Tanpa banyak kata, Abimana langsung menyeruak masuk ke dalam kamar pribadi ibundanya. Begitu pintu terbuka terlihat sosok wanita tua yang dia tidak kenal. "Siapa kamu, dimana Ibu Ratu?" Wanita itu tersenyum tipis dengan tatapan dingin dam datar. Aura dan cakra yang menguar membawa hawa hitam membuat Abimana mundur beberapa langkah. Kedua matanya menatap penuh tanya akan sosok wanita itu yang sekilas saat tersenyum mirip sekali dengan sosok ibu ratu. Abimana mengerutkan dahinya. Muncul sebuah tanya dalam otaknya, mungkinkah ibundanya telah terbunuh di tangan wanita tua itu? Abimana menggelengkan kepala tanda menolak apa yang ada di otaknya. Tiba-tiba di teringat akan saran Galasbumi untuk menanyakan perihal Gayatri pada ibunya. "Apakah mungkin kamu adalah ibu ratu? Apa yang terjadi dengan tubuhmu, Ibu Ratu?" cerca Abimana menekan wanita tua itu. "Apa yang kamu perkirakan dalam otakmu benar adanya. Akulah wujud asli Arsinta, Ngger. Apa kamu terluka?"Wajah Abimana seketika terkeju
Apa yang terjadi di ruang pribadi Arsinta rupanya berpengaruh pada suhu tubuh Gayatri yang tengah berdiri menatap langit. "Untuk malam ini saja, Arsinta. Malam selanjutnya kau yang akan mati dalam kenistaan," gumam Gayatri. Malam sebelum Albara datang ke peraduan sang ratu, pria itu telah berkelana mencari tumbal untuk kelangsungan hidup ratunya. Semua berjalan lancar karena dibantu oleh tangan Gayatri. Saat itu di tengah perjalanan menuju ke hutan larangan terdengar erangan wanita yang akan melahirkan. Gayatri merasakan adanya denyut nada yang lemah dalam rahim seorang wanita. Gegas Gayatri mengikuti asal suara. Hingga beberapa depa lebih masuk ke dalam terlihat seorang wanita memegang perutnya yang membesar. Lalu Gayatri berjalan menuju ke wanita tersebut. "Apa yang kau rasakan?" "Sakit, mungkin dia sudah tidak tahan berada di dalam sana. Tolong keluarkan bayi sialan ini! Aku ndak mau repot membesarkan," ujar wanita itu. "Aku ambil sumber dayanya, kau mau imbalan apa atas ben
Apa yang didengar oleh Abimana makin membuat otaknya berkelana. Pemuda yang tidak pernah jauh akan nikmatnya perempuan tiba-tiba terasa mual. Apa yang dijelaskan oleh Galasbumi justru membuatnya makin muak dengan mahkluk yang wujud siluman. "Apakah semua siluman seperti itu, Ki?" tanya Abimana yang duduk di depan jeruji besi. "Tidak bisakan Ki Galas langsung keluar dari perangkap yang dibuat ibu selir?"Galasbumi tersenyum, pria berjenggot itu menatap wajah pangeran yang bingung. Lalu pria itu diam dan menghilang. Sesaat kemudian dia sudah duduk di belakang Abimana. "Apakah seperti ini, Pangeran? Bagiku sangat mudah," kata Galasbumi. Mendengar ada suara di belakangnya membuat Abimana langsung berbalik melihat sosok siapa. Kedua bola matanya membulat tidak percaya. Apa yang dilihat dalam penjara masih duduk sila Galasbumi, sedangkan dibelakangnya juga ada pria tua itu. "Ki, bagaimana bisa?""Kau masih bau kencur, mainmu belum jauh. Coba kau cari ilmu di sepanjang jalan, maka semua
Sementara di Desa Pucang Anom, desa terdekat dengan pintu gerbang kerajana Bumi Seloka dari arah selatan terlihat Jagat berjalan seiring dengan Zavia. Sosok Jagat sudah dapat dikenali oleh warga sekitar langsung memberi jalan. Saat ini wilayah selatan jarang sekali dikunjungi oleh pasukan kerajaan. Datang pun mereka hanya meminta upeti tanpa ada keringanan. "Tuan, sudah lama Anda tidak berkunjung ke sini. Apa kabar?""Baik, Ki. Aku hanya berkelana mencari sesuatu yang hilang dari hidupku," jawab Jagat. Lalu pria pemilik kedai menatap pada sosok Zavia yang duduk sedikit berjauhan dengan Jagat. Hal itu membuat pemilik keda mengerutkan dahi. Secara nyata kedua wajah itu sekilas mirip yang membedakan hanya jenis kelamin. "Maaf, Tuan, mengapa sekarang berganti pasangan?"Jagat menatap pada pemilik kedai lalu berpaling pada Zavia. Dia tersenyum. "Ini ibuku."Pemilik kedai menutup mulutnya yang membuka lebar sendiri lalu mengangguk pada Zavia. "Silakan duduk, biar aku yang layani kalia
Jaka terdiam, kedua matanya bergerak cepat melihat sekitar kedai tersebut. Seakan dia takut jika ada orang lain yang mengenali kedua pendekar di depannya. "Pimpinan kami mengundang Anda berdua untuk datang ke Padepokan Galuh Wening," bisik Jaka. Jagat menatap pemuda di depannya yang dulu pernah menyerang tanpa alasan pasti. Untuk sesaat Jagat diam, lalu kepalanya menggeleng tidak mengerti. Baru kali ini dia tidak bisa menembus batas pikiran Jaka. "Rupanya ada batas tipis yang menyimuti pola pikir Jaka," batin Jagat. "Ada apa denganmu, Le?" bisik Zavia. Jagat kembali tersenyum sambil menggelengkan kepalanya tanda dia tidak apa. Namun, bukan Zavia jika dia mengejar tanya. "Lalu?""Kita ikuti saja apa yang diinginkan oleh pedepokan itu, Ibu!"Zavia tersenyum, lalu dia bangkit menuju ke bagian pembayaran makanan yang sudah dimakan bersama Jagat. Sambil berjalan kedua matanya memindai keseluruhan situasi kedai tersebut. Jagat pun beranjak dari duduknya, dia berjalan keluar kedai leb
Angin menderu menyambut datangnya dua kuda jantan hitam legam. Terlihat sosok wanita cantik dengan gaun biru muda terbang mendekat dan langsung turun begitu dua kuda itu berhenti. "Selamat datang di gubug reyot kami, Nyai Ratu dan Pengeran!" sapa wanita cantik berambut panjang, "Perkanalkan saya--Roro Wening."Perempuan itu membungkuk untuk memberi penghormatan. Mendengar nama tersebut terucap mulus di bibir wanita cantik membuat dahi Zavia berkerut. Dia merasa ada yang aneh, bagaimana bisa wanifa itu tahu identitasnya. "Siapa kamu sebenarnya, Wening? Dari mana kamu tahu nama dan asal usulku?" cerca Zavia. Belum sempat Wening menjawab pertanyaan Zavia, terlihat dua orang pendekar tua berjalan beriring dengan membawa tongkat. Jagat yang mengenali salah satu pendekar tersebut bergumam. "Ki Bajanglawu!""Kau mengenalnya, Le?""Mereka pendekar golongan putih yang sejak lama memantau perkembangan kerajaan, Ibu," papar Jagat. Ki Bajanglawu dan saudaranya mengulum senyum. Lalu keduanya b
Bajanglawu mengarahkan kedua tamunya pada pohon beringin yang sejak lama sudah dianggap memiliki kekuatan magis. Bahkan kedua pendekar kembar lawu itu sampai memuja pohon tersebut. "Apa maksudnya ini, Bledek?" tanya Zavia dengan nada tinggi dan penuh tekanan. Bledek tidak mengindahkan pertanyaan Zavia, dia terus berjalan menuju ke pusat pemujaan. Di sana terlihat banyak dupa dan beras warna kuning. "Kau memuja pohon ini, Lawu, apakah kepercayaanmu sudah berbelok?" getam Zavia, "Pohon ini juga ciptaan Hyang Agung."Bledek masih terlihat fokus menabur beras kuning di sekitar pohon itu. Lambat laun beras tersebut terserap masuk ke dalam tanah. Mata Zavia membelalak kaget, baru kali ini di melihat keanehan secara langsung. "Bagaimana kalian bisa temukan pohon ini?" "Awalnya saya juga tidak paham kelebihan pohon ini, Nyai Ratu. Namun, saat Kang Bajang datang bersama Wening yang dalam keadaan terluka parah semua baru terungkap," kata Bledek "Apa maksudnya?"Bledek diam, bibirnya berke
"Argh!" jerit tertahan Wening membuat Zavia tersenyum puas. Namun, tidak untuk Wening. Wanita muda itu seketika merentangkan kedua lengannya tanpa pedulikan rembesan darah segar mulai membasahi jubah tipisnya. Untuk beberapa saat kedua mata wanita itu terpejam. Bersamaan dengan itu beberapa daun pohon keajaiban menyala merah lalu sinarnya melesat masuk ke raga Wening. Saat itu juga tubuh yang awalnya berada di tingkat lima kini naik secara drastis pada tingkat tujuh level satu. "Weh, keren Si Wening. Memang perlu diacungi jempol. Lawan Nyai Ratu hingga babak belur, Wening!" teriak seorang pemuda dengan pakaian lusuhnya. Jagat menoleh pada asal suara. Saat itu juga kedua tangannya mengepal begitu dia melihat wajah pria tersebut. "Siapa dia, Ki?"Bledek menatap pada arah pandang Jagat. Kedua bola matanya mengerjab dan menggeleng tidak tahu pasti. "Memangnya apa ada yang salah, Pangeran?" tanyanya masih tidak mengerti dengan maksud Jagat. "Tidak, hanya saja sepertinya dia berasal d
Jagat masih diam menatap wajah istrinya, dia seakan tidak pernah puas bila memandang wajah Akshita. Meskipun ada banyak wanita yang selalu menemani perjalanan hidupnya tetap Akshita yang menjadi penghias mimpinya. "Apakah masih kurang apa yang aku beri padamu selama ini, Aks. Hingga kau harus pergi lagi?"Akshita mengurai pelukan suaminya, lalu dia berjalan menuju ke tengah taman. Dia berdiri di tengah dengan kepala mendongak ke atas melihat pada sinar bulan yang malu. Jagat berjalan mendekat, dia mengikuti arah pandang istrinya. Namun, dia tidak menemukan sesuatu hal yang menarik di atas sana. Kedua tangannya kembali meriah pinggang istrinya dan mendekap erat. "Aku sulit untuk melupakan semua tentangmu meskipun sudah ada beberapa selir yang hangatkan ranjangku, Aks. Pesonamu tidak tergantikan," bisik Jagat diujung telinga Akshita. Wanita itu meletakkan kepalanya pada bahu Jagat dengan pandangan masih ke atas. Bibir tipisnya mengembang dengan mengeluarkan suara yang sangat rendah,
Akshita masih menatap wajah Jagat dengan lembut, kedua tangannya melingkar di leher kekar itu. Napasnya yang harum telah menyapa kulit leher Jagat. Sentuhan yang lama tidak menyapa kini mulai membangkitkan hasrat terpendam. Semilir angin telah mengganggu jiwa Jagat, dia tidak bisa menolak pesona sang dewi. Akshita masih mengumbar senyum manisnya dengan jari jemari berjalan naik turun di sepanjang leher kekasihnya. Jagat mulai bergolak, jakunnya naik turun dengan cepat membuat senyum Akshita makin memabukkan. "Bukan tidak rela, Kang. Tetapi lebih ingin memiliki seutuhnya semua milikmu termasuk jiwamu."Jagat bergerak merapatkan tubuhnya hingga membuat Akshita terduduk di pinggiran kolam. Selendang merah yang membungkus dadanya berkibar bersentuhan dengan angin hingga menampilkan tulang selangka yang indah. Jagat sudah tidak tahan lagi, maka dia menundukkan kepalanya dan melabuhkan kecupan ringan pada tulang selangka itu. Kecupan yang lembut dan penuh kasih belum mampu membangkitkan
Jagat Kelana menatap sosok pria muda di depannya. Bibirnya melengkung sempurna, lalu tangannya terangkat untuk memberi restu pada pria muda itu. Pria muda itu pun membujuk sesaat lalu terangkat menatap langsung pada manik mata Raja muda itu. Dia tersenyum tipis. "Bagaimana pola latihan mereka, Anakmas?"Pria muda itu mulai menjelaskan kemajuan latihan para prajurit yang selama ini dia latih. Semua telah berhasil hingga ke tingkat tengah kelas dua. "Apakah jadi mereka dipilih dan dikirim ke kerajaan sebelah, Ayahanda?""Iya, kerajaan itu belum memiliki prajurit handal satu pun. Siapa nama kamu, Anakmas?"Pria muda itu menatap pada Raja Singgalang, lalu bibirnya tersenyum dengan menyuarakan, " Airlangga Batinara."Jagat tersenyum, "berapa usiamu?""25 tahun masa alam kami."Jagat Kelana tersenyum, dia berdiri dan terbang mendekati sosok pria muda itu. Lalu dia berdiri di depan Airlangga, memeluknya erat. "Sudah sebesar ini baru kamu datang ke sini. Apakah tidak ingin tahu ayahmu?""
Malam yang begitu dingin membuat Jagat segera membawa tubuh istrinya masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan pun berlanjut hingga berulang kali. Ternyata tubuh yang memiliki struktur tulang yang rentan itu mampu menampung gairahnya hingga berulang kali. Prameswari merasa begitu bahagia telah membuat suaminya tersenyum puas. Akan tetapi, tubuh itu juga memiliki daya tahan yang rendah. Penyatuan yang dilakukan hingga menjelang pagi membuat tulang Prameswari seakan lepas kontrol. Tubuhnya menjadi lemas. "Tuan, Suamiku, maafkan aku! Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu," kata Prameswari dengan tatapan memohon. "Baiklah, kita sudahi dulu. Sekarang tidurlah!" balas Jagat. Setelah berkata itu, kedua mata Prameswari terpejam. Hal ini membuat Jagat khawatir, dia pun segera memeriksa kondisi tubuh istrinya. "Bagaimana bisa seperti ini, Nyai? Aku baru saja merasakan nyaman bersama tubuhmu, kamu terlanjur pingsan. Hadeh!"Jagat segera memakai jubahnya, lalu dia duduk sila di sisi ranjang. Kedua
Malam ini waktunya Jagat bersama Prameswari. Keduanya duduk di teras belakang paviliun. Jagat memilih duduk di tanah beralaskan rumput, sementara Prameswari duduk diam di sisi kanannya. "Duduk dekat sinilah, Istriku!" Prameswari menggeser tubuhnya dengan senyum yang dia sembunyikan. Kepalanya menunduk dalam, dia malu dengan pendekatan suaminya. Berbeda dengan Jagat, dia justru mulai merebahkan kepalanya pada paha Prameswari membuat wanita itu terdiam seketika. "Suami!" pekik Prameswari ringan. Dengan santainya Jagat mencari tempat ternyaman untuk kepalanya, lalu tangannya meraih jemari istrinya itu dan meletakkan pada kepalanya. "Bisa pijat di sini sebentar, Nyai!" Pinta Jagat dengan tatapan penuh harap. Prameswari tidak bisa bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun gemetaran menyentuh kepala suaminya. Perlahan disentuhnya rambut bergelombang pendek milik suaminya. 'Jantungku sepertinya mulai sakit," batin Prameswari merasa hatinya begitu senang be
"Nyai, kok malah melamun," kata Jagat lembut sambil melabuhkan sebuah kecupan hangat pada bibir istrinya. Mendapat sentuhan lembut seketika lamunan Akshita menghilang, lalu dia membalas ciuman Jagat lebih meminta. Keduanya larut dalam ciuman yang dalam. Cukup lama keduanya saling berbagi saliva, bahkan Jagat mulai menekan tubuh Akshita pada sandaran kursi kemudian dia duduk menyilang agar lebih dekat. "Kang!" panggil Akshita dengan nada berat. "Hemm."Jagat tidak melepaskan pelukannya dia justru mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke ayunan yang biasa di gunakan Jagat saat mengingat kenangan bersama Akshita. "Apakah di sini tidak akan mengganggu yang lainnya, Kang? Aku merindukanmu," bisik Akshita yang membuat gairah Jagat memuncak. "Tidak. Dan jangan remehkan kekuatanku saat ini, Nyai."Akshita tersenyum, jari jemarinya mulai bergerak perlahan membuka satu per satu kain penutup tubuh suaminya. Jagat membiarkan semua inginnya Akshita. Dia terlihat begitu menikmati apa pun y
Mendengar niat suaminya, Roro Wening pun menyiapkan segalanya yang biasa dilakukan Jahat sebelum penyatuan. Kali ini selir itu tidak mau ada yang tertinggal. Ini adalah pelajaran yang sudah dia pahami selama hidup bersama Jagat baik sebelum miliki kerajaan ataupun sudah. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Asih!" kata Roro Wening sambil menata beberapa benda yang harus dipakai oleh selir utama. "Nggeh, siap."Seorang dayang senior ikut membantu selur agung menyiapkan semua. Mulai dari aroma cendana hingga kain penutup kala penyatuan dimulai. Roro Wening juga memberikan beberapa catatan apa saja yang akan diucapkan sebelum tubuh Prameswari tersentuh. "Semua sudah siap, Kanjeng Ratu.""Jangan sebut nama itu, Asih. Semua belum resmi meskipun Yunda Akshita sudah datang menemaniku semalam.""Jika sudah seperti ini tidak mungkin akan lupa, Kanjeng Ratu. Niat Nyai Akshita sudah jelas bahkan putranya sendiri ditugaskan untuk menjaga kedamaian kerajaan ini lho," papar Asih--dayang senior.
Sinar mentari masuk di sela jendela kamar Roro Wening, hangatnya mampu membangunkan selir cantik dan seksi itu. Melihat istrinya mulai bangkit dari ranjang Jagat segera mendekat dan membantu istrinya itu. Perlakuan Jagat yang hangat membuat hati Roro Wening terharu. "Duduk sini dulu, tunggu kusiapkan air untuk kamu mandi!" kata Jagat. Roro Wening pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Jagat. Kemudian pria itu berdiri menuju ke balik pembatas anyaman bambu. Terdengar suara gemericik air yang dialirkan oleh Jagat. Setelah semua persiapan mandi istri selesai, Jagat keluar dari dalam lalu melangkah mengikis jarak dengan istrinya. Kemudian dengan lengannya diangkat tubuh istrinya ala bridal. "Turunkan aku, Suamiku!""Jangan banyak bergerak biar ndak jatuh!"Mendengar hal itu membuat Roro Wening mempererat pegangannya pada leher Jagat. Pria itu tersenyum melihat sikap istrinya, lalu dimasukkan perlahan tubuh Roro Wening ke dalam bak mandi. Tangan Jagat mulai bergerak membasuh punggung i
Udara dingin membuat tubuh Roro Wening menggigil parah. Bahkan muncul ruam merah hingga membuat salah satu dayang berlarian di sepanjang lorong peraduan raja. Dayang itu mendengar suara sang Raja berbicara dengan seorang wanita, bahkan suaranya begitu membuat bulu kuduk berdiri. Sebagai wanita dewasa dayang itu pasti paham suara apa yang dia dengar. Namun, dia lebih memilih tetap diam berdiri di depan pintu hingga suara itu menghilang. Cukup lama dayang itu berdiri di sana hingga pintu kamar Raja terbuka menampilkan sosok wanita yang begitu cantik dengan wajah bercahaya. "Masuklah!" Usia berkata wanita itu pergi sambil menarik selendang merahnya hingga membuat tubuhnya terbang. Peristiwa yang langka membuat wanita itu terpana dan takjub. Sungguh kejadian itu teramat langka. Suara Raja yang memanggilnya pun tidak mampu membuatnya lepas meninggalkan pemandangan itu. "Dayang, ada apa hingga larut malam kamu tidak istirahat?" Suara Jagat sudah begitu dekat dengan telinga dayang membu