BlarrrDuarSamberan petir dan kujang menimbulkan suara yang sangat dahsyat juga terdapat kubangan di tanah tempat Wedari Kemuning berdiri. Wanita itu tampak masih berdiri kokoh. Lalu, tiba-tiba angin bertiup kencang seiring datangnya kujang dari arah belakang tubuh Wedari. Angin yang membawa hawa dingin itu menerpa tubuh rubah. Perlahan tubuh itu luruh bagai mengalami peristiwa penyubliman."Pangeran, jangan sampai kepalanya menyatu ke dalam tanah! Apalagi sampai menyentuh tiga butir permata," kata Akshita. Mendengar apa yang dikatakan wanitanya, Jagat segera melesat meraih abu kepala Wedari lalu tangan lainnya menggenggam tiga permata dan melempar jauh ke udara. Akshita melihat arah lempar lelakinya. "Apakah tidak bahaya jika dibuang begitu saja, Pangeran?""Aku rasa tidak apa, Aks. Mungkin permata itu dapat membantu siapapun yang berhasil menemukannya."Akshita mengangguk paham, lalu dia pun mengurai pelukannya yang tanpa sadar sejak tadi masih memeluk lengan kiri Jagat meskipun
Gelombang udara mau terasa berbeda, indurasmi mulai menghilang begitu juga pergolakan air danau sudah tiada lagi. Hal ini menyatakan bahwa Penyatuan dan pergumulan dua entitas berbeda telah selesai. Dua tubuh terkulai lemah di atas lempengan baru hitam tanpa sehelai benang, di antara keduanya masih ada mahkluk lain yang dengan setia menunggui mereka. Angin bertiup dengan lirih membawa aura dingin, sinar mentari mulai menyapa alam tersebut. Sudah lama dunia mereka tanpa cahaya abadi, kini sejak penyatuan itu cahaya kembali hadir. GggggrrrrrrHarimau putih meraung, mulutnya membuka lebar menyuarakan kekuasaannya yang abadi. Perlahan terlihat pergerakan sang pria, lengannya bergerak merapat pada tubuh polos Akshita. "Jangan pergi lagi, Aks. Aku sangat membutuhkan kehadiranmu!" bisik Jagat sambil menarik tubuh wanitanya agar lebih masuk ke dalam pelukannya. Akshita yang masih terpejam hanya diam mengikuti apa yang diinginkan oleh lelakinya hingga sinar mentari mulai membakar daun ke
Jagat memacu kudanya dengan kecepatan tinggi dia tidak memedulikan sekitarnya. Lelaki itu semakin dingin dalam segala hal. Perjalanan yang ditempuh Jagat begitu panjang, mulai dari hutan gelita tanpa ujung hingga hutan nyata yang gelap harus melewati berbagai aral rintang yang tidak mudah. Banyaknya siluman yang inginkan kujang dengan sembilan permata membuat Jagat harus sesekali meladeni inginnya mereka satu per satu. Namun, apapun yang coba halangi langkahnya pria itu selalu mampu berdiri dan bertarung kuat. Slash! Sekelebat anak panah melesat dari arah depan menuju ke dada kiri Jagat. Dengan cepat, pria itu menyentak tapi kelang kudanya hingga membuat meringkuk berdiri dengan kedua kaki depannya terangkat tinggi. Sebuah anak panah berhasil disingkirkan oleh sepak kaki kuda. Jagat langsung memindai seluruh hutan sejauh matanya menjangkau. Lalu bibirnya menyeringai tajam. Jagat membungkuk, ujung tangan kanannya mencoba meraih ranting kering yang ada di bawah kaki kuda.
Setelah berkata, Jagat mulai meladeni setiap serangan dari pemuda itu. Baik tendangan maupun pukulan bisa ditangkis oleh Jagat dengan mudahnya, hal ini membuat sang lawan makin geram hingga dia kembali memfokuskan sumber dayanya di satu titik vital. "Kali ini kau akan mati, Jagat!"Usai berkata pemuda itu melesat jauh dengan kaki menendang tajam. Untuk sesaat Jagat diam, dia membaca arah tendangan tersebut, sekilas tampak menyerang ke tungkai bawahnya. Namun, Jagat tidak menghindar dia justru menangkap tendangan itu yang berbelok ke arah bahunya. KrakkSuara tulang retak terdengar jelas, tidak hanya suara itu tetapi suara lengkingan kesakitan pun juga terdengar di cuping Jagat. Lalu dengan gerakan cepat Jagat menyentak dan menutup beberapa jalan darahnya. Apa yang dilakukan oleh Jagat membuat kedua bola mata lawannya melotot kaget. Dia tidak menyangka akan terjadi seperti itu, gerakan tipuannya dapat terbaca dengan jelas. "Bagaimana bisa, sialan!" umpat lawan Jagat masih tidak men
menampia mengulum senyum membuat Jagat, lalu tangannya terangkat dengan kepala mendongak menatap langit. Dari atas terlihat sinar terang meluncur deras ke bawah. Samar mulai terlihat wujud kecapi turun ke bawah. Zavia menerima kecapi dengan tangan terbuka, lalu mulai menata senar itu kembali. Wajah Zavia terlihat serius menyamakan nada setiap senar kecapi. Jagat terpana melihat keseriusan Zavia membuat ingatannya tertuju pada mimpinya. "Jadi benarkah wanita ini adalah ibundaku?" batin Jagat. Ki Cadek yang sudah berdiri di belakang tubuh Jagat seketika berbisik mengiyakan apa yang terucap lewat kaya batin. Jagat langsung menoleh ke belakang melihat wajah penunggu kujang dengan tatapan ragu. Lambat laun mulai terdengar alunan musik yang keluar dari petikan kecapi. Jemari tangan yang lentik makin menghasilkan suara yang indah hingga membuat Jagat terlena. Samar terlihat gambaran masa silam kesakitan Zavia selama dalam masa pengasingannya. Bahkan peristiwa terbunuhnya Raja L
Masih di dalam kerajaan, lebih tepatnya di penjara bawah tanah. Galasbumi sedang duduk sila, pria Tia yang memiliki jangan putih panjang itu mulai membuka kedua bola matanya. Dia kembali menatap sekitarnya, udara lambab tanpa cahaya masih saya saat pertama kali dia dimasukkan ke sana. Namun, hingga saat ini Galasbumi masih setia menunggu kabar demi kabar yang membuatnya makin bertahan hidup. Langkah kaki yang begitu pelan dan seperti penuh kewaspadaan terdengan oleh telinga Galas. Pria tua itu pun kembali ke posisinya semula. Duduk sila menghadap pada pintu teralis besi. Lambat laun langkah itu mulai mendekat, lalu tampaklah pria tambun. Dia membungkuk sesaat pada Galasbumi. Kemudian kepalanya terangkat sambil mengulas senyum. "Bagaimana usahamu, Candraka?" tanya Galasbumi Pria tambun yang dulu sempat berbicara dengan Jagat itu menganggukkan kepala tiga kali, lalu bibirnya mengulum senyum simpul. Galasbumi menjadi ikut tersenyum tipis, "Bagus, awasi pergerakannya terus.
Jantaka terdiam, dia menelaah ulang apa yang dikatakan oleh Kurubumi. Pria itu menggelengkan kepala seolah menolak apa yang diutarakan oleh sahabatnya itu. "Tidak bisa, semua pasti akan menemui ajalnya dan nyawa Jagat harus aku dapatkan!" "Jaga emosimu itu, Jantaka. Pemuda itu saat ini lebih dikenal oleh masyarakat sebagai pendekar yang linuwih," ungkap Kurubumi. Jantaka menggeram kesal, dia pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke tenda pribadinya. Kurubumi hanya menatap kepergian Jantaka. Dia bisa merasakan pedihnya hati lelaki itu, bahkan jika mungkin dia mengalami nasib yang sama tidak akan berani menantang Jagat. Kurubumi masih duduk di depan api unggun. Tangannya mengorek abu bekas api, bibirnya mulai bergerak seakan sedang membaca mantra. Angin malam berhembus perlahan menerbangkan surai rambut Kurubumi. "Tunjukkan peristiwa masa silam saat begawan itu mati!" Usai kalimat tersebut selesai, seketika tangan kanan Kurubumi bergerak dengan sendirinya. Tangan
"Rasanya tidak mungkin, Jantaka. Yang aku khawatirkan adalah nyawamu, bukan pasukan ku di sini. Kau tentu paham!""Jika takdirku hanya sampai di sini sudah biasa, Pangeran. Di sini yang lebih utama adalah nyawa Anda, Pangeran. Yakinlah aku tidak akan mati!"Kurubumi menghela napas panjang, dia sama sekali takut jika sahabatnya itu hanya tinggal nama. Selama ini hanya Jantaka yang paham dengan karakternya hingga Kurubumi begitu menghargai dan menghormati apapun keputusan Jantaka. Kurubumi bangkit dan melangkah menuju jendela, tatapannya menerawang jauh pada kesehatan hutan gelap. Lalu dia berbalik arah menatap pada Jantaka. "Bagaimana kau tahu jika saat ini Jagat sedang berada dalam satu hutan dengan kita, Janta?" tanya Kurubumi sambil berjalan mendekati meja. "Gampang saja, Pangeran. Aroma cakra baru dengan sinar perak sudah dapat aku cium. Dan ini aku yakin milik Jagat," kata Jantaka yakin. Kurubumi menatap tidak percaya dengan semua ucapan sahabatnya itu. Apalagi mendengar kata
Jagat masih diam menatap wajah istrinya, dia seakan tidak pernah puas bila memandang wajah Akshita. Meskipun ada banyak wanita yang selalu menemani perjalanan hidupnya tetap Akshita yang menjadi penghias mimpinya. "Apakah masih kurang apa yang aku beri padamu selama ini, Aks. Hingga kau harus pergi lagi?"Akshita mengurai pelukan suaminya, lalu dia berjalan menuju ke tengah taman. Dia berdiri di tengah dengan kepala mendongak ke atas melihat pada sinar bulan yang malu. Jagat berjalan mendekat, dia mengikuti arah pandang istrinya. Namun, dia tidak menemukan sesuatu hal yang menarik di atas sana. Kedua tangannya kembali meriah pinggang istrinya dan mendekap erat. "Aku sulit untuk melupakan semua tentangmu meskipun sudah ada beberapa selir yang hangatkan ranjangku, Aks. Pesonamu tidak tergantikan," bisik Jagat diujung telinga Akshita. Wanita itu meletakkan kepalanya pada bahu Jagat dengan pandangan masih ke atas. Bibir tipisnya mengembang dengan mengeluarkan suara yang sangat rendah,
Akshita masih menatap wajah Jagat dengan lembut, kedua tangannya melingkar di leher kekar itu. Napasnya yang harum telah menyapa kulit leher Jagat. Sentuhan yang lama tidak menyapa kini mulai membangkitkan hasrat terpendam. Semilir angin telah mengganggu jiwa Jagat, dia tidak bisa menolak pesona sang dewi. Akshita masih mengumbar senyum manisnya dengan jari jemari berjalan naik turun di sepanjang leher kekasihnya. Jagat mulai bergolak, jakunnya naik turun dengan cepat membuat senyum Akshita makin memabukkan. "Bukan tidak rela, Kang. Tetapi lebih ingin memiliki seutuhnya semua milikmu termasuk jiwamu."Jagat bergerak merapatkan tubuhnya hingga membuat Akshita terduduk di pinggiran kolam. Selendang merah yang membungkus dadanya berkibar bersentuhan dengan angin hingga menampilkan tulang selangka yang indah. Jagat sudah tidak tahan lagi, maka dia menundukkan kepalanya dan melabuhkan kecupan ringan pada tulang selangka itu. Kecupan yang lembut dan penuh kasih belum mampu membangkitkan
Jagat Kelana menatap sosok pria muda di depannya. Bibirnya melengkung sempurna, lalu tangannya terangkat untuk memberi restu pada pria muda itu. Pria muda itu pun membujuk sesaat lalu terangkat menatap langsung pada manik mata Raja muda itu. Dia tersenyum tipis. "Bagaimana pola latihan mereka, Anakmas?"Pria muda itu mulai menjelaskan kemajuan latihan para prajurit yang selama ini dia latih. Semua telah berhasil hingga ke tingkat tengah kelas dua. "Apakah jadi mereka dipilih dan dikirim ke kerajaan sebelah, Ayahanda?""Iya, kerajaan itu belum memiliki prajurit handal satu pun. Siapa nama kamu, Anakmas?"Pria muda itu menatap pada Raja Singgalang, lalu bibirnya tersenyum dengan menyuarakan, " Airlangga Batinara."Jagat tersenyum, "berapa usiamu?""25 tahun masa alam kami."Jagat Kelana tersenyum, dia berdiri dan terbang mendekati sosok pria muda itu. Lalu dia berdiri di depan Airlangga, memeluknya erat. "Sudah sebesar ini baru kamu datang ke sini. Apakah tidak ingin tahu ayahmu?""
Malam yang begitu dingin membuat Jagat segera membawa tubuh istrinya masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan pun berlanjut hingga berulang kali. Ternyata tubuh yang memiliki struktur tulang yang rentan itu mampu menampung gairahnya hingga berulang kali. Prameswari merasa begitu bahagia telah membuat suaminya tersenyum puas. Akan tetapi, tubuh itu juga memiliki daya tahan yang rendah. Penyatuan yang dilakukan hingga menjelang pagi membuat tulang Prameswari seakan lepas kontrol. Tubuhnya menjadi lemas. "Tuan, Suamiku, maafkan aku! Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu," kata Prameswari dengan tatapan memohon. "Baiklah, kita sudahi dulu. Sekarang tidurlah!" balas Jagat. Setelah berkata itu, kedua mata Prameswari terpejam. Hal ini membuat Jagat khawatir, dia pun segera memeriksa kondisi tubuh istrinya. "Bagaimana bisa seperti ini, Nyai? Aku baru saja merasakan nyaman bersama tubuhmu, kamu terlanjur pingsan. Hadeh!"Jagat segera memakai jubahnya, lalu dia duduk sila di sisi ranjang. Kedua
Malam ini waktunya Jagat bersama Prameswari. Keduanya duduk di teras belakang paviliun. Jagat memilih duduk di tanah beralaskan rumput, sementara Prameswari duduk diam di sisi kanannya. "Duduk dekat sinilah, Istriku!" Prameswari menggeser tubuhnya dengan senyum yang dia sembunyikan. Kepalanya menunduk dalam, dia malu dengan pendekatan suaminya. Berbeda dengan Jagat, dia justru mulai merebahkan kepalanya pada paha Prameswari membuat wanita itu terdiam seketika. "Suami!" pekik Prameswari ringan. Dengan santainya Jagat mencari tempat ternyaman untuk kepalanya, lalu tangannya meraih jemari istrinya itu dan meletakkan pada kepalanya. "Bisa pijat di sini sebentar, Nyai!" Pinta Jagat dengan tatapan penuh harap. Prameswari tidak bisa bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun gemetaran menyentuh kepala suaminya. Perlahan disentuhnya rambut bergelombang pendek milik suaminya. 'Jantungku sepertinya mulai sakit," batin Prameswari merasa hatinya begitu senang be
"Nyai, kok malah melamun," kata Jagat lembut sambil melabuhkan sebuah kecupan hangat pada bibir istrinya. Mendapat sentuhan lembut seketika lamunan Akshita menghilang, lalu dia membalas ciuman Jagat lebih meminta. Keduanya larut dalam ciuman yang dalam. Cukup lama keduanya saling berbagi saliva, bahkan Jagat mulai menekan tubuh Akshita pada sandaran kursi kemudian dia duduk menyilang agar lebih dekat. "Kang!" panggil Akshita dengan nada berat. "Hemm."Jagat tidak melepaskan pelukannya dia justru mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke ayunan yang biasa di gunakan Jagat saat mengingat kenangan bersama Akshita. "Apakah di sini tidak akan mengganggu yang lainnya, Kang? Aku merindukanmu," bisik Akshita yang membuat gairah Jagat memuncak. "Tidak. Dan jangan remehkan kekuatanku saat ini, Nyai."Akshita tersenyum, jari jemarinya mulai bergerak perlahan membuka satu per satu kain penutup tubuh suaminya. Jagat membiarkan semua inginnya Akshita. Dia terlihat begitu menikmati apa pun y
Mendengar niat suaminya, Roro Wening pun menyiapkan segalanya yang biasa dilakukan Jahat sebelum penyatuan. Kali ini selir itu tidak mau ada yang tertinggal. Ini adalah pelajaran yang sudah dia pahami selama hidup bersama Jagat baik sebelum miliki kerajaan ataupun sudah. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Asih!" kata Roro Wening sambil menata beberapa benda yang harus dipakai oleh selir utama. "Nggeh, siap."Seorang dayang senior ikut membantu selur agung menyiapkan semua. Mulai dari aroma cendana hingga kain penutup kala penyatuan dimulai. Roro Wening juga memberikan beberapa catatan apa saja yang akan diucapkan sebelum tubuh Prameswari tersentuh. "Semua sudah siap, Kanjeng Ratu.""Jangan sebut nama itu, Asih. Semua belum resmi meskipun Yunda Akshita sudah datang menemaniku semalam.""Jika sudah seperti ini tidak mungkin akan lupa, Kanjeng Ratu. Niat Nyai Akshita sudah jelas bahkan putranya sendiri ditugaskan untuk menjaga kedamaian kerajaan ini lho," papar Asih--dayang senior.
Sinar mentari masuk di sela jendela kamar Roro Wening, hangatnya mampu membangunkan selir cantik dan seksi itu. Melihat istrinya mulai bangkit dari ranjang Jagat segera mendekat dan membantu istrinya itu. Perlakuan Jagat yang hangat membuat hati Roro Wening terharu. "Duduk sini dulu, tunggu kusiapkan air untuk kamu mandi!" kata Jagat. Roro Wening pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Jagat. Kemudian pria itu berdiri menuju ke balik pembatas anyaman bambu. Terdengar suara gemericik air yang dialirkan oleh Jagat. Setelah semua persiapan mandi istri selesai, Jagat keluar dari dalam lalu melangkah mengikis jarak dengan istrinya. Kemudian dengan lengannya diangkat tubuh istrinya ala bridal. "Turunkan aku, Suamiku!""Jangan banyak bergerak biar ndak jatuh!"Mendengar hal itu membuat Roro Wening mempererat pegangannya pada leher Jagat. Pria itu tersenyum melihat sikap istrinya, lalu dimasukkan perlahan tubuh Roro Wening ke dalam bak mandi. Tangan Jagat mulai bergerak membasuh punggung i
Udara dingin membuat tubuh Roro Wening menggigil parah. Bahkan muncul ruam merah hingga membuat salah satu dayang berlarian di sepanjang lorong peraduan raja. Dayang itu mendengar suara sang Raja berbicara dengan seorang wanita, bahkan suaranya begitu membuat bulu kuduk berdiri. Sebagai wanita dewasa dayang itu pasti paham suara apa yang dia dengar. Namun, dia lebih memilih tetap diam berdiri di depan pintu hingga suara itu menghilang. Cukup lama dayang itu berdiri di sana hingga pintu kamar Raja terbuka menampilkan sosok wanita yang begitu cantik dengan wajah bercahaya. "Masuklah!" Usia berkata wanita itu pergi sambil menarik selendang merahnya hingga membuat tubuhnya terbang. Peristiwa yang langka membuat wanita itu terpana dan takjub. Sungguh kejadian itu teramat langka. Suara Raja yang memanggilnya pun tidak mampu membuatnya lepas meninggalkan pemandangan itu. "Dayang, ada apa hingga larut malam kamu tidak istirahat?" Suara Jagat sudah begitu dekat dengan telinga dayang membu