Jagat membeliak kaget saat dilihatnya sosok dewi rubah yang sudah berdiri tegak di depannya. Rupanya selama ini apa yang ada di pikiran Jagat benar bahwa wanita rubah itu belum mati selamanya. Meskipun mahkluk beda alam seharusnya dia sudah mati, tetapi ini tidak. Jagat mengerutkan dahi mencari letak salahnya saat menyerang rubah betina itu. Selama ini jika sebuah permata sudah dia dapatkan berarti nyawa siluman itu akan mati dan tidak bisa lagi muncul, tetapi ini berbeda. "Pasti kau bingung akan hadirku di sini, Jagat. Aku lah pemilik semua keanehan di sini, tidak hanya itu, aku juga pengendali seluruh alam ini," papar Wedari Kemuning. Wanita siluman rubah itu sudah tidak seperti dulu lagi, hal ini begitu jelas terlihat. Sosoknya begitu dewasa dan murni, tubuhnya mengeluarkan cahaya keemasan. Apa yang menguar dari tubuh Wedari Kemuning tidak membuat Jagat ciut nyali, dia justru merasa lebih percaya diri dengan kemampuannya saat ini. "Kau jangan sombong lebih dulu, Jagat. Kali in
Saat sinar Wedari melesat, saat itu juga kujang melesat menangkis sinar milik siluman hingga pertemuannya menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Belum lagi percikan api kecil yang ditimbulkan mampu membakar sesuatu yang ada di sekitarnya. Jagat yang melihat mahkluk mungil dengan sinar perak segera menunduk dan meraih tubuh lemah itu. Kedua matanya berbinar, lalu dengan jelas dijilatnya tubuh mengkilat tersebut. "Gigit dan hisap lidahku, Dewi!" bisik Jagat dalam batinnya. Pemuda itu tahu pasti bahwa kekasih hatinya bisa mendengar apa yang dia ucapkan meskipun dalam hati. Dan sesuai apa yang dia pikirkan, mahkluk sejenis lintah itu pun melakukan apa yang dikatakan oleh Jagat. "Sial, bagaimana kau bisa lolos, Jalang!" geram Wedari saat lihat bayangan biru laut di antara tebalnya asap putih. Bayangan itu makin lama tampak jelas seiring tipisnya asap yang menyelubungi tubuhnya. Lalu muncullah wajah ayu nan alami yang selama ini dicari Jagat. "Bukankah sudah pernah aku ucap, cukup N
BlarrrDuarSamberan petir dan kujang menimbulkan suara yang sangat dahsyat juga terdapat kubangan di tanah tempat Wedari Kemuning berdiri. Wanita itu tampak masih berdiri kokoh. Lalu, tiba-tiba angin bertiup kencang seiring datangnya kujang dari arah belakang tubuh Wedari. Angin yang membawa hawa dingin itu menerpa tubuh rubah. Perlahan tubuh itu luruh bagai mengalami peristiwa penyubliman."Pangeran, jangan sampai kepalanya menyatu ke dalam tanah! Apalagi sampai menyentuh tiga butir permata," kata Akshita. Mendengar apa yang dikatakan wanitanya, Jagat segera melesat meraih abu kepala Wedari lalu tangan lainnya menggenggam tiga permata dan melempar jauh ke udara. Akshita melihat arah lempar lelakinya. "Apakah tidak bahaya jika dibuang begitu saja, Pangeran?""Aku rasa tidak apa, Aks. Mungkin permata itu dapat membantu siapapun yang berhasil menemukannya."Akshita mengangguk paham, lalu dia pun mengurai pelukannya yang tanpa sadar sejak tadi masih memeluk lengan kiri Jagat meskipun
Gelombang udara mau terasa berbeda, indurasmi mulai menghilang begitu juga pergolakan air danau sudah tiada lagi. Hal ini menyatakan bahwa Penyatuan dan pergumulan dua entitas berbeda telah selesai. Dua tubuh terkulai lemah di atas lempengan baru hitam tanpa sehelai benang, di antara keduanya masih ada mahkluk lain yang dengan setia menunggui mereka. Angin bertiup dengan lirih membawa aura dingin, sinar mentari mulai menyapa alam tersebut. Sudah lama dunia mereka tanpa cahaya abadi, kini sejak penyatuan itu cahaya kembali hadir. GggggrrrrrrHarimau putih meraung, mulutnya membuka lebar menyuarakan kekuasaannya yang abadi. Perlahan terlihat pergerakan sang pria, lengannya bergerak merapat pada tubuh polos Akshita. "Jangan pergi lagi, Aks. Aku sangat membutuhkan kehadiranmu!" bisik Jagat sambil menarik tubuh wanitanya agar lebih masuk ke dalam pelukannya. Akshita yang masih terpejam hanya diam mengikuti apa yang diinginkan oleh lelakinya hingga sinar mentari mulai membakar daun ke
Jagat memacu kudanya dengan kecepatan tinggi dia tidak memedulikan sekitarnya. Lelaki itu semakin dingin dalam segala hal. Perjalanan yang ditempuh Jagat begitu panjang, mulai dari hutan gelita tanpa ujung hingga hutan nyata yang gelap harus melewati berbagai aral rintang yang tidak mudah. Banyaknya siluman yang inginkan kujang dengan sembilan permata membuat Jagat harus sesekali meladeni inginnya mereka satu per satu. Namun, apapun yang coba halangi langkahnya pria itu selalu mampu berdiri dan bertarung kuat. Slash! Sekelebat anak panah melesat dari arah depan menuju ke dada kiri Jagat. Dengan cepat, pria itu menyentak tapi kelang kudanya hingga membuat meringkuk berdiri dengan kedua kaki depannya terangkat tinggi. Sebuah anak panah berhasil disingkirkan oleh sepak kaki kuda. Jagat langsung memindai seluruh hutan sejauh matanya menjangkau. Lalu bibirnya menyeringai tajam. Jagat membungkuk, ujung tangan kanannya mencoba meraih ranting kering yang ada di bawah kaki kuda.
Setelah berkata, Jagat mulai meladeni setiap serangan dari pemuda itu. Baik tendangan maupun pukulan bisa ditangkis oleh Jagat dengan mudahnya, hal ini membuat sang lawan makin geram hingga dia kembali memfokuskan sumber dayanya di satu titik vital. "Kali ini kau akan mati, Jagat!"Usai berkata pemuda itu melesat jauh dengan kaki menendang tajam. Untuk sesaat Jagat diam, dia membaca arah tendangan tersebut, sekilas tampak menyerang ke tungkai bawahnya. Namun, Jagat tidak menghindar dia justru menangkap tendangan itu yang berbelok ke arah bahunya. KrakkSuara tulang retak terdengar jelas, tidak hanya suara itu tetapi suara lengkingan kesakitan pun juga terdengar di cuping Jagat. Lalu dengan gerakan cepat Jagat menyentak dan menutup beberapa jalan darahnya. Apa yang dilakukan oleh Jagat membuat kedua bola mata lawannya melotot kaget. Dia tidak menyangka akan terjadi seperti itu, gerakan tipuannya dapat terbaca dengan jelas. "Bagaimana bisa, sialan!" umpat lawan Jagat masih tidak men
menampia mengulum senyum membuat Jagat, lalu tangannya terangkat dengan kepala mendongak menatap langit. Dari atas terlihat sinar terang meluncur deras ke bawah. Samar mulai terlihat wujud kecapi turun ke bawah. Zavia menerima kecapi dengan tangan terbuka, lalu mulai menata senar itu kembali. Wajah Zavia terlihat serius menyamakan nada setiap senar kecapi. Jagat terpana melihat keseriusan Zavia membuat ingatannya tertuju pada mimpinya. "Jadi benarkah wanita ini adalah ibundaku?" batin Jagat. Ki Cadek yang sudah berdiri di belakang tubuh Jagat seketika berbisik mengiyakan apa yang terucap lewat kaya batin. Jagat langsung menoleh ke belakang melihat wajah penunggu kujang dengan tatapan ragu. Lambat laun mulai terdengar alunan musik yang keluar dari petikan kecapi. Jemari tangan yang lentik makin menghasilkan suara yang indah hingga membuat Jagat terlena. Samar terlihat gambaran masa silam kesakitan Zavia selama dalam masa pengasingannya. Bahkan peristiwa terbunuhnya Raja L
Masih di dalam kerajaan, lebih tepatnya di penjara bawah tanah. Galasbumi sedang duduk sila, pria Tia yang memiliki jangan putih panjang itu mulai membuka kedua bola matanya. Dia kembali menatap sekitarnya, udara lambab tanpa cahaya masih saya saat pertama kali dia dimasukkan ke sana. Namun, hingga saat ini Galasbumi masih setia menunggu kabar demi kabar yang membuatnya makin bertahan hidup. Langkah kaki yang begitu pelan dan seperti penuh kewaspadaan terdengan oleh telinga Galas. Pria tua itu pun kembali ke posisinya semula. Duduk sila menghadap pada pintu teralis besi. Lambat laun langkah itu mulai mendekat, lalu tampaklah pria tambun. Dia membungkuk sesaat pada Galasbumi. Kemudian kepalanya terangkat sambil mengulas senyum. "Bagaimana usahamu, Candraka?" tanya Galasbumi Pria tambun yang dulu sempat berbicara dengan Jagat itu menganggukkan kepala tiga kali, lalu bibirnya mengulum senyum simpul. Galasbumi menjadi ikut tersenyum tipis, "Bagus, awasi pergerakannya terus.