Mereka mempertanyakan maksud sang CEO, yang mengumumkan pengunduran dirinya secara mendadak.“Kenapa? Apa yang salah dengannya?”“Mendadak sekali.”“Bagimana dengan perusahaan?”“Wah, kacau.”Wuri yang berdiri di belakang atasannya pun mendekat satu langkah. “Pak? Apa tidak terlalu terburu-buru?”“Saya belum selesai bicara,” katanya yang terdengar lantang oleh mikrofon di depan bibirnya, sehingga membuat para anggota dewan pemegang saham terdiam. Mereka kembali memusatkan perhatiannya kepada Barra yang berdiri di belakang meja tinggi.“Saya tahu Anda sekalian pasti khawatir terhadap jalannya perusahaan. Maka dari itu, saya mengusulkan untuk menerima saran dari Ketua Dewan kemarin,” tambahnya.Pak Romi berdeham. Ia menegakkan punggungnya dengan kaku. Orang-orang memandangnya sejenak, kemudian mulai berbisik dengan teman sebelahnya lagi.Barra melanjutkan, “Saya akan dengan senang hati me
Cinta bukan hal baru Sandra. Dia pernah mengalaminya dulu. Dia juga pernah merasakannya. Dia mencintai seseorang sampai-sampai rela berkoban untuknya, membuang segalanya untuk cinta itu. Namun, apa yang dia dapat kemudian? Tak ada.Meskipun demikian, bukan berarti Sandra tidak percaya lagi akan cinta. Dia hanya takut mencintai lagi. Maka dari itu, ketika sang bos mengungkapkan isi hatinya yang ingin melindungi, Sandra tak mau berharap. Ia tak mau sakit hati lagi.Hari masih sore ketika Sandra keluar dari kantor Aksara Group. Saat melewati meja informasi, Gladis memanggilnya.“Ada apa, Dis?” tanya Sandra mendekat.Dengan senyum ramah, gadis itu mengeluarkan sebungkus kotak kecil dengan pita menghiasi atasnya dari laci. Ia mengulurkan kotak tersebut kepada Sandra. “Selamat ulang tahun, Mbak.”“Oh!” Saking sibuknya, Sandra sendiri lupa hari ini adalah ulang tahunnya. Ia menerima kotak itu dengan haru. “Makasih.”“Tapi ini bukan dari saya.” Gladis terkikik.Sandra mengernyit. Ia mengamati
Barra tak mengerti alasan hatinya terasa sakit, seolah ada ular yang membelitnya. Buket bunga yang dipilihnya dengan hati-hati tergeletak begitu saja di jok sampingnya.Tadi setelah rapat ia dengan perasaan bingungnya mengungkapkan keinginan hati untuk melindungi Sandra. Walau wanita itu memberitahu bahwa perasaan yang dirasakan Barra hanyalah hal yang biasa dialami oleh pemimpin yang baik terhadap bawahannya, namun bagi Barra bukan seperti itu. Wuri juga bahawannya, tetapi keinginan untuk melindungi Wuri tidak sekuat keinginannya untuk melindungi wanita itu.Padahal, kalau ditelisik lebih jauh, Wuri bekerja lebih lama dari wanita itu. Ia juga sahabat ibunya. Tentunya kalau memang perasaan itu adalah hal yang biasa, Barra juga merasakannya perasaan itu sama besar terhadap Wuri. Namun nyatanya tidak.Dari pertama kali bertemu Sandra, lelaki itu sudah merasakan suatu perasaan yang tidak biasa. Bahkan waktu Sandra, mengenakan daster dan berpenampilan acak-acakan mencegat mobil yang diken
Chandra pernah melihat kakaknya sebegitu kecewanya seperti yang sekarang dia perlihatkan. Bahu kakaknya sampai merosot. Namun, Chandra tak tahu penyebab kakaknya seperti itu. Apakah karena ia tak menyetujui sang kakak dekat lagi dengan Alex? Rasanya bukan itu. Lantas apa? Mungkinkah ....Pemuda itu mendesah lega menyadari alasan kekecewaan sang kakak. Ia duduk di samping kakaknya, menarik bahu Sandra agar bersandar pada dadanya. “Aku lega karena yakin Mbak nggak akan balikan sama si Alex Bajing4n itu.”Sandra mengernyit. Ia mendorong dada sang adik dan bertanya, “Apa maksudmu?”“Mbak mencintai orang lain, kan?” Chandra berkata dengan yakin, “Mbak jatuh cinta pada Mas Barra.”Segera, Sandra menggeleng kuat. “Nggak,” jawabnya menyangkal. “Aku nggak jatuh cinta padanya.”“Iya! Mbak menyukai bos Mbak. Aku kenal kamu dari kecil. Kamu jatuh cinta pada bosmu, Mbak. Akui saja.”“Aku emang menyukai Pak Barra, Chan, tapi bukan jatuh cinta. Aku nggak berani mencintainya.” Sandra ragu sejenak. Ia
Mobil Barra merupakan mobil dengan merk Marcedes Benz S-Class empat pintu. Untuk dimuati lima orang memang bisa, tetapi pada jok penumpang belakang rada sempit. Meski Sandra, Wuri, dan Gladis tak keberatan berdesak-desakan, tetap saja Barra tak enak hati. Alhasil, ia meminta sang sopir mengalah.“Wah, jadi nggak enak, nih. Bapak yang harus nyupiri kita.” Gladis yang duduk di belakang bersama Wuri pun menyeletuk.“Nggak apa-apa. Mau gimana lagi? Besok biar kubeli mobil yang rada legaan.” Barra melirik Sandra sebentar.“Bisaaaaaa!” Gadis itu terdengar antusias. “Atau sekalian beli bus aja, Pak.”“Ya ampun ....” Wuri menimpali. “Emangnya buat apa minta bus, Dis?”“Iya, ih! Gladis nih ada-ada aja. Lagian kita kan nggak setiap hari pergi bersama-sama.” Sandra ikut menyahut.“Ya sudah, nanti aku beliin bus, tapi tukar nyawamu buat tumbal, ya?”"Tumbal apa, Pak?" Gladis mengernyit."Pesugihan," jawab Barra. "Memangnya kau pikir aku bisa sukses seperti ini dari mana kalau nggak pakai jasa jin
Sandra salah ketika tak menuruti adiknya kemarin. Seharusnya ia tak membiarkan Alex datang lagi ke kehidupannya. Seharusnya ia segera mengusir lelaki itu begitu menampakkan diri di pintu. Seharusnya ia bisa lebih tegas. Sekarang ia baru merasakan betapa mengganggunya lelaki itu.“Ngapain sih kamu kemari?” tanyanya begitu mobil Barra menjauh.“Aku nungguin kamu, Sayang. Aku kangen.” Alex merayu.Sandra mendecakkan lidah. Ia mengamati Alex yang masih memakai pakaian formal. Dulu ia menganggap lelaki itu tampan, dengan tubuhnya yang jangkung. Namun kini ia sadar bahwa pergelangan tangan mantan suaminya begitu kurus. Kulitnya memang putih, tetapi terlihat tak sehat karena terlalu pucat.Kemeja yang dikenakan Alex pun berantakan, dengan lipatan-lipatan tak beraturan. Bahkan bagian bawahnya keluar dari celana. Dulu ia menganggap penampilan seperti itu liar dan menggoda. Kini tidak lagi. Ia malah iba. Alex tampak seperti anak yang tak terurus.“Jangan panggil aku Sayang. Aku sudah bukan istr
Sebenarnya Barra bukannya ingin kencan. Ia hanya tak mau ibunya cerewet soal teman wanita yang ia tidak punya. Ia berani bertaruh tadi andai ia tidak pergi ibunya pasti akan memaksanya keluar bersama Nadine. Ia sedang tak tak ingin keluar dengan gadis itu.Lelaki itu mengendarai mobilnya berkeliling kota tanpa tujuan spesifik. Sesungguhnya ia juga ingin menikmati liburnya seperti pemuda lain dengan hang out bersama teman, main gim bareng kawan, dan sebagainya. Namun, selama ini Barra terlalu sibuk sampai-sampai ia tak sempat berteman.Kalau kenalan, Barra memiliki banyak kenalan. Sebagai CEO tentu ia punya relasi yang luas. Akan tetapi semua itu adalah urusan bisnis. Ia tak memiliki orang untuk berbagi kehidupan pribadi. Bukannya tak ada yang mau. Hanya saja Barra merasa tak cocok dengan beberapa orang yang mendekatinya.Seperti contohnya Brian. Meski mereka seumuran, Barra tak suka kepribadian lelaki itu. Padahal ibunya selalu mendorong agar dia bisa lebih akrab dengan sering mengaja
Wuri bilang pada Sandra untuk tidak usah khawatir. Namun, tetap saja, Sandra gelisah. Dia sudah menelepon Barra beberapa kali, namun panggilannya tak dijawab. Dia juga sudah mengirim pesan, memberi embel-embel kata penting. Namun, sampai jam kantor usai, Barra tak kunjung membalas. Notifikasinya terbaca pun tak ada. Terlihat hanya tanda centang dua pada pesannya.Saat masuk ke bus untuk pulang, Sandra tak tenang. Perasaannya tidak enak. Pikiran buruk mulai menghantuinya. Kenapa Barra tidak menjawab telepon maupun pesannya? Apakah terjadi apa-apa dengannya? Mungkinkah dia tertimpa musibah, kecelakaan misalnya? Kapan? di mana? Apakah saat hendak menemui klien? Atau ketika rapat dadakan? Kenapa pula tadi dia tidak pamit keluar kantor? Apa yang terjadi?Sandra menjadi mual memikirkannya. Ia tak bisa membayangkan tubuh Barra terluka di dalam mobil yang jatuh ke jurang, menunggu bantuan yang tak kunjung datang hingga akhirnya .... Tidak. Sandra tak sanggup. Ia menelepon nomor Barra lagi, tet
Aku harus percaya diri, Sandra bertekad. Ia ingat percakapannya dengan Bu dina dulu. Sebagai kekasih Barra, banyak yang bakal menekannya. Dia tak boleh menyerah atau melempem. Mentalnya harus kuat. Bukankah dia sudh pernah diperlakuka dengan kejam oleh Bu Utami dulu? Seharusnya, Sandra sudah mampu menyesuaikan diri dengan hinaan yang menjtuhkan mentalnya. Dulu, ia sudah bisa menerima omongan kejam mantan mertua dan mantan suaminya. Jadi, seharusnya ia lebih kuat menerima hinaan dari orang lain. Toh, mereka tidak ada hubungannya dengan Sandra.Berbeda dengan Alex dan Bu Utami yang dulu adalah orang terdekatnya. Orang yang dipercayanya, orang yang mestinya melindungi Sandra. Jadi, penghinaan mereka pastinya lebih kejam dari penghinaan yang diterimanya oleh orang luar. Maka dari itu, Sandra bertekad akan menghadapinya dengan percaya diri.Toh, apa sih cacian yang mereka lontarkan padanya? Statusnya sebagai janda? Sandra memang seorang janda. Namun, dia tetaplah wanita terhormat. Dia tak
Dengan lesu, Sandra merebahkan dirinya ke kasur. Hari ini terasa panjang dan melelahkan. Orang-orang seolah menekannya. Ia tahu dirinya hanya orang biasa dan tak pentas mendaptkan Barra. Ia ingin menyerah dan mengakhiri saja. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk pergi ke tempat yang jauh, kembali memulai hidup baru. Namun, saat memikirkan berjauhan dengan Barra, dadanya terasa sesak. Sepertinya ia tak sanggup. Meski begitu, bertahan di sisisnya pun rasanya sulit sekali.Ponselnya bergetar sekejap, menandakan sebuah pesan masuk. Rupanya dari Barra. Ia membacanya dan tersenyum. Kemudian, ia menyadari bahwa hanya dengan membaca pesan dari lelaki itu saja mampu membuat hatinya menjadi ringan. Bagimana kalau ia tak lagi berhubungan dengannya? Pasti lebih sulit.Ia mengetik balasan. tetapi sebelum sempat mengirimnya, Barra sudah meneleponnya."Kangen ...," nada manja sang CEO terdengar begitu Sandra menempelkan ponsel ke telinganya. Bibirnya tak bisa menahan senyuman. "Udah makan, belum?
Acara wisuda itu amat lancar. Setelah para tamu datang, para wisudawan dan wisudawati duduk di tepatnya. Setelahnya para dekan dan tamu kehormatan melakukan sambutan-sambutan di depan mimbar yang telah disediakan. Kemudian mahasiswa pilihan menyampaikan pidato perpisahannya. Setelah semuanya selesai, acara penyerahan ijazah secara simbolik dilakukan. Masing-masing wisudawan dan wisudawati dipanggil namanya supaya ke depan. Prestasi mereka disebut, begitupun dengan pesan yang sebelumnya mereka tulis.Sandra tak bisa menyembunyikan air mata harunya ketika nama sang adik disebut. Chandra bukanlah mahasiswa yang pandai hingga mendapat cum laude. Meski begitu, ia disebut sebagai mahasiswa paling rajin dan bekerja paling keras.Sandra jadi teringat dulu, ketika dia berbicara berdua dengan adiknya perihal uang kulian.“Mbak minta maaf,” katanya duduk di rumah kontrakan yang mereka tinggali sampai sekarang. “Mbak nggak bisa lagi ikut bayar uang kuliahmu. Soalnya suami Mbak nggak ngizinin Mbak
Sandra tahu bahwa tidak mungkin sepasang suami istri dapat bekerja di perusahaan yang sama. Ia tahu kalau salah satu dari mereka harus mengalah. Sebab, atasan mereka tidak menginginkan masalah perusahaan dicampuradukkan ke masalah pribadi. Meski mereka yakin tak bakal melakukannya pun tetap saja manusia bisa khilaf. Jadi, perusahaan tak mau ambil risiko.Akan tetapi, bagaimana dengan sepasang kekasih? Bahkan belum tentu nantinya mereka akan tetap bersama. Bisa saja mereka bakal putus di tengah jalan. Namun, apakah salah satu dari mereka harus mengalah? Kalau memang begitu, dalam kasusnya tentu Sandralah yang mestinya mengundurkan diri. Tidak mungkin Barra. Sebab, lelaki itu seorang pemimpin perusahaan.Jika Barra keluar, bagaimana nasib perusahaan? Sandra jadi teringat perkataan Lusi dulu tentang perusahaannya yang lama. Pemimpin mereka memutuskan mengundurkan diri. Kepemipinan diambil alih sepenuhnya oleh perusahaan asing.Alhasil para karyawan seperti Lusi diperas tenaganya habis-ha
Bisik-biik terdengar bagai dengung lebah di lobi kantor Aksara Group. Para karyawan yang baru kembali dari makan siang maupun yang sedang menunggu lift syok meelihat bos mereka menggandeng asisten seketarisnya dengan mesra.“Jadi, kabar itu beneran?”“Wah, kok bisa ya?”“Beruntung banget itu si Sandra ... iya, kan, namanya Sandra?”“Pakai pelet apa ya dia?”Pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka bisiskkan ke telinga teman sebelahnya.Sementara itu, Sandra yang mendadak menjadi pusat perhatian orang-orang pun mencoba melepas genggaman Barra terhadapnya. “Pak, ini kan di kantor,” bisiknya, “nanti orang-orang salah paham.”“Salah paham apa?” Barra balik bertanya. Ia mengeratkan genggamannya, dan secara terang-terangan menunjukkan pada khalayak. “Nggak ada kesalahpahaman di antara kita. Dan, ya!” Ia berkata dengan lantang, seolah mengumumkan pada semua orang. “Kami memang berpacaran.”“Tuh, kan, bener kata Wulan dulu. Si Sandra itu emang penggoda. Kabarnya dia juga matre. Makanya ngelamar k
Dampak yang Sandra alami setelah beredarnya podcast itu langsung terasa begitu jam istirahat kantor berlangsung. Karena tak enak hati telah menyembunyikan hubungannya dari Gladis, ia berniat meminta maaf dan mengajak gadis itu makan siang bersama. Apalagi kemarin dia sudah berjanji. Demi memperbaiki hubungannya dengan Gladis, Sandra bahkan rela menolak ajakan makan siang bersama Barra.Sandra keluar kantor, menuju lift sembari membawa dompet. Ia berencana menraktir Gladis. Ketika lift terbuka, ia melihat beberapa orang di dalamnya. Orang-orang itu segera bungkam begitu melihat Sandra masuk ke lift.Di lantai di bawahnya, lift kembali terbuka. Dua orang yang Sandra kenali adalah bagian HRD, teman Wulan dulu masuk. Mereka berdiri di depan Sandra.“Eh, kamu udah nonton podcast Mbak Nadine belum?” cetus salah satu gadis tadi kepada temannya. Matanya melirik ke arah Sandra dengan sengit.“Udah. Cantik banget ya, Mbak Nadine di podcast itu. Mana lucu lagi orangnya,” sahut temannya.Sombong
Tangan Sandra gemetar ketika melihat ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi tertampil. Gladis menepati janjinya dengan mengirim link podcast itu kepada Sandra.Meski begitu, Sandra enggan membukanya segera. Ia takut. Mengingat respons Gladis tadi, ia tak sanggup melihat isi podcast. Meskipun demikian ia penasaran siapa yang telah lancang mengusik privasinya.Sandra menenangkan hatinya. Sebagai pacar Barra, kejadian ini tak bisa dia hindari lagi. Seperti yang diutarakan Bu Dina kemarin, ia harus siap.Mendadak, jantung Sandra berdetak lebih kencang. Jempolnya ragu memencet layar ponsel. Ia lantas mendesah. Mungkin ia akan melihatnya nanti saja, kalau sudah siap. Lagi pula, ia masih bekerja. Ia harus fokus pada pekerjaannya.Sandra memasukkan ponselnya ke saku. Ia mulai membuka folder pada komputernya dan kembali mengatur jadwal Barra. Sebuah email yang sudah dikirim beberapa hari yang lalu membuatnya mengernyit.Email tersebut berisi undangan dari kampus sang adik. Sekilas, Sandra berpi
Rasa penasaran Sandra sudah mencapai puncak. Pasalnya, ia tak bisa lagi mereka siapa kiranya yang tega menyebar kabar tersebut secepat ini. Ditambah respon Barra yang malah minta maaf, ia menjadi tak sabar. “Memangnya siapa yang bicara kepada wartawan tentang tatusmu? Dan kenapa pula kamu minta maaf?”Barra menarik Sandra mendekat ke kursinya. Tangannya merangkul pinggang wanita itu. Kepalanya mendongak, menatap sang kekasih dengan mata lebar, seperti kucing yang menyesal karena ketahuan mencuri ikan di dapur. “Mama,” jawabnya singkat.Sandra terkejut. “Apa?” Ia memastikan dirinya bahwa tak salah mendengar.“Mamaku.” Barra mengedikkan bahu. “Makanya aku minta maaf. Tapi beliau kan nggak ngasih tahu kalau pacarku itu kamu jadi masih aman.”“Tapi, kenapa?” Sandra mengernyit. Ia ingn marah, namun tak bisa.Belum sempat menjawab, ponsel Barra berdering. Lelaki itu mengamati layar ponselnya kemudian memberitahu, “Nih, coba tanya sendiri. Beliau menelepon.”Sandra menggigit bibir bawahnya.