Entah beruntung atau sial, pesawat yang akan membawanya ke Swiss akan terbang dua jam lagi. Sandra kembali ke rumah dan mencari paspor. Untungnya ketemu dan lega ketika mendapati masa berlakunya belum habis. Akan tetapi karena sibuk mencari paspor, ia sampai tak sempat berkemas. Alhasil, ia hanya membawa baju seadanya. Ia bahkan tak sempat menggunakan koper, hanya tas ransel yang diisi beberapa pakaian.Setelah semua beres, Sandra bergegas ke bandara. Ia sempat menulis catatan untuk sang adik sebelum pergi. Sesampainya di bandara, wanita itu nyaris terlambat. Ia segera berlari ke bagian pemeriksaan kemudian masuk pesawat.Pramugari menuntunnya ke sebuah kursi di dekat jendela. Darah Sandra mendesir saat pesawat bertolak. Ia sampai mencengkeram lengan kursi kuat-kuat. Matanya terpejam ketika terjadi turbulensi, mulutnya komat-kamit berdoa.Ia belum mau mati. Ia belum mengutarakan perasaannya untuk Barra. Ia masih ingin melihat lelaki itu.Setelah pesawat kembali tenang, Sandra baru bis
Barra membolak-balik ponselnya di pangkuan. Ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Niatnya pergi ke luar negeri salah satunya adalah untuk bekerja. Ia harus melakukan lobi dengan duta besar pihak Indonesia di Arab supaya eksport product barunya lancar. Selain itu ia juga ingin melupakan patah hatinya.Akan tetapi, apa ini? Mengapa tahu-tahu Sandra meneleponnya dan berkata sedang ada di Swiss, dengan alasan ingin menyusulnya? Aneh sekali. Ia mengira dirinya dipermainkan. Mungkin ada seseorang yang iseng terhadapnya. Namun, setelah diteliti kembali, nomor yang meneleponnya memang nomor milik Sandra. Suara yang didengarnya pun suara wanita itu.Apakah penipu sekarang sudah secanggih itu? Hingga dapat meniru suara maupun nomor telepon orang yang membuat hatinya remuk redam? Akan tetapi, kalau memang penipu, mengapa pula tahu tentang seluk beluk patah hatinya?Barra menggeleng kuat-kuat. Ia sampai tak fokus. Padahal sekarang ia tengah makan malam dengan sang duta besar.Ia l
Jantung Sandra rasanya ingin melompat keluar setiap melewati lantai demi lantai hotel. Meski lelah, tak sedikit pun keinginan untuk tidur datang. Tangannya yang digenggam Barra terasa lembap. Mereka berjalan ke kamar yang telah dipesan dalam diam. Pelayan membawakan koper dan tas ransel mereka di belakang.Begitu masuk kamar, kecanggungan sungguh terasa. Dengan wajah memerah, Sandra ijin membersihkan diri di kamar mandi. Air di sana hangat, malah cenderung panas. Namun, hal itu membuat Sandra merasa nyaman. Ia membersihkan diri, sembari berpikir yang tidak-tidak. Begitu selesai, Barra sudah menunggunya. Lelaki itu berbaring di ranjang, dengan selimut menutupi setengah badannya. Kaus dengan leher bentuk v dipakainya. Rambutnya yang acak-acakan semakin menambah ketampanannya. Dan matanya setengah terpejam ketika melihat Sandra mendekat.“Akan kubuatkan kopi,” ujar Sandra menunjuk dapur.Barra menggeleng. Ia menepuk ranjang di sampingnya, isyarat agar Sandra berbaring di sana. Darah wan
Untuk sejenak, kening Sandra mengerut. Matanya memandang mata Barra dengan penuh selidik. Ia mencari ketidakseriusan dari lelaki itu, tetapi tak menemukannya. Lelaki itu sungguh-sungguh dengan pertanyaannya.Sebenarnya Sandra ingin menjawab ya, tetapi hatinya ragu. Bukankah mereka baru saja menyatakan perasaannya masing-masing? Apakah tidak terlalu cepat untuk mereka menuju ke jenjang selanjutnya? Dan bagaimana dengan sikap orang-orang di lingkungan Barra nanti? Apakah mereka akan menerimanya? Secara, ia bukanlah seorang gadis, bukan pula dari keluarga kaya.“Kenapa?” Barra bertanya. “Kamu ragu denganku?” Ia menurunkan kepalanya, mencium bibir Sandra. “Aku mencintaimu.”Darah Sandra berdesir setiap mendengar penyataan cinta dari lelaki itu. Tubuhnya secara otomatis menjawab sentuhan sang lelaki. Meski begitu, hatinya masih meragu untuk bersanding dengan Barra dan menjadi istrinya.“Apa menurutmu aku terlalu cepat?” tanya lelaki itu lagi. Ia belum melepaskan ciumannya.“Hm-m.” Hanya it
Sandra menautkan jemarinya dengan gelisah. Matanya memandang penuh harap pada Barra yang duduk di sampingnya. Ia berharap kekasihnya itu mau mengabulkan permintaannya.“Kenapa?” alih-alih jawaan, pertanyaan itu malah terlontar dari bibir sang kekasih. Kenng Barra tertaut melihat gestur Sandra. “Kenapa ingin menyembunyikan hubungan kita?”“Ya, nggak apa-apa, sih. Aku belum siap aja.” Sandra tak bisa jujur terhadap Barra. Ia tak mungkin mengatakan alasan sebenarnya, bahwa dia takut dicerca, dihina, dan direndahkan karena tak sebanding dengan kekasihnya itu. itu adalah masalah priadinya. Ia tak mau menambah beban pada Barra.Lelaki itu pun mengernyit mendengar alasan Sandra. “Apanya yang belum siap?”“Yah ....” Sandra menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Belum siap go publick aja. Kamu kan terkenal. Nyatanya dulu aja pas kita ke pesta Pak Walikota bersama, namaku sudah tercantum di berita online esoknya.”Bibir Barra mengerucut. Keningnya berkerut semakin dalam. Kalau sudah berpose sepe
Sandra melemparkan tasnya ke meja kantor sembarangan. Satu tangannya sibuk memegangi cangkir kopi untuk sang bos. Hari ini harus bekerja sendiri. Wuri tak hadir. Wanita itu bilang tubuhnya drop karena melembur selama Sandra ke Swiss.Jantung Sandra berdetak lebih kencang ketika membawa kopinya ke depan pintu kantor Barra. Ia gugup. Sejenak, ia menyugar rambutnya dengan satu tangan yang bebas agar tampak lebih rapi. Ia juga menarik ujung kemejanya sebelum mengetuk pintu.Ia lalu masuk. Dengan senyum mengembang, ia meletakkan cangkir kopi ke meja sang bos. Sebisa mungkin, ia menghindari tatapan sang bos, yang membuat wajahnya merona, dengan menunduk. Namun, ketika ia mendongak hendak mengucap selamat pagi, ia tak mendapati Barra duduk di kursinya.Wanita itu heran. Pasalnya tadi Gladis bilang telah melihat mobil Barra. Biasanya lelaki itu langsung naik ke kantornya lewat lift khusus yang tersedia di tempat parkir. Seharusnya, lelaki itu sudah ada di kantor. Namun, nyatanya Barra tak ada
Sandra meremas jemarinya dengan gugup. Keringat sebiji jagung mengalur dari dahinya. Padahal, AC di tempatnya berada cukup dingin. Keringat itu muncul bukan faktor lingkungan, melainkan dari dalam diri Sandra sendiri. Takut, khawatir, dan rasa tak enak lain memicunya.Mata wanita itu tertuju pada Bu Dina yang melakukan panggilan telepon dengan rekan kerjanya. Duduknya gelisah. Rasa ingin merebut ponsel mulik ibunda dari bosnya begitu kuat sampai-sampai tangannya gatal. Namun, tentu saja ia mungkin melakukan hal itu. Kurang ajar namanya. Padahal baginya penting sekali menjaga penilaian Bu Dina terhadapany.“Udah deh, Wur, kamu ngaku aja. Kamu pasti tahu sesuatu tentang ceweknya Barra,” kata ibu itu setelah telepon tersambung.Samar-samar, suara Wuri terdengar dari ponsel Bu Dina. “Ya ampun, Din. Kamu kenapa sih ngotot banget pengen segera tahu? Nggak lama lagi anakmu bakal kenalin ke kamu.”Bu Dina mendecakkan lidah. “Apaan? Enggak, tuh. Dia malah menghindar terus.”“Kenapa menghindar?
Wajah Sandra memerah. Ia langsung menunduk begitu seorang gadis membuka pintu pintu ruangan Barra. Ia juga menggeser duduknya, menjauh dari lelaki itu.Berbeda dengannya, Barra justru marah. Mukanya tertekuk. “Kamu yang apa-apaan? Main masuk ke ruangan orang lain tanpa mengetuk pintu.” Ia bangkit, menghampiri tamunya yang tak tak diundang.Bukannya jengah karena bersikap tak sopan, tamu itu pun menghampiri sofa. Matanya menelisik kotak bekal di meja depan sofa. “Apa, nih? Kamu bikin makanan murahan buat Barra?”“Nad!” Barra menarik lengan gadis itu. Ia lalu menuntunnya ke arah pintu. Namun, belum juga melangkah, gadis itu menepis cengkeraman.“Buatapa lo berbuat kayak gitu? Biar mendapat perhatian dari Barra?” tanya Nadine dengan sinis. Matanya masih memandang Sandra yang menahan diri di sofa. “Lo mau meracuni Barra, ya?”“Cukup, Nad! Keluar!” Lelaki itu membentak.Nadine terkejut. Matanya menatao Barra dengan nanar. “Lo serius pilih dia, Bar?“Iya! Aku belain Sandra. Kenapa?”Nadine
Acara wisuda itu amat lancar. Setelah para tamu datang, para wisudawan dan wisudawati duduk di tepatnya. Setelahnya para dekan dan tamu kehormatan melakukan sambutan-sambutan di depan mimbar yang telah disediakan. Kemudian mahasiswa pilihan menyampaikan pidato perpisahannya. Setelah semuanya selesai, acara penyerahan ijazah secara simbolik dilakukan. Masing-masing wisudawan dan wisudawati dipanggil namanya supaya ke depan. Prestasi mereka disebut, begitupun dengan pesan yang sebelumnya mereka tulis.Sandra tak bisa menyembunyikan air mata harunya ketika nama sang adik disebut. Chandra bukanlah mahasiswa yang pandai hingga mendapat cum laude. Meski begitu, ia disebut sebagai mahasiswa paling rajin dan bekerja paling keras.Sandra jadi teringat dulu, ketika dia berbicara berdua dengan adiknya perihal uang kulian.“Mbak minta maaf,” katanya duduk di rumah kontrakan yang mereka tinggali sampai sekarang. “Mbak nggak bisa lagi ikut bayar uang kuliahmu. Soalnya suami Mbak nggak ngizinin Mbak
Sandra tahu bahwa tidak mungkin sepasang suami istri dapat bekerja di perusahaan yang sama. Ia tahu kalau salah satu dari mereka harus mengalah. Sebab, atasan mereka tidak menginginkan masalah perusahaan dicampuradukkan ke masalah pribadi. Meski mereka yakin tak bakal melakukannya pun tetap saja manusia bisa khilaf. Jadi, perusahaan tak mau ambil risiko.Akan tetapi, bagaimana dengan sepasang kekasih? Bahkan belum tentu nantinya mereka akan tetap bersama. Bisa saja mereka bakal putus di tengah jalan. Namun, apakah salah satu dari mereka harus mengalah? Kalau memang begitu, dalam kasusnya tentu Sandralah yang mestinya mengundurkan diri. Tidak mungkin Barra. Sebab, lelaki itu seorang pemimpin perusahaan.Jika Barra keluar, bagaimana nasib perusahaan? Sandra jadi teringat perkataan Lusi dulu tentang perusahaannya yang lama. Pemimpin mereka memutuskan mengundurkan diri. Kepemipinan diambil alih sepenuhnya oleh perusahaan asing.Alhasil para karyawan seperti Lusi diperas tenaganya habis-ha
Bisik-biik terdengar bagai dengung lebah di lobi kantor Aksara Group. Para karyawan yang baru kembali dari makan siang maupun yang sedang menunggu lift syok meelihat bos mereka menggandeng asisten seketarisnya dengan mesra.“Jadi, kabar itu beneran?”“Wah, kok bisa ya?”“Beruntung banget itu si Sandra ... iya, kan, namanya Sandra?”“Pakai pelet apa ya dia?”Pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka bisiskkan ke telinga tean sebelahnya.Sementara itu, Sandra yang mendadak menjadi pusat perhatian orang-orang pun mencoba melepas genggaman Barra terhadapnya. “Pak, ini kan di kantor,” bisiknya, “nanti orang-orang salah paham.”“Salah paham apa?” Barra balik bertanya. Ia mengeratkan genggamannya, dan secara terang-terangan menunjukkan pada khalayak. “Nggak ada kesalahpahaman di antara kita. Dan, ya!” Ia berkata dengan lantang, seolah mengumumkan pada semua orang. “Kami memang berpacaran.”“Tuh, kan, bener kata Wulan dulu. Si Sandra itu emang penggoda. Kabarnya dia juga matre. Makanya ngelamar k
Dampak yang Sandra alami setelah beredarnya podcast itu langsung terasa begitu jam istirahat kantor berlangsung. Karena tak enak hati telah menyembunyikan hubungannya dari Gladis, ia berniat meminta maaf dan mengajak gadis itu makan siang bersama. Apalagi kemarin dia sudah berjanji. Demi memperbaiki hubungannya dengan Gladis, Sandra bahkan rela menolak ajakan makan siang bersama Barra.Sandra keluar kantor, menuju lift sembari membawa dompet. Ia berencana menraktir Gladis. Ketika lift terbuka, ia melihat beberapa orang di dalamnya. Orang-orang itu segera bungkam begitu melihat Sandra masuk ke lift.Di lantai di bawahnya, lift kembali terbuka. Dua orang yang Sandra kenali adalah bagian HRD, teman Wulan dulu masuk. Mereka berdiri di depan Sandra.“Eh, kamu udah nonton podcast Mbak Nadine belum?” cetus salah satu gadis tadi kepada temannya. Matanya melirik ke arah Sandra dengan sengit.“Udah. Cantik banget ya, Mbak Nadine di podcast itu. Mana lucu lagi orangnya,” sahut temannya.Sombong
Tangan Sandra gemetar ketika melihat ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi tertampil. Gladis menepati janjinya dengan mengirim link podcast itu kepada Sandra.Meski begitu, Sandra enggan membukanya segera. Ia takut. Mengingat respons Gladis tadi, ia tak sanggup melihat isi podcast. Meskipun demikian ia penasaran siapa yang telah lancang mengusik privasinya.Sandra menenangkan hatinya. Sebagai pacar Barra, kejadian ini tak bisa dia hindari lagi. Seperti yang diutarakan Bu Dina kemarin, ia harus siap.Mendadak, jantung Sandra berdetak lebih kencang. Jempolnya ragu memencet layar ponsel. Ia lantas mendesah. Mungkin ia akan melihatnya nanti saja, kalau sudah siap. Lagi pula, ia masih bekerja. Ia harus fokus pada pekerjaannya.Sandra memasukkan ponselnya ke saku. Ia mulai membuka folder pada komputernya dan kembali mengatur jadwal Barra. Sebuah email yang sudah dikirim beberapa hari yang lalu membuatnya mengernyit.Email tersebut berisi undangan dari kampus sang adik. Sekilas, Sandra berpi
Rasa penasaran Sandra sudah mencapai puncak. Pasalnya, ia tak bisa lagi mereka siapa kiranya yang tega menyebar kabar tersebut secepat ini. Ditambah respon Barra yang malah minta maaf, ia menjadi tak sabar. “Memangnya siapa yang bicara kepada wartawan tentang tatusmu? Dan kenapa pula kamu minta maaf?”Barra menarik Sandra mendekat ke kursinya. Tangannya merangkul pinggang wanita itu. Kepalanya mendongak, menatap sang kekasih dengan mata lebar, seperti kucing yang menyesal karena ketahuan mencuri ikan di dapur. “Mama,” jawabnya singkat.Sandra terkejut. “Apa?” Ia memastikan dirinya bahwa tak salah mendengar.“Mamaku.” Barra mengedikkan bahu. “Makanya aku minta maaf. Tapi beliau kan nggak ngasih tahu kalau pacarku itu kamu jadi masih aman.”“Tapi, kenapa?” Sandra mengernyit. Ia ingn marah, namun tak bisa.Belum sempat menjawab, ponsel Barra berdering. Lelaki itu mengamati layar ponselnya kemudian memberitahu, “Nih, coba tanya sendiri. Beliau menelepon.”Sandra menggigit bibir bawahnya.
“Bu-bukan, kok!” Sandra segera menepis dugaan Gladis. Ia belum siap jujur pada gadis itu. Bukan karena tidak mempercayai Gladis. Hanya saja, banyak orang di sana. Ia takut seseorang mendengarnya dan akhirnya tersebarlah kabar tersebut.Bibir Gladis mengerucut. Matanya masih memandang Sandra penuh selidik. “Tapi masa iya Mbak Sandra sama sekali nggak tahu tentang ceweknya Pak Bos? Mbak kan yang paling dekat. Coba nanti kutanya Mbak Wuri, ah!”“Jangan!” Sandra segera mencegah.Gladis semakin curiga. “Kenapa?”Otak Sandra bekerja keras mencari alasan yang logis. “Mbak Wuri kan gitu orangnya. Agak ketus kalau ditanya soal privasi bosnya.”“Oh, ya?” Gadis itu pun mengernyit, seakan mengingat-ingat kenangan masa lalu. “Saya belum pernah nanya hal-hal pribadi sama dia sih. Emang orangnya gitu, ya? Pantas nggak ada wartawan yang berani nanya-nanya tentang Pak Barra sama dia.”Sandra mengangguk-angguk dengan khidmat. Saking banyaknya masalah yang dipikirkan wanita itu kemarin, ia sampai lupa
Mulanya Sandra yakin bakal mampu menjalani konsekuensi yang mungkin bakal terjadi ketika menjadi pacar CEO muda paling berpengaruh di dunia bisnis. Namun, hal itu terjadi sebelum ia kembali masuk kantor.Pagi itu ia mulai merapikan dirinya. Meski Bu Dina sudah bilang bahwa bukan penampilan yang mesti ia urus, tetapi tetap saja, ia ingin tampak cantik ketika bertemu dengan Barra. Kini ia merias wajahnya supaya tampak segar. Ia juga memulas lipstik baru. Selain itu, ia mengenakan blus dan rok span selutut. Ketika keluar kamar, Chandra sempat mengejeknya.“Mau kerja apa mau pacaran, Mbak?”Sandra merengut. Ia mencubit perut sang adik dengan gemas. “Enak aja. Kerja, dong!”“Sambil menyelam, minum air ya, Mbak?” Pemuda itu terkikik.“Apaan sih? Nggak lucu tau!” Akan tetapi, Sandra mengulum senyum. Ia memasukkan bekal yang sudah disiapkan ke tas. “Hari Rabu kamu wisuda, kan?”Chandra mengangguk. “Jangan lupa hadir ya, Mbak. Masa punya kakak satu enggak mau hadir di wisuda adiknya. Kebangeta
Sandra pernah mengalaminya dulu ketika meminta izin Bu Utami menikahi Alex. Pertanyaan yang sama sempat keluar dari bibir calon mertuanya itu. Meski menggunakan nada bicara yang berbeda, tetap saja efek yang ditimbulkan sama menyesakkannya.Waktu itu ia dan Alex makan malam di rumah Bu Utami.“Kamu kan tahu, Alex itu pangkatnya tinggi, nggak kayak kamu yang cuma wakil. Memang kamu bisa menyetarakan dirimu di samping anakku?” tanya Bu Utami dengan hidung mengernyit. Matanya memandang Sandra seakan-akan wanita itu tikus yang menjijikkan.“Saya sanggup, Tante,” jawab Sandra penuh percaya diri. ”Saya mencintai anak Tante. Saya akan lakukan apa pun untuk membuat Alex bahagia.”Bu Utami mendecakkan lidah. “Ya sudah, kalau gitu suruh orang tuamu kemari.”Sejenak, Sandra tertegun. Ia tertegun bukan karena orang tuanya yang tak bisa menemui Bu Utami karena sudah meninggal. Ia tertegun karena harus membawa orang tuanya menemui Bu Utami. Bukankah seharusnya orang tua dari pihak laki-laki yang da