Angin malam bertiup dengan sendu, darah bercucuran membasahi tanah hutan gelap. Untuk sesaat Jagat berdiri mematung di depan jasad Jantaka. Pria itu seakan menyesali perbuatannya malam ini. Dia sendiri tidak mengerti mengapa harus terjadi, tetapi keadaanya begitu mendesak hingga mengharuskan dia melakukan hal itu. "Sudah jangan sesali apa yang sudah terjadi, Le! Apapun itu semua sudah diserahkan Hyang Agung," bisik Zavia. "Jika dia bisa aku kendalikan mungkin tidak akan seperti ini, Ibunda. Aku tidak ingin pendekar putih meninggal ditanganku," ucap Jagat. "Jangan terlalu dipikirkan. Lebih baik segera kebumikan jasadnya sebelum terendus binatang buas lainnya!"Jagat segera melakukan apa yang dikatakan oleh ibundanya-Zavia. Untuk saat ini Jagat sudah mau menerima jalan takdirnya sebagai putra Lawangbumi yang mewakili sebuah kerajaan besar. Saat mulai pemakaman jasad Jantaka, bayangan sang begawan melintas sesaat lalu perkelahiannya dengan Jantaka ikut berputar. Jurus yang maha dahs
Kembali ke istana Bumi Seloka, terlihat Abimana duduk di taman kedaton. Pria itu terlihat gelisah di setiap langkahnya. Apa yang tersirat dalam pandangan batinnya terasa begitu nyata. Satu per satu orang yang berada di sisinya telah terenggut nyawanya. "Beberapa purnama silam Bengawan Sanggabumi, lalu semalam Jantaka. Apakah nantinya Kurubumi juga akan binasa di tangan pria ayu itu? Laknat, aku harus segera membicarakan hal ini pada ibunda Ratu. Abimana berjalan menyusuri koridor istana menuju ke peraduan ibundanya. Dia yakin saat ini sang bunda ada dalam peraduan. Menurut kabar angin Ibu Ratu sedang tidak enak badan. Langkah Abimana terhenti kala pandangannya menangkap selir raja berjalan tergesa menuju ke para tawanan. Dahi pemuda itu berkerut membuat otaknya penuh tanya. "Apa yang dilakukan oleh wanita penjilat itu? Mengapa dia berjalan tergesa menuju ke lorong bawah tanah?" gumam Abimana sambil tungkainya bergerak mengikuti langkah Gayatri. Selir Albara yang satu itu terus be
Abimana memilih untuk masuk ke lorong sebelah kiri yang dia tahu di dalam sana terdekat penjara khusus untuk penasehat agung yaitu Ki Galasbumi. Tanpa ragu dia terus melangkah lebih dalam hingga indera pendengarannya menangkap suara berbisik yang membuatnya curiga. Abimana melihat sekitarnya memcari tempat yang pas buat dia sembunyi dan bisa leluasa mencuri dengar pembicaraan ibu selir dan penasehat itu. Ada pilar yang cukup besar dan tinggi jadi mampu digunakan oleh Abimana untuk sembunyi. Maka dengan langkah mengendap dia melangkah menuju ke pilar tersebut. Penjara khusus dibuat sengaja berbentuk kubah sehingga harus ada penyangga yang kokoh. "Untuk apa lagi kau datang ke sini, Gayatri? Tidak cukupkah kau siksa diri ini, dan apakah kamu lupa asalmu?" cerca Galasbumi dengan menekan ucapannya. Rupanya pria itu tahu jika ada orang lain yang juga datang selain Gayatri. Gayatri tersenyum sinis, dia pun mengulurkan tangannya mencoba menyentuh kulit luar Ki Galasbumi yang dulu adalah s
Abimana menatap tajam Galasbumi yang masih tertawa terbahak. Pemuda itu merasakan aura yang berbeda menguar dari tubuh penasehat agung tersebut. Kemudian pandangannya berpindah pada ibu selir. "Bisa jelaskan padaku siapa sebenarnya pria tua ini, Ibu Selir?""Jangan kau peduli dengan pria ini, Pangeran. Lebih baik kita segera keluar dari sini sebelum udara membunuhmu!" Usai berkata Gayatri langsung berbalik badan, melangkah meninggalkan Abimana yang masih berdiri mematung menatap lurus pada sosok Galasbumi. Dalam otaknya muncul pertanyaan mengenai pria tua. "Apa yang membuatmu masih bertahan di sini meskipun puluhan purnama terkurung, Ki?" "Semua ada tujuannya, Pangeran. Dan hal itu bukan urusanmu!" tukas Galasbumi. Abimana seketika terhenyak mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Galasbumi. Jika bukan urusannya mengapa pria itu menyuruhnya untuk menanyakan perihal ibu selir pada ibundanya. Rasa penasarannya belum terjawab, tetapi sudah ada misteri lainnya yang berhasil ditangka
Tanpa banyak kata, Abimana langsung menyeruak masuk ke dalam kamar pribadi ibundanya. Begitu pintu terbuka terlihat sosok wanita tua yang dia tidak kenal. "Siapa kamu, dimana Ibu Ratu?" Wanita itu tersenyum tipis dengan tatapan dingin dam datar. Aura dan cakra yang menguar membawa hawa hitam membuat Abimana mundur beberapa langkah. Kedua matanya menatap penuh tanya akan sosok wanita itu yang sekilas saat tersenyum mirip sekali dengan sosok ibu ratu. Abimana mengerutkan dahinya. Muncul sebuah tanya dalam otaknya, mungkinkah ibundanya telah terbunuh di tangan wanita tua itu? Abimana menggelengkan kepala tanda menolak apa yang ada di otaknya. Tiba-tiba di teringat akan saran Galasbumi untuk menanyakan perihal Gayatri pada ibunya. "Apakah mungkin kamu adalah ibu ratu? Apa yang terjadi dengan tubuhmu, Ibu Ratu?" cerca Abimana menekan wanita tua itu. "Apa yang kamu perkirakan dalam otakmu benar adanya. Akulah wujud asli Arsinta, Ngger. Apa kamu terluka?"Wajah Abimana seketika terkeju
Apa yang terjadi di ruang pribadi Arsinta rupanya berpengaruh pada suhu tubuh Gayatri yang tengah berdiri menatap langit. "Untuk malam ini saja, Arsinta. Malam selanjutnya kau yang akan mati dalam kenistaan," gumam Gayatri. Malam sebelum Albara datang ke peraduan sang ratu, pria itu telah berkelana mencari tumbal untuk kelangsungan hidup ratunya. Semua berjalan lancar karena dibantu oleh tangan Gayatri. Saat itu di tengah perjalanan menuju ke hutan larangan terdengar erangan wanita yang akan melahirkan. Gayatri merasakan adanya denyut nada yang lemah dalam rahim seorang wanita. Gegas Gayatri mengikuti asal suara. Hingga beberapa depa lebih masuk ke dalam terlihat seorang wanita memegang perutnya yang membesar. Lalu Gayatri berjalan menuju ke wanita tersebut. "Apa yang kau rasakan?" "Sakit, mungkin dia sudah tidak tahan berada di dalam sana. Tolong keluarkan bayi sialan ini! Aku ndak mau repot membesarkan," ujar wanita itu. "Aku ambil sumber dayanya, kau mau imbalan apa atas ben
Apa yang didengar oleh Abimana makin membuat otaknya berkelana. Pemuda yang tidak pernah jauh akan nikmatnya perempuan tiba-tiba terasa mual. Apa yang dijelaskan oleh Galasbumi justru membuatnya makin muak dengan mahkluk yang wujud siluman. "Apakah semua siluman seperti itu, Ki?" tanya Abimana yang duduk di depan jeruji besi. "Tidak bisakan Ki Galas langsung keluar dari perangkap yang dibuat ibu selir?"Galasbumi tersenyum, pria berjenggot itu menatap wajah pangeran yang bingung. Lalu pria itu diam dan menghilang. Sesaat kemudian dia sudah duduk di belakang Abimana. "Apakah seperti ini, Pangeran? Bagiku sangat mudah," kata Galasbumi. Mendengar ada suara di belakangnya membuat Abimana langsung berbalik melihat sosok siapa. Kedua bola matanya membulat tidak percaya. Apa yang dilihat dalam penjara masih duduk sila Galasbumi, sedangkan dibelakangnya juga ada pria tua itu. "Ki, bagaimana bisa?""Kau masih bau kencur, mainmu belum jauh. Coba kau cari ilmu di sepanjang jalan, maka semua
Sementara di Desa Pucang Anom, desa terdekat dengan pintu gerbang kerajana Bumi Seloka dari arah selatan terlihat Jagat berjalan seiring dengan Zavia. Sosok Jagat sudah dapat dikenali oleh warga sekitar langsung memberi jalan. Saat ini wilayah selatan jarang sekali dikunjungi oleh pasukan kerajaan. Datang pun mereka hanya meminta upeti tanpa ada keringanan. "Tuan, sudah lama Anda tidak berkunjung ke sini. Apa kabar?""Baik, Ki. Aku hanya berkelana mencari sesuatu yang hilang dari hidupku," jawab Jagat. Lalu pria pemilik kedai menatap pada sosok Zavia yang duduk sedikit berjauhan dengan Jagat. Hal itu membuat pemilik keda mengerutkan dahi. Secara nyata kedua wajah itu sekilas mirip yang membedakan hanya jenis kelamin. "Maaf, Tuan, mengapa sekarang berganti pasangan?"Jagat menatap pada pemilik kedai lalu berpaling pada Zavia. Dia tersenyum. "Ini ibuku."Pemilik kedai menutup mulutnya yang membuka lebar sendiri lalu mengangguk pada Zavia. "Silakan duduk, biar aku yang layani kalia