Barra harus segera bangkit. Ia mesti lekas bersembunyi sebelum orang-orang yang mendengar keributan itu datang, mengerumuninya dan Sandra, lalu berpikir hal yang bukan-bukan tentang mereka. Ia tak mau membuat dirinya maupun wanita itu malu.Namun, berada sangat dekat dengan Sandra, dalam posisi seperti itu, membuat Barra seolah enggan beranjak. Ia dapat merasakan panas tubuh wanita itu, dapat mencium sampo yang digunakan wanita itu. Ia ingin merasakan Sandra lebih dari ini. Ia ingin menyentuh wanita itu lebih banyak.“Ke mana sih tuh anak?” Suara ibunya menyadarkan Barra. Ia segera bangkit, menarik Sandra bersamanya.“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya memeriksa.“En-nggak apa-apa.” Jantung Sandra seakan meledak.Sekali lagi, Barra menarik wanita itu bersembunyi ke dalam bayang-bayang wahana rumah hantu. Ia melewati ruangan demi ruangan yang sudah diseting dengan nuansa horor. Namun baginya sekarang ketahuan oleh ibunya sedang menggandeng tangan wanita lebih mengerikan ketimbang isi rumah
Barra menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia menenangkan syarafnya yang tegang. Tangannya yang mengepal ia urai. Selain itu ia juga memberi isyarat pada Sandra agar melepas tangannya dengan mengangguk. “Nggak apa-apa,” katanya. “Salahku udah ganggu malam minggumu.”Sandra menggeleng. “Nggak, Pak. Bukan—“Alex memotong ucapan mantan istrinya lagi. “Nah, akhirnya kamu sadar juga.”“Mas!” Sandra begitu kesal sampai membentak.Alex segera menutup mulut.“Tolong pamitin ke adikmu. Aku pergi.” Barra lantas meninggalkan rumah Sandra. Wanita itu mengantarnya sampai keluar rumah dan ia masih berdiri di halaman hingga Barra melajukan mobilnya.Begitu mobil lelaki itu tak terlihat lagi, Sandra memutar bola matanya. Tangannya bersedekap. Ia berderap ke dalam dan mendapati Alex duduk menunggu di sofa. “Ngapain kamu ke sini lagi?”“Kan aku udah bilang bakal ke sini lagi.” Alex duduk di tempat bekas Barra duduk tadi. Kakinya menyilang. Namun, ia terlihat tak setampan lelaki ta
Seumur hidup, Alex tak pernah semalu ini. Ia merasa dipermalukan habis-habisan. Betapa tidak? Ia susah payah mencari cara menghubungi lelaki yang menjadi satu-satunya penghalang dirinya rujuk. Melalui kenalannya ia berhasil mendapatkan nomor Barra. Tentu saja ia tak bisa meminta nomor ponsel Barra kepada Sandra. Ia tak mau wanita itu tahu apa yang akan dilakukannya.Alex mengerti, sebagai CEO sebuah perusahaan ternama tentunya Barra memiliki kartu nama yang di dalamnya tertera nomor ponsel lelaki tersebut. Namun, ia juga tahu bahwa nomor tersebut pastilah bukan nomor pribadi. Alex ingin menghubungi Barra melalui sambungan pribadi. Ia ingin bicara empat mata dengan lelaki itu membahas masalah pribadi. Jadi, ia mengabaikan nomor yang tertera di kartu nama yang berhasil ia dapatkan dari kenalannya.Tak mau menyerah, ia pun bertanya pada Kristin. Dulu istrinya itu pernah memperingatkan Alex supaya tidak mengusik Barra. Dia juga mengaku pernah mendekati lelaki itu. Jadi, sudah pasti Kristi
Di sisi lain, pada waktu sebelum Alex merasa sebagai manusia paling teraniaya di dunia, Bu Dina memarkir mobilnya di sebuah resto keluarga yang sudah menjadi langganannya untuk arisan. Bulan kemarin Bu Anin, temannya, yang mendapat arisan. Jadi kali ini dialah yang membayar.Mulanya mereka sepakat mengadakan arisan di rumah wanita itu. Akan tetapi mendekati acara, asisten rumah tangga Bu Anin sakit. Tak ada yang membantu menyiapkan. Beli dari resto pun percuma. Alhasil ia mengabari ibu-ibu lain di grup bahwa arisan pindah tempat. Anaknya, Nadine, tak dapat dimintai pertolongan. Sebab, gadis itu tak bisa memasak. Menyalakan kompor saja tak mampu.Untungnya anggota arisan yang lain tidak memprotes.Menggunakan baju kasual, Bu Anin menyambut Bu Dina di ujung meja. Rambutnya digelung dengan cantik. Ia mengenakan perhiasan yang tampak mencolok mata. Baginya, arisan merupakan ajang untuk pamer. “Apa kabar, Jeng?” ucapnya sembari mencium pipi tamunya. “Baik-baik.” Bu Dina tersenyum. Berbeda
Mudah bagi Barra untuk membuat Alex hancur. Ia sudah mencari tahu tentang lelaki itu, di mana tempatnya bekerja, bagaimana lingkungannya, bahkan berapa kekayaannya. Bisa saja ia membuat lelaki itu dipecat, dimusuhi warga, maupun dibuat bankrut. Namun, ia masih memikirkan perasaan Sandra. Ia takut wanita itu bakal sedih. Atau yang lebih mengerikan, ia khawatir Sandra akan ikut jatuh bersama lelaki itu.Barra tak mau hal itu terjadi. Namun, tangannya seolah gatal ingin menjatuhkan lelaki itu.Urusan kantor sudah lebih lenggang sekarang. Programnya berjalan sesuai ekspektasi. Dalam pekerjaan, Barra merasa tak ada hal yang memerlukan perhatian khusus. Dalam rencananya untuk memperluas pemasaran, ia sudah menghubungi pihak terkait dan menurutnya syarat yang diajukan tidak berat dan sesuai dengan visi maupun misi perusahaan. Jadi tak ada kendala yang berarti.Produk barunya juga sudah siap. Ia bisa bersantai. Ia bisa melakukan hal-hal lain, seperti bermain-main dengan hidup orang lain.Kini
“Kamu nggak apa-apa?” Barra begitu kahwatir ketika melihat Sandra mengelus lehernya.“Nggak apa-apa, Pak.” Wanita itu bersyukur kalung pemberian bosnya tidak putus. Ia tak enak merusak hadiah bosnya. Apalagi baru lima menit yang lalu ia memakainya.Wuri mengulurkan segelas air minum pada rekannya itu. “Emang rada nggak waras tuh cewek.”Sandra menyesap sedikit minuman yang ditawarkan Wuri. Adrenalinnya berangsur turun. “Maaf, Pak. Jadi mengganggu Bapak.”Barra menggeleng. “Nad emang begitu. Kalau sudah terobsesi sama orang, dia bakal ngelakuin apa aja.”“Bapak kenal Mbak Nadine udah lama?” Sandra penasaran.“Belum ada setahun, tapi aku pernah denger tentangnya dulu.” Barra menepuk pundak asisten seketarisnya. “Kalau memang kamu nggak nyaman, biar nanti kubilang satpam agar nggak mengijinkannya masuk. Lagi pula, dia kan nggak berkepentingan sama perusahaan.”Sandra segera menggeleng. “Nggak usah, Pak. Aku yakin tadi Mbak Nadia cuma salah paham aja, kok.” lagi pula, dia kan teman bosnya
Langkah Nadine berderap ketika memasuki sebuah kantor. Matanya tampak memerah. Wajahnya tertekuk. Seorang polisi dari devisi khusus menghentikannya. Polisi itu masih tampak muda dan rupanya merupakan orang baru yang ditugaskan di sana.“Maaf, Mbak, ada keperluan apa? Bisa saya bantu?”“Gue mau ketemu Papa.” Nadine mendelik.“Papa?” Polisi itu mengernyit. Ia mematikan HT-nya yang berkemeresak sejak tadi. Ia melihat orang-orang yang baru datang ke kantor tersebut semuanya mengantre. Namun, gadis itu tidak. Instingnya sebagai polisi terusik. Ia curiga. “Nama Papa Mbak siapa? Sudah daftar antrean belum?”Mata Nadine memelotot. “Lo baru, ya?”Polisi itu tampak bingung. Tak lama kemudian, temannya yang lebih senior datang. Tergopoh-gopoh, temannya itu meminta maaf. Ia mendorong polisi muda itu supaya pergi dan mengambil alih tugas. “Mari, mari, Non Nadine. Saya antar ke ruangan Pak Direktur.”Nadine melirik sinis polisi muda itu sebentar sebelum berderap mengikuti polisi yang lebih senior t
“Jadi, jadi, apa yang lo tahu tentang Sandra?” Nadine tak sabar. Ia bertanya tepat ketika selesai memesan minuman. Ia mengajak Wulan ke sebuah kafe di dekat kantor ayahnya. “Duh, sabar dong, Mbak! Saya kan haus! Minum dulu, ya! Tenggorokan saya udah kering, nih! Sakit dipakai ngomong terus.” Wanita itu tak mau menyia-nyiakan kesempatan ditraktir. Ia memesan minuman kelas wahid yang sempat viral di aplikasi berlambang sebuah not. “Alah! Dasar!” Terpaksa Nadine menahan diri untuk tidak mengatai wanita itu. Ia tak boleh membuat Wulan marah. Ia terancam tak mendapat informasi tentang aib rivalnya. Gadis itu mengetuk-ngetukkan jemarinya pada meja. Kakinya bergerak-gerak gelisah. Matanya mengamati setiap pelayan yang berlalu-lalang melewatinya, membawa nampan berisi minuman untuk orang lain. “Mas! Pesanan gue bisa dipercepat, nggak?” tanyanya dengan nada songong. Para pengunjung lain meliriknya sinis, tetapi diam saja. tak ada yang berani menegur gadis itu. Mereka tak mau ribut. “Bentar