Jantung Sandra rasanya ingin melompat keluar setiap melewati lantai demi lantai hotel. Meski lelah, tak sedikit pun keinginan untuk tidur datang. Tangannya yang digenggam Barra terasa lembap. Mereka berjalan ke kamar yang telah dipesan dalam diam. Pelayan membawakan koper dan tas ransel mereka di belakang.Begitu masuk kamar, kecanggungan sungguh terasa. Dengan wajah memerah, Sandra ijin membersihkan diri di kamar mandi. Air di sana hangat, malah cenderung panas. Namun, hal itu membuat Sandra merasa nyaman. Ia membersihkan diri, sembari berpikir yang tidak-tidak. Begitu selesai, Barra sudah menunggunya. Lelaki itu berbaring di ranjang, dengan selimut menutupi setengah badannya. Kaus dengan leher bentuk v dipakainya. Rambutnya yang acak-acakan semakin menambah ketampanannya. Dan matanya setengah terpejam ketika melihat Sandra mendekat.“Akan kubuatkan kopi,” ujar Sandra menunjuk dapur.Barra menggeleng. Ia menepuk ranjang di sampingnya, isyarat agar Sandra berbaring di sana. Darah wan
Untuk sejenak, kening Sandra mengerut. Matanya memandang mata Barra dengan penuh selidik. Ia mencari ketidakseriusan dari lelaki itu, tetapi tak menemukannya. Lelaki itu sungguh-sungguh dengan pertanyaannya.Sebenarnya Sandra ingin menjawab ya, tetapi hatinya ragu. Bukankah mereka baru saja menyatakan perasaannya masing-masing? Apakah tidak terlalu cepat untuk mereka menuju ke jenjang selanjutnya? Dan bagaimana dengan sikap orang-orang di lingkungan Barra nanti? Apakah mereka akan menerimanya? Secara, ia bukanlah seorang gadis, bukan pula dari keluarga kaya.“Kenapa?” Barra bertanya. “Kamu ragu denganku?” Ia menurunkan kepalanya, mencium bibir Sandra. “Aku mencintaimu.”Darah Sandra berdesir setiap mendengar penyataan cinta dari lelaki itu. Tubuhnya secara otomatis menjawab sentuhan sang lelaki. Meski begitu, hatinya masih meragu untuk bersanding dengan Barra dan menjadi istrinya.“Apa menurutmu aku terlalu cepat?” tanya lelaki itu lagi. Ia belum melepaskan ciumannya.“Hm-m.” Hanya it
Sandra menautkan jemarinya dengan gelisah. Matanya memandang penuh harap pada Barra yang duduk di sampingnya. Ia berharap kekasihnya itu mau mengabulkan permintaannya.“Kenapa?” alih-alih jawaan, pertanyaan itu malah terlontar dari bibir sang kekasih. Kenng Barra tertaut melihat gestur Sandra. “Kenapa ingin menyembunyikan hubungan kita?”“Ya, nggak apa-apa, sih. Aku belum siap aja.” Sandra tak bisa jujur terhadap Barra. Ia tak mungkin mengatakan alasan sebenarnya, bahwa dia takut dicerca, dihina, dan direndahkan karena tak sebanding dengan kekasihnya itu. itu adalah masalah priadinya. Ia tak mau menambah beban pada Barra.Lelaki itu pun mengernyit mendengar alasan Sandra. “Apanya yang belum siap?”“Yah ....” Sandra menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Belum siap go publick aja. Kamu kan terkenal. Nyatanya dulu aja pas kita ke pesta Pak Walikota bersama, namaku sudah tercantum di berita online esoknya.”Bibir Barra mengerucut. Keningnya berkerut semakin dalam. Kalau sudah berpose sepe
Sandra melemparkan tasnya ke meja kantor sembarangan. Satu tangannya sibuk memegangi cangkir kopi untuk sang bos. Hari ini harus bekerja sendiri. Wuri tak hadir. Wanita itu bilang tubuhnya drop karena melembur selama Sandra ke Swiss.Jantung Sandra berdetak lebih kencang ketika membawa kopinya ke depan pintu kantor Barra. Ia gugup. Sejenak, ia menyugar rambutnya dengan satu tangan yang bebas agar tampak lebih rapi. Ia juga menarik ujung kemejanya sebelum mengetuk pintu.Ia lalu masuk. Dengan senyum mengembang, ia meletakkan cangkir kopi ke meja sang bos. Sebisa mungkin, ia menghindari tatapan sang bos, yang membuat wajahnya merona, dengan menunduk. Namun, ketika ia mendongak hendak mengucap selamat pagi, ia tak mendapati Barra duduk di kursinya.Wanita itu heran. Pasalnya tadi Gladis bilang telah melihat mobil Barra. Biasanya lelaki itu langsung naik ke kantornya lewat lift khusus yang tersedia di tempat parkir. Seharusnya, lelaki itu sudah ada di kantor. Namun, nyatanya Barra tak ada
Sandra meremas jemarinya dengan gugup. Keringat sebiji jagung mengalur dari dahinya. Padahal, AC di tempatnya berada cukup dingin. Keringat itu muncul bukan faktor lingkungan, melainkan dari dalam diri Sandra sendiri. Takut, khawatir, dan rasa tak enak lain memicunya.Mata wanita itu tertuju pada Bu Dina yang melakukan panggilan telepon dengan rekan kerjanya. Duduknya gelisah. Rasa ingin merebut ponsel mulik ibunda dari bosnya begitu kuat sampai-sampai tangannya gatal. Namun, tentu saja ia mungkin melakukan hal itu. Kurang ajar namanya. Padahal baginya penting sekali menjaga penilaian Bu Dina terhadapany.“Udah deh, Wur, kamu ngaku aja. Kamu pasti tahu sesuatu tentang ceweknya Barra,” kata ibu itu setelah telepon tersambung.Samar-samar, suara Wuri terdengar dari ponsel Bu Dina. “Ya ampun, Din. Kamu kenapa sih ngotot banget pengen segera tahu? Nggak lama lagi anakmu bakal kenalin ke kamu.”Bu Dina mendecakkan lidah. “Apaan? Enggak, tuh. Dia malah menghindar terus.”“Kenapa menghindar?
Wajah Sandra memerah. Ia langsung menunduk begitu seorang gadis membuka pintu pintu ruangan Barra. Ia juga menggeser duduknya, menjauh dari lelaki itu.Berbeda dengannya, Barra justru marah. Mukanya tertekuk. “Kamu yang apa-apaan? Main masuk ke ruangan orang lain tanpa mengetuk pintu.” Ia bangkit, menghampiri tamunya yang tak tak diundang.Bukannya jengah karena bersikap tak sopan, tamu itu pun menghampiri sofa. Matanya menelisik kotak bekal di meja depan sofa. “Apa, nih? Kamu bikin makanan murahan buat Barra?”“Nad!” Barra menarik lengan gadis itu. Ia lalu menuntunnya ke arah pintu. Namun, belum juga melangkah, gadis itu menepis cengkeraman.“Buatapa lo berbuat kayak gitu? Biar mendapat perhatian dari Barra?” tanya Nadine dengan sinis. Matanya masih memandang Sandra yang menahan diri di sofa. “Lo mau meracuni Barra, ya?”“Cukup, Nad! Keluar!” Lelaki itu membentak.Nadine terkejut. Matanya menatao Barra dengan nanar. “Lo serius pilih dia, Bar?“Iya! Aku belain Sandra. Kenapa?”Nadine
Sandra seolah tengah berada di jembatan putus dengan ngarai di bawahnya. Ia serba salah. Andai ia memilih bergerak ke kiri, ia akan jatuh ke jurang. Ke kanan pun demikian. Ia tak bisa kembali. Jadi, ia merasa terjebak.Ia tahu bahwa cepat atau lambat, ia harus jujur terhadap Bu Dina tentang hubungannya dengan Barra. Akan tetapi ia belum siap menerima konsekuensi yang mungkian bakal diterimanya nanti.Namun begitu, ia juga tak bisa terus menghindar. Apalagi Nadine sudah mengetahui hubungan itu. Cepat atau lambat gadis itu akan memberitahu dunia. Dan tentunya, Bu Dina pun bakal tahu juga.Kalau sudah begitu, Sandra akan mendapatkan kebencian dari wanita tersebut. Bahkan tak hanya dia yang akan menerima kebencian itu, Barra pun. Pasalanya sudah beberapa kali ia mendengar ancaman Bu Dina yang bakal marah besar kalau sampai mendengar hubungan anaknya dari orang lain.Sandra dapat membayangkan Bu Dina bakal marah pada Barra dan dirinya. Kemungkinan paling bururknya adalah, beliau memutus hu
Sudah ketiga kalinya Sandra mencopot baju, menggantinya dengan pakaian lain yang menurutnya lebih sesusai. Ia bertekad mendapatkan kesan yang baik dari Bu Dina. Jadi dengan hati-hati ia memilih pakaiannya. Bukankah penampilan itu penting? Apalagi untuk acara yang bakal dihadirinya.Setelah mengenakan gaun selutut yang roknya sedikit mengembang, ia mematutkan di cermin. Ia membolak-balik badannya, kemudian kecewa. Gaun yang baru saja dikenakannya tampak tidak sopan. Lututnya terlalu terekspos. Apalagi gaun itu tidak memeliki lengan.Wanita itu membuka lemarinya, menyingkirkan gaun-gaun yang dianggapnya terbuka. Namun, ketika menemukan gaun yang tertutup, warnanya tidak cocok dengan acara itu. Ia mendesah.Chandra yang melihatnya dari pintu pun menggeleng pelan. “Memang ada acara penting apa, sih, Mbak? Sampai-sampai semua baju kamu keluarin dari lemari.”Sandra menengok ekilas. Ia mengambil setelan panjang dari lemari, menempelkannya ke badan dan bercermin. “Barra mau ngenalin aku ke m