Ambarawa membawa putranya ke tempat biasa dia adu kenuragan bersama istri. Pandangan Abimana menggelap saat melihat lingkungan sekitar. "Biasakan penglihatanmu, Anakmas!"Abimana mencoba mengikuti semua arahan ayahandanya. Perlahan tapi pasti penglihatannya mulai terbiasa dengan penampakan yang tidak biasa di sekitar. "Bagus, sekarang fokus pada sumber daya yang kamu miliki!" Albara terus memberi arahan pada putranya dalam bertarung yang sesungguhnya. Dia tidak ingin kecolongan saat terjadi perebutan kekuasaan yang mungkin saja akan segera terjadi. "Tahan, jangan sampai kau tergoda!" kata Albara saat sesosok wanita yang mulai membelai punggung Abimana. Saat ini Abimana dibawa oleh Albara di suatu tempat yang banyak terdapat makhluk astral. Berbagai godaan baik secara fisik maupun suara sering terjadi agar fokus putra mahkota terbelah. "Fokus, Abimana!" kata Albara lantang. Lalu dengan gerak cepat Albara menyerang putranya dengan berbagai jurus. Tendangan dan pukulan dilayangkan
"Ayahanda, bagaimana keadaanmu?" tanya Abimana begitu pedangnya seakan menyentuh daging. Kedua mata Abimana membelalak tajam saat dilihatnya lengan Albara telah tergeletak menggelepar di atas tanah. Melihat hal itu dia maju beberapa langkah untuk melihat lebih dekat. Tangannya maju dan mulai menyentuh meskipun sedikit ragu, dia tetap memberanikan diri. Ujung jari Abimana menekan lengan ayahnya yang terpotong sempurna, lalu kepalanya tengadah menatap wajah Albara yang masih datar dan dingin seolah apa yang terjadi tidak menurunkan sumber daya. "Bagaimana tidak ada rasa dan efeknya, Ayahanda?"Albara mengulum senyum tipis, kemudian dia melirik lengan kirinya yang telah buntung dan darah masih keluar meskipun tidak sederas di awal. Abimana pun mengikuti arah pandang ayahnya, untuk sesaat ada nyeri yang menelusup relung hatinya. Andai itu terjadi padanya mungkin saja darah akan mengucur deras. Namun, apa yang terjadi pada organ tubuh ayahnya sama sekali darah mengucur. Hanya merembes
"Kita harus segera merebut apa yang seharusnya milik kita, Anakmas. Jangan terlalu terlena dengan posisi saat ini, lihat nasib mereka yang tertindas!""Bukan seperti itu maksud Jagat, Ibu. Jujur saat ini masih ada yang perlu Jagat luruskan di dunia berbeda," jawab Jagat dengan suara rendah. Zavia menatap putranya penuh tanya, dia tidak mengerti apa maksud dari kalimat putranya. Namun, hanya sebatas itu dan dia tidak ingin mencari tahu selebihnya. Jagat terdiam dia mulai konsentrasi dalam menyalurkan sumber daya yang baru pada tubuh Galasbumi agar pria tua itu semakin bertenaga. Apa yang dilakukan oleh Jagat membawa dampak positif pada tubuh renta sang senopati lama. Perlahan tapi pasti tubuh Galasbumi mulai terlihat sehat dan bertenaga. Pandangannya mulai memindai satu per satu wajah yang ada di sekitarnya hingga berhenti di wajah ayu milik Roro Wening. "Apakah ini bayi merah yang dulu sempat aku simpan di mulut goa? Pasti kamu yang ambil, Bajang?" tanya Galasbumi pada pria tua y
Jaka tampak acuh dan dingin meskipun tatapan Jagat mengintimidasinya, pria itu seakan tidak mengenal sosok pria yang dulu pernah diserangnya itu. Sikap Jaka membuat Jagat makin penasaran hingga dalam otak kecilnya muncul tanya siapa yang sudah membuat Jaka menjadi seperti itu. "Aneh, ilmu apa yang sudah membelenggu jiwa Jaka hingga dia bak benda mati yang digerakkan dari jarak jauh? Huft huu," gumam Jagat yang diakhiri hembusan napas panjang. Apa yang dilakukan oleh Jagat membuat Zavia menatap penuh tanya pada manik mata sang putra. Namun, Jagat hanya menggelengkan kepala dia lebih memilih memendamnya sendiri. Kemudian pandangannya berpindah pada sosok Galasbumi, pria tua berjenggot putih itu terlihat mulai segar dengan aliran darah yang lancar. "Paman, apa hubungan Paman dengan seruling emas? Bagaimana senjata itu hanya bisa dikendalikan oleh Roro Wening?"Galasbumi terhenyak kaget, dia tidak menyangka jika akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Jagat. Lalu tangannya beralih k
Roro Wening masih menunggu jawaban dari Galasbumi, dia tidak memedulikan Jagat yang tetap memberi tatapan tajamnya. Gadis itu kini berjalan menuju ke gurunya, lalu dia duduk bersimpuh di bawah kaki Bajanglawu "Beri aku wajah, Guru!" kata Wening sambil menempelkan kepalanya pada ubin kayu pendopo. Bajanglawu seketika langsung meraih bahu murid terbaiknya, dia membawa tubuh yang bergetar karena menahan tekanan hingga harus menangis tertahan ke sisi Zavia. "Bantulah muridku ini, Nyai Ratu! Aku masih ingat jika Nyai memiliki ajian yang bisa melihat masa lalu dan depan," ungkap Bajanglawu. Zavia terdiam. Wanita itu belum menggerakkan bibirnya agar mengeluarkan suara. Kedua matanya hany terpejam dengan napas yang naik turun dengan ritme yang sama. Tubuh Wening secara kasat nyata terlihat baik-baik saja, tetapi dalam hatinya sudah terjadi pergolakan dan pertentangan yang cukup membuatnya sesak dan susah bernapas. Suasana pendopo agung padepokan terasa makin tegang dan dingin. Semua pen
Merasa angin berhembus sedikit berbeda membuat Jagat langsung berdiri dan melompat ke arah ibundanya. Sensor pria muda itu menangkap adanya sosok yang berbeda sedang berkeliaran di sekitar pendopo. Zavia langsung mengulas senyum manis pada putranya, dia terlihat begitu bahagia dengan reaksi spontan Jagat yang seakan melindunginya. "Redam emosimu, Anakmas! Dia tamuku," kata Zavia. Galasbumi seketika segar bugar, apalagi saat sosok wanita cantik keluar dari kabut tipis. Wanita yang sudah lama dia rindukan, baru saat ini Galasbumi melihatnya. Sosok wanita yang anggun dengan pakaian kebaya bak putri kerajaan. Senyum tipis terukir indah dengan tatapan penuh rindu pada sosok pria tua berjanggut. "Selamat datang, Dewi Palastri."Palastri hanya melempar senyum, dia terus melangkah menuju ke posisi Galasbumi yang berdiri dengan senyumnya. Saat wanita itu makin dekat dengan Galasbumi, api kecil langsung menyala di setiap bumbung bambu. Kini pendopo terlihat terang hingga semua yang ada d
Bajanglawu mengikuti saran dari Palastri, pria tua itu menekan titik pusat yang dimaksud oleh wanita tersebut. Beberapa saat kemudian Bledek pun terbatuk dengan kedua mata terbuka dan menatap penuh tanya pada Bajanglawu. "Ada apa dengan tubuhku, Ki Bajang?"Bajanglawu tersenyum tipis lalu dia menepuk bahu kembarannya itu dengan gelengan kepala. "Sudah tidak apa, jangan lanjutkan lagi!"Bledek makin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Bajanglawu, kembali pandangannya menyapu seluruh area pendopo hingga terhenti pada sosok Palastri yang berdiri sambil memeluk tubuh Roro Wening."Bukankah Anda yang tadi menyapaku, Nyai?" Palastri hanya diam menatap datar pada Bledek hingga membuat oria tua itu menunduk dalam. Dia merasa ada yang salah dan berbeda dengan kondisi saat itu, tetapi apa? Bledek berjalan mundur, dia mencari ruang yang sedikit lebih longgar agar bisa melapangkan sesak pada dadanya. Sepintas tatapan Bledek terlihat oleh Zavia, hal ini menimbulkan tanya dalam hati.
Padepokan Wenning kembali disibukkan dengan latihan kanuragan dan kebatinan. Di beberapa titik terlihat banyak pemuda yang saling beradu ilmu beladiri dengan tangan kosong, tetapi juga ada yang menggunakan ilmu pedang. Namun, di bagian yang lain terlihat sekumpulan wanita muda sedang memainkan lesung dengan irama yang penuh dengan tenaga dalam. Sepertinya mereka bukan main-main, melainkan sedang memeragakan sebuah formasi tempur khusus pasukan wanita dengan dipimpin oleh Roro Wening. Di sudut padepokan ada gubug yang dikhususkan untuk meracik obat herbal. Di sana tampak Galasbumi berdiri menatap beberapa murid yang sedang meracik obat-obatan persiapan untuk perang besar. "Bagaimana hasil herbal yang aku berikan resepnya, Paman?" tanya Jagat saat sudah berada di depan Galasbumi. "Semua sudah sesuai dengan takarannya, Pangeran. Hal ini juga sudah dibuktikan pada hewan liar yang hampir sama struktur organ tubuhnya," jawab Galasbumi. "Ini dosisnya untuk manusia lho, Paman. Apakah ti
Jagat masih diam menatap wajah istrinya, dia seakan tidak pernah puas bila memandang wajah Akshita. Meskipun ada banyak wanita yang selalu menemani perjalanan hidupnya tetap Akshita yang menjadi penghias mimpinya. "Apakah masih kurang apa yang aku beri padamu selama ini, Aks. Hingga kau harus pergi lagi?"Akshita mengurai pelukan suaminya, lalu dia berjalan menuju ke tengah taman. Dia berdiri di tengah dengan kepala mendongak ke atas melihat pada sinar bulan yang malu. Jagat berjalan mendekat, dia mengikuti arah pandang istrinya. Namun, dia tidak menemukan sesuatu hal yang menarik di atas sana. Kedua tangannya kembali meriah pinggang istrinya dan mendekap erat. "Aku sulit untuk melupakan semua tentangmu meskipun sudah ada beberapa selir yang hangatkan ranjangku, Aks. Pesonamu tidak tergantikan," bisik Jagat diujung telinga Akshita. Wanita itu meletakkan kepalanya pada bahu Jagat dengan pandangan masih ke atas. Bibir tipisnya mengembang dengan mengeluarkan suara yang sangat rendah,
Akshita masih menatap wajah Jagat dengan lembut, kedua tangannya melingkar di leher kekar itu. Napasnya yang harum telah menyapa kulit leher Jagat. Sentuhan yang lama tidak menyapa kini mulai membangkitkan hasrat terpendam. Semilir angin telah mengganggu jiwa Jagat, dia tidak bisa menolak pesona sang dewi. Akshita masih mengumbar senyum manisnya dengan jari jemari berjalan naik turun di sepanjang leher kekasihnya. Jagat mulai bergolak, jakunnya naik turun dengan cepat membuat senyum Akshita makin memabukkan. "Bukan tidak rela, Kang. Tetapi lebih ingin memiliki seutuhnya semua milikmu termasuk jiwamu."Jagat bergerak merapatkan tubuhnya hingga membuat Akshita terduduk di pinggiran kolam. Selendang merah yang membungkus dadanya berkibar bersentuhan dengan angin hingga menampilkan tulang selangka yang indah. Jagat sudah tidak tahan lagi, maka dia menundukkan kepalanya dan melabuhkan kecupan ringan pada tulang selangka itu. Kecupan yang lembut dan penuh kasih belum mampu membangkitkan
Jagat Kelana menatap sosok pria muda di depannya. Bibirnya melengkung sempurna, lalu tangannya terangkat untuk memberi restu pada pria muda itu. Pria muda itu pun membujuk sesaat lalu terangkat menatap langsung pada manik mata Raja muda itu. Dia tersenyum tipis. "Bagaimana pola latihan mereka, Anakmas?"Pria muda itu mulai menjelaskan kemajuan latihan para prajurit yang selama ini dia latih. Semua telah berhasil hingga ke tingkat tengah kelas dua. "Apakah jadi mereka dipilih dan dikirim ke kerajaan sebelah, Ayahanda?""Iya, kerajaan itu belum memiliki prajurit handal satu pun. Siapa nama kamu, Anakmas?"Pria muda itu menatap pada Raja Singgalang, lalu bibirnya tersenyum dengan menyuarakan, " Airlangga Batinara."Jagat tersenyum, "berapa usiamu?""25 tahun masa alam kami."Jagat Kelana tersenyum, dia berdiri dan terbang mendekati sosok pria muda itu. Lalu dia berdiri di depan Airlangga, memeluknya erat. "Sudah sebesar ini baru kamu datang ke sini. Apakah tidak ingin tahu ayahmu?""
Malam yang begitu dingin membuat Jagat segera membawa tubuh istrinya masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan pun berlanjut hingga berulang kali. Ternyata tubuh yang memiliki struktur tulang yang rentan itu mampu menampung gairahnya hingga berulang kali. Prameswari merasa begitu bahagia telah membuat suaminya tersenyum puas. Akan tetapi, tubuh itu juga memiliki daya tahan yang rendah. Penyatuan yang dilakukan hingga menjelang pagi membuat tulang Prameswari seakan lepas kontrol. Tubuhnya menjadi lemas. "Tuan, Suamiku, maafkan aku! Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu," kata Prameswari dengan tatapan memohon. "Baiklah, kita sudahi dulu. Sekarang tidurlah!" balas Jagat. Setelah berkata itu, kedua mata Prameswari terpejam. Hal ini membuat Jagat khawatir, dia pun segera memeriksa kondisi tubuh istrinya. "Bagaimana bisa seperti ini, Nyai? Aku baru saja merasakan nyaman bersama tubuhmu, kamu terlanjur pingsan. Hadeh!"Jagat segera memakai jubahnya, lalu dia duduk sila di sisi ranjang. Kedua
Malam ini waktunya Jagat bersama Prameswari. Keduanya duduk di teras belakang paviliun. Jagat memilih duduk di tanah beralaskan rumput, sementara Prameswari duduk diam di sisi kanannya. "Duduk dekat sinilah, Istriku!" Prameswari menggeser tubuhnya dengan senyum yang dia sembunyikan. Kepalanya menunduk dalam, dia malu dengan pendekatan suaminya. Berbeda dengan Jagat, dia justru mulai merebahkan kepalanya pada paha Prameswari membuat wanita itu terdiam seketika. "Suami!" pekik Prameswari ringan. Dengan santainya Jagat mencari tempat ternyaman untuk kepalanya, lalu tangannya meraih jemari istrinya itu dan meletakkan pada kepalanya. "Bisa pijat di sini sebentar, Nyai!" Pinta Jagat dengan tatapan penuh harap. Prameswari tidak bisa bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun gemetaran menyentuh kepala suaminya. Perlahan disentuhnya rambut bergelombang pendek milik suaminya. 'Jantungku sepertinya mulai sakit," batin Prameswari merasa hatinya begitu senang be
"Nyai, kok malah melamun," kata Jagat lembut sambil melabuhkan sebuah kecupan hangat pada bibir istrinya. Mendapat sentuhan lembut seketika lamunan Akshita menghilang, lalu dia membalas ciuman Jagat lebih meminta. Keduanya larut dalam ciuman yang dalam. Cukup lama keduanya saling berbagi saliva, bahkan Jagat mulai menekan tubuh Akshita pada sandaran kursi kemudian dia duduk menyilang agar lebih dekat. "Kang!" panggil Akshita dengan nada berat. "Hemm."Jagat tidak melepaskan pelukannya dia justru mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke ayunan yang biasa di gunakan Jagat saat mengingat kenangan bersama Akshita. "Apakah di sini tidak akan mengganggu yang lainnya, Kang? Aku merindukanmu," bisik Akshita yang membuat gairah Jagat memuncak. "Tidak. Dan jangan remehkan kekuatanku saat ini, Nyai."Akshita tersenyum, jari jemarinya mulai bergerak perlahan membuka satu per satu kain penutup tubuh suaminya. Jagat membiarkan semua inginnya Akshita. Dia terlihat begitu menikmati apa pun y
Mendengar niat suaminya, Roro Wening pun menyiapkan segalanya yang biasa dilakukan Jahat sebelum penyatuan. Kali ini selir itu tidak mau ada yang tertinggal. Ini adalah pelajaran yang sudah dia pahami selama hidup bersama Jagat baik sebelum miliki kerajaan ataupun sudah. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Asih!" kata Roro Wening sambil menata beberapa benda yang harus dipakai oleh selir utama. "Nggeh, siap."Seorang dayang senior ikut membantu selur agung menyiapkan semua. Mulai dari aroma cendana hingga kain penutup kala penyatuan dimulai. Roro Wening juga memberikan beberapa catatan apa saja yang akan diucapkan sebelum tubuh Prameswari tersentuh. "Semua sudah siap, Kanjeng Ratu.""Jangan sebut nama itu, Asih. Semua belum resmi meskipun Yunda Akshita sudah datang menemaniku semalam.""Jika sudah seperti ini tidak mungkin akan lupa, Kanjeng Ratu. Niat Nyai Akshita sudah jelas bahkan putranya sendiri ditugaskan untuk menjaga kedamaian kerajaan ini lho," papar Asih--dayang senior.
Sinar mentari masuk di sela jendela kamar Roro Wening, hangatnya mampu membangunkan selir cantik dan seksi itu. Melihat istrinya mulai bangkit dari ranjang Jagat segera mendekat dan membantu istrinya itu. Perlakuan Jagat yang hangat membuat hati Roro Wening terharu. "Duduk sini dulu, tunggu kusiapkan air untuk kamu mandi!" kata Jagat. Roro Wening pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Jagat. Kemudian pria itu berdiri menuju ke balik pembatas anyaman bambu. Terdengar suara gemericik air yang dialirkan oleh Jagat. Setelah semua persiapan mandi istri selesai, Jagat keluar dari dalam lalu melangkah mengikis jarak dengan istrinya. Kemudian dengan lengannya diangkat tubuh istrinya ala bridal. "Turunkan aku, Suamiku!""Jangan banyak bergerak biar ndak jatuh!"Mendengar hal itu membuat Roro Wening mempererat pegangannya pada leher Jagat. Pria itu tersenyum melihat sikap istrinya, lalu dimasukkan perlahan tubuh Roro Wening ke dalam bak mandi. Tangan Jagat mulai bergerak membasuh punggung i
Udara dingin membuat tubuh Roro Wening menggigil parah. Bahkan muncul ruam merah hingga membuat salah satu dayang berlarian di sepanjang lorong peraduan raja. Dayang itu mendengar suara sang Raja berbicara dengan seorang wanita, bahkan suaranya begitu membuat bulu kuduk berdiri. Sebagai wanita dewasa dayang itu pasti paham suara apa yang dia dengar. Namun, dia lebih memilih tetap diam berdiri di depan pintu hingga suara itu menghilang. Cukup lama dayang itu berdiri di sana hingga pintu kamar Raja terbuka menampilkan sosok wanita yang begitu cantik dengan wajah bercahaya. "Masuklah!" Usia berkata wanita itu pergi sambil menarik selendang merahnya hingga membuat tubuhnya terbang. Peristiwa yang langka membuat wanita itu terpana dan takjub. Sungguh kejadian itu teramat langka. Suara Raja yang memanggilnya pun tidak mampu membuatnya lepas meninggalkan pemandangan itu. "Dayang, ada apa hingga larut malam kamu tidak istirahat?" Suara Jagat sudah begitu dekat dengan telinga dayang membu