Sinar perak yang melesat sambil membawa tubuh Zavia terus meluncur menjauh dari balai kota dan masuk ke hutan belantara timur bangunan kerajaan. Namun, saat sudah berada di depan sebuah goa sinar tersebut berhenti seketika. "Maafkan aku, Nyai!" ucap Jagat dengan nada rendah dan menunduk saat dia sudah menurunkan Zavia dari bahunya. Zavia termangu menatap wajah pemuda yang telah membawanya lari dari rantai besi yang selama ini membelenggunya. Bibir wanita senja itu bergetar dan bulir bening mengalir perlahan. Jemarinya terulur dan sedikit bergetar seirama detak jantungnya. "Siapa namamu, Pria Muda?" tanya Zavia, lalu pandangannya tertuju pada kalung yang dipakai Jagat, "Dapat darimana kalung yang kamu pakai itu?"Jagat diam sambil perlahan mulai mengangkat kepalanya untuk memberanikan diri menatap wajah wanita berusia senja di depannya. Debat jantung pemuda itu menjadi tidak terkontrol, hal ini tidak biasa terjadi pada tubuhnya apalagi ini berhadapan dengan mahkluk sejenis wanita.
Wanita itu diam menatap intens pada Jagat dan Zavia bergantian. Lalu bibirnya menyugingkan senyum sinis, tangannya menyibak jubah biru laut tipis miliknya. Saat itu juga terlihat jelas gambar Akshita sedang sekarat du tepi sebuah danau. "Kau lihat sendiri tubuh wanitamu terkulai lemah tidak berdaya. Semua alam roh tahu kondisi wanita jalang itu, jadi buat apa kau masih pikirkan dia," papar wanita itu. Jagat terdiam, dahinya berkerut kencang dia tidak menyangka bahwa Akshita menyembunyikan indentitasnya sejauh ini hanya untuk inginkan bersanding dengannya. Selama ini Jagat percaya bahwa Akshita menunggunya untuk memperbaiki kawanannya. "Jangan percaya dengan wanita licik ini, Nak. Coba kau selami apa yang ditampilkan olehnya? Semua belum tentu benar, waktu yang akan ungkap semua," tutur Zavia. "Haha!" Tawa sumbang wanita itu membuat Zavia bergidik ngeri, suara tawa yang sering dia dengar selama di pengasingan. Langkah wanita itu mulai maju mengikis jarak antara dia dan Jagat. Sema
Dewi Samber Nyowo langsung mengejar Jagat yang berlari menggunakan halimun senja. Namun, saat itu seberkas sinar ungu menerjang tubuhnya hingga tubuh itu seketika terpental cukup jauh. "Lawanmu saat ini adalah aku, Samber Nyowo!" Samber Nyowo seketika bangkit dari posisi terakhir dia terjatuh akibat pukulan sinar ungu milik Zavia. Wanita itu langsung melesat menerjang tubuh Zavia tanpa menata jalan napasnya. Dia begitu yakin dapat melumpuhkan sang ratu dalam hitungan detik. Akan tetapi, selama dalam masa tahanan sang ratu selalu melatih ilmu kanuragannya tanpa terdeteksi oleh pihak Kerajaan Bumi Seloka. Dia hanya tersenyum saat Samber Nyowo bergerak secara brutal menggunakan pedang tipis. Keduanya berkelahi dengan ilmu pedang yang cukup memesona, gerakan tangan yang gemulai dengan ayunan pedang tegas dan kuat begitu menyiratkan watak sesungguhnya. Zavia dengan pedang sinar ungu, sedangkan Samber Nyowo menguarkan sinar jingga. Sling Sret Bret! Dua mata pedang saling bertemu meni
Ledakan dahsyat terjadi saat dua jurus berkekuatan tinggi bertemu. Sinar ungu bertemu dengan sabetan pedang bersinar jingga membuat tubuh Samber Nyowo terpental cukup jauh. Namun, hal itu tidak melunturkan niatnya untuk membunuh Zavia. Begitu pula Zavia, dia masih tidak ingin melepas Samber Nyowo begitu saja. Dia sudah menahan emosi sekian tahun agar bisa menyempurnakan ilmu dan tidak terpengaruh dengan suara wanita itu yang selalu mengganggunya. "Haha, Zavia, harusnya kamu mati saat di pengasingan itu. Tapi nyatanya nyawamu masih dikandung badan, sungguh suatu keajaiban!""Kau yang akan meregang nyawa, Samber!" Usai berkata Zavia pun melontarkan sebuah pukulan jarak jauh penuh dengan tenaga dalam tingkat tinggi. Sinar perak melesat dari kepalan tangan kanan Zavia. Samber Nyowo tidak sempat menghindar hingga pukulan tersebut menghantam dadanya. Tubuh Samber Nyowo seketika meledak hancur berkeping-keping. Namun, suara kekehan renyah masih terdengar. "Hehe, aku belum mati, Zavia. Me
Jagat membeliak kaget saat dilihatnya sosok dewi rubah yang sudah berdiri tegak di depannya. Rupanya selama ini apa yang ada di pikiran Jagat benar bahwa wanita rubah itu belum mati selamanya. Meskipun mahkluk beda alam seharusnya dia sudah mati, tetapi ini tidak. Jagat mengerutkan dahi mencari letak salahnya saat menyerang rubah betina itu. Selama ini jika sebuah permata sudah dia dapatkan berarti nyawa siluman itu akan mati dan tidak bisa lagi muncul, tetapi ini berbeda. "Pasti kau bingung akan hadirku di sini, Jagat. Aku lah pemilik semua keanehan di sini, tidak hanya itu, aku juga pengendali seluruh alam ini," papar Wedari Kemuning. Wanita siluman rubah itu sudah tidak seperti dulu lagi, hal ini begitu jelas terlihat. Sosoknya begitu dewasa dan murni, tubuhnya mengeluarkan cahaya keemasan. Apa yang menguar dari tubuh Wedari Kemuning tidak membuat Jagat ciut nyali, dia justru merasa lebih percaya diri dengan kemampuannya saat ini. "Kau jangan sombong lebih dulu, Jagat. Kali in
Saat sinar Wedari melesat, saat itu juga kujang melesat menangkis sinar milik siluman hingga pertemuannya menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Belum lagi percikan api kecil yang ditimbulkan mampu membakar sesuatu yang ada di sekitarnya. Jagat yang melihat mahkluk mungil dengan sinar perak segera menunduk dan meraih tubuh lemah itu. Kedua matanya berbinar, lalu dengan jelas dijilatnya tubuh mengkilat tersebut. "Gigit dan hisap lidahku, Dewi!" bisik Jagat dalam batinnya. Pemuda itu tahu pasti bahwa kekasih hatinya bisa mendengar apa yang dia ucapkan meskipun dalam hati. Dan sesuai apa yang dia pikirkan, mahkluk sejenis lintah itu pun melakukan apa yang dikatakan oleh Jagat. "Sial, bagaimana kau bisa lolos, Jalang!" geram Wedari saat lihat bayangan biru laut di antara tebalnya asap putih. Bayangan itu makin lama tampak jelas seiring tipisnya asap yang menyelubungi tubuhnya. Lalu muncullah wajah ayu nan alami yang selama ini dicari Jagat. "Bukankah sudah pernah aku ucap, cukup N
BlarrrDuarSamberan petir dan kujang menimbulkan suara yang sangat dahsyat juga terdapat kubangan di tanah tempat Wedari Kemuning berdiri. Wanita itu tampak masih berdiri kokoh. Lalu, tiba-tiba angin bertiup kencang seiring datangnya kujang dari arah belakang tubuh Wedari. Angin yang membawa hawa dingin itu menerpa tubuh rubah. Perlahan tubuh itu luruh bagai mengalami peristiwa penyubliman."Pangeran, jangan sampai kepalanya menyatu ke dalam tanah! Apalagi sampai menyentuh tiga butir permata," kata Akshita. Mendengar apa yang dikatakan wanitanya, Jagat segera melesat meraih abu kepala Wedari lalu tangan lainnya menggenggam tiga permata dan melempar jauh ke udara. Akshita melihat arah lempar lelakinya. "Apakah tidak bahaya jika dibuang begitu saja, Pangeran?""Aku rasa tidak apa, Aks. Mungkin permata itu dapat membantu siapapun yang berhasil menemukannya."Akshita mengangguk paham, lalu dia pun mengurai pelukannya yang tanpa sadar sejak tadi masih memeluk lengan kiri Jagat meskipun
Gelombang udara mau terasa berbeda, indurasmi mulai menghilang begitu juga pergolakan air danau sudah tiada lagi. Hal ini menyatakan bahwa Penyatuan dan pergumulan dua entitas berbeda telah selesai. Dua tubuh terkulai lemah di atas lempengan baru hitam tanpa sehelai benang, di antara keduanya masih ada mahkluk lain yang dengan setia menunggui mereka. Angin bertiup dengan lirih membawa aura dingin, sinar mentari mulai menyapa alam tersebut. Sudah lama dunia mereka tanpa cahaya abadi, kini sejak penyatuan itu cahaya kembali hadir. GggggrrrrrrHarimau putih meraung, mulutnya membuka lebar menyuarakan kekuasaannya yang abadi. Perlahan terlihat pergerakan sang pria, lengannya bergerak merapat pada tubuh polos Akshita. "Jangan pergi lagi, Aks. Aku sangat membutuhkan kehadiranmu!" bisik Jagat sambil menarik tubuh wanitanya agar lebih masuk ke dalam pelukannya. Akshita yang masih terpejam hanya diam mengikuti apa yang diinginkan oleh lelakinya hingga sinar mentari mulai membakar daun ke