Chandra pernah melihat kakaknya sebegitu kecewanya seperti yang sekarang dia perlihatkan. Bahu kakaknya sampai merosot. Namun, Chandra tak tahu penyebab kakaknya seperti itu. Apakah karena ia tak menyetujui sang kakak dekat lagi dengan Alex? Rasanya bukan itu. Lantas apa? Mungkinkah ....Pemuda itu mendesah lega menyadari alasan kekecewaan sang kakak. Ia duduk di samping kakaknya, menarik bahu Sandra agar bersandar pada dadanya. “Aku lega karena yakin Mbak nggak akan balikan sama si Alex Bajing4n itu.”Sandra mengernyit. Ia mendorong dada sang adik dan bertanya, “Apa maksudmu?”“Mbak mencintai orang lain, kan?” Chandra berkata dengan yakin, “Mbak jatuh cinta pada Mas Barra.”Segera, Sandra menggeleng kuat. “Nggak,” jawabnya menyangkal. “Aku nggak jatuh cinta padanya.”“Iya! Mbak menyukai bos Mbak. Aku kenal kamu dari kecil. Kamu jatuh cinta pada bosmu, Mbak. Akui saja.”“Aku emang menyukai Pak Barra, Chan, tapi bukan jatuh cinta. Aku nggak berani mencintainya.” Sandra ragu sejenak. Ia
Mobil Barra merupakan mobil dengan merk Marcedes Benz S-Class empat pintu. Untuk dimuati lima orang memang bisa, tetapi pada jok penumpang belakang rada sempit. Meski Sandra, Wuri, dan Gladis tak keberatan berdesak-desakan, tetap saja Barra tak enak hati. Alhasil, ia meminta sang sopir mengalah.“Wah, jadi nggak enak, nih. Bapak yang harus nyupiri kita.” Gladis yang duduk di belakang bersama Wuri pun menyeletuk.“Nggak apa-apa. Mau gimana lagi? Besok biar kubeli mobil yang rada legaan.” Barra melirik Sandra sebentar.“Bisaaaaaa!” Gadis itu terdengar antusias. “Atau sekalian beli bus aja, Pak.”“Ya ampun ....” Wuri menimpali. “Emangnya buat apa minta bus, Dis?”“Iya, ih! Gladis nih ada-ada aja. Lagian kita kan nggak setiap hari pergi bersama-sama.” Sandra ikut menyahut.“Ya sudah, nanti aku beliin bus, tapi tukar nyawamu buat tumbal, ya?”"Tumbal apa, Pak?" Gladis mengernyit."Pesugihan," jawab Barra. "Memangnya kau pikir aku bisa sukses seperti ini dari mana kalau nggak pakai jasa jin
Sandra salah ketika tak menuruti adiknya kemarin. Seharusnya ia tak membiarkan Alex datang lagi ke kehidupannya. Seharusnya ia segera mengusir lelaki itu begitu menampakkan diri di pintu. Seharusnya ia bisa lebih tegas. Sekarang ia baru merasakan betapa mengganggunya lelaki itu.“Ngapain sih kamu kemari?” tanyanya begitu mobil Barra menjauh.“Aku nungguin kamu, Sayang. Aku kangen.” Alex merayu.Sandra mendecakkan lidah. Ia mengamati Alex yang masih memakai pakaian formal. Dulu ia menganggap lelaki itu tampan, dengan tubuhnya yang jangkung. Namun kini ia sadar bahwa pergelangan tangan mantan suaminya begitu kurus. Kulitnya memang putih, tetapi terlihat tak sehat karena terlalu pucat.Kemeja yang dikenakan Alex pun berantakan, dengan lipatan-lipatan tak beraturan. Bahkan bagian bawahnya keluar dari celana. Dulu ia menganggap penampilan seperti itu liar dan menggoda. Kini tidak lagi. Ia malah iba. Alex tampak seperti anak yang tak terurus.“Jangan panggil aku Sayang. Aku sudah bukan istr
Sebenarnya Barra bukannya ingin kencan. Ia hanya tak mau ibunya cerewet soal teman wanita yang ia tidak punya. Ia berani bertaruh tadi andai ia tidak pergi ibunya pasti akan memaksanya keluar bersama Nadine. Ia sedang tak tak ingin keluar dengan gadis itu.Lelaki itu mengendarai mobilnya berkeliling kota tanpa tujuan spesifik. Sesungguhnya ia juga ingin menikmati liburnya seperti pemuda lain dengan hang out bersama teman, main gim bareng kawan, dan sebagainya. Namun, selama ini Barra terlalu sibuk sampai-sampai ia tak sempat berteman.Kalau kenalan, Barra memiliki banyak kenalan. Sebagai CEO tentu ia punya relasi yang luas. Akan tetapi semua itu adalah urusan bisnis. Ia tak memiliki orang untuk berbagi kehidupan pribadi. Bukannya tak ada yang mau. Hanya saja Barra merasa tak cocok dengan beberapa orang yang mendekatinya.Seperti contohnya Brian. Meski mereka seumuran, Barra tak suka kepribadian lelaki itu. Padahal ibunya selalu mendorong agar dia bisa lebih akrab dengan sering mengaja
Barra harus segera bangkit. Ia mesti lekas bersembunyi sebelum orang-orang yang mendengar keributan itu datang, mengerumuninya dan Sandra, lalu berpikir hal yang bukan-bukan tentang mereka. Ia tak mau membuat dirinya maupun wanita itu malu.Namun, berada sangat dekat dengan Sandra, dalam posisi seperti itu, membuat Barra seolah enggan beranjak. Ia dapat merasakan panas tubuh wanita itu, dapat mencium sampo yang digunakan wanita itu. Ia ingin merasakan Sandra lebih dari ini. Ia ingin menyentuh wanita itu lebih banyak.“Ke mana sih tuh anak?” Suara ibunya menyadarkan Barra. Ia segera bangkit, menarik Sandra bersamanya.“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya memeriksa.“En-nggak apa-apa.” Jantung Sandra seakan meledak.Sekali lagi, Barra menarik wanita itu bersembunyi ke dalam bayang-bayang wahana rumah hantu. Ia melewati ruangan demi ruangan yang sudah diseting dengan nuansa horor. Namun baginya sekarang ketahuan oleh ibunya sedang menggandeng tangan wanita lebih mengerikan ketimbang isi rumah
Barra menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia menenangkan syarafnya yang tegang. Tangannya yang mengepal ia urai. Selain itu ia juga memberi isyarat pada Sandra agar melepas tangannya dengan mengangguk. “Nggak apa-apa,” katanya. “Salahku udah ganggu malam minggumu.”Sandra menggeleng. “Nggak, Pak. Bukan—“Alex memotong ucapan mantan istrinya lagi. “Nah, akhirnya kamu sadar juga.”“Mas!” Sandra begitu kesal sampai membentak.Alex segera menutup mulut.“Tolong pamitin ke adikmu. Aku pergi.” Barra lantas meninggalkan rumah Sandra. Wanita itu mengantarnya sampai keluar rumah dan ia masih berdiri di halaman hingga Barra melajukan mobilnya.Begitu mobil lelaki itu tak terlihat lagi, Sandra memutar bola matanya. Tangannya bersedekap. Ia berderap ke dalam dan mendapati Alex duduk menunggu di sofa. “Ngapain kamu ke sini lagi?”“Kan aku udah bilang bakal ke sini lagi.” Alex duduk di tempat bekas Barra duduk tadi. Kakinya menyilang. Namun, ia terlihat tak setampan lelaki ta
Seumur hidup, Alex tak pernah semalu ini. Ia merasa dipermalukan habis-habisan. Betapa tidak? Ia susah payah mencari cara menghubungi lelaki yang menjadi satu-satunya penghalang dirinya rujuk. Melalui kenalannya ia berhasil mendapatkan nomor Barra. Tentu saja ia tak bisa meminta nomor ponsel Barra kepada Sandra. Ia tak mau wanita itu tahu apa yang akan dilakukannya.Alex mengerti, sebagai CEO sebuah perusahaan ternama tentunya Barra memiliki kartu nama yang di dalamnya tertera nomor ponsel lelaki tersebut. Namun, ia juga tahu bahwa nomor tersebut pastilah bukan nomor pribadi. Alex ingin menghubungi Barra melalui sambungan pribadi. Ia ingin bicara empat mata dengan lelaki itu membahas masalah pribadi. Jadi, ia mengabaikan nomor yang tertera di kartu nama yang berhasil ia dapatkan dari kenalannya.Tak mau menyerah, ia pun bertanya pada Kristin. Dulu istrinya itu pernah memperingatkan Alex supaya tidak mengusik Barra. Dia juga mengaku pernah mendekati lelaki itu. Jadi, sudah pasti Kristi
Di sisi lain, pada waktu sebelum Alex merasa sebagai manusia paling teraniaya di dunia, Bu Dina memarkir mobilnya di sebuah resto keluarga yang sudah menjadi langganannya untuk arisan. Bulan kemarin Bu Anin, temannya, yang mendapat arisan. Jadi kali ini dialah yang membayar.Mulanya mereka sepakat mengadakan arisan di rumah wanita itu. Akan tetapi mendekati acara, asisten rumah tangga Bu Anin sakit. Tak ada yang membantu menyiapkan. Beli dari resto pun percuma. Alhasil ia mengabari ibu-ibu lain di grup bahwa arisan pindah tempat. Anaknya, Nadine, tak dapat dimintai pertolongan. Sebab, gadis itu tak bisa memasak. Menyalakan kompor saja tak mampu.Untungnya anggota arisan yang lain tidak memprotes.Menggunakan baju kasual, Bu Anin menyambut Bu Dina di ujung meja. Rambutnya digelung dengan cantik. Ia mengenakan perhiasan yang tampak mencolok mata. Baginya, arisan merupakan ajang untuk pamer. “Apa kabar, Jeng?” ucapnya sembari mencium pipi tamunya. “Baik-baik.” Bu Dina tersenyum. Berbeda
Acara wisuda itu amat lancar. Setelah para tamu datang, para wisudawan dan wisudawati duduk di tepatnya. Setelahnya para dekan dan tamu kehormatan melakukan sambutan-sambutan di depan mimbar yang telah disediakan. Kemudian mahasiswa pilihan menyampaikan pidato perpisahannya. Setelah semuanya selesai, acara penyerahan ijazah secara simbolik dilakukan. Masing-masing wisudawan dan wisudawati dipanggil namanya supaya ke depan. Prestasi mereka disebut, begitupun dengan pesan yang sebelumnya mereka tulis.Sandra tak bisa menyembunyikan air mata harunya ketika nama sang adik disebut. Chandra bukanlah mahasiswa yang pandai hingga mendapat cum laude. Meski begitu, ia disebut sebagai mahasiswa paling rajin dan bekerja paling keras.Sandra jadi teringat dulu, ketika dia berbicara berdua dengan adiknya perihal uang kulian.“Mbak minta maaf,” katanya duduk di rumah kontrakan yang mereka tinggali sampai sekarang. “Mbak nggak bisa lagi ikut bayar uang kuliahmu. Soalnya suami Mbak nggak ngizinin Mbak
Sandra tahu bahwa tidak mungkin sepasang suami istri dapat bekerja di perusahaan yang sama. Ia tahu kalau salah satu dari mereka harus mengalah. Sebab, atasan mereka tidak menginginkan masalah perusahaan dicampuradukkan ke masalah pribadi. Meski mereka yakin tak bakal melakukannya pun tetap saja manusia bisa khilaf. Jadi, perusahaan tak mau ambil risiko.Akan tetapi, bagaimana dengan sepasang kekasih? Bahkan belum tentu nantinya mereka akan tetap bersama. Bisa saja mereka bakal putus di tengah jalan. Namun, apakah salah satu dari mereka harus mengalah? Kalau memang begitu, dalam kasusnya tentu Sandralah yang mestinya mengundurkan diri. Tidak mungkin Barra. Sebab, lelaki itu seorang pemimpin perusahaan.Jika Barra keluar, bagaimana nasib perusahaan? Sandra jadi teringat perkataan Lusi dulu tentang perusahaannya yang lama. Pemimpin mereka memutuskan mengundurkan diri. Kepemipinan diambil alih sepenuhnya oleh perusahaan asing.Alhasil para karyawan seperti Lusi diperas tenaganya habis-ha
Bisik-biik terdengar bagai dengung lebah di lobi kantor Aksara Group. Para karyawan yang baru kembali dari makan siang maupun yang sedang menunggu lift syok meelihat bos mereka menggandeng asisten seketarisnya dengan mesra.“Jadi, kabar itu beneran?”“Wah, kok bisa ya?”“Beruntung banget itu si Sandra ... iya, kan, namanya Sandra?”“Pakai pelet apa ya dia?”Pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka bisiskkan ke telinga tean sebelahnya.Sementara itu, Sandra yang mendadak menjadi pusat perhatian orang-orang pun mencoba melepas genggaman Barra terhadapnya. “Pak, ini kan di kantor,” bisiknya, “nanti orang-orang salah paham.”“Salah paham apa?” Barra balik bertanya. Ia mengeratkan genggamannya, dan secara terang-terangan menunjukkan pada khalayak. “Nggak ada kesalahpahaman di antara kita. Dan, ya!” Ia berkata dengan lantang, seolah mengumumkan pada semua orang. “Kami memang berpacaran.”“Tuh, kan, bener kata Wulan dulu. Si Sandra itu emang penggoda. Kabarnya dia juga matre. Makanya ngelamar k
Dampak yang Sandra alami setelah beredarnya podcast itu langsung terasa begitu jam istirahat kantor berlangsung. Karena tak enak hati telah menyembunyikan hubungannya dari Gladis, ia berniat meminta maaf dan mengajak gadis itu makan siang bersama. Apalagi kemarin dia sudah berjanji. Demi memperbaiki hubungannya dengan Gladis, Sandra bahkan rela menolak ajakan makan siang bersama Barra.Sandra keluar kantor, menuju lift sembari membawa dompet. Ia berencana menraktir Gladis. Ketika lift terbuka, ia melihat beberapa orang di dalamnya. Orang-orang itu segera bungkam begitu melihat Sandra masuk ke lift.Di lantai di bawahnya, lift kembali terbuka. Dua orang yang Sandra kenali adalah bagian HRD, teman Wulan dulu masuk. Mereka berdiri di depan Sandra.“Eh, kamu udah nonton podcast Mbak Nadine belum?” cetus salah satu gadis tadi kepada temannya. Matanya melirik ke arah Sandra dengan sengit.“Udah. Cantik banget ya, Mbak Nadine di podcast itu. Mana lucu lagi orangnya,” sahut temannya.Sombong
Tangan Sandra gemetar ketika melihat ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi tertampil. Gladis menepati janjinya dengan mengirim link podcast itu kepada Sandra.Meski begitu, Sandra enggan membukanya segera. Ia takut. Mengingat respons Gladis tadi, ia tak sanggup melihat isi podcast. Meskipun demikian ia penasaran siapa yang telah lancang mengusik privasinya.Sandra menenangkan hatinya. Sebagai pacar Barra, kejadian ini tak bisa dia hindari lagi. Seperti yang diutarakan Bu Dina kemarin, ia harus siap.Mendadak, jantung Sandra berdetak lebih kencang. Jempolnya ragu memencet layar ponsel. Ia lantas mendesah. Mungkin ia akan melihatnya nanti saja, kalau sudah siap. Lagi pula, ia masih bekerja. Ia harus fokus pada pekerjaannya.Sandra memasukkan ponselnya ke saku. Ia mulai membuka folder pada komputernya dan kembali mengatur jadwal Barra. Sebuah email yang sudah dikirim beberapa hari yang lalu membuatnya mengernyit.Email tersebut berisi undangan dari kampus sang adik. Sekilas, Sandra berpi
Rasa penasaran Sandra sudah mencapai puncak. Pasalnya, ia tak bisa lagi mereka siapa kiranya yang tega menyebar kabar tersebut secepat ini. Ditambah respon Barra yang malah minta maaf, ia menjadi tak sabar. “Memangnya siapa yang bicara kepada wartawan tentang tatusmu? Dan kenapa pula kamu minta maaf?”Barra menarik Sandra mendekat ke kursinya. Tangannya merangkul pinggang wanita itu. Kepalanya mendongak, menatap sang kekasih dengan mata lebar, seperti kucing yang menyesal karena ketahuan mencuri ikan di dapur. “Mama,” jawabnya singkat.Sandra terkejut. “Apa?” Ia memastikan dirinya bahwa tak salah mendengar.“Mamaku.” Barra mengedikkan bahu. “Makanya aku minta maaf. Tapi beliau kan nggak ngasih tahu kalau pacarku itu kamu jadi masih aman.”“Tapi, kenapa?” Sandra mengernyit. Ia ingn marah, namun tak bisa.Belum sempat menjawab, ponsel Barra berdering. Lelaki itu mengamati layar ponselnya kemudian memberitahu, “Nih, coba tanya sendiri. Beliau menelepon.”Sandra menggigit bibir bawahnya.
“Bu-bukan, kok!” Sandra segera menepis dugaan Gladis. Ia belum siap jujur pada gadis itu. Bukan karena tidak mempercayai Gladis. Hanya saja, banyak orang di sana. Ia takut seseorang mendengarnya dan akhirnya tersebarlah kabar tersebut.Bibir Gladis mengerucut. Matanya masih memandang Sandra penuh selidik. “Tapi masa iya Mbak Sandra sama sekali nggak tahu tentang ceweknya Pak Bos? Mbak kan yang paling dekat. Coba nanti kutanya Mbak Wuri, ah!”“Jangan!” Sandra segera mencegah.Gladis semakin curiga. “Kenapa?”Otak Sandra bekerja keras mencari alasan yang logis. “Mbak Wuri kan gitu orangnya. Agak ketus kalau ditanya soal privasi bosnya.”“Oh, ya?” Gadis itu pun mengernyit, seakan mengingat-ingat kenangan masa lalu. “Saya belum pernah nanya hal-hal pribadi sama dia sih. Emang orangnya gitu, ya? Pantas nggak ada wartawan yang berani nanya-nanya tentang Pak Barra sama dia.”Sandra mengangguk-angguk dengan khidmat. Saking banyaknya masalah yang dipikirkan wanita itu kemarin, ia sampai lupa
Mulanya Sandra yakin bakal mampu menjalani konsekuensi yang mungkin bakal terjadi ketika menjadi pacar CEO muda paling berpengaruh di dunia bisnis. Namun, hal itu terjadi sebelum ia kembali masuk kantor.Pagi itu ia mulai merapikan dirinya. Meski Bu Dina sudah bilang bahwa bukan penampilan yang mesti ia urus, tetapi tetap saja, ia ingin tampak cantik ketika bertemu dengan Barra. Kini ia merias wajahnya supaya tampak segar. Ia juga memulas lipstik baru. Selain itu, ia mengenakan blus dan rok span selutut. Ketika keluar kamar, Chandra sempat mengejeknya.“Mau kerja apa mau pacaran, Mbak?”Sandra merengut. Ia mencubit perut sang adik dengan gemas. “Enak aja. Kerja, dong!”“Sambil menyelam, minum air ya, Mbak?” Pemuda itu terkikik.“Apaan sih? Nggak lucu tau!” Akan tetapi, Sandra mengulum senyum. Ia memasukkan bekal yang sudah disiapkan ke tas. “Hari Rabu kamu wisuda, kan?”Chandra mengangguk. “Jangan lupa hadir ya, Mbak. Masa punya kakak satu enggak mau hadir di wisuda adiknya. Kebangeta
Sandra pernah mengalaminya dulu ketika meminta izin Bu Utami menikahi Alex. Pertanyaan yang sama sempat keluar dari bibir calon mertuanya itu. Meski menggunakan nada bicara yang berbeda, tetap saja efek yang ditimbulkan sama menyesakkannya.Waktu itu ia dan Alex makan malam di rumah Bu Utami.“Kamu kan tahu, Alex itu pangkatnya tinggi, nggak kayak kamu yang cuma wakil. Memang kamu bisa menyetarakan dirimu di samping anakku?” tanya Bu Utami dengan hidung mengernyit. Matanya memandang Sandra seakan-akan wanita itu tikus yang menjijikkan.“Saya sanggup, Tante,” jawab Sandra penuh percaya diri. ”Saya mencintai anak Tante. Saya akan lakukan apa pun untuk membuat Alex bahagia.”Bu Utami mendecakkan lidah. “Ya sudah, kalau gitu suruh orang tuamu kemari.”Sejenak, Sandra tertegun. Ia tertegun bukan karena orang tuanya yang tak bisa menemui Bu Utami karena sudah meninggal. Ia tertegun karena harus membawa orang tuanya menemui Bu Utami. Bukankah seharusnya orang tua dari pihak laki-laki yang da