Seorang pria tua dengan jubah putih kumal masih terikat rantai besi. Pria itu perlahan mulai membuka kedua matanya dan menatap pada asal suara. "Dirja, apakah itu kamu, Le?" tanya pria itu. "Benar, ini Dirja, Tuan. Anak pria kecil yang dulu Anda tolong," jawab Dirja. "Suaramu sudah berbeda menandakan bahwa kamu tumbuh besar sekarang, bagaimana kabar keluarga kamu, Le?" Dirja adalah sosok anak kecil yang kedua orang tuanya sempat dijatuhi hukuman pancung karena membela Galasbumi. Namun, akhirnya kedua terbebas dan Galasbumi dihukum penjara bawah tanah. "Berkat kesaksian palsu Anda seluruh kelurga kami bebas, Penasehat Galasbumi," jawab Dirja. "Lupakan pangkat tersebut. Yang utama adalah kabar keluarga dan calon penerus itu. Bagaimana?" tanya Galasbumi. Dirja merogoh saku celananya lalu menyerahkan pada Galasbumi. Pria tua itu menerima dan meraba apa yang telah diberi pemuda tersebut. Kedua matanya seketika membuka sempurna. "Ini, apakah benar?""Maaf, Ki Galas, ada apa dengan k
Sepeninggal Gayatri, Galasbumi hanya menghela napas panjang. Setiap hari pria tua itu hanya diam menata jalan napasnya. Cukup lama dia mendekam di sana bersama udara lembab dan pengap. Namun, tidak sedikitpun semangatnya putus Meskipun sesekali pada malam hari mantan istrinya berkunjung dia tetap tidak mau berpihak pada yang salah. Selama ini hatinya berkata bahwa masih ada lentera terang yang akan melawan kebatilan dan keserakahan. "Kau telah salah langkah, Gayatri. Sepertinya setiap kedatanganmu pun sudah membawa kabar terbaru bagiku, sayang semua itu tidak kau sadari," gumam Galasbumi. Perlahan pria tua itu merangkak menuju tempat yang sedikit lebih kering, di sana dia segera duduk sila dan mulai menata ulang jalan napasnya. Pelan-pelan dia mulai memejamkan mata dan konsentrasi untuk satu titik. Galasbumi mulai membuka kembali satu per satu segel yang dia buat sendiri. Selama ini dia tidak bodoh, sengaja semua kekuatannya disegel sendiri agar tidak terendus oleh beberapa pungga
Kembali di mana Jagat berada. Sejak ditinggal pergi Akshita tanpa kabar, Jagat kembali berkelana tak tentu arah. Langkah kakinya hanya mengikuti arah angin. Kini dia berdiri di tepian hutan larangan, yang mana hutan itu telah me jadi kekuasaan Kerajaan Bumi Seloka. Tidak boleh ada yang masuki hutan tersebut apapun alasannya. Akan tetapi karena larangan tersebut membuat hati Jagat bergetar hebat begitu tapak kaki kanannya mulai menginjak tanah hutan. Nalurinya mengabarkan bahwa dia harus masuki hutan tersebut apapun halangannya. "Apakah kamu yakin, Pangeran?" tanya Ki Cadek. "Iya, jiwaku seakan membawaku untuk masuki lebih dalam hutan ini. Seperti ajaran yang telah Aki beri, kata hati lebih utama daripada pola pikir."Jagat pun melangkah masuki hutan dengan kewaspadaan yang cukup tinggi. Terlihat kedua bola matanya menyipit kala dilihatnya sekelebat bayangan wanita cantik berkemben cokelat dengan rambut tergerai panjang. "Hai, tunggu!" teriak Jagat lantang. Bayangan itu menghilang
Pria itu diam menatap pada tangan kanan Jagat yang memegang kujang tanpa tiga permata paling ujung. Jagat mengikuti arah pandang pria tersebut, bibirnya tersenyum."Ternyata tidak hanya kaum muda yang inginkan kujang ini, melainkan yang tua pun juga masih inginkan senjata ini," kata Jagat."Aku hanya ingin amankan senjata tersebut dari tangan yang tidak berhak saja, tidak lebih," jawab pria tersebut."Tidak berhak? Tahu darimana Anda jika saya tidak berhak tas senjata ini?" Hening, pria tua itu tidak menjawab tanya Jagat membuat pemuda tersebut memindai sosok tua yang ada di hadapannya, "Atau jangan-jangan justru Anda lah yang berbohong atas identitas diri."Terdengar tawa terbahak yang menggetarkan tanah sekitar yang dipijak oleh Jagat. Bahkan kujang yang dipegangnya pun terasa ikut bergetar. Hal ini membuat Jagat paham akan tenaga dalam yang dimiliki oleh pria tua. Segera pemuda itu menutup beberapa jalan darah utama yang mungkin dapat diserang oleh pria tersebut. Tanpa disadari l
Tawa menggelegar kembali terdengar membuat Jagat seketika menutup kedua telinganya. Pemuda itu paham akan suara tawa pria tersebut. "Ternyata benar adanya info yang aku peroleh selama ini, bahwa pemuda yang dulu hanya pecundang kini telah berkembang pesat menjadi pendekar pilih tanding. Namun, sayangnya jiwanya sudah cacat mental," ejek pria tersebut. Jagat terdiam, otaknya mencerna lagi apa yang dikatakan oleh Sanggabumi. Tiba-tiba ingatannya kembali pada wanita yang dulu pernah dan masih mengisi relung hati terdalam. "Walau bagaimanapun wanita itu adalah putrimu sendiri, Begawan. Apakah ini yang kau maksud dengan tanggung jawab semu?" tanya Jagat. "Semua ada tujuannya, Jagat. Tetapi nyawamu yang harusnya sirna, bukan putriku. Bangsat!" umpat Sanggabumi. Usai mengumpat pria itu segera melesat dengan kekuatan penuh menerjang tubuh Jagat dengan tusukan pedang. Jagat segera menangkis setiap serangan pedang yang menusuk di beberapa organ tubuh dengan kujangnya. Begitu pedang itu ma
Tombak beracun milik Sanggabumi meluncur deras menuju ke jantung Jagat. Namun, tiba-tiba angin bertiup kencang hingga membelokkan arah tombak dan menembus ke pohon pisang. "Sialan, kau! Bangsat," umpat Sanggabumi. Kemudian dia melesat menyerang kembali di saat Jagat masih duduk sila dengan mata terpejam. Sanggabumi menyerang dengan ujung tombaknya, tetapi anehnya setiap serangannya selalu mental bahkan terasa kesemutan pada setiap ujung jarinya. Akhirnya tombak itu dilenyapkan dengan cara melempar ke udara. Lalu dia menyerang Jagat dengan menggunakan ajian pukulan pemecah batu. Sanggabumi mulai memfokuskan sumber daya yang tersisa pada kepalan tangan kanannya. Angin bertiup lebih kencang menerbangkan jubah putih milik begawan. Kemudian dengan segala kekuatan yang tersisa, Begawan Sanggabumi melontarkan pukulan pemecah batu yang baru saja dia kuasai beberapa purnama lalu. Jagat yang bisa merasakan deru angin yang berbeda pun merentangkan kedua lengannya lalu bergerak naik turun un
"Paman, nasi uduk satu porsi dengan ikan bakar tanpa sambel!" pesan Jagat di kedai makan. "Hai, bukankah kamu yang empat hari lalu datang bersama wanita muda? Lalu dimana dia?" tanya pemilik kedai. Jagat terhenyak kaget, dia tidak menyangka masih ada orang yang mengenalinya meskipun tampilannya sudah sedikit dirubah sebelum masuki kotaraja. Jagat mengulum senyum dan berkata, "Dia sudah pergi, Paman. Ada urusan yang harus dikerjakannya."Pemilik kedai yang biasa dipanggil dengan Ki Jayadi itu menganggukkan kepalanya beberapa kali tanda dia mengerti. Lalu disodorkan baki berisi pesanan, Jagat menerima baki tersebut dan berbalik badan lalu pandangannya beredar untuk mencari tempat kosong. Sebuah tangan melambai ke arahnya dan meminta Jagat agar duduk di bangku kosong tepat di depannya. Melihat arah tunjuk orang itu seketika senyum Jagat mengembang dan kakinya melangkah menuju ke sana. "Terima kasih, Ni," ucap Jagat lirih. Ternyata yang melambaikan tangan adalah seorang wanita denga
Tambun menatap pada sosok Jagat. Terlihat di matanya bahwa pemuda itu seakan bukan pria sembarangan hingga kedua matanya mengerjab berulang kali. Dalam pandangannya Jagat memiliki kekuatan yang bisa diandalkan. "Bisakah kamu bebaskan wanita di sana itu, Ki Sanak?" tanya tambun yang tidak memedulikan tanya Jagat. "Tetapi apa manfaat buatku, Paman? Aku hanya inginkan identitas ketiga pemuda di sana," balas Jagat. Tambun menyipit menatap lebih tajam dan jauh pada panggung yang terlihat tiga sosok pemuda. Lalu dia memalingkan wajahnya memandang wajah tampan Jagat, kemudian berpaling pada wanita yang dirantai di bawah tiang. "Sama," gumam pria tambun. "Di sana adalah Pangeran Abimana beserta dua pengawal baru pengganti Pangeran Kurubumi dan Jantaka, Ki Sanak," jawab pria tambun lagi. "Mengapa keduanya diganti, Paman?" tanya Jagat lagi. "Kabarnya keduanya sedang mengemban tugas ke wilayah barat, di sana terjadi keributan pengambil alihan kekuasaan," papar pria tambun. Jagat mengerutk
Akshita masih menatap wajah Jagat dengan lembut, kedua tangannya melingkar di leher kekar itu. Napasnya yang harum telah menyapa kulit leher Jagat. Sentuhan yang lama tidak menyapa kini mulai membangkitkan hasrat terpendam. Semilir angin telah mengganggu jiwa Jagat, dia tidak bisa menolak pesona sang dewi. Akshita masih mengumbar senyum manisnya dengan jari jemari berjalan naik turun di sepanjang leher kekasihnya. Jagat mulai bergolak, jakunnya naik turun dengan cepat membuat senyum Akshita makin memabukkan. "Bukan tidak rela, Kang. Tetapi lebih ingin memiliki seutuhnya semua milikmu termasuk jiwamu."Jagat bergerak merapatkan tubuhnya hingga membuat Akshita terduduk di pinggiran kolam. Selendang merah yang membungkus dadanya berkibar bersentuhan dengan angin hingga menampilkan tulang selangka yang indah. Jagat sudah tidak tahan lagi, maka dia menundukkan kepalanya dan melabuhkan kecupan ringan pada tulang selangka itu. Kecupan yang lembut dan penuh kasih belum mampu membangkitkan
Jagat Kelana menatap sosok pria muda di depannya. Bibirnya melengkung sempurna, lalu tangannya terangkat untuk memberi restu pada pria muda itu. Pria muda itu pun membujuk sesaat lalu terangkat menatap langsung pada manik mata Raja muda itu. Dia tersenyum tipis. "Bagaimana pola latihan mereka, Anakmas?"Pria muda itu mulai menjelaskan kemajuan latihan para prajurit yang selama ini dia latih. Semua telah berhasil hingga ke tingkat tengah kelas dua. "Apakah jadi mereka dipilih dan dikirim ke kerajaan sebelah, Ayahanda?""Iya, kerajaan itu belum memiliki prajurit handal satu pun. Siapa nama kamu, Anakmas?"Pria muda itu menatap pada Raja Singgalang, lalu bibirnya tersenyum dengan menyuarakan, " Airlangga Batinara."Jagat tersenyum, "berapa usiamu?""25 tahun masa alam kami."Jagat Kelana tersenyum, dia berdiri dan terbang mendekati sosok pria muda itu. Lalu dia berdiri di depan Airlangga, memeluknya erat. "Sudah sebesar ini baru kamu datang ke sini. Apakah tidak ingin tahu ayahmu?""
Malam yang begitu dingin membuat Jagat segera membawa tubuh istrinya masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan pun berlanjut hingga berulang kali. Ternyata tubuh yang memiliki struktur tulang yang rentan itu mampu menampung gairahnya hingga berulang kali. Prameswari merasa begitu bahagia telah membuat suaminya tersenyum puas. Akan tetapi, tubuh itu juga memiliki daya tahan yang rendah. Penyatuan yang dilakukan hingga menjelang pagi membuat tulang Prameswari seakan lepas kontrol. Tubuhnya menjadi lemas. "Tuan, Suamiku, maafkan aku! Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu," kata Prameswari dengan tatapan memohon. "Baiklah, kita sudahi dulu. Sekarang tidurlah!" balas Jagat. Setelah berkata itu, kedua mata Prameswari terpejam. Hal ini membuat Jagat khawatir, dia pun segera memeriksa kondisi tubuh istrinya. "Bagaimana bisa seperti ini, Nyai? Aku baru saja merasakan nyaman bersama tubuhmu, kamu terlanjur pingsan. Hadeh!"Jagat segera memakai jubahnya, lalu dia duduk sila di sisi ranjang. Kedua
Malam ini waktunya Jagat bersama Prameswari. Keduanya duduk di teras belakang paviliun. Jagat memilih duduk di tanah beralaskan rumput, sementara Prameswari duduk diam di sisi kanannya. "Duduk dekat sinilah, Istriku!" Prameswari menggeser tubuhnya dengan senyum yang dia sembunyikan. Kepalanya menunduk dalam, dia malu dengan pendekatan suaminya. Berbeda dengan Jagat, dia justru mulai merebahkan kepalanya pada paha Prameswari membuat wanita itu terdiam seketika. "Suami!" pekik Prameswari ringan. Dengan santainya Jagat mencari tempat ternyaman untuk kepalanya, lalu tangannya meraih jemari istrinya itu dan meletakkan pada kepalanya. "Bisa pijat di sini sebentar, Nyai!" Pinta Jagat dengan tatapan penuh harap. Prameswari tidak bisa bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun gemetaran menyentuh kepala suaminya. Perlahan disentuhnya rambut bergelombang pendek milik suaminya. 'Jantungku sepertinya mulai sakit," batin Prameswari merasa hatinya begitu senang be
"Nyai, kok malah melamun," kata Jagat lembut sambil melabuhkan sebuah kecupan hangat pada bibir istrinya. Mendapat sentuhan lembut seketika lamunan Akshita menghilang, lalu dia membalas ciuman Jagat lebih meminta. Keduanya larut dalam ciuman yang dalam. Cukup lama keduanya saling berbagi saliva, bahkan Jagat mulai menekan tubuh Akshita pada sandaran kursi kemudian dia duduk menyilang agar lebih dekat. "Kang!" panggil Akshita dengan nada berat. "Hemm."Jagat tidak melepaskan pelukannya dia justru mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke ayunan yang biasa di gunakan Jagat saat mengingat kenangan bersama Akshita. "Apakah di sini tidak akan mengganggu yang lainnya, Kang? Aku merindukanmu," bisik Akshita yang membuat gairah Jagat memuncak. "Tidak. Dan jangan remehkan kekuatanku saat ini, Nyai."Akshita tersenyum, jari jemarinya mulai bergerak perlahan membuka satu per satu kain penutup tubuh suaminya. Jagat membiarkan semua inginnya Akshita. Dia terlihat begitu menikmati apa pun y
Mendengar niat suaminya, Roro Wening pun menyiapkan segalanya yang biasa dilakukan Jahat sebelum penyatuan. Kali ini selir itu tidak mau ada yang tertinggal. Ini adalah pelajaran yang sudah dia pahami selama hidup bersama Jagat baik sebelum miliki kerajaan ataupun sudah. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Asih!" kata Roro Wening sambil menata beberapa benda yang harus dipakai oleh selir utama. "Nggeh, siap."Seorang dayang senior ikut membantu selur agung menyiapkan semua. Mulai dari aroma cendana hingga kain penutup kala penyatuan dimulai. Roro Wening juga memberikan beberapa catatan apa saja yang akan diucapkan sebelum tubuh Prameswari tersentuh. "Semua sudah siap, Kanjeng Ratu.""Jangan sebut nama itu, Asih. Semua belum resmi meskipun Yunda Akshita sudah datang menemaniku semalam.""Jika sudah seperti ini tidak mungkin akan lupa, Kanjeng Ratu. Niat Nyai Akshita sudah jelas bahkan putranya sendiri ditugaskan untuk menjaga kedamaian kerajaan ini lho," papar Asih--dayang senior.
Sinar mentari masuk di sela jendela kamar Roro Wening, hangatnya mampu membangunkan selir cantik dan seksi itu. Melihat istrinya mulai bangkit dari ranjang Jagat segera mendekat dan membantu istrinya itu. Perlakuan Jagat yang hangat membuat hati Roro Wening terharu. "Duduk sini dulu, tunggu kusiapkan air untuk kamu mandi!" kata Jagat. Roro Wening pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Jagat. Kemudian pria itu berdiri menuju ke balik pembatas anyaman bambu. Terdengar suara gemericik air yang dialirkan oleh Jagat. Setelah semua persiapan mandi istri selesai, Jagat keluar dari dalam lalu melangkah mengikis jarak dengan istrinya. Kemudian dengan lengannya diangkat tubuh istrinya ala bridal. "Turunkan aku, Suamiku!""Jangan banyak bergerak biar ndak jatuh!"Mendengar hal itu membuat Roro Wening mempererat pegangannya pada leher Jagat. Pria itu tersenyum melihat sikap istrinya, lalu dimasukkan perlahan tubuh Roro Wening ke dalam bak mandi. Tangan Jagat mulai bergerak membasuh punggung i
Udara dingin membuat tubuh Roro Wening menggigil parah. Bahkan muncul ruam merah hingga membuat salah satu dayang berlarian di sepanjang lorong peraduan raja. Dayang itu mendengar suara sang Raja berbicara dengan seorang wanita, bahkan suaranya begitu membuat bulu kuduk berdiri. Sebagai wanita dewasa dayang itu pasti paham suara apa yang dia dengar. Namun, dia lebih memilih tetap diam berdiri di depan pintu hingga suara itu menghilang. Cukup lama dayang itu berdiri di sana hingga pintu kamar Raja terbuka menampilkan sosok wanita yang begitu cantik dengan wajah bercahaya. "Masuklah!" Usia berkata wanita itu pergi sambil menarik selendang merahnya hingga membuat tubuhnya terbang. Peristiwa yang langka membuat wanita itu terpana dan takjub. Sungguh kejadian itu teramat langka. Suara Raja yang memanggilnya pun tidak mampu membuatnya lepas meninggalkan pemandangan itu. "Dayang, ada apa hingga larut malam kamu tidak istirahat?" Suara Jagat sudah begitu dekat dengan telinga dayang membu
Hari terus berlalu, kasim yang dipergoki oleh Roro Wening akhirnya dia mengaku mengapa perbuatan itu dilakukan. Dia juga mengaku semua dilakukan hanya untuk mengukur waktu. "Baik, jika semua ini atas perintah Raja sendiri maka mana buktinya?" tanya Nyai Ratu Zavia. Pemuda itu diam dengan kepala menunduk dalam. Dia memang diperintah oleh Raja Jagat tanpa ada surat tertulis. Hal ini membuat bibirnya bungkam, tetapi dalam hati menyalahkan tugas rahasia yang telah terungkap. "Jika untuk mengukur waktu, lalu semua itu atas tujuan apa?""Sebenarnya Raja Jagat Kelana sudah pulang, Ibu Ratu. Tetapi hal ini masih dalam mimpi semua penghuni kerajaan, maka dari itu saya tidak berani ungkap hanya bisa mengulur waktu sesuai perintah."Roro Wening yang melihat cara bercerita pemuda di depannya merasakan aura yang begitu kuat menyebar di ruang pendopo agung. Aura ini begitu familiar. "Baik, apakah dengan begini kamu lah yang akan menikahi selir Pitaloka, begitu?"Pemuda itu masih diam, kedua tan