Di rumah sakit, Barra tak pernah meninggalkan Sandra. Ia juga tak pernah melepas genggamannya. Bahkan, ketika dokter memeriksa pun, dengan setia ia di sampingnya sampai-sampai dokter mengira bahwa ia suami Sandra. Maka dari itu, ketika ia berbisik, meminta agar Sandra divisum tanpa ketara pun, sang dokter bersedia.Sandra sendiri tak mengerti ketika sang dokter bertanya hal-hal yang detail kepadanya. Namun, karena ia percaya secara penuh kepada sang ahli kesehatan, ia menjawab dengan jujur. Termasuk pertanyaan tentang kronologi luka-luka yang didapat wanita itu.Setelah selesai, masih menggunakan selimut untuk menutupi tubuh, Sandra masuk ke mobil Barra. Ia kepikiran tentang adiknya. Andai sang adik melihat keadaannya yang sekarang, sudah pasti ia akan mengamuk, menyalahkan Barra atas sesuatu yang menimpanya. Padahal bukan lelaki itu yang menyakitinya.“Pak,” panggil Sandra malu-malu. Ia menggigit bibirnya sebentar sebelum berkata, “Tolong turunkan saya ke depan hotel. Hotel mana saja
Sandra berharap bosnya berhasil meyakinkan personalia utnuk memindahkannya kembali bersama Wuri. ia tak sanggup bekerja di bawah naungan Brian. Bahkan untuk satu hari. Maka, dengan jantung berdegup, ia bertanya, "Trus gimana, Mbak?" Dalam hati ia berdoa supaya harapannya terkabul.“Ya nggak ada terusannya. Besok kamu bisa kembali ke sini.” Jawaban Wuri membuat Sandra lega setengah mati.“Kalau nanti Brian atau Pak Romi marah gimana?” tanya wanita itu ragu-ragu.“Udah, nggak usah mikir macem-macem. Yang penting kamu besok nggak usah ke kantor si Bocah Manja lagi.”Setelah mengiayakan, Sandra melompat senang. Tak lama Pak No datang. Ia datang untuk mengantar Sandra ke mana pun wanita itu ingin pergi. Namun, yang diinginkannya hanya pulang.Chandra sudah berangkat kuliah saat wanita itu sampai di rumah. Jadi, ia tak perlu menjelaskan apa-apa kepada adiknya itu. Ia masih mengenakan kemeja Barra.Ia berniat mengirimnya kembali setelah dari penatu nanti, tetapi ketika memasukkannya ke dalam
Suasana dalam ruangan itu mendadak keruh. Masing-masing orang berbicara dengan teman di sebelahnya. Mereka mempertanyakan maksud sang CEO, yang mengumumkan pengunduran dirinya secara mendadak.“Kenapa? Apa yang salah dengannya?”“Mendadak sekali.”“Bagimana dengan perusahaan?”“Wah, kacau.”Wuri yang berdiri di belakang atasannya pun mendekat satu langkah. “Pak? Apa tidak terlalu terburu-buru?”“Saya belum selesai bicara,” katanya yang terdengar lantang oleh mikrofon di depan bibirnya, sehingga membuat para anggota dewan pemegang saham terdiam. Mereka kembali memusatkan perhatiannya kepada Barra yang berdiri di belakang meja tinggi.“Saya tahu Anda sekalian pasti khawatir terhadap jalannya perusahaan. Maka dari itu, saya mengusulkan untuk menerima saran dari Ketua Dewan kemarin,” tambahnya.Pak Romi berdeham. Ia menegakkan punggungnya dengan kaku. Orang-orang memandangnya sejenak, kemudian mulai berbisik dengan teman sebelahnya lagi.Barra melanjutkan, “Saya akan dengan senang hati me
Cinta bukan hal baru Sandra. Dia pernah mengalaminya dulu. Dia juga pernah merasakannya. Dia mencintai seseorang sampai-sampai rela berkoban untuknya, membuang segalanya untuk cinta itu. Namun, apa yang dia dapat kemudian? Tak ada.Meskipun demikian, bukan berarti Sandra tidak percaya lagi akan cinta. Dia hanya takut mencintai lagi. Maka dari itu, ketika sang bos mengungkapkan isi hatinya yang ingin melindungi, Sandra tak mau berharap. Ia tak mau sakit hati lagi.Hari masih sore ketika Sandra keluar dari kantor Aksara Group. Saat melewati meja informasi, Gladis memanggilnya.“Ada apa, Dis?” tanya Sandra mendekat.Dengan senyum ramah, gadis itu mengeluarkan sebungkus kotak kecil dengan pita menghiasi atasnya dari laci. Ia mengulurkan kotak tersebut kepada Sandra. “Selamat ulang tahun, Mbak.”“Oh!” Saking sibuknya, Sandra sendiri lupa hari ini adalah ulang tahunnya. Ia menerima kotak itu dengan haru. “Makasih.”“Tapi ini bukan dari saya.” Gladis terkikik.Sandra mengernyit. Ia mengamati
Barra tak mengerti alasan hatinya terasa sakit, seolah ada ular yang membelitnya. Buket bunga yang dipilihnya dengan hati-hati tergeletak begitu saja di jok sampingnya.Tadi setelah rapat ia dengan perasaan bingungnya mengungkapkan keinginan hati untuk melindungi Sandra. Walau wanita itu memberitahu bahwa perasaan yang dirasakan Barra hanyalah hal yang biasa dialami oleh pemimpin yang baik terhadap bawahannya, namun bagi Barra bukan seperti itu. Wuri juga bahawannya, tetapi keinginan untuk melindungi Wuri tidak sekuat keinginannya untuk melindungi wanita itu.Padahal, kalau ditelisik lebih jauh, Wuri bekerja lebih lama dari wanita itu. Ia juga sahabat ibunya. Tentunya kalau memang perasaan itu adalah hal yang biasa, Barra juga merasakannya perasaan itu sama besar terhadap Wuri. Namun nyatanya tidak.Dari pertama kali bertemu Sandra, lelaki itu sudah merasakan suatu perasaan yang tidak biasa. Bahkan waktu Sandra, mengenakan daster dan berpenampilan acak-acakan mencegat mobil yang diken
Chandra pernah melihat kakaknya sebegitu kecewanya seperti yang sekarang dia perlihatkan. Bahu kakaknya sampai merosot. Namun, Chandra tak tahu penyebab kakaknya seperti itu. Apakah karena ia tak menyetujui sang kakak dekat lagi dengan Alex? Rasanya bukan itu. Lantas apa? Mungkinkah ....Pemuda itu mendesah lega menyadari alasan kekecewaan sang kakak. Ia duduk di samping kakaknya, menarik bahu Sandra agar bersandar pada dadanya. “Aku lega karena yakin Mbak nggak akan balikan sama si Alex Bajing4n itu.”Sandra mengernyit. Ia mendorong dada sang adik dan bertanya, “Apa maksudmu?”“Mbak mencintai orang lain, kan?” Chandra berkata dengan yakin, “Mbak jatuh cinta pada Mas Barra.”Segera, Sandra menggeleng kuat. “Nggak,” jawabnya menyangkal. “Aku nggak jatuh cinta padanya.”“Iya! Mbak menyukai bos Mbak. Aku kenal kamu dari kecil. Kamu jatuh cinta pada bosmu, Mbak. Akui saja.”“Aku emang menyukai Pak Barra, Chan, tapi bukan jatuh cinta. Aku nggak berani mencintainya.” Sandra ragu sejenak. Ia
Mobil Barra merupakan mobil dengan merk Marcedes Benz S-Class empat pintu. Untuk dimuati lima orang memang bisa, tetapi pada jok penumpang belakang rada sempit. Meski Sandra, Wuri, dan Gladis tak keberatan berdesak-desakan, tetap saja Barra tak enak hati. Alhasil, ia meminta sang sopir mengalah.“Wah, jadi nggak enak, nih. Bapak yang harus nyupiri kita.” Gladis yang duduk di belakang bersama Wuri pun menyeletuk.“Nggak apa-apa. Mau gimana lagi? Besok biar kubeli mobil yang rada legaan.” Barra melirik Sandra sebentar.“Bisaaaaaa!” Gadis itu terdengar antusias. “Atau sekalian beli bus aja, Pak.”“Ya ampun ....” Wuri menimpali. “Emangnya buat apa minta bus, Dis?”“Iya, ih! Gladis nih ada-ada aja. Lagian kita kan nggak setiap hari pergi bersama-sama.” Sandra ikut menyahut.“Ya sudah, nanti aku beliin bus, tapi tukar nyawamu buat tumbal, ya?”"Tumbal apa, Pak?" Gladis mengernyit."Pesugihan," jawab Barra. "Memangnya kau pikir aku bisa sukses seperti ini dari mana kalau nggak pakai jasa jin
Sandra salah ketika tak menuruti adiknya kemarin. Seharusnya ia tak membiarkan Alex datang lagi ke kehidupannya. Seharusnya ia segera mengusir lelaki itu begitu menampakkan diri di pintu. Seharusnya ia bisa lebih tegas. Sekarang ia baru merasakan betapa mengganggunya lelaki itu.“Ngapain sih kamu kemari?” tanyanya begitu mobil Barra menjauh.“Aku nungguin kamu, Sayang. Aku kangen.” Alex merayu.Sandra mendecakkan lidah. Ia mengamati Alex yang masih memakai pakaian formal. Dulu ia menganggap lelaki itu tampan, dengan tubuhnya yang jangkung. Namun kini ia sadar bahwa pergelangan tangan mantan suaminya begitu kurus. Kulitnya memang putih, tetapi terlihat tak sehat karena terlalu pucat.Kemeja yang dikenakan Alex pun berantakan, dengan lipatan-lipatan tak beraturan. Bahkan bagian bawahnya keluar dari celana. Dulu ia menganggap penampilan seperti itu liar dan menggoda. Kini tidak lagi. Ia malah iba. Alex tampak seperti anak yang tak terurus.“Jangan panggil aku Sayang. Aku sudah bukan istr