Pria itu diam menatap pada tangan kanan Jagat yang memegang kujang tanpa tiga permata paling ujung. Jagat mengikuti arah pandang pria tersebut, bibirnya tersenyum."Ternyata tidak hanya kaum muda yang inginkan kujang ini, melainkan yang tua pun juga masih inginkan senjata ini," kata Jagat."Aku hanya ingin amankan senjata tersebut dari tangan yang tidak berhak saja, tidak lebih," jawab pria tersebut."Tidak berhak? Tahu darimana Anda jika saya tidak berhak tas senjata ini?" Hening, pria tua itu tidak menjawab tanya Jagat membuat pemuda tersebut memindai sosok tua yang ada di hadapannya, "Atau jangan-jangan justru Anda lah yang berbohong atas identitas diri."Terdengar tawa terbahak yang menggetarkan tanah sekitar yang dipijak oleh Jagat. Bahkan kujang yang dipegangnya pun terasa ikut bergetar. Hal ini membuat Jagat paham akan tenaga dalam yang dimiliki oleh pria tua. Segera pemuda itu menutup beberapa jalan darah utama yang mungkin dapat diserang oleh pria tersebut. Tanpa disadari l
Tawa menggelegar kembali terdengar membuat Jagat seketika menutup kedua telinganya. Pemuda itu paham akan suara tawa pria tersebut. "Ternyata benar adanya info yang aku peroleh selama ini, bahwa pemuda yang dulu hanya pecundang kini telah berkembang pesat menjadi pendekar pilih tanding. Namun, sayangnya jiwanya sudah cacat mental," ejek pria tersebut. Jagat terdiam, otaknya mencerna lagi apa yang dikatakan oleh Sanggabumi. Tiba-tiba ingatannya kembali pada wanita yang dulu pernah dan masih mengisi relung hati terdalam. "Walau bagaimanapun wanita itu adalah putrimu sendiri, Begawan. Apakah ini yang kau maksud dengan tanggung jawab semu?" tanya Jagat. "Semua ada tujuannya, Jagat. Tetapi nyawamu yang harusnya sirna, bukan putriku. Bangsat!" umpat Sanggabumi. Usai mengumpat pria itu segera melesat dengan kekuatan penuh menerjang tubuh Jagat dengan tusukan pedang. Jagat segera menangkis setiap serangan pedang yang menusuk di beberapa organ tubuh dengan kujangnya. Begitu pedang itu ma
Tombak beracun milik Sanggabumi meluncur deras menuju ke jantung Jagat. Namun, tiba-tiba angin bertiup kencang hingga membelokkan arah tombak dan menembus ke pohon pisang. "Sialan, kau! Bangsat," umpat Sanggabumi. Kemudian dia melesat menyerang kembali di saat Jagat masih duduk sila dengan mata terpejam. Sanggabumi menyerang dengan ujung tombaknya, tetapi anehnya setiap serangannya selalu mental bahkan terasa kesemutan pada setiap ujung jarinya. Akhirnya tombak itu dilenyapkan dengan cara melempar ke udara. Lalu dia menyerang Jagat dengan menggunakan ajian pukulan pemecah batu. Sanggabumi mulai memfokuskan sumber daya yang tersisa pada kepalan tangan kanannya. Angin bertiup lebih kencang menerbangkan jubah putih milik begawan. Kemudian dengan segala kekuatan yang tersisa, Begawan Sanggabumi melontarkan pukulan pemecah batu yang baru saja dia kuasai beberapa purnama lalu. Jagat yang bisa merasakan deru angin yang berbeda pun merentangkan kedua lengannya lalu bergerak naik turun un
"Paman, nasi uduk satu porsi dengan ikan bakar tanpa sambel!" pesan Jagat di kedai makan. "Hai, bukankah kamu yang empat hari lalu datang bersama wanita muda? Lalu dimana dia?" tanya pemilik kedai. Jagat terhenyak kaget, dia tidak menyangka masih ada orang yang mengenalinya meskipun tampilannya sudah sedikit dirubah sebelum masuki kotaraja. Jagat mengulum senyum dan berkata, "Dia sudah pergi, Paman. Ada urusan yang harus dikerjakannya."Pemilik kedai yang biasa dipanggil dengan Ki Jayadi itu menganggukkan kepalanya beberapa kali tanda dia mengerti. Lalu disodorkan baki berisi pesanan, Jagat menerima baki tersebut dan berbalik badan lalu pandangannya beredar untuk mencari tempat kosong. Sebuah tangan melambai ke arahnya dan meminta Jagat agar duduk di bangku kosong tepat di depannya. Melihat arah tunjuk orang itu seketika senyum Jagat mengembang dan kakinya melangkah menuju ke sana. "Terima kasih, Ni," ucap Jagat lirih. Ternyata yang melambaikan tangan adalah seorang wanita denga
Tambun menatap pada sosok Jagat. Terlihat di matanya bahwa pemuda itu seakan bukan pria sembarangan hingga kedua matanya mengerjab berulang kali. Dalam pandangannya Jagat memiliki kekuatan yang bisa diandalkan. "Bisakah kamu bebaskan wanita di sana itu, Ki Sanak?" tanya tambun yang tidak memedulikan tanya Jagat. "Tetapi apa manfaat buatku, Paman? Aku hanya inginkan identitas ketiga pemuda di sana," balas Jagat. Tambun menyipit menatap lebih tajam dan jauh pada panggung yang terlihat tiga sosok pemuda. Lalu dia memalingkan wajahnya memandang wajah tampan Jagat, kemudian berpaling pada wanita yang dirantai di bawah tiang. "Sama," gumam pria tambun. "Di sana adalah Pangeran Abimana beserta dua pengawal baru pengganti Pangeran Kurubumi dan Jantaka, Ki Sanak," jawab pria tambun lagi. "Mengapa keduanya diganti, Paman?" tanya Jagat lagi. "Kabarnya keduanya sedang mengemban tugas ke wilayah barat, di sana terjadi keributan pengambil alihan kekuasaan," papar pria tambun. Jagat mengerutk
Seberkas cahaya perak meluncur dengan kecepatan akurat menuju ke tubuh Zavia. Tangan kekar meraih pinggang wanita itu dan langsung dibawa pergi hanya meninggalkan derai tawa kepuasan Zavia. Samar terdengar suara lembut wanita itu menyapa cuping Albara. "Tunggu kehancuranmu, Albara!"Mendengar kalimat seketika Albara melontarkan perintah pada Banyubiru untuk mengejar sinar tersebut. Tanpa menunggu lebih jauh lagi, sosok pendekar wanita bercadar merah melesat mengejar sinar perak yang berlari ke arah hutan belantara di sisi timur bangunan utama istana kerajaan Bumi Seloka. Terlihat kejar-kejaran dua sinar yang berbeda yang hanya terlihat secara mata rakyat biasa. Sementara di lapangan balai kota banyak teriakan kepuasan mengenai hilangnya tubuh ratu mereka. Selama ini mereka tersiksa secara lahir dan batin dalam pemerintahan Albara. Raja yang memaksa lengsernya penguasa terdahulu dengan segala cara bahkan mengunakan cara terlicik menyerang dari belakang dengan melempar segala futnah
Sinar perak yang melesat sambil membawa tubuh Zavia terus meluncur menjauh dari balai kota dan masuk ke hutan belantara timur bangunan kerajaan. Namun, saat sudah berada di depan sebuah goa sinar tersebut berhenti seketika. "Maafkan aku, Nyai!" ucap Jagat dengan nada rendah dan menunduk saat dia sudah menurunkan Zavia dari bahunya. Zavia termangu menatap wajah pemuda yang telah membawanya lari dari rantai besi yang selama ini membelenggunya. Bibir wanita senja itu bergetar dan bulir bening mengalir perlahan. Jemarinya terulur dan sedikit bergetar seirama detak jantungnya. "Siapa namamu, Pria Muda?" tanya Zavia, lalu pandangannya tertuju pada kalung yang dipakai Jagat, "Dapat darimana kalung yang kamu pakai itu?"Jagat diam sambil perlahan mulai mengangkat kepalanya untuk memberanikan diri menatap wajah wanita berusia senja di depannya. Debat jantung pemuda itu menjadi tidak terkontrol, hal ini tidak biasa terjadi pada tubuhnya apalagi ini berhadapan dengan mahkluk sejenis wanita.
Wanita itu diam menatap intens pada Jagat dan Zavia bergantian. Lalu bibirnya menyugingkan senyum sinis, tangannya menyibak jubah biru laut tipis miliknya. Saat itu juga terlihat jelas gambar Akshita sedang sekarat du tepi sebuah danau. "Kau lihat sendiri tubuh wanitamu terkulai lemah tidak berdaya. Semua alam roh tahu kondisi wanita jalang itu, jadi buat apa kau masih pikirkan dia," papar wanita itu. Jagat terdiam, dahinya berkerut kencang dia tidak menyangka bahwa Akshita menyembunyikan indentitasnya sejauh ini hanya untuk inginkan bersanding dengannya. Selama ini Jagat percaya bahwa Akshita menunggunya untuk memperbaiki kawanannya. "Jangan percaya dengan wanita licik ini, Nak. Coba kau selami apa yang ditampilkan olehnya? Semua belum tentu benar, waktu yang akan ungkap semua," tutur Zavia. "Haha!" Tawa sumbang wanita itu membuat Zavia bergidik ngeri, suara tawa yang sering dia dengar selama di pengasingan. Langkah wanita itu mulai maju mengikis jarak antara dia dan Jagat. Sema