Angin malam berhembus sedikit berbeda. Udara yang biasanya dingin menjadi panas. Gayatri terlihat gelisah, wanita itu seakan sedang menunggu seseorang. "Sialan, udara cepat sekali berubah. Apa yang akan terjadi esok hari?"Wanita itu hampir semalaman tidak memejamkan mata hingga terdengar suara derap langkah kaki yang bertahap. Dahi Gayatri berkerut. Wanita itu merasakan adanya peristiwa besar yang terjadi di istana. Dia segera berkemas mempersiapkan diri, selanjutnya wanita itu berjalan tergesa di ruang agung. Didorongnya pintu berukir dengan ketinggian lima meter kasar. "Apa yang terjadi, Suamiku?" tanya Gayatri tanpa menunggu waktu. Albara yang sedang duduk di singgasananya bersama sang ratu terlihat murung. "Apa yang kamu lakukan di sana bersama Abimana masa silam?" tanya Albara dingin. Gayatri menatap penuh tanya pada suaminya dan Arsinta bergantian. Dia tidak mengerti arah pertanyaan suaminya. "Kau harusnya sadar diri, Gayatri, ingat kau hanya selir!" geram Arsinta. Gaya
Di saat semua diam, terdengar langkah kaki tergesa. Dari ambang pintu utama terlihat wajah Abimana yang suram. Pria muda itu seakan dipenuhi dengan rasa penasaran dan curiga. Setelah jaraknya dengan kedua pemimpin, Abimana berhenti dan membungkuk memberi hormat. Kemudian tatapannya beralih pada setiap wajah yang ada di dalam ruang agung. "Maafkan jika aku harus datang. Aku rada ada sesuatu yang aku ungkap di sini," kata Abimana. Albara menatap putranya. Ada semburat ragu dengan perkataan Abimana. Baginya pria muda itu masih belum tahu apa yang sedang diperebutkan. "Coba ungkap apa yang Pangeran lihat selama berada di ruang bawah tanah itu!" pinta Sakuntala. Abimana tersenyum pada bawahannya itu. Perlahan dia mulai menceritakan apa yang telah terjadi saat itu hingga dia beranjak pergi. "Jadi, Galasbumi sempat keluar dari teralis besi itu? Lalu bagaimana bisa dia langsung melebur jadi abu?" tanya Sakuntala. Abimana berpaling menatap pada Gayatri, "Mohon Ibu Selir ungkap semua saa
Gayatri berpaling menatap pada suaminya, lalu bibirnya melengkung sempurna. Senyum yang sama saat pertama kali Albara menyentuh tubuhnya. Dengan senyum itu, Gayatri berharap bahwa lelakinya kembali takluk padanya. Namun, amarah masih tersirat di sorot tajam manik mata Albara. Meskipun begitu tidak menyurutkan langkah Gayatri untuk mendekati raja itu. "Berhenti di sana, Gayatri!" hentak Albara kala langkah selirnya makin bergerak maju menyisakan jarak lima depa. "Katakan saja dari sana!"Gayatri seketika menghentikan langkahnya dan menghela napas panjang, lalu bibirnya mengulum senyum dan mulai bergerak lirih, "Bagaimana jika aku minta wilayah selatan sebagai hadiah atas nyawa Galasbumi, Suamiku!""Bangsat, apa ini tujuanmu, Nyai Dewi!" umpat Abimana lantang. Pria muda itu seketika memuncak emosinya. Dia tidak rela jika wilayah selatan yang diinginkan oleh wanita itu. Wilayah yang begitu memendam kisah manis dan pahitnya perjalanan hidupnya. Abimana mengerang tidak terima dan melak
Keringat dingin keluar dari pelipis Jagat. Pria itu terlihat begitu serius mengobati sakit yang diderita oleh senopati kerajaan. Galasbumi hanya mengulum senyum menatap pada Jagat. "Sudah jangan diteruskan, Pangeran. Tubuh renta ini harus segera meninggalkan dunia fana," kata Galasbumi dengan sedikit terputus. Napas pria tua itu sesekali muncul di permukaan, di lain waktu menghilang. Apa yang terjadi membuat seluruh orang yang hadir di sana menjadi tegang. "Tapi, ibunda ratu masih inginkan kehidupan ada di tubuh Paman," kilah Jagat. "Jangan pedulikan apa yang dititahkan oleh Nyai Ratu, Pangeran. Sumber dayamu lebih berguna untuk masa depan." Usai berkata tatapan Galasbumi beralih pada sosok cantik dan anggun berdiri menatapnya penuh harap. "Ikhlaskan aku pergi Adikku!" pinta Galasbumi bernada sangat rendah. Sebuah permintaan yang hanya bisa didengar oleh Zavia membuat wanita itu membola matanya dengan bibir cemberut. "Tidak, kamu harus sembuh, Ki!" Galasbumi merai
Suasana Padepokan Galuh Wening mulai terlihat sunyi. Beberapa murid lebih memilih berada di dalam bilik masing-masing sesuai pesan Jagat. Bukan karena mereka malas ataupun takut akan suatu hal melainkan mereka diberi tugas untuk semedi. Hampir seluruh murid berada di biliknya hanya sesekali tampak satu atau dua murid yang berkeliling sekitar padepokan. Angin bertiup seperti tidak biasanya, seakan membawa uap air yang begitu dingin membuat kedua pemuda itu menggigil kedinginan. "Malam ini mungkin akan makin dingin, Sobat," kata pemuda kurus. "Huum, seperti yang dikatakan oleh pendekar berkujang itu." "Hust, jangan panggil seperti itu, dia adalah pangeran yang sengaja dihilangkan."Angin makin bertiup kencang hingga sesekali terdengar tawa cekikikan yang berderai menyapa telinga keduanya. Mereka saling tatap penuh tanya, lalu tiba-tiba sebuah anak panah meluncur deras hingga hampir saja menembus jantung si kurus. "Selamet aku isek iso nyingkir," kata kurus sambil menghela napas leg
"Gunakan apa yang ada pada inti sumber daya Anda, Pangeran Abi!" kata Banyubiru. Abimana seketika ingat bagaimana cara untuk pengaturan napas, dia mulai terfokus dan menata ulang jalan napasnya sesuai runtutan dalam kitab beladiri ala Pandan Alas. Lambat laun jalan napas dan darah mulai tertata hingga fokus Abimana kian terjaga. Meskipun fokusnya terjaga konsentrasi yang mulai goyang. Bayangan tubuh telanjang Gayatri menyapa retinanya. Desah hangat yang lolos dari bibir seksi wanita itu sedikit banyak telah mempengaruhi konsentrasinya hingga perlahan jalan napasnya goyang. "Apapun yang muncul dalam pikiran lebih baik dibuang, Pangeran. Itu adalah aral yang harus Anda taklukkan!" bisik Banyubiru. Abimana kembali menyusun jalan napasnya, dia menutup aura negatif yang memunculkan siluet Gayatri. Dalam pikir dan hatinya, pria itu berusaha memunculkan sosok tiga sahabatnya yang mungkin akan sulit dijumpai lagi. Mengingat hal itu, seketika membuat jiwa Abimana berontak. Hal ini membaw
Ambarawa membawa putranya ke tempat biasa dia adu kenuragan bersama istri. Pandangan Abimana menggelap saat melihat lingkungan sekitar. "Biasakan penglihatanmu, Anakmas!"Abimana mencoba mengikuti semua arahan ayahandanya. Perlahan tapi pasti penglihatannya mulai terbiasa dengan penampakan yang tidak biasa di sekitar. "Bagus, sekarang fokus pada sumber daya yang kamu miliki!" Albara terus memberi arahan pada putranya dalam bertarung yang sesungguhnya. Dia tidak ingin kecolongan saat terjadi perebutan kekuasaan yang mungkin saja akan segera terjadi. "Tahan, jangan sampai kau tergoda!" kata Albara saat sesosok wanita yang mulai membelai punggung Abimana. Saat ini Abimana dibawa oleh Albara di suatu tempat yang banyak terdapat makhluk astral. Berbagai godaan baik secara fisik maupun suara sering terjadi agar fokus putra mahkota terbelah. "Fokus, Abimana!" kata Albara lantang. Lalu dengan gerak cepat Albara menyerang putranya dengan berbagai jurus. Tendangan dan pukulan dilayangkan
"Ayahanda, bagaimana keadaanmu?" tanya Abimana begitu pedangnya seakan menyentuh daging. Kedua mata Abimana membelalak tajam saat dilihatnya lengan Albara telah tergeletak menggelepar di atas tanah. Melihat hal itu dia maju beberapa langkah untuk melihat lebih dekat. Tangannya maju dan mulai menyentuh meskipun sedikit ragu, dia tetap memberanikan diri. Ujung jari Abimana menekan lengan ayahnya yang terpotong sempurna, lalu kepalanya tengadah menatap wajah Albara yang masih datar dan dingin seolah apa yang terjadi tidak menurunkan sumber daya. "Bagaimana tidak ada rasa dan efeknya, Ayahanda?"Albara mengulum senyum tipis, kemudian dia melirik lengan kirinya yang telah buntung dan darah masih keluar meskipun tidak sederas di awal. Abimana pun mengikuti arah pandang ayahnya, untuk sesaat ada nyeri yang menelusup relung hatinya. Andai itu terjadi padanya mungkin saja darah akan mengucur deras. Namun, apa yang terjadi pada organ tubuh ayahnya sama sekali darah mengucur. Hanya merembes