Sudah ketiga kalinya Sandra mencopot baju, menggantinya dengan pakaian lain yang menurutnya lebih sesusai. Ia bertekad mendapatkan kesan yang baik dari Bu Dina. Jadi dengan hati-hati ia memilih pakaiannya. Bukankah penampilan itu penting? Apalagi untuk acara yang bakal dihadirinya.Setelah mengenakan gaun selutut yang roknya sedikit mengembang, ia mematutkan di cermin. Ia membolak-balik badannya, kemudian kecewa. Gaun yang baru saja dikenakannya tampak tidak sopan. Lututnya terlalu terekspos. Apalagi gaun itu tidak memeliki lengan.Wanita itu membuka lemarinya, menyingkirkan gaun-gaun yang dianggapnya terbuka. Namun, ketika menemukan gaun yang tertutup, warnanya tidak cocok dengan acara itu. Ia mendesah.Chandra yang melihatnya dari pintu pun menggeleng pelan. “Memang ada acara penting apa, sih, Mbak? Sampai-sampai semua baju kamu keluarin dari lemari.”Sandra menengok ekilas. Ia mengambil setelan panjang dari lemari, menempelkannya ke badan dan bercermin. “Barra mau ngenalin aku ke m
Kepercayaan diri Sandra amblas ketika mendapati Nadine duduk di samping Bu Dina. Mendadak, napasnya terasa sesak. Jantungnya mencelus. Bagaimana mungkin ia bisa makan malam bersama gadis itu di depan Bu Dina? Wanita setengah baya itu pasti membandingkan dirinya dengan Nadine dan akhirnya dirinyalah yang bakal kalah. Ia merasa tak ada apa-apanya dibanding Nadine.Perut Sandra kembali melilit-lilit. Ia tak bisa meneruskan perkenalan itu. Ia lantas berbalik dan menuju pintu keluar resto. Barra yang melihat perubahan sikapnya pun mengikuti. Lelaki itu bahkan meraih pergelangan tangannya, menahannya.“Kenapa? Ada apa?” tanyanya khawatir.Sanda menggeleng. Wajahnya pucat.“Kamu sakit?” tanya lelaki itu lagi. “Nggak. Aku cuma—““Jangan pedulikan Nadine,” sahut Barra segera. “Aku nggak tahu mengapa dia bisa sampai sama Mama. Tapi, kumohon, jangan pedulikan dia.”Belum sempat Sandra menjawab, gadis yang bersama Bu Dina itu berseru, memanggil Barra dengan lantang. Ia bahkan melambaikan tangann
Sandra merasa malu sekali. Ia tak kuat menghadapi tekanan dari Nadine. Ia berniat bangkit dan meninggalkan makan malam tersebut. Akan tetapi, baru juga mengangkat bokongnya sedikit, Barra mencengkeram tangannya, mencegahnya pergi.“Memang apa salahnya kalau dia janda, Ma?” tanya lelaki itu tanpa nada menyinggung.“Ya enggak apa-apa, sih,” jawab Bu Dina.“Masa nggak apa-apa, Tante? Nanti gimana kesan orang-orang tentang Barra? Bisa-bisa, dia diremehin.” Nadine masih mencoba memprovokasi wanita setengah baya itu.Sandra menoleh, menatap apa pun selain ekspresi Bu Dina. Ia tak mau dilibatkan dalam percakapan itu walau sebenarnya ia ingin sekali menutup mulut Nadine dengan plester.“Buat apa mementingkan perasaan orang yang meremehkan orang lain hanya karena nggak sesuai dengan pemikiran mereka?” Barra membalas. “Bukankah lebih baik kita menghindari orang-orang toxic seperti itu?”“Gimana kalau mereka adalah orang-orang yang lo butuhin?” Nadine tak mau kalah.Barra mendengkus. “Dibutuhka
Sandra pernah mengalaminya dulu ketika meminta izin Bu Utami menikahi Alex. Pertanyaan yang sama sempat keluar dari bibir calon mertuanya itu. Meski menggunakan nada bicara yang berbeda, tetap saja efek yang ditimbulkan sama menyesakkannya.Waktu itu ia dan Alex makan malam di rumah Bu Utami.“Kamu kan tahu, Alex itu pangkatnya tinggi, nggak kayak kamu yang cuma wakil. Memang kamu bisa menyetarakan dirimu di samping anakku?” tanya Bu Utami dengan hidung mengernyit. Matanya memandang Sandra seakan-akan wanita itu tikus yang menjijikkan.“Saya sanggup, Tante,” jawab Sandra penuh percaya diri. ”Saya mencintai anak Tante. Saya akan lakukan apa pun untuk membuat Alex bahagia.”Bu Utami mendecakkan lidah. “Ya sudah, kalau gitu suruh orang tuamu kemari.”Sejenak, Sandra tertegun. Ia tertegun bukan karena orang tuanya yang tak bisa menemui Bu Utami karena sudah meninggal. Ia tertegun karena harus membawa orang tuanya menemui Bu Utami. Bukankah seharusnya orang tua dari pihak laki-laki yang da
Mulanya Sandra yakin bakal mampu menjalani konsekuensi yang mungkin bakal terjadi ketika menjadi pacar CEO muda paling berpengaruh di dunia bisnis. Namun, hal itu terjadi sebelum ia kembali masuk kantor.Pagi itu ia mulai merapikan dirinya. Meski Bu Dina sudah bilang bahwa bukan penampilan yang mesti ia urus, tetapi tetap saja, ia ingin tampak cantik ketika bertemu dengan Barra. Kini ia merias wajahnya supaya tampak segar. Ia juga memulas lipstik baru. Selain itu, ia mengenakan blus dan rok span selutut. Ketika keluar kamar, Chandra sempat mengejeknya.“Mau kerja apa mau pacaran, Mbak?”Sandra merengut. Ia mencubit perut sang adik dengan gemas. “Enak aja. Kerja, dong!”“Sambil menyelam, minum air ya, Mbak?” Pemuda itu terkikik.“Apaan sih? Nggak lucu tau!” Akan tetapi, Sandra mengulum senyum. Ia memasukkan bekal yang sudah disiapkan ke tas. “Hari Rabu kamu wisuda, kan?”Chandra mengangguk. “Jangan lupa hadir ya, Mbak. Masa punya kakak satu enggak mau hadir di wisuda adiknya. Kebangeta
“Bu-bukan, kok!” Sandra segera menepis dugaan Gladis. Ia belum siap jujur pada gadis itu. Bukan karena tidak mempercayai Gladis. Hanya saja, banyak orang di sana. Ia takut seseorang mendengarnya dan akhirnya tersebarlah kabar tersebut.Bibir Gladis mengerucut. Matanya masih memandang Sandra penuh selidik. “Tapi masa iya Mbak Sandra sama sekali nggak tahu tentang ceweknya Pak Bos? Mbak kan yang paling dekat. Coba nanti kutanya Mbak Wuri, ah!”“Jangan!” Sandra segera mencegah.Gladis semakin curiga. “Kenapa?”Otak Sandra bekerja keras mencari alasan yang logis. “Mbak Wuri kan gitu orangnya. Agak ketus kalau ditanya soal privasi bosnya.”“Oh, ya?” Gadis itu pun mengernyit, seakan mengingat-ingat kenangan masa lalu. “Saya belum pernah nanya hal-hal pribadi sama dia sih. Emang orangnya gitu, ya? Pantas nggak ada wartawan yang berani nanya-nanya tentang Pak Barra sama dia.”Sandra mengangguk-angguk dengan khidmat. Saking banyaknya masalah yang dipikirkan wanita itu kemarin, ia sampai lupa
Rasa penasaran Sandra sudah mencapai puncak. Pasalnya, ia tak bisa lagi mereka siapa kiranya yang tega menyebar kabar tersebut secepat ini. Ditambah respon Barra yang malah minta maaf, ia menjadi tak sabar. “Memangnya siapa yang bicara kepada wartawan tentang tatusmu? Dan kenapa pula kamu minta maaf?”Barra menarik Sandra mendekat ke kursinya. Tangannya merangkul pinggang wanita itu. Kepalanya mendongak, menatap sang kekasih dengan mata lebar, seperti kucing yang menyesal karena ketahuan mencuri ikan di dapur. “Mama,” jawabnya singkat.Sandra terkejut. “Apa?” Ia memastikan dirinya bahwa tak salah mendengar.“Mamaku.” Barra mengedikkan bahu. “Makanya aku minta maaf. Tapi beliau kan nggak ngasih tahu kalau pacarku itu kamu jadi masih aman.”“Tapi, kenapa?” Sandra mengernyit. Ia ingn marah, namun tak bisa.Belum sempat menjawab, ponsel Barra berdering. Lelaki itu mengamati layar ponselnya kemudian memberitahu, “Nih, coba tanya sendiri. Beliau menelepon.”Sandra menggigit bibir bawahnya.
Tangan Sandra gemetar ketika melihat ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi tertampil. Gladis menepati janjinya dengan mengirim link podcast itu kepada Sandra.Meski begitu, Sandra enggan membukanya segera. Ia takut. Mengingat respons Gladis tadi, ia tak sanggup melihat isi podcast. Meskipun demikian ia penasaran siapa yang telah lancang mengusik privasinya.Sandra menenangkan hatinya. Sebagai pacar Barra, kejadian ini tak bisa dia hindari lagi. Seperti yang diutarakan Bu Dina kemarin, ia harus siap.Mendadak, jantung Sandra berdetak lebih kencang. Jempolnya ragu memencet layar ponsel. Ia lantas mendesah. Mungkin ia akan melihatnya nanti saja, kalau sudah siap. Lagi pula, ia masih bekerja. Ia harus fokus pada pekerjaannya.Sandra memasukkan ponselnya ke saku. Ia mulai membuka folder pada komputernya dan kembali mengatur jadwal Barra. Sebuah email yang sudah dikirim beberapa hari yang lalu membuatnya mengernyit.Email tersebut berisi undangan dari kampus sang adik. Sekilas, Sandra berpi