menampia mengulum senyum membuat Jagat, lalu tangannya terangkat dengan kepala mendongak menatap langit. Dari atas terlihat sinar terang meluncur deras ke bawah. Samar mulai terlihat wujud kecapi turun ke bawah. Zavia menerima kecapi dengan tangan terbuka, lalu mulai menata senar itu kembali. Wajah Zavia terlihat serius menyamakan nada setiap senar kecapi. Jagat terpana melihat keseriusan Zavia membuat ingatannya tertuju pada mimpinya. "Jadi benarkah wanita ini adalah ibundaku?" batin Jagat. Ki Cadek yang sudah berdiri di belakang tubuh Jagat seketika berbisik mengiyakan apa yang terucap lewat kaya batin. Jagat langsung menoleh ke belakang melihat wajah penunggu kujang dengan tatapan ragu. Lambat laun mulai terdengar alunan musik yang keluar dari petikan kecapi. Jemari tangan yang lentik makin menghasilkan suara yang indah hingga membuat Jagat terlena. Samar terlihat gambaran masa silam kesakitan Zavia selama dalam masa pengasingannya. Bahkan peristiwa terbunuhnya Raja L
Masih di dalam kerajaan, lebih tepatnya di penjara bawah tanah. Galasbumi sedang duduk sila, pria Tia yang memiliki jangan putih panjang itu mulai membuka kedua bola matanya. Dia kembali menatap sekitarnya, udara lambab tanpa cahaya masih saya saat pertama kali dia dimasukkan ke sana. Namun, hingga saat ini Galasbumi masih setia menunggu kabar demi kabar yang membuatnya makin bertahan hidup. Langkah kaki yang begitu pelan dan seperti penuh kewaspadaan terdengan oleh telinga Galas. Pria tua itu pun kembali ke posisinya semula. Duduk sila menghadap pada pintu teralis besi. Lambat laun langkah itu mulai mendekat, lalu tampaklah pria tambun. Dia membungkuk sesaat pada Galasbumi. Kemudian kepalanya terangkat sambil mengulas senyum. "Bagaimana usahamu, Candraka?" tanya Galasbumi Pria tambun yang dulu sempat berbicara dengan Jagat itu menganggukkan kepala tiga kali, lalu bibirnya mengulum senyum simpul. Galasbumi menjadi ikut tersenyum tipis, "Bagus, awasi pergerakannya terus.
Jantaka terdiam, dia menelaah ulang apa yang dikatakan oleh Kurubumi. Pria itu menggelengkan kepala seolah menolak apa yang diutarakan oleh sahabatnya itu. "Tidak bisa, semua pasti akan menemui ajalnya dan nyawa Jagat harus aku dapatkan!" "Jaga emosimu itu, Jantaka. Pemuda itu saat ini lebih dikenal oleh masyarakat sebagai pendekar yang linuwih," ungkap Kurubumi. Jantaka menggeram kesal, dia pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke tenda pribadinya. Kurubumi hanya menatap kepergian Jantaka. Dia bisa merasakan pedihnya hati lelaki itu, bahkan jika mungkin dia mengalami nasib yang sama tidak akan berani menantang Jagat. Kurubumi masih duduk di depan api unggun. Tangannya mengorek abu bekas api, bibirnya mulai bergerak seakan sedang membaca mantra. Angin malam berhembus perlahan menerbangkan surai rambut Kurubumi. "Tunjukkan peristiwa masa silam saat begawan itu mati!" Usai kalimat tersebut selesai, seketika tangan kanan Kurubumi bergerak dengan sendirinya. Tangan
"Rasanya tidak mungkin, Jantaka. Yang aku khawatirkan adalah nyawamu, bukan pasukan ku di sini. Kau tentu paham!""Jika takdirku hanya sampai di sini sudah biasa, Pangeran. Di sini yang lebih utama adalah nyawa Anda, Pangeran. Yakinlah aku tidak akan mati!"Kurubumi menghela napas panjang, dia sama sekali takut jika sahabatnya itu hanya tinggal nama. Selama ini hanya Jantaka yang paham dengan karakternya hingga Kurubumi begitu menghargai dan menghormati apapun keputusan Jantaka. Kurubumi bangkit dan melangkah menuju jendela, tatapannya menerawang jauh pada kesehatan hutan gelap. Lalu dia berbalik arah menatap pada Jantaka. "Bagaimana kau tahu jika saat ini Jagat sedang berada dalam satu hutan dengan kita, Janta?" tanya Kurubumi sambil berjalan mendekati meja. "Gampang saja, Pangeran. Aroma cakra baru dengan sinar perak sudah dapat aku cium. Dan ini aku yakin milik Jagat," kata Jantaka yakin. Kurubumi menatap tidak percaya dengan semua ucapan sahabatnya itu. Apalagi mendengar kata
Jagat menatap heran saat melihat sosok Jantaka. Pria yang dulu kurus kering kini terlihat berisi, tubuh Jantaka gempal dan kuat. Namun, bukan itu yang membuat Jagat terpana. Ada hal yang berbeda dari sosok pria yang sudah dianggap sebagai kakak ipar. "Piaraanmu cukup mumpuni, Jantaka. Tidak heran jika nasib membawamu hingga ke puncak," kata Jagat. "Seperti hal nya engkau, Jagat. Aku pun masih mampu membuatmu lumpuh!"Jagat mengulum senyum tipis, dia pun masih menunggu apa yang akan dilakukan oleh lawannya. Sementara Zavia justru duduk bersila di bawah pohon besar, dia tampak asyik dengan beberapa buah jambu air yang ada di depannya. "Apa kamu tidak malu, masih muda jalan berduaan dengan wanita tua. Apakah semudah itu adikku tergantikan, Jagat?"Jagat menggelengkan kepalanya, dia tidak bermaksud menjawab apa yang ditanyakan oleh Jantaka. Gelengan kepalanya berarti akan bosannya omongan Jantaka. "Apa untungnya bagimu jika aku malu, Jantaka? Toh ini adalah jalan hidupku." Jagat berka
Angin malam bertiup dengan sendu, darah bercucuran membasahi tanah hutan gelap. Untuk sesaat Jagat berdiri mematung di depan jasad Jantaka. Pria itu seakan menyesali perbuatannya malam ini. Dia sendiri tidak mengerti mengapa harus terjadi, tetapi keadaanya begitu mendesak hingga mengharuskan dia melakukan hal itu. "Sudah jangan sesali apa yang sudah terjadi, Le! Apapun itu semua sudah diserahkan Hyang Agung," bisik Zavia. "Jika dia bisa aku kendalikan mungkin tidak akan seperti ini, Ibunda. Aku tidak ingin pendekar putih meninggal ditanganku," ucap Jagat. "Jangan terlalu dipikirkan. Lebih baik segera kebumikan jasadnya sebelum terendus binatang buas lainnya!"Jagat segera melakukan apa yang dikatakan oleh ibundanya-Zavia. Untuk saat ini Jagat sudah mau menerima jalan takdirnya sebagai putra Lawangbumi yang mewakili sebuah kerajaan besar. Saat mulai pemakaman jasad Jantaka, bayangan sang begawan melintas sesaat lalu perkelahiannya dengan Jantaka ikut berputar. Jurus yang maha dahs
Kembali ke istana Bumi Seloka, terlihat Abimana duduk di taman kedaton. Pria itu terlihat gelisah di setiap langkahnya. Apa yang tersirat dalam pandangan batinnya terasa begitu nyata. Satu per satu orang yang berada di sisinya telah terenggut nyawanya. "Beberapa purnama silam Bengawan Sanggabumi, lalu semalam Jantaka. Apakah nantinya Kurubumi juga akan binasa di tangan pria ayu itu? Laknat, aku harus segera membicarakan hal ini pada ibunda Ratu. Abimana berjalan menyusuri koridor istana menuju ke peraduan ibundanya. Dia yakin saat ini sang bunda ada dalam peraduan. Menurut kabar angin Ibu Ratu sedang tidak enak badan. Langkah Abimana terhenti kala pandangannya menangkap selir raja berjalan tergesa menuju ke para tawanan. Dahi pemuda itu berkerut membuat otaknya penuh tanya. "Apa yang dilakukan oleh wanita penjilat itu? Mengapa dia berjalan tergesa menuju ke lorong bawah tanah?" gumam Abimana sambil tungkainya bergerak mengikuti langkah Gayatri. Selir Albara yang satu itu terus be
Abimana memilih untuk masuk ke lorong sebelah kiri yang dia tahu di dalam sana terdekat penjara khusus untuk penasehat agung yaitu Ki Galasbumi. Tanpa ragu dia terus melangkah lebih dalam hingga indera pendengarannya menangkap suara berbisik yang membuatnya curiga. Abimana melihat sekitarnya memcari tempat yang pas buat dia sembunyi dan bisa leluasa mencuri dengar pembicaraan ibu selir dan penasehat itu. Ada pilar yang cukup besar dan tinggi jadi mampu digunakan oleh Abimana untuk sembunyi. Maka dengan langkah mengendap dia melangkah menuju ke pilar tersebut. Penjara khusus dibuat sengaja berbentuk kubah sehingga harus ada penyangga yang kokoh. "Untuk apa lagi kau datang ke sini, Gayatri? Tidak cukupkah kau siksa diri ini, dan apakah kamu lupa asalmu?" cerca Galasbumi dengan menekan ucapannya. Rupanya pria itu tahu jika ada orang lain yang juga datang selain Gayatri. Gayatri tersenyum sinis, dia pun mengulurkan tangannya mencoba menyentuh kulit luar Ki Galasbumi yang dulu adalah s