Langkah Nadine berderap ketika memasuki sebuah kantor. Matanya tampak memerah. Wajahnya tertekuk. Seorang polisi dari devisi khusus menghentikannya. Polisi itu masih tampak muda dan rupanya merupakan orang baru yang ditugaskan di sana.“Maaf, Mbak, ada keperluan apa? Bisa saya bantu?”“Gue mau ketemu Papa.” Nadine mendelik.“Papa?” Polisi itu mengernyit. Ia mematikan HT-nya yang berkemeresak sejak tadi. Ia melihat orang-orang yang baru datang ke kantor tersebut semuanya mengantre. Namun, gadis itu tidak. Instingnya sebagai polisi terusik. Ia curiga. “Nama Papa Mbak siapa? Sudah daftar antrean belum?”Mata Nadine memelotot. “Lo baru, ya?”Polisi itu tampak bingung. Tak lama kemudian, temannya yang lebih senior datang. Tergopoh-gopoh, temannya itu meminta maaf. Ia mendorong polisi muda itu supaya pergi dan mengambil alih tugas. “Mari, mari, Non Nadine. Saya antar ke ruangan Pak Direktur.”Nadine melirik sinis polisi muda itu sebentar sebelum berderap mengikuti polisi yang lebih senior t
“Jadi, jadi, apa yang lo tahu tentang Sandra?” Nadine tak sabar. Ia bertanya tepat ketika selesai memesan minuman. Ia mengajak Wulan ke sebuah kafe di dekat kantor ayahnya. “Duh, sabar dong, Mbak! Saya kan haus! Minum dulu, ya! Tenggorokan saya udah kering, nih! Sakit dipakai ngomong terus.” Wanita itu tak mau menyia-nyiakan kesempatan ditraktir. Ia memesan minuman kelas wahid yang sempat viral di aplikasi berlambang sebuah not. “Alah! Dasar!” Terpaksa Nadine menahan diri untuk tidak mengatai wanita itu. Ia tak boleh membuat Wulan marah. Ia terancam tak mendapat informasi tentang aib rivalnya. Gadis itu mengetuk-ngetukkan jemarinya pada meja. Kakinya bergerak-gerak gelisah. Matanya mengamati setiap pelayan yang berlalu-lalang melewatinya, membawa nampan berisi minuman untuk orang lain. “Mas! Pesanan gue bisa dipercepat, nggak?” tanyanya dengan nada songong. Para pengunjung lain meliriknya sinis, tetapi diam saja. tak ada yang berani menegur gadis itu. Mereka tak mau ribut. “Bentar
Undangan itu datangnya begitu misterius. Ada di laci kerja meja Sandra ketika wanita itu akan pulang. Ia baru saja selesai menemani Barra rapat dengan perusahaan periklanan. Banyak premis-premis bagus yang mereka tawarkan, wanita itu sampai bingung memilihnya. Akan tetapi tidak dengan Barra. Lelaki itu tahu persis apa yang menjadi kelebihan product-nya, sehingga ia dapat memilih dengan mudah premis iklan yang mampu menonjolkan keunggulan barang produksinya.Mereka kembali ke kantor dengan hati puas setelah melihat contoh video iklan product terbaru. Karena hari sudah sangat sore, Barra menawari Sandra tumpangan pulang. Gadis itu tidak menolak. Jadi, ia segera kembali ke meja dan mengemasi barangnya.Ia menemukan undangan itu tepat ketika akan menyimpan tablet ke laci. Undangan itu berbentuk seperti kartu, dengan latar belakang warna biru tua. Tintanya berwarna cokelat keemasan, sehingga tampak elegan. Tulisannya pun sederhana, bahwa Sandra diharap dapat menghadiri reuni bersama teman-
“Kamu apa-apaan sih, Nad?” Barra menggeleng tak percaya mendapati tingkah Nadine yang dianggapnya norak. "Kamu pikir aku bakal senang kamu berbuat seperti itu?"“Kenapa? Harusnya lo berterima kasih sama gue, Bar! Gue udah tunjukin sifat asli cewek itu ke elo!”“Sifat asli?” Barra mendengkus. Ia berkacak pinggang. Bobotnya ia tumpukan pada satu kaki. “Justru kamu yang udah nunjukin sifat aslimu yang norak itu padaku. Apa kamu nggak sadar?” Ia merentangkan tangan, menunjuk semua orang yang tengah memperhatikan mereka. “Kamu telah mempermalukan dirimu sendiri.”Lelaki itu berbalik, berniat mengejar Sandra. Akan tetapi tangannya dicekal oleh Nadine.“Lo bilang lo nggak suka sama gue karena gue udah pernah tidur sama cowok lain. Sekarang, buka mata lo! Sandra itu janda!”Barra menggertakkan giginya. Ia berbalik menghadap gadis itu. Tatapannya begitu dingin dan berbahaya. Ia bahkan mengepalkan tangan erat-erat. Ia semata-mata menahan diri karena Nadine perempuan. “Otak kamu ke mana, sih? Ak
Bagi Barra tak ada wanita secantik wanita itu. Bukan karena dia berparas rupawan. Bukan pula karena dia memakai barang branded untuk melengkapi penampilan. Sehari-hari dia hanya mengenakan baju biasa. Kulitnya tidaklah putih, tetapi setidaknya bersih. Rambutnya juga tidak kinclong, seperti rambut artis pada iklan sampo di televisi.Barra mencintai wanita itu karena pribadinya yang lembut dan bersemangat.Mulanya ia bertemu wanita ini ketika masih berkuliah. Barra bukanlah anak orang kaya. Ia ditinggal ayahnya dulu. Ibunya membuka warung mi utnuk menghidupi sang anak. Ketika lulus SMA, Barra bertekad akan mencari uang sendiri untuk membayar uang kuliahnya. Dia sampai pontang panting mencari objekan. Menjadi kuli pun dilakoninya.Pada semester ke-dua, ia berkenalan dengan dunia online. Ia jadi memiliki angan-angan membuat game sendiri. Jurusan yang diambilnya pun memungkinkan dia menggapai cita-citanya. Namun, membuat game tidaklah semudah yang ia pikir. Selain programnya yang rumit, ia
Chandra amat terkejut ketika pulang dan mendapati kakaknya menangis sesenggukan di pintu. Tubuh sang kakak duduk meringkuk, menyandarkan punggungnya ke daun pintu yang menjeblak. Kepalanya menunduk, bersembunyi di antara lutut yang tertekuk. Bahunya berguncang.Tergopoh-gopoh, pemuda itu menghampiri sang kakak. Dugaan pertamanya adalah sang kakak menangis karena rumah mereka kemalingan. Ia memeluk bahu kakaknya, sembari mengamati ruang tamu yang rapi. Mungkin maling itu langsung menyasar kamar dan tak menghiraukan ruang tamu. Meski begitu, ia sempat melihat televisi di ruang tengah yang mengintip. Ia jadi terheran-terheran.“Mbak,” panggilnya lembut. “Apanya yang hilang?”Sang kakak takj menjawab. Ia terisak.“Nggak apa-apa, besok pasti dapat ganti yang lebih baik,” hiburnya.Sandra mengangkat kepalanya. Ia mengusap pipinya yang basah dengan punggung tangan. Masih sesenggukan, ia menggeleng. Meski omongan Chandra berbeda presepsi, tetapi kata-katanya begitu pas bagi Sandra.“Mbak ngga
Chandra menarik sang kakak supaya berdiri, kemudian memeluknya erat. “Aku sayang kamu, Mbak. Jangan nangis lagi. Orang lain boleh anggap kamu pembohong, penggoda, iblis, apa pun, tapi bagiku kamu adalah kakakku. Kamu kakakku yang hebat, kuat, dan mandiri.”Sandra menangis haru. Ia melepas pelukannya, kemudian mengambil setelan kerjanya ke kamar mandi. Benar kata adiknya, Sandra salah karena berbohong, dan dia berhutang minta maaf pada Barra dan teman-temannya di kantor. Dia juga harus berani menghadapi masalahnya. Sebab, terus-terusan berdiam diri di kamar tak ada manfaatnya baginya.Setelah bersiap-siap, Sandra menyegat bus di halte depan gang rumahnya. Seperempat jam kemudian, ia sudah sampai di kantor. Dengan langkah berari, ia membuka pintu. Ia mengawasi orang-orang yang melewatinya, dan tak ada yang berbeda pada pandangan mereka.Ketika bertemu Gladis di meja informasi, ia menyapa.“Mbak Sandra sudah sehat?”Kening wanita itu mengerut. “Sehat?”“Iya, Pak Barra bilang kalau untuk
Bodoh, bodoh, bodoh! Sandra kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya ia melihat tanda-tanda itu sejak dulu, saat pertama kalinya mendapati pancaran mata Barra yang memandangnya dengan hangat, saat sentuhan-sentuhan lelaki itu ketika di Jembatan Kanopi, dan saat lelaki itu memberikan kalung kepadanya. Seharusnya dia sudah menyadari. Namun, dia terlalu takut, terlalu minder, dan terlalu memikirkan kemungkinan-kemuninan yang belum tentu terjadi, sehingga terus-menerus menyangkal perasaan itu. Ia terlalu pengecut untuk mengungkapkan perasaannya. Trauma telah membuatnya menolak hati laki-laki. Padahal jauh di dalam lubuk hati wanita itu, ia sangat mendambakan cinta. Ia ingin sekali dincintai, apalagi oleh Barra. Sandra ingat bagaimana bosnya menemaninya setelah tercebur di kolam saat acara gathering dulu. Lelaki itu bahkan sampai demam karena tak sempat berganti pakaian. Dan ketika membuat bubur untuk lelaki itu, ia sempat berangan-angan membuat masakan lain untuk Barra. Ia juga ingat ke