Sandra melemparkan tasnya ke meja kantor sembarangan. Satu tangannya sibuk memegangi cangkir kopi untuk sang bos. Hari ini harus bekerja sendiri. Wuri tak hadir. Wanita itu bilang tubuhnya drop karena melembur selama Sandra ke Swiss.Jantung Sandra berdetak lebih kencang ketika membawa kopinya ke depan pintu kantor Barra. Ia gugup. Sejenak, ia menyugar rambutnya dengan satu tangan yang bebas agar tampak lebih rapi. Ia juga menarik ujung kemejanya sebelum mengetuk pintu.Ia lalu masuk. Dengan senyum mengembang, ia meletakkan cangkir kopi ke meja sang bos. Sebisa mungkin, ia menghindari tatapan sang bos, yang membuat wajahnya merona, dengan menunduk. Namun, ketika ia mendongak hendak mengucap selamat pagi, ia tak mendapati Barra duduk di kursinya.Wanita itu heran. Pasalnya tadi Gladis bilang telah melihat mobil Barra. Biasanya lelaki itu langsung naik ke kantornya lewat lift khusus yang tersedia di tempat parkir. Seharusnya, lelaki itu sudah ada di kantor. Namun, nyatanya Barra tak ada
Sandra meremas jemarinya dengan gugup. Keringat sebiji jagung mengalur dari dahinya. Padahal, AC di tempatnya berada cukup dingin. Keringat itu muncul bukan faktor lingkungan, melainkan dari dalam diri Sandra sendiri. Takut, khawatir, dan rasa tak enak lain memicunya.Mata wanita itu tertuju pada Bu Dina yang melakukan panggilan telepon dengan rekan kerjanya. Duduknya gelisah. Rasa ingin merebut ponsel mulik ibunda dari bosnya begitu kuat sampai-sampai tangannya gatal. Namun, tentu saja ia mungkin melakukan hal itu. Kurang ajar namanya. Padahal baginya penting sekali menjaga penilaian Bu Dina terhadapany.“Udah deh, Wur, kamu ngaku aja. Kamu pasti tahu sesuatu tentang ceweknya Barra,” kata ibu itu setelah telepon tersambung.Samar-samar, suara Wuri terdengar dari ponsel Bu Dina. “Ya ampun, Din. Kamu kenapa sih ngotot banget pengen segera tahu? Nggak lama lagi anakmu bakal kenalin ke kamu.”Bu Dina mendecakkan lidah. “Apaan? Enggak, tuh. Dia malah menghindar terus.”“Kenapa menghindar?
Wajah Sandra memerah. Ia langsung menunduk begitu seorang gadis membuka pintu pintu ruangan Barra. Ia juga menggeser duduknya, menjauh dari lelaki itu.Berbeda dengannya, Barra justru marah. Mukanya tertekuk. “Kamu yang apa-apaan? Main masuk ke ruangan orang lain tanpa mengetuk pintu.” Ia bangkit, menghampiri tamunya yang tak tak diundang.Bukannya jengah karena bersikap tak sopan, tamu itu pun menghampiri sofa. Matanya menelisik kotak bekal di meja depan sofa. “Apa, nih? Kamu bikin makanan murahan buat Barra?”“Nad!” Barra menarik lengan gadis itu. Ia lalu menuntunnya ke arah pintu. Namun, belum juga melangkah, gadis itu menepis cengkeraman.“Buatapa lo berbuat kayak gitu? Biar mendapat perhatian dari Barra?” tanya Nadine dengan sinis. Matanya masih memandang Sandra yang menahan diri di sofa. “Lo mau meracuni Barra, ya?”“Cukup, Nad! Keluar!” Lelaki itu membentak.Nadine terkejut. Matanya menatao Barra dengan nanar. “Lo serius pilih dia, Bar?“Iya! Aku belain Sandra. Kenapa?”Nadine
Sandra seolah tengah berada di jembatan putus dengan ngarai di bawahnya. Ia serba salah. Andai ia memilih bergerak ke kiri, ia akan jatuh ke jurang. Ke kanan pun demikian. Ia tak bisa kembali. Jadi, ia merasa terjebak.Ia tahu bahwa cepat atau lambat, ia harus jujur terhadap Bu Dina tentang hubungannya dengan Barra. Akan tetapi ia belum siap menerima konsekuensi yang mungkian bakal diterimanya nanti.Namun begitu, ia juga tak bisa terus menghindar. Apalagi Nadine sudah mengetahui hubungan itu. Cepat atau lambat gadis itu akan memberitahu dunia. Dan tentunya, Bu Dina pun bakal tahu juga.Kalau sudah begitu, Sandra akan mendapatkan kebencian dari wanita tersebut. Bahkan tak hanya dia yang akan menerima kebencian itu, Barra pun. Pasalanya sudah beberapa kali ia mendengar ancaman Bu Dina yang bakal marah besar kalau sampai mendengar hubungan anaknya dari orang lain.Sandra dapat membayangkan Bu Dina bakal marah pada Barra dan dirinya. Kemungkinan paling bururknya adalah, beliau memutus hu
Sudah ketiga kalinya Sandra mencopot baju, menggantinya dengan pakaian lain yang menurutnya lebih sesusai. Ia bertekad mendapatkan kesan yang baik dari Bu Dina. Jadi dengan hati-hati ia memilih pakaiannya. Bukankah penampilan itu penting? Apalagi untuk acara yang bakal dihadirinya.Setelah mengenakan gaun selutut yang roknya sedikit mengembang, ia mematutkan di cermin. Ia membolak-balik badannya, kemudian kecewa. Gaun yang baru saja dikenakannya tampak tidak sopan. Lututnya terlalu terekspos. Apalagi gaun itu tidak memeliki lengan.Wanita itu membuka lemarinya, menyingkirkan gaun-gaun yang dianggapnya terbuka. Namun, ketika menemukan gaun yang tertutup, warnanya tidak cocok dengan acara itu. Ia mendesah.Chandra yang melihatnya dari pintu pun menggeleng pelan. “Memang ada acara penting apa, sih, Mbak? Sampai-sampai semua baju kamu keluarin dari lemari.”Sandra menengok ekilas. Ia mengambil setelan panjang dari lemari, menempelkannya ke badan dan bercermin. “Barra mau ngenalin aku ke m
Kepercayaan diri Sandra amblas ketika mendapati Nadine duduk di samping Bu Dina. Mendadak, napasnya terasa sesak. Jantungnya mencelus. Bagaimana mungkin ia bisa makan malam bersama gadis itu di depan Bu Dina? Wanita setengah baya itu pasti membandingkan dirinya dengan Nadine dan akhirnya dirinyalah yang bakal kalah. Ia merasa tak ada apa-apanya dibanding Nadine.Perut Sandra kembali melilit-lilit. Ia tak bisa meneruskan perkenalan itu. Ia lantas berbalik dan menuju pintu keluar resto. Barra yang melihat perubahan sikapnya pun mengikuti. Lelaki itu bahkan meraih pergelangan tangannya, menahannya.“Kenapa? Ada apa?” tanyanya khawatir.Sanda menggeleng. Wajahnya pucat.“Kamu sakit?” tanya lelaki itu lagi. “Nggak. Aku cuma—““Jangan pedulikan Nadine,” sahut Barra segera. “Aku nggak tahu mengapa dia bisa sampai sama Mama. Tapi, kumohon, jangan pedulikan dia.”Belum sempat Sandra menjawab, gadis yang bersama Bu Dina itu berseru, memanggil Barra dengan lantang. Ia bahkan melambaikan tangann
Sandra merasa malu sekali. Ia tak kuat menghadapi tekanan dari Nadine. Ia berniat bangkit dan meninggalkan makan malam tersebut. Akan tetapi, baru juga mengangkat bokongnya sedikit, Barra mencengkeram tangannya, mencegahnya pergi.“Memang apa salahnya kalau dia janda, Ma?” tanya lelaki itu tanpa nada menyinggung.“Ya enggak apa-apa, sih,” jawab Bu Dina.“Masa nggak apa-apa, Tante? Nanti gimana kesan orang-orang tentang Barra? Bisa-bisa, dia diremehin.” Nadine masih mencoba memprovokasi wanita setengah baya itu.Sandra menoleh, menatap apa pun selain ekspresi Bu Dina. Ia tak mau dilibatkan dalam percakapan itu walau sebenarnya ia ingin sekali menutup mulut Nadine dengan plester.“Buat apa mementingkan perasaan orang yang meremehkan orang lain hanya karena nggak sesuai dengan pemikiran mereka?” Barra membalas. “Bukankah lebih baik kita menghindari orang-orang toxic seperti itu?”“Gimana kalau mereka adalah orang-orang yang lo butuhin?” Nadine tak mau kalah.Barra mendengkus. “Dibutuhka
Sandra pernah mengalaminya dulu ketika meminta izin Bu Utami menikahi Alex. Pertanyaan yang sama sempat keluar dari bibir calon mertuanya itu. Meski menggunakan nada bicara yang berbeda, tetap saja efek yang ditimbulkan sama menyesakkannya.Waktu itu ia dan Alex makan malam di rumah Bu Utami.“Kamu kan tahu, Alex itu pangkatnya tinggi, nggak kayak kamu yang cuma wakil. Memang kamu bisa menyetarakan dirimu di samping anakku?” tanya Bu Utami dengan hidung mengernyit. Matanya memandang Sandra seakan-akan wanita itu tikus yang menjijikkan.“Saya sanggup, Tante,” jawab Sandra penuh percaya diri. ”Saya mencintai anak Tante. Saya akan lakukan apa pun untuk membuat Alex bahagia.”Bu Utami mendecakkan lidah. “Ya sudah, kalau gitu suruh orang tuamu kemari.”Sejenak, Sandra tertegun. Ia tertegun bukan karena orang tuanya yang tak bisa menemui Bu Utami karena sudah meninggal. Ia tertegun karena harus membawa orang tuanya menemui Bu Utami. Bukankah seharusnya orang tua dari pihak laki-laki yang da