"Argh!" jerit tertahan Wening membuat Zavia tersenyum puas. Namun, tidak untuk Wening. Wanita muda itu seketika merentangkan kedua lengannya tanpa pedulikan rembesan darah segar mulai membasahi jubah tipisnya. Untuk beberapa saat kedua mata wanita itu terpejam. Bersamaan dengan itu beberapa daun pohon keajaiban menyala merah lalu sinarnya melesat masuk ke raga Wening. Saat itu juga tubuh yang awalnya berada di tingkat lima kini naik secara drastis pada tingkat tujuh level satu. "Weh, keren Si Wening. Memang perlu diacungi jempol. Lawan Nyai Ratu hingga babak belur, Wening!" teriak seorang pemuda dengan pakaian lusuhnya. Jagat menoleh pada asal suara. Saat itu juga kedua tangannya mengepal begitu dia melihat wajah pria tersebut. "Siapa dia, Ki?"Bledek menatap pada arah pandang Jagat. Kedua bola matanya mengerjab dan menggeleng tidak tahu pasti. "Memangnya apa ada yang salah, Pangeran?" tanyanya masih tidak mengerti dengan maksud Jagat. "Tidak, hanya saja sepertinya dia berasal d
Tawa sumbang terdengar begitu lama dan mampu membuat tanah sekitarnya bergetar. Tubuh Wening tiba-tiba merinding begitu tawa itu makin membahana. "Siapa sebenarnya pria ini?" batin Wening, "Tenaganya begitu kuat."Jagat seketika langsung terdiam, ekor matanya melihat ke arah Wening yang menatapnya penuh tanya. "Apa kabar pemuda itu, Ki?" tanya Jagat. "Sepertinya dia sekarat di sudut 12 derajat, Pangeran."Jagat melihat pada arah yang disebutkan oleh Ki Bledek, lalu bibirnya mengulas senyum masam. Zavia yang merasakan tindakan putranya pun berbalik badan dan menyentil dahi Jagat. "Jangan sering berbuat nakal, Le. Tidak baik untuk seorang pepimpin," kata Zavia. "Maaf, Ibu."Dari jauh terlihat seorang pemuda berjalan tertatih menuju ke saung dimana Jagat dan lainnya duduk berbincang akrab. Pemuda itu yang tidak lain adalah Sasapati meringis mengikis jaraknya. Hingga akhirnya dia membungkuk di hadapan Jagat. "Maafkan aku, Pria Ayu!" ujat Sasapti dengan nada rendah, "Aku mohon, ini
Jagat memindai seluruh kondisi rusa betina itu. Dengan telaten diusapnya perut hewan tersebut seolah dia sedang mengusap perut istrinya. Apa yang dilakukan oleh Jagat membuat Zavia penasaran apalagi tanyanya tidak dijawab oleh sang putra. Perlahan dia turun dari saung lalu berjalan mendekati Jagat dan duduk sila di depan jalan keluar kotoran hewan itu. Kedua mata Zavia menyipit kala terlihat pergerakan yang tidak biasa. "Anakmas, ini bukan hamil. Rusa ini seakan kesakitan membawa sesuatu dalam perutnya," ungkap Zavia. "Begitulah, Ibu. Jagat sudah berusaha maksimal saat di dasar jurang tadi. Tetapi sepertinya benda itu tidak mau jinak," jawab Jagat. Zavia berdiri melihat ke sekitar. Dia kembali menyipit memindai sumber daya yang dimiliki beberapa pendekar yang mumpuni. Lalu bibirnya melengkung, dia tersenyum. "Biarkan yang lain mencoba mengeluarkan benda itu, Jagat! Mungkin di antara murid Ki Bajanglawu atau Ki Bledek ada yang mampu," kata Zavia. "Ini harus segera, Ibu. Karena ha
Jagat sudah berdiri di tembok pembatas antara penjara bawah tanah dan ruang isolasi yang lain. Alunan seruling emas masih mendayu menyapa seluruh indera pendengaran prajurit jaga malam itu. Jagat bergerak senyap masuk ke ruang bawah tanah, untuk sesaat dia berdiri terpaku di dua jalan bercabang. Kali ini instingnya berkata lorong kirilah tempat yang dia tuju. Maka, segera kakinya melangkah mengikuti insting. Dan benar, sosok tua berjenggot tergeletak tiada daya dengan ditemani dua pemuda di luar terali besi. "Pangeran!" Suara kedua pemuda bersamaan saat sosok Jagat berdiri menjulang. "Bagaimana kabar Paman Galas?"Kedua pemuda yang diyakini Jagat sebagai perawat sekaligus murid Galasbumi itu saling pandang laku keduanya berpaling pada sosok tubuh Galasbumi. "Sebelum Pangeran Abimana dan Gusti Ayi Selir datang kondisi guru segar bugar. Namun, setelah mereka menyingkir seperti inilah, Pangeran!"Jagat diam, tangannya memberi isyarat agar keduanya menepi untuk sesaat. Setelah mere
Angin malam berhembus sedikit berbeda. Udara yang biasanya dingin menjadi panas. Gayatri terlihat gelisah, wanita itu seakan sedang menunggu seseorang. "Sialan, udara cepat sekali berubah. Apa yang akan terjadi esok hari?"Wanita itu hampir semalaman tidak memejamkan mata hingga terdengar suara derap langkah kaki yang bertahap. Dahi Gayatri berkerut. Wanita itu merasakan adanya peristiwa besar yang terjadi di istana. Dia segera berkemas mempersiapkan diri, selanjutnya wanita itu berjalan tergesa di ruang agung. Didorongnya pintu berukir dengan ketinggian lima meter kasar. "Apa yang terjadi, Suamiku?" tanya Gayatri tanpa menunggu waktu. Albara yang sedang duduk di singgasananya bersama sang ratu terlihat murung. "Apa yang kamu lakukan di sana bersama Abimana masa silam?" tanya Albara dingin. Gayatri menatap penuh tanya pada suaminya dan Arsinta bergantian. Dia tidak mengerti arah pertanyaan suaminya. "Kau harusnya sadar diri, Gayatri, ingat kau hanya selir!" geram Arsinta. Gaya
Di saat semua diam, terdengar langkah kaki tergesa. Dari ambang pintu utama terlihat wajah Abimana yang suram. Pria muda itu seakan dipenuhi dengan rasa penasaran dan curiga. Setelah jaraknya dengan kedua pemimpin, Abimana berhenti dan membungkuk memberi hormat. Kemudian tatapannya beralih pada setiap wajah yang ada di dalam ruang agung. "Maafkan jika aku harus datang. Aku rada ada sesuatu yang aku ungkap di sini," kata Abimana. Albara menatap putranya. Ada semburat ragu dengan perkataan Abimana. Baginya pria muda itu masih belum tahu apa yang sedang diperebutkan. "Coba ungkap apa yang Pangeran lihat selama berada di ruang bawah tanah itu!" pinta Sakuntala. Abimana tersenyum pada bawahannya itu. Perlahan dia mulai menceritakan apa yang telah terjadi saat itu hingga dia beranjak pergi. "Jadi, Galasbumi sempat keluar dari teralis besi itu? Lalu bagaimana bisa dia langsung melebur jadi abu?" tanya Sakuntala. Abimana berpaling menatap pada Gayatri, "Mohon Ibu Selir ungkap semua saa
Gayatri berpaling menatap pada suaminya, lalu bibirnya melengkung sempurna. Senyum yang sama saat pertama kali Albara menyentuh tubuhnya. Dengan senyum itu, Gayatri berharap bahwa lelakinya kembali takluk padanya. Namun, amarah masih tersirat di sorot tajam manik mata Albara. Meskipun begitu tidak menyurutkan langkah Gayatri untuk mendekati raja itu. "Berhenti di sana, Gayatri!" hentak Albara kala langkah selirnya makin bergerak maju menyisakan jarak lima depa. "Katakan saja dari sana!"Gayatri seketika menghentikan langkahnya dan menghela napas panjang, lalu bibirnya mengulum senyum dan mulai bergerak lirih, "Bagaimana jika aku minta wilayah selatan sebagai hadiah atas nyawa Galasbumi, Suamiku!""Bangsat, apa ini tujuanmu, Nyai Dewi!" umpat Abimana lantang. Pria muda itu seketika memuncak emosinya. Dia tidak rela jika wilayah selatan yang diinginkan oleh wanita itu. Wilayah yang begitu memendam kisah manis dan pahitnya perjalanan hidupnya. Abimana mengerang tidak terima dan melak
Keringat dingin keluar dari pelipis Jagat. Pria itu terlihat begitu serius mengobati sakit yang diderita oleh senopati kerajaan. Galasbumi hanya mengulum senyum menatap pada Jagat. "Sudah jangan diteruskan, Pangeran. Tubuh renta ini harus segera meninggalkan dunia fana," kata Galasbumi dengan sedikit terputus. Napas pria tua itu sesekali muncul di permukaan, di lain waktu menghilang. Apa yang terjadi membuat seluruh orang yang hadir di sana menjadi tegang. "Tapi, ibunda ratu masih inginkan kehidupan ada di tubuh Paman," kilah Jagat. "Jangan pedulikan apa yang dititahkan oleh Nyai Ratu, Pangeran. Sumber dayamu lebih berguna untuk masa depan." Usai berkata tatapan Galasbumi beralih pada sosok cantik dan anggun berdiri menatapnya penuh harap. "Ikhlaskan aku pergi Adikku!" pinta Galasbumi bernada sangat rendah. Sebuah permintaan yang hanya bisa didengar oleh Zavia membuat wanita itu membola matanya dengan bibir cemberut. "Tidak, kamu harus sembuh, Ki!" Galasbumi merai